Tuesday, April 10, 2012

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Monday, March 12, 2012

APA YANG TERJADI DENGAN DIRIKU?

(Sumber inspirasi Markus, 6:53-56) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan” Saudara/I pendengar di mana pun Anda berada. Hari ini kita diajak untuk merenungkan kisah penyembuhan bagi mereka yang sakit, mereka yang tak berdaya. Sehari sebelum peristiwa penyembuhan di Genezaret, Yesus sudah memperlihatkan suatu keajaiban yaitu berjalan di atas air, menyusuri orang banyak yang naik perahu yang sedang diterpa angin sakal. Apa yang dilakukan Yesus dihadapan publik, memperlihatkan sesuatu di luar batas kelaziman, di luar jangkauan ratio manusia dan hal itu menjadi tanda heran bagi manusia yang melihatnya. Mengapa Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah dan keselamatan manusia, selalu memperlihatkan mukjizat atau keajaiban-keajaiban dihadapan publik? Kehadiran Yesus di tengah-tengah kelompok yang dijanjikan juru selamat oleh Allah, namun kelompok yang bersangkutan yakni umat Israel masih menolak kehadiran sang mesias itu sendiri. Mereka belum percaya pada Yesus yang merupakan utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dan membuka simpul-simpul dosa. Karena itu tanda heran atau mukjizat yang dilakukan Yesus, selain merupakan bagian penting dalam pewartaan tentang datangnya kerajaan Allah, tetapi juga mau menggiring kesadaran manusia yang masih tumpul hatinya dan menolak kehadiran sang juru selamat, perlahan percaya pada-Nya. Apa yang dilakukan Yesus terutama menyembuhkan orang-orang sakit juga mengungkapkan wibawa keallahan-Nya di hadapan dunia. Tetapi fenomena sosial yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan dunia kepada dirinya, tidak semata-mata dibantu dengan tindakan menyembuhkan sebagai upaya membangun pamor kemesiasan tetapi apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan Allah dalam solidaritasnya dengan mereka yang terpinggirkan. Yesus selalu menempatkan “kepekaan sosial” sebagai cara paling mudah dalam membangun relasi dengan manusia lain. Karena melalui kepekaan sosial, terbangunlah rasa toleransi dan tindakan produktif yang menyelamatkan manusia yang mengalami “tuna di dalam kehidupannya.” Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Penginjil Markus secara dramatis membahasakan keberpihakan Yesus dan kejelian orang-orang sakit yang selalu membuka diri bagi kehadiran Sang juruselamat. Orang-orang sakit tidak lagi menunggu kabar, kapan Yesus lewat di sekitar rumahnya tetapi justeru mereka yang sakit juga diletakkan di pasar, sebuah ruang terbuka, tempat transaksi para penjual dan pembeli. Penginjil Markus mau membuka wawasan, membuka cara baru dalam melihat peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa terbuka dimana kehadiran Yesus menjadi milik bersama dan tindakannya melampaui semua orang, siapa saja yang membutuhkan bantuan. Pasar, sebuah ruang publik yang bising, tempat orang-orang melakukan transaksi, Allah mau hadir bersama putera-Nya untuk memulihkan harapan yang sirna, mengembalikan yang cacat ke keadaan semula. Di sinilah tempat traksaksi iman antara mereka yang terluka dan sang juru selamat. Orang-orang sakit membuka diri, membiarkan keselamatan itu menjalar dalam dirinya dan hanya satu harapan tunggal yang melekat dalam dirinya yaitu ingin agar kesembuhan bisa terlaksana. Baginya, hidup sehat merupakan modal utama dan kerinduan terbesar dalam dirinya. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Kehadiran Yesus dan tindakan nyata Yesus selalu mengutamakan keselamatan manusia. Keberpihakkan kepada mereka yang tersisih menjadi prioritas perhatian yang diberikan oleh Yesus. Ketika Yesus melakukan sesuatu kepada orang lain maka pada saat yang sama ia mengorbankan kepentingan, memangkas egoisme sendiri untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Di pasar, seperti yang dilukiskan oleh penginjil Markus, Yesus telah menjumpai begitu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Ia membaurkan diri bahkan menenggelamkan diri dalam gegap-gempitanya pasar agar Ia bisa menyatu dengan manusia. Dan dalam keterlibatan yang intens itu, Yesus menghadirkan cinta tanpa batas, melampaui batas-batas cinta diri. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam dunia pendidikan, nilai pengorbanan terhadap sesama juga menjadi prioritas. Anak-anak didik yang umumnya masih mencari jati diri dan ilmu pengetahuan, perlu mendapat perhatian lebih dari para pendidik. Dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka maka ada jalan terbuka menuju ruang peradaban baru yang lebih berdaya dan produktif. (Valery Kopong)

“Aku dalam "Menggapai Aku atau Kapankah Waktuku Sampai?”

Bacaan Markus 8:11-13 Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam YEsus kristus. Mengapa angkatan ini meminta tanda? Inilah satu pertanyaan retoris yang diajukan oleh Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang farisi. Permintaan orang-orang farisi ini akan tanda dari Yesus memperlihatkan tingkat kualitas kepercayaan terhadap Dia yang semakin lemah dan karena kehadiran Yesus sendiri mengganggu kemapanan hidup mereka. Yesus tidak secara serta-merta memperlihatkan tanda baru, bahkan menolak untuk memberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Tanda Yunus menjadi tanda peringatan Tuhan kepada Niniwe dan Yunus sendiri tidak melakoni tugas sebagai nabi yang menyerukan sebuah peradaban hidup yang baru. Yunus melarikan diri dari Tuhan dan mendapatkan kutukan dariNya. Ia dibuang ke laut dan ditelan ikan. Ia hidup selama 3 hari, tiga malam dalam perut ikan. Apa yang terjadi di zaman nabi Yunus sudah menjadi peringatan yang menyejarah dan kisah yang menyapa setiap generasi yang hidup. Tanda pertama yang diperlihatkan Allah kepada manusia melalui Yunus menjadi sebuah ikatan antara masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini terikat oleh tanda dari sang penguasa waktu. Yesus tidak memperlihatkan tanda baru selain tanda nabi Yunus karena Ia memahami kedalaman makna dari tanda tersebut yang juga mengena dengan dirinya sendiri. Yesus menghargai tanda dan membiarkan tanda itu bermakna dalam siklus zaman tetapi tak satu pun yang menyadari makna tanda dari nabi Yunus itu. Namun Yesus yang diberi peran yang kian berat itu menyadari bahwa Dia akan segera hancur di bawah tekanan perutusan yang menyelamatkan itu. Yesus tampil di hadapan orang-orang farisi dalam ketelanjangan cogito, ergo sum, saya berpikir maka saya ada, merasa perlu menyembunyikan diri lagi dibalik berbagai tekanan untuk memperlihatkan tanda baru dari-Nya. Desakan permintaan tanda ini seolah-olah tanda Yunus telah usang dan diganti dengan tanda dari Yesus sendiri. Kategori waktu dan ruang, kategori sebab-akibat dan substansi adalah kerangka-kerangka yang tetap yang ada dalam benak pemikiran manusia, yang tidak bergantung pada penentuan bebas manusia dan sebab itu berada di luar tanggung jawab manusia. Menunjukkan keterbatasan pikiran manusia berarti juga menyatakan keterbatasan tanggung jawabnya. Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Apakah di dalam hidup, sebagai pengikut Kristus, kita pun menyangsikan tanda dari Yunus dan meminta tanda baru dari Yesus? Yesus telah memaknai tanda tersebut dan bahkan mengalami sendiri. Kalau Yunus ditelan ikan dan hidup di dalam perut ikan selama 3 hari, 3 malam maka Yesus pun telah menggenapi tanda itu. Ia telah ditelan maut dan hidup di dalam perut bumi selama 3 hari. Inilah tanda yang telah diperlihatkan Yesus kepada dunia, tanda kematian dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Tanda inilah yang menjadi ikatan iman kita kepada Yesus sebagai sumber keselamatan kita. Orang-orang farisi mewakili angkatannya, masih ragu dan meminta tanda baru dari Yesus. Apa yang dilakukan oleh orang-orang farisi seringkali juga kita lakukan untuk mengungkapkan lemahnya kepercayaan kita kepada seseorang. Terkadang kita ragu kepada guru-guru dan mempertanyakan nilai yang mewakili kemampuan kita. Merasa ragu itu adalah sesuatu yang wajar di dalam hidup ini. Tetapi menjadi tidak wajar jika di dalam hidup kita dipenuhi dengan keragu-raguan. Apabila hidup kita diliputi oleh rasa ragu yang berkepanjangan maka akan menjadi sulit untuk menentukan hidup yang lebih optimis. Mudah-mudahan kita tidak merasa ragu lagi terhadap Yesus karena dialah yang menjadi pelita yang menerangi masa depan kita. (Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (2)

Apa yang dilakukan Yesus mendapat banyak reaksi terutama orang-orang Yahudi yang tahu tentang hukum Taurat. Seorang guru, tidak perlu duduk, apalagi makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya. Yesus sendiri, kehadiran-Nya di tengah manusia membawa perubahan sekaligus mengundang reaksi berlebihan dari orang-orang yang mapan dengan tata aturan sosial religius. Para pemungut cukai adalah gambaran mereka yang menjadi tukang pemeras masyarakat terutama kalangan petani dan nelayan. Penagihan pajak yang tinggi menjadikan kelompok-kelompok pinggiran menjadi terdepak secara ekonomis dan memelaratkan hidup mereka. Keberadaan Yesus yang seharusnya menjadi kerinduan besar kelompok petani dan nelayan untuk menentang para pemungut pajak, namun justeru Yesus membaur dengan Matius, seorang pemungut cukai. Mengapa Yesus bergaul dengan pemungut cukai? Tidak adakah orang lain yang lebih layak diperhatikan oleh Yesus? Apa yang dilakukan Yesus menjadi pertentangan bersama bahkan dengan peristiwa di mana Yesus bergaul dengan Matius, menjadi pilihan mereka untuk menjerat-Nya. Apa kata Yesus, seorang yang sehat tidak memerlukan tabib. Hanya orang sakitlah yang memerlukan tabib. Yesus memperlihatkan secara implisit tujuan kedatangan-Nya untuk mengembalikan kondisi hidup mereka yang dipandang dengan sebelah mata. Tidak hanya Matius, Zakheus pun demikian. Mereka sama-sama sebagai pemungut cukai selalu membuka diri bagi kehadiran Yesus. Menyadari pentingnya kehadiran Yesus, Zakheus pun rela memanjat pohon agar melihat, seperti apakah Yesus itu. Baginya, Yesus tidak hanya lewat begitu saja di hadapannya tetapi justeru ia memaknai “safari rohani” Yesus dalam mencari mereka yang terbuang. Kehadiran Yesus mengubah hidup mereka dan menjadikan hidup mereka lebih bermakna. Matius sebagai pemungut cukai, dijadikan oleh Yesus sebagai murid-Nya. Inilah bukti kemuridan Yesus yang menempatkan para murid-Nya dengan nuansa kesederhanaan. Mereka-mereka inilah yang membuka diri, membiarkan rahmat mengalir dari dalam dirinya agar tertumbuhkan benih-benih kebaikan. “Ikutlah Aku. Matius pun bangkit dan mengikut Dia.” Bangkit dan mengikuti Dia tidak hanya dimengerti sebagai gerak tubuh secara normatif, tetapi lebih dari itu mereka bermakna, mereka sudah bangkit dari keterpurukan, dari ketakberdayaan untuk menggapai rahmat keselamatan.***(Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (1)

Di pinggir danau yang sedang disusuri Yesus, sorot mata-Nya tertuju pada dua orang bersaudara. Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya. Tidak hanya dua orang ini tetapi Yesus masih lagi memanggil dua orang bersaudara, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya. Yesus, walaupun sesaat menelusuri danau dan melihat aktivitas mereka, segera Ia memanggil murid-murid pertama ini. Apa reaksi dari para murid yang dipanggil itu? Proses pemilihan murid-murid pertama tidak memberikan sebuah kriteria yang ketat. Tetapi yang pasti adalah Yesus mengetahui kesungguhan mereka untuk mau melepaskan segala-galanya, melepaskan ikatan yang membelenggu mereka dalam mengikuti Yesus. Menarik bahwa pekerjaan dari murid-murid perdana yang dipanggil Yesus adalah penjala ikan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang bertarung dengan tantangan alam. Deburan ombak yang terus menghantam perahu, menjadikan mereka harus mencari keseimbangan agar perahu yang mereka tumpangi tidak terbalik dan tenggelam. Pekerjaan sebagai nelayan menjadi modal dasar mereka untuk mengikuti Yesus. Dengan “jala” yang menjadi milik mereka yang paling berharga, memicu mereka untuk terus menjala manusia dengan modal keberanian. “Mari, ikutlah AKu dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.” Kata-kata Yesus ini mengubah situasi karena menarik mereka dari tengah-tengah keakraban dengan ayah mereka yang bersama dengan mereka. Mereka meninggalkan ayah mereka sendirian di tepi danau. Hati ayah mereka tidak mengalami sebuah pemberontakan karena dia tahu bahwa Yesus lebih membutuhkan mereka untuk kepentingan pewartaan karena itu ia (ayah) mereka berani melepaskan anak mereka demi suatu tujuan yang luhur. Mereka terus mencari dan menggali jati diri serta semangat pelayanan yang dilakukan oleh murid-murid pertama. Kesederhanaan mereka untuk menerima tawaran menjadi kunci pembaharu hidup mereka. (Valery Kopong)

Wednesday, December 14, 2011

ANAK KALIMAT

SEORANG pastor, sebut saja Miguel, mempunyai minat yang besar terhadap dunia jurnalistik. Suatu keunikan dapat terlihat lewat tulisannya yakni kalimat yang digunakan dalam tulisan, selalu menggunakan anak kalimat yang sekian banyak. Seorang pembaca merasa heran dan mempertanyakan, mengapa Pastor Miguel selalu menggunakan anak kalimat dalam jumlah yang banyak? Sekian lama si pembaca itu bertanya, dan pada akhirnya ia menemukan jawaban, yaitu bahwa mungkin pastor itu tidak mempunyai anak sehingga selalu menciptakan anak kalimat yang banyak dalam tulisan-tulisannya.*** (Valery Kopong)

TIGA LELAKI ANEH

Pada hari Minggu, ada 3 orang lelaki Katolik pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi. Sebelum masuk ke dalam gereja, mereka bertiga mulai memikirkan uang derma atau kolekte yang mau diberikan pada saat persembahan. Di depan gereja itu, tiga lelaki ini bertingkah aneh.Mereka bertiga mulai membuat sebuah lingkaran dengan menggunakan kapur. Mereka bertiga mulai mencari uang recehan di saku celana masing-masing untuk derma atau kolekte nanti. Dua di antara ketiga lelaki sedikit keberatan dengan memberikan kolekte. Mereka akhirnya bersepakat untuk “membuang undi” di lingkaran itu dengan menggunakan uang recehan. Lelaki 1: Uang yang saya lemparkan ke atas ini, apabila jatuh ke dalam lingkaran ini maka itu menjadi milik Tuhan dan saya gunakan sebagai persembahan. Sedangkan uang recehan lain yang jatuh di luar lingkaran, itu menjadi milik saya. Lelaki 2: Uang yang saya lemparkan ke atas ini, apabila jatuh di luar lingkaran maka itu menjadi milik Tuhan dan saya gunakan sebagai persembahan. Sedangkan uang recehan lain yang jatuh di dalam lingkaran, itu menjadi milik saya. Lelaki 3: Uang yang saya lemparkan ke atas ini, “apabila tidak jatuh ke tanah, maka itu menjadi milik Tuhan.” Tetapi apabila semuanya jatuh ke tanah, itu menjadi milik saya. Siapakah yang paling rakus dengan uang di antara ketiga lelaki ini?***(Valery Kopong)

Tuesday, December 13, 2011

MAU IKUT MAMA

Tini dan Tono, pasangan suami isteri, hampir setiap hari bertengkar. Mereka ingin mengakhiri rumah tangga mereka dengan bercerai. Tapi sebelum bercerai, Tono bertanya pada Tene, puteri semata wayang. Tono: Tene, kalau bapa-ibu mau cerai, kamu mau ikut siapa? Tene: Saya mau ikut mama. Setelah Tono bertanya pada Tene, kini giliran Tini bertanya pada Tene. “Kalau bapa-ibu mau pisah, Tene mau sama siapa?” tanya Tini. “Saya mau ikut mama,” jawab Tene. Kini, giliran Tini bertanya pada Tono. Tini: kalau kita mau cerai, bapa mau ikut siapa? Tono: Saya mau ikut mama aja. Dengan jawaban ini maka perceraian tidak terjadi karena semua mereka ikut mama, tetap bertahan dalam rumah mereka yang dulu. ***(Valery Kopong)

YUDAS DAN PETRUS

Setelah menjual Yesus dengan harga 30 keping perak, Yudas akhirnya menyesali segala perbuatannya dan pergi menggantung dir. Tempat di mana Yudas menggantung diri dikenal sebagai “tanah darah.” Beberapa tahun kemudian, Petrus, seorang murid kesayangan Petrus pun meninggal. Mereka dua sama-sama ketemu di alam baka. Mereka dua sempat berbincang-bincang tentang sorga. Petrus: hai Yudas, kenapa kamu di neraka? Yudas: sudah tahu, nanya lagi….Saya pingin masuk sorga. Saya masih nunggu di sini karena kunci sorga katanya Petrus yang pegang. Petrus: Iya, saya yang pegang kunci. Memang kenapa? Yudas: Tolong masukan saya juga ke sorga ya. Petrus: engga usahlah. Lu itu cocok di neraka!! Yudas: Petrus, lu jangan macam-macam dengan saya ya. Yesus sudah saya jual. Apakah lu mau, supaya saya jual kamu? Sorga dan neraka saya bisa jual. Kalau dua-duanya saya jual, di mana kamu tinggal? Petrus: haaaaaa. Yudas,,,,,,aya-aya wae.***(Valery Kopong)

TELKOMSEL VERONIKA

Ketika hand phone (HP) mulai merajalela di bumi pertiwi ini sekitar tahun 2002, ada suatu cerita menarik . Waktu itu seorang Bapa, sebut saja Markus. Ia barusan dari kampung dan ingin bertemu dengan anaknya bernama Maria yang ada di Jakarta. Bapa Markus membawa sebuah HP dan menggunakan nomor simpati. Demikian juga Maria, anaknya menggunakan nomor simpati. Ketika tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, ia mulai menghubungi HP anaknya tetapi ternyata tidak aktif dan terdengar suara “telkomsel Veronica.” Suara ini menunjukkan bahwa HP anaknya mailbox, tidak aktif. Berkali-kali Bapa Markus gerah dan marah pada anaknya. “Dari kampung, namanya Maria. Jangan-jangan sampai di Jakarta ia sudah merobah nama menjadi “Veronika,” seperti yang terdengar dari HP-nya yang tidak aktif dan mengeluarkan suara, “telkomsel Veronika.” ***(Valery Kopong)

IMAM BONJOL

Menjadi guru agama untuk anak-anak sekolah dasar adalah sesuatu yang menarik. Dikatakan menarik karena ada banyak hal yang ditemukan dan merupakan ungkapan kepolosan seorang anak. Ketika mengajar agama di salah satu sekolah dasar, saya menerima begitu banyak jawaban yang aneh pada kertas ulangan harian. Dalam ulangan itu, salah satu pertanyaan yang saya ajukan berbunyi demikian: “Siapakah nama imam yang memberkati Abraham saat ia dipilih oleh Allah menjadi Bapa Bangsa?” Dengan penuh lugu dan polos, salah seorang siswa menjawab, “Imam Bonjol.” ***

Friday, September 30, 2011

HOTEL ABANG

Rini dan Roni (bukan nama sebenarnya) adalah pasangan pengantin baru. Mereka ingin melepaskan masa lajang dan berbulan madu di sebuah hotel, sebut saja hotel “Abang.” Pasangan ini menempati kamar 133, namun sebelumnya kamar ini ditempati oleh Deno (bukan nama sebenarnya), yang adalah seorang wartawan. Sebagai wartawan “Jadul” (Jaman dulu), Deno akrab sekali dengan mesin ketik. Ke mana-mana ia selalu membawa mesin tik tua. Ketika keluar dari kamar 133 hotel Abang, Deno ketinggalan mesin tiknya di kamar hotel tersebut. Deno balik ke hotel lagi dan mau mengambil mesin tik. Tetapi ternyata hotel itu sudah ditempati oleh Rini dan Roni. Dari luar, ia mendengar pasangan ini bercengkrama ria. Rini: “Mata ini milik siapa?” tanya Rini kepada Roni sambil menunjuk matanya Roni: “Mata itu milik abang,” jawab Roni sambil menunjuk mata Rini Rini: “Rambut ini milik siapa?” tanya Rini kepada Roni sambil menunjuk rambutnya Roni: ‘Rambut itu milik abang,” jawab Roni sambil menunjuk rambut Rini Deno mendengar ucapan mesra dari Rini dan Roni dari luar hotel. Deno kelihatan gelisah karena dia butuh sekali mesin tiknya. Deno mengintip dari lobang kunci kamar 133 dan berkata: “Mata itu boleh milik abang, rambut boleh milik abang tapi ingat dan jangan lupa, “mesin tik itu milik saya.” *** (Valery Kopong)

Wednesday, September 7, 2011

Eureka! Imam yang Mencari Wajahnya

Oleh: Josh Kokoh Prihatanto Pr

Archimedes, sekitar 200 SM, dipanggil Raja Yunani. Raja meminta Archimedes agar bisa membuktikan volume dan keaslian mahkota raja. Suatu hari ia begitu bingung hingga mencemplungkan diri ke bak mandi yang penuh air. Waktu itu ilham pencerahan turun: bukankah volume air yang luber sama dengan volume tubuhku? Ia menemukan rumus ’Berat Jenis’ guna menjawab tantangan raja. Ia segera meloncat dari bak mandi dan berlari kegirangan sambil berteriak-teriak, ’Eureka, eureka, eureka!’ (sudah kutemukan!).

Setiap orang dalam setiap komunitas kerap berhasrat ber-eureka: menemukan pelbagai core values, semacam nilai dasar bersama yang melandasi isi hati (core, cordis) setiap anggotanya. Nilai-nilai dasar ini membimbing para anggotanya untuk memahami apa yang paling penting, bagaimana memperlakukan orang lain dan bagaimana cara bekerja bersama. Nilai-nilai dasar ini menjadi dasar budaya sebuah komunitas, juga komunitas para imam, karena bukankah para imam adalah alter christi, tapi juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya? (Ibrani 5:2).

Berangkat dari hal inilah, di Wisma Erema, Cisarua, 6-8 Juni 2011, Uskup Agung Jakarta Mgr I. Suharyo bersama 40-an imam KAJ berproses bersama: mencari dan mengadakan refleksi pendalaman Arah Dasar Pastoral dan Landasan Nilai Budaya Imam KAJ yang dipandu Didiek Dwinarmiyadi dkk dari KOMPAS, karena bukankah tepat seperti kata Socrates, ”Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani?”

Menyitir semboyan Uskup Agung Jakarta,” Serviens Domino Cum Omni Humilitate” (Aku Melayani Tuhan Dengan Segala Rendah Hati, Kisah Para Rasul 20:19), muncullah sebuah core values, nilai dasar yang ditemukan dan dijadikan sebagai wajah para imam yang berkarya di KAJ, yakni: ”HAMBA”. Bukankah Yesus sendiri telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia? (Filipi 2:7). Kata ”HAMBA” ini sendiri merupakan sebuah akronim dari lima dimensi wajah imam yang mau ditampil-kenangkan, yakni: Hangat, Andal, Misioner, Bahagia dan Andil.

Hangat

Dasar kehangatan adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:7-12). Hangat di sini bukan sekadar keramahan kata dan kemurahan tindakan. Bukan pula sekadar kemanisan senyum dan kehangatan pandangan. Hangat itu sendiri lebih pada suatu sikap imam yang tulus dan bersahabat: akrab-dekat, mendukung, dan meneguhkan orang lain. Sikap hangat ini bisa dipetakan menjadi empat tataran sederhana: hangat terhadap Allah, diri sendiri, orang lain, dan terhadap lingkungan hidup.

Diri sendiri: menerima, merawat, mengolah, dan mengembangkan potensi (rohani, jasmani) sebagai warga Gereja, warga negara, warga dunia.

Orang lain: menerima dengan aktif, merawat, menolong, berlaku ramah, bersetia kawan, mengembangkan potensi, memajukan martabat, memperjuangkan HAM.

Lingkungan: mengenal, menerima (tidak merusak), melestarikan alam, baik secara personal, sosial, maupun legal (politis).

Allah: dekat dan mempercayai, terbuka dan terarah, bersyukur sekaligus memuliakan Allah, mengandalkan pun bertaut pada Allah, rela dibentuk oleh Allah

Buah kehangatan sendiri adalah persaudaraan sejati. Kehangatan itu sendiri bersumber dan berbuah pada kasih. Dan, ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain” (1 Kor 13:4-5).

Andal

Andal (baik dalam persaudaraan/intern, maupun pengutusan/extern) merupakan rentangan bersambung dari availabilitas (kesiapsediaan) sampai dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Setiap imam diharapkan memiliki kecakapan pastoral, serta mampu mengelola diri dengan segenap kemampuan dan kelemahan diri, peka dan tanggap zaman (bukan malahan gagap zaman). Gereja akan hadir secara nyata kalau para imamnya juga mau memperbarui diri terus-menerus. Setiap imam diharapkan menjadi hamba setia, yang berkomitmen dan andal mengembangkan semua talenta. Spiritualitas yang bisa dihayati adalah: dialektis. Di satu pihak, berakar dalam hidup iman dan doa, sekaligus pada saat yang sama, dituntut dalam pelayanan yang bisa membaca tanda-tanda zaman dan bahasa masyarakat.

Misioner

Seorang imam mestinya sehati sejiwa (cor unum et anima una) dengan gerak keuskupan dan Gerejanya. Mengacu pada pesan Kardinal Darmojuwono, seorang imam (dalam hal ini: imam Diosesan) adalah imamnya uskup, uskup yang tidak punya imam ibarat macan tanpa gigi. Maka, setiap imam diharapkan semakin berakar dalam Kristus, Sang Misionaris Agung; semakin bertumbuh sekaligus berdaya tahan dalam kesetiaan yang kreatif kepada uskup dan pembesarnya (creative fidelity); semakin berbuah dalam karya pelayanan yang lebih bermutu, dan siap sedia untuk diutus. Kata Yesus, ”Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Lk 9:62).

Bahagia

Pengalaman bersyukur atas rahmat imamat dan kesadaran untuk mau berbagi pengalaman syukur inilah dimensi keempat dari spiritualitas ”HAMBA”. Belajar bersyukur juga dalam penderitaan dan kerapuhan, karena Tuhan sebenarnya dapat membuat para imam bersyukur tanpa sebab: ”benar, mengikuti-Mu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah KAU lewati….” Setiap imam pun diajak semakin mudah bersyukur dan takjub akan pelbagai karya Tuhan lewat umatnya, karena bukankah hati memang selalu punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”. Jelasnya, setiap imam diajak menghayati imamat dengan bahagia dan menjalani karya dengan gembira.

Andil

Setiap imam diharapkan terlibat tanpa terlipat dalam pergulatan dan suka duka Gereja dan dunianya. Tugas seorang imam adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antarmanusia yang membentuk Gereja. Dari peran ini lahir peran kedua yang tidak kalah penting, yakni andil/keterlibatan. Seorang imam perlu melakukan keterlibatan di tengah carut-marut kehidupan yang kerap hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan, karena memang tak punya sesuatu.

Seorang imam perlu memiliki keterlibatan sekaligus keberpihakan, karena Yesus yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Itu tak berarti seorang imam lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini, karena jelaslah menjadi seorang imam tidak hanya sibuk pada urusan altar (dimensi vertikal) tapi juga ikut terlibat di tengah pasar (dimensi horisontal).

Mengacu pada para Bapa Konsili, di sinilah perlu semacam concientization: penyadaran terus-menerus, bahwa para imam diharapkan menjadi mediator concientization, sebuah komunitas yang menunjang dialog antara altar dan pasar, antara Gereja dan dunianya (Gravissimum Educationis 8). Karl Rahner, dalam A Faith that Loves the Earth, 77-83, menegaskan bahwa Gereja mesti terlibat dalam kenyataan harian karena benarlah Gereja tidak hanya ada di awang-awang. Mengambil istilah Martin Buber, setiap imam harus berani mengambil keputusan untuk ’berbalik’, mengubah arah (turning-reversal). Para imam jangan malah asyik dengan ”armchair spirituality”, ongkang-ongkang kaki, puas dengan merenung-menung saja. Keberpihakan menjadi kata kunci, sehingga Gereja sungguh menjadi kota di atas gunung dan cahaya di atas kaki dian bagi dunianya (Mat 5:13).

Akhirnya, seperti pernyataan terakhir Mgr Suharyo kepada para imamnya di Erema, ”Bicaralah, hambamu mendengarkan”, semoga Gereja lewat para imamnya yang mau memaknai spiritualitas ”HAMBA”, juga semakin menampil-kenangkan wajah Gereja yang mendengarkan. Yang jelas, di situlah harapannya, In nomine Dei feliciter – dalam nama Tuhan semoga berbuah. Eureka!!!

Penulis adalah imam Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Paroki Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara