Friday, June 17, 2011

Potret Buram Implementasi UU Minerba

Oleh Ferdy Hasiman (Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta dan Alumnus STF Driyarkara)

PASCA pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), investasi tambang memunculkan polemik baru di daerah. UU itu memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah (Pemda) menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Kewenangan pemberian IUP kepada pemda tanpa disertai kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas, terbukti berpotensi makin tidak terkontrolnya pengelolaan pertambangan di level lokal. Kementerian ESDM melansir, dari 8.475 IUP yang diterbitkan pemda, hanya 3.971 IUP dinyatakan legal dan 4.504 IUP dinyatakan ilegal (Baca, ESDM).


NTT hanyalah sekadar contoh dalam tulisan kecil ini. Data menunjukkan, sebanyak 319 pemegang IUP tidak mengantongi dokumen resmi alias ilegal (Dinas Pertambangan NTT, 2010). Ratusan hektar tanah warga dan hutan lindung disabotase hanya untuk investasi tambang. Akibatnya, masalah sosial pun merebak. Buruh dibayar upah tak wajar, perebutan lahan antarsuku dan proses penambangan rakyat pun tak terbendung.

Hanya untuk mendapat secuil berkah dari batu mangan, warga beralih profesi dari petani penggarap menjadi pengumpul mangan. Alhasil 30 warga meninggal selama pertambangan di Tomor Barat periode tahun 2010. Realitas ini menunjukkan potret buram implementasi UU Minerba di daerah ini. Pertanyannya adalah mengapa tambang ilegal mekar?

Instink ekonomis


Implementasi UU Minerba di tengah desakan liberalisasi sektor energi adalah petaka bagi rakyat. Penegakan hukum dan tingkat korupsi di daerah masih sangat tinggi. Reformasi birokrasi masih stagnan. Banyak daerah mendapatkan rapor merah dalam mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah. Good governance (GG) pun menjadi impian tak bertepi.


Liberalisasi pasar tanpa diikuti GG dan penegakan hukum yang ketat berpotensi menimbulkan pencurian sumber daya alam (SDA) daerah.

Potensi pencurian ini diperkuat dengan paradigma umum pertambangan di Indonesia. Paradigma tambang di Indonesia adalah menjual hasil tambang tanpa pengelolaan terlebih dahulu hanya untuk mengejar pasar ekspor. Orientasi ekspor memicu terjadinya tambang ilegal. Orientasi ekspor dipicu oleh naiknya harga komoditas, seperti mangan di pasar global. Di tengah rapuhnya regulasi hasrat akumulasi pelaku pasar menggelora.


Adam Smith mengatakan, pelaku ekonomi lebih dominan menampilkan watak asosial alias egois. Manusia egois cenderung mencari keuntungan diri (Baca : homo economicus). Karakter pelaku ekonomi yang cenderung asosial ini menurut ekonom Jhon M. Keynes (1983-1946) sebagai animal spirit. Setiap manusia ekonomi pasti memiliki spirit binatang. Maka, maling tambang potret animal spirit.


Kembali pada kondisi lokal NTT. Hampir semua media lokal dan nasional telah mengeskpose penjualan mangan ilegal dari NTT. Kapal hasil penjualan mangan ilegal di tahan aparat kepolisian di pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya. Kapal itu berisi muatan mangan sebanyak 3.000 ton milik TNI AD (Timor Expres, 15/5/2011).

Selain itu, sebelumnya, polisi menggagalkan penjualan mangan ilegal dari NTT senilai 132 ton di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mangan ilegal itu akan dijual ke China atas nama PT Bumi Karya Indonesia (Detik.Com, 3/1/2010).


Maling memang selalu mencari celah untuk mencuri dan itu terdapat pada UU Minerba. Pasal 43 Ayat 1 dan 2 misalnya, memberi kesempatan kepada pemegang IUP Eksplorasi untuk menjual mineral yang sudah tergali, meskipun ada penegasan, tambang hasil eksplorasi yang dijual wajib melapor pemberi izin (gubernur/bupati/menteri). Persoalannya, pemerintah lokal ikut bermain di dalamnya. Kadis Pertambangan NTT dijerat hukum lantaran terlibat kasus penjualan mangan ilegal (Kompas, 25/10/2010).


Menangkal maling sebenarnya mudah jika negara dengan seperangkat alatnya (hukum dan regulasi) selalu siaga. Namun, bagaimana menjaga maling jika aparat negara terlibat dalam penjualan mangan ilegal?

Political finance


Keterlibatan pemerintah lokal dalam penjualan tambang ilegal bukan tanpa alasan. Semua pihak paham, demokrasi kita mulai dari tingkat pusat-daerah telah diselimuti politik uang. Proses politik seperti ini membenarkan tesis Karl Marx (1818-1883) bahwa politik (supra-struktur) adalah hasil derivikasi dari basis (baca : penguasa ekonomi).


Mengikuti Marx, merebaknya tambang ilegal terkait langsung dengan political finance pada pemilu kada. Untuk biaya pemilu kada saja, seorang calon bupati harus mengeluarkan uang senilai Rp 5 miliar. Padahal, gaji bupati hanya mencapai Rp 7 juta per bulan. Di tengah sistem politik yang berhala kepada uang, pemerintah perlu memberi karpet merah kepada investor hanya untuk mencalonkan diri lagi ke pemilu kada berikutnya


Risikonya, rakyat menjadi korban dalam pembangunan. David Harvey dalam Enigma of Capital (2009) mengatakan, modal selalu bergerak mencari bahan baku dan pasar tenaga kerja murah. Di mana negara/daerah tidak melindungi pekerja, di situ modal merentangkan bisnisnya. Dari segi bahan baku, tambang mangan di NTT tidak perlu mengeluarkan biaya investasi besar dan metode peralatan modern. Mangan mudah ditemukan di permukaan tanah. Cukup dikeruk manual, mangan sudah dapat.


Pemegang IUP eksplorasi biasanya membeli mangan dari kerja petani pengumpul mangan seharga Rp 1,8 hingga 2 juta per ton. Harga ini tidak sebanding dengan harga mangan global yang mencapai US$ 2.850 per ton atau Rp 25.650.000 per ton dengan kurs Rp 9.000. Ini artinya petani mangan hanya mendapat secuil berkah dari harga mangan di pasar. Sementara yang mendapat keuntungan besar adalah para broker dan investor.
Dari segi pekerja, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan upah tidak terjamin. Upah pekerja tambang di NTT hanya mencapai Rp 25.000-Rp 30.000 per hari.

Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan dan jaminan kesejahteraan lainnya. Kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tidak mungkin membuat mereka sakit serta harus menanggung pengobatan dan biaya rumah sakit yang melambung tinggi. Implikasinya, perusahaan mendapat benefit besar, sementara cost ditanggung mahal para buruh.


Pemerintah lokal boleh saja berkilah, investasi tambang akan meningkatkan penerimaan darah karena mendapat royalti dari perusahaan. Namun, pengelolaan SDA di daerah itu tidak pernah transparan. Sampai saat ini, masyarakat tidak pernah paham berapa kapasitas produksi dan penjualan mangan setiap tahun. Jika saja publik paham informasi seputar pembukuan perusahaan, kalkulasi berapa royalti yang masuk ke kantong daerah bisa dilakukan dengan tepat.


Realitas ini disebut ekonom J. Stiglitz (2002) sebagai asimetri kekuasaan. Artinya, kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada pemodal daripada rakyat. Akibatnya, konsesi pertambangan yang bertujuan pembangunan jangka panjang hanya dimenangkan penguasa ekonomi dan gagal mengangkat kesejahteraan rakyat.

Competive advantage


Pemerintah pusat tidak bisa menggeneralisasi semua daerah di Indonesia cocok untuk pertambangan. Maka, pemerintah pusat perlu menyusun strategi pembangunan di daerah berdasarkan keunggulan dan kelemahan setiap daerah (competive advantage).

NTT misalnya, hanya cocok untuk sektor pertanian dan periwisata. Potensi pariwisata di daerah itu sangat besar. Angkat saja Taman Nasional Komodo (Manggarai Barat), Danau Kelimutu (Ende) dan beberapa pesona wisata lainnya.


Investasi pertambangan justru merusak pesona wisata dan sektor pertanian yang sangat potensial bagi kemandirian ekonomi rakyat. Padahal, potensi pariwisata bisa meningkatkan devisa dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah lokal menarik minat investor dengan cara mengangkat daya saing melalui pembangunan infrastruktur fisik, seperti transportasi, fasilitas listrik, pengaadaan fasilitas air minum dan prasarana fisik lainnya. *

0 komentar: