Please, Kondom Jangan Dianaktirikan!
Jakarta, FloresNews.com - Stigma kondom yang sering dianggap 'barang nista' oleh sebagian kaum agamawan membuat upaya pencegahan HIV/AIDS sulit dilakukan. Padahal, peran tokoh agama dalam pengenalan fungsi kondom sangat dibutuhkan. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) menilai, sebagian tokoh agama masih melihat kondom dengan sebelah mata. Kondom belum dipandang secara proporsional dalam fungsinya untuk mencegah penularan.
"Peran tokoh agama untuk mencegah HIV/AIDS sangat dibutuhkan. Hanya, kadang-kadang tokoh agama yang tidak bisa melihat kondom dari fungsinya. Kami di caci-maki karena bicara tentang kondom. Tetapi pil biru, obat meningkatkan keperkasaan pria, ada yang protes? Tidak ada. Padahal itu yang menyebabkan mereka (masyarakat) mencari seks di mana-mana, bahkan memperkosa anak perempuan," kata Nafsiah Mboi, Sekertaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) di sela diskusi Pembahasan Intervensi Pengurangan Dampak buruk HIV/AIDS di Indonesia, Senin(30/08).
Menurut Nafsiah, kondom kerap dianaktirikan, padahal bermanfaat mencegah penularan virus HIV/AIDS. "Kondom yang bodoh begini, yang sebagian besar orang tidak mau pakai. Kita diomel-omelin biar kita bicara tentang kondom padahal bermanfaat, "kata Nafsiah.
Karena itu, Nafsiah mengharapkan para tokoh agama bersama-sama mengkampanyekan pencegahan terhadap virus HIV/AIDS melalui empat pendekatan. Pertama, meningkatkan ketahanan iman dan keluarga. "Sehingga sedikit kemungkinan sejak usia 15 hingga 40 tahun yang akan terjerumus dalam kecanduan narkoba dan seks," kata Dr. Nafsiah.
Kedua, bila seseorang terjatuh dalam seks yang tidak benar, semoga dalam agama tidak distigma, tapi diberikan jalan keluar. "Kalau seseorang sudah terlanjur positif HIV/AIDS, ya, sudah. Kemudian, berikanlah dia kondom kalau dia ingin berhubungan seks dengan suami atau istri," kata Dr. Nafsiah.
Ketiga, bagimana agama dengan penuh kasih sayang memberikan informasi bahwa sebagai manusia biasa pernah sekali-kali jatuh dalam seks yang tidak baik. "Kita tetap manusia biasa yang pernah jatuh sekali-kali. Tapi apabila sudah pernah berisiko terkena HIV/AIDS supaya dites untuk mengetahui sudah positif atau belum. Jadi bila sudah positif bisa dikonseling sehingga tahu bila dirinya positif dan tidak akan melakukan hubungan seks tanpa kondom," kata Dr. Nafsiah.
Menurut Dr. Nafsiah, hal itu yang disebut self protection, sehingga orang yang tertular virus HIV/AIDS tidak lagi menularkan pada orang lain, baik lewat jarum suntik atau hubungan seks. Keempat, memohon dukungan para pemuka agama bagi janda-janda korban HIV/AIDS. "Banyak kejadian seperti itu (janda HIV/AIDS) dan itu menjadi masalah sosial. Karena menjadi janda atau anak yatim karena AIDS mereka juga distigma. Padahal banyak janda yang istri baik-baik, namun mendapatkan HIV/AIDs dari suami, " kata Nafsiah.
Menurut Nafsiah, kaum agawaman berperan vital untuk menghentikan stigma-stigma yang ada supaya program penangulangan HIV/AIDs dapat berjalan efektif. "Yang penting, kaum agamawan menjelaskan pada masyarakat, bahwa tidak perlu menstigma orang yang terinfeksi HIV/AIDS dan kondom,"kata Nafsiah.(kps)
"Peran tokoh agama untuk mencegah HIV/AIDS sangat dibutuhkan. Hanya, kadang-kadang tokoh agama yang tidak bisa melihat kondom dari fungsinya. Kami di caci-maki karena bicara tentang kondom. Tetapi pil biru, obat meningkatkan keperkasaan pria, ada yang protes? Tidak ada. Padahal itu yang menyebabkan mereka (masyarakat) mencari seks di mana-mana, bahkan memperkosa anak perempuan," kata Nafsiah Mboi, Sekertaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA) di sela diskusi Pembahasan Intervensi Pengurangan Dampak buruk HIV/AIDS di Indonesia, Senin(30/08).
Menurut Nafsiah, kondom kerap dianaktirikan, padahal bermanfaat mencegah penularan virus HIV/AIDS. "Kondom yang bodoh begini, yang sebagian besar orang tidak mau pakai. Kita diomel-omelin biar kita bicara tentang kondom padahal bermanfaat, "kata Nafsiah.
Karena itu, Nafsiah mengharapkan para tokoh agama bersama-sama mengkampanyekan pencegahan terhadap virus HIV/AIDS melalui empat pendekatan. Pertama, meningkatkan ketahanan iman dan keluarga. "Sehingga sedikit kemungkinan sejak usia 15 hingga 40 tahun yang akan terjerumus dalam kecanduan narkoba dan seks," kata Dr. Nafsiah.
Kedua, bila seseorang terjatuh dalam seks yang tidak benar, semoga dalam agama tidak distigma, tapi diberikan jalan keluar. "Kalau seseorang sudah terlanjur positif HIV/AIDS, ya, sudah. Kemudian, berikanlah dia kondom kalau dia ingin berhubungan seks dengan suami atau istri," kata Dr. Nafsiah.
Ketiga, bagimana agama dengan penuh kasih sayang memberikan informasi bahwa sebagai manusia biasa pernah sekali-kali jatuh dalam seks yang tidak baik. "Kita tetap manusia biasa yang pernah jatuh sekali-kali. Tapi apabila sudah pernah berisiko terkena HIV/AIDS supaya dites untuk mengetahui sudah positif atau belum. Jadi bila sudah positif bisa dikonseling sehingga tahu bila dirinya positif dan tidak akan melakukan hubungan seks tanpa kondom," kata Dr. Nafsiah.
Menurut Dr. Nafsiah, hal itu yang disebut self protection, sehingga orang yang tertular virus HIV/AIDS tidak lagi menularkan pada orang lain, baik lewat jarum suntik atau hubungan seks. Keempat, memohon dukungan para pemuka agama bagi janda-janda korban HIV/AIDS. "Banyak kejadian seperti itu (janda HIV/AIDS) dan itu menjadi masalah sosial. Karena menjadi janda atau anak yatim karena AIDS mereka juga distigma. Padahal banyak janda yang istri baik-baik, namun mendapatkan HIV/AIDs dari suami, " kata Nafsiah.
Menurut Nafsiah, kaum agawaman berperan vital untuk menghentikan stigma-stigma yang ada supaya program penangulangan HIV/AIDs dapat berjalan efektif. "Yang penting, kaum agamawan menjelaskan pada masyarakat, bahwa tidak perlu menstigma orang yang terinfeksi HIV/AIDS dan kondom,"kata Nafsiah.(kps)
0 komentar:
Post a Comment