Wednesday, May 29, 2013

MISKIN PERHATIAN



(Sumber inspirasi: Yoh.11:1-45)
                                                                        Kematian Lazarus, potret  ketakberdayaan manusia miskin. Lazarus menjadi simbol orang-orang tak berpunya, meninggal dalam kesendirian, dalam kesunyian.  Semasa hidupnya, kehidupan Lazarus jauh dari sentuhan kemewahan bahkan diperlakukan secara tidak adil oleh orang kaya. Ia makan dari rema-rema yang jatuh dari meja si kaya raya. Meja orang kaya dengan Lazarus yang ada di bawahnya, menunjukkan jarak pemisah yang jauh, sulit dipadu dalam satu kesepakatan.
                Kehidupannya penuh dengan derita dan perjuangan, dan pada saat  meninggal pun sepertinya jauh dari pantauan masyarakat sekitar. Yesus yang sebelumnya berada bersama mereka tetapi pada menjelang kematiannya, Yesus malah meninggalkan dia. Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa di sini memunculkan unsur kesengajaan Yesus. Yesus sengaja, membiarkan Lazarus meninggal, mengalami pembaringan dalam kasih Allah. Allah mengambil alih seluruh hidupnya yang penuh dengan derita. Kematiannya di dunia menjadi tanda pelepasan beban dan keterikatannya dengan simpul keangkuhan orang-orang kaya.
                Tetapi apakah kematiannya, untuk seterusnya ia pamit dari dunia ini dan tak pulang lagi? Mari kita membangunkan Lazarus yang sedang tidur. Inilah ajakan Yesus kepada para murid-Nya untuk melihat  Lazarus yang tertidur. Apa yang dikatakan Yesus dimengerti secara utuh atau harafiah? Untuk apa kita pergi membangunkannya?  Karena suatu saat ia akan bangun sendiri. Ini terjadi kesalahan persepsi antara Yesus dan murid-murid-Nya. Di sini, Yesus seakan mengajak para murid untuk tenggelam memahami arti dari rahasia tidur dalam pulasan abadi. Yesus sengaja memperlihatkan sekaligus menunjukkan ke-Allahan-Nya pada para murid tentang apa yang akan dilakukan-Nya.
                Yesus selalu memanfaatkan ketepatan “saat” untuk  memproklamirkan keallahan-Nya melalui mujizat. Tentunya Yesus tidak mengadakan “show” religius tetapi Ia menyatakan kepenuhan kerajaan Allah dalam diri orang-orang miskin. Pembangkitan Lazarus dari alam maut menjadi tanda pemerdekaan orang-orang yang tertindas dalam hidupnya setelah mengalami pengalaman Allah selama kematiannya sesaat. Di sini jelas memperlihatkan bahwa Allah sedang “memapah” umat-Nya yang telah derita dalam hidup dan tenggelam dalam dasar maut. Allah tidak membiarkan ia menjerit dalam kesendirian. Jeritan permintaan akan belas kasih juga datang dari Maria dan Marta, saudaranya.
                “Seandainya Tuhan masih ada di sini, saudaraku pasti tidak akan meninggal.” Inilah rentetan penggalan harapan yang keluar dari mulut saudara Lazarus. Harapan akan “kehadiran” Yesus menjadi tanda untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Kehadiran Yesus menjadi tanda legitimasi keberadaan atau eksistensi manusia. Tanpa kehadiran Yesus, orang merasa kehidupannya seolah-olah mengalami kesia-siaan. Kecemasan ini pada akhirnya terhapus oleh “peran” dan campur tangan Allah yang menyata dalam diri Yesus. Allah memperlihatkan mujizat lewat Yesus dengan membangkitkan Lazarus dari alam maut. Maut tunduk pada kuasa Yesus dan membiarkan kehidupan baru bersemi kembali dalam diri Lazarus.
                Lazarus hidup miskin  secara materi tetapi bukan menjadi halangan baginya untuk menerima kemurahan dan kemahakuasaan Allah. Kebangkitan Lazarus memperlihatkan betapa Allah masih memiliki rasa peduli terhadap mereka yang tersisihkan yang diwakili oleh Lazarus. “Kemiskinan terburuk zaman ini adalah  orang-orang merasa tidak dicintai lagi, jauh dari sentuhan kemanusiaan.” ***(Valery Kopong)          



Monday, May 20, 2013

GEREJA BERTUMBUH DAN BERAKAR DALAM MASYARAKAT



            Sore itu cukup mendung, seolah mengajak umat untuk bersahabat dalam meriahrayakan pesta peresmian Gereja Paroki Santo Gregorius. Kurang lebih tujuh ribu umat memadati gereja untuk menghadiri misa peresmian ini. Mereka datang dari lingkungan-lingkungan dengan mengenakan kaos berwarna hijau. Dengan mengenakan kaos berwarna hijau secara serentak, seakan menegaskan identitas sekaligus memperkokoh kesatuan umat yang berani memproklamirkan diri menjadi sebuah paroki mandiri.
            “Semoga kehidupan umat semakin tumbuh dan berakar dalam masyarakat, “demikian Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata pembukaan saat bertindak sebagai selebran utama misa peresmian gereja. Beliau mengajak umat membangun rasa syukur atas rahmat yang diberikan Allah. Lahirnya paroki merupakan bagian dari karya penyelamatan Allah. Karena selama perjalanan sejarah Gereja ini, umat tidak mengandalkan kekuatannya sendiri melainkan mengandalkan Allah sebagai pembimbing yang setia menyangga iman umat.
            Paroki Santo Gregorius merupakan paroki ke 63 dalam Keuskupan Agung Jakarta dan paroki ke 12 di wilayah dekenat Tangerang. Dalam kesempatan itu Bapak Uskup menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang yang dengan setia dan susah payah membimbing  Stasi Gregorius untuk menjadi sebuah paroki mandiri.
            Lebih jauh, ditandaskan oleh Mgr. Ignatius bahwa dalam menghidupkan gereja, masing-masing umat memberikan peran tersendiri. “Imam, umat dan anak-anak serta remaja memberikan peran masing-masing terhadap perkembangan hidup menggereja. Tidak hanya hidup menggereja tetapi juga diharapkan untuk semakin berakar dalam masyarakat. Keberadaan Gereja tidak menutup diri melainkan membaur dengan masyarakat. Memang berat apabila Gereja  mengakar dalam masyarakat karena akan menemukan pelbagai masalah.” Masalah yang dihadapi merupakan tantangan dan juga dilihat sebagai peluang. Karenanya masing-masing umat berani untuk berbuat sesuatu supaya lingkungan, tempat kita hidup menjadi manusiawi dan kristiani. “Siapapun, hanya dapat melaksanakan cita-cita untuk menghidupkan Gereja kalau rajin mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita buat supaya lingkungan hidup semakin menjadi manusiawi dan kristiani. Berakar dalam masyarakat berarti memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah atau persoalan yang sedang terjadi. Seperti Yesus yang menyatakan kematian-Nya dan hal ini merupakan muara dari pengorbanannya terhadap manusia.
            Pada kesempatan itu semua umat diajak untuk mengenal dan menghayati semangat pelindung Gereja yaitu Santo Gregorius Agung. Ada dua hal yang perlu dicontohi. Pertama, Santo Gregorius adalah seorang pembaharu dalam Gereja. Ketika Gereja mulai lemah, ia hadir mewarkan lagu-lagu gregorian. Kedua, Gregorius Agung adalah seorang Paus. Dalam masa kepemimpinannya ia menyatakan diri sebagai hamba dari segala hamba yang sampai saat ini masih diabadikan oleh para paus sesudahnya. Umat diharapkan dapat meniru keteladanan hidup Santo Gregorius.
            Pada kesempatan ini juga, Mgr. Ignatius Suharyo memberikan kesempatan kepada Romo Swasono sebagai Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang untuk mengisahkan perjuangan untuk mengajukan Stasi Gregorius untuk  menjadi sebuah paroki. Menurut Romo Swa, panggilan akrab Romo Swasono, bahwa ketika berbincang-bincang dengan para pendahulu yang pernah menjabat sebagai Pastor Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda-Tangerang, mereka menganjurkan agar Stasi Gregorius segera menjadi sebuah paroki. Stasi Gregorius sendiri memiliki wilayah yang sangat luas dan umat semakin bertambah seiring dengan perkembangan perumahan. Dengan melihat luas wilayah dan umat yang begitu banyak maka ini menjadi alasan bagi pihak paroki HSPMTB mengajukan Stasi Gregorius ini menjadi sebuah paroki.
            Tentang kehidupan umat di Stasi Gregorius, Romo Swa menjelaskan bahwa lebih dari 50 % adalah kaum buruh dan selebihnya terdapat  profesi yang lain. Lebih jauh ia menegaskan bahwa kehadiran gereja ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat sekitar. “Orang-orang Kampung Jambu sungguh memberikan dukungan. Kami ingin balas budi,” demikian ungkapan tulus dari Romo Swasono. “Kalau sudah menjadi paroki, lalu apa yang kita lakukan?” Kalau sudah menjadi paroki maka dituntut tata kelola yang baik, baik dari segi administrasi maupun keuangan. Pada misa peresmian Paroki Santo Gregorius, juga diadakan pelantikan para dewan stasi untuk menjadi dewan paroki, dengan susunan:
Ketua dewan : Romo Adrianus Andy Gunardi, Pr
                         Romo Natalis Kurnianto, Pr
Wakil             : Paulus Budi Soleman
Sekretaris I    : Yulius Iriana
Sekretaris II  : Petrus Sugiantara
Bendahara    : Ibu Lena
Anggota   : Bernadus Apul Tumanggor, Innocentius Tharob, Misten Sihaloho, Yanuarius Suharjo, Agustinus Purwiyanto   
            Para pengurus dewan stasi yang lama,  masa bakti 2011-2014, akhirnya diperpanjang lagi untuk masa bakti 2012-2015 dengan mengenakan status baru yakni menjadi dewan Paroki Santo Gregorius. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati seluruh karya kita.***(Valery Kopong)  

Friday, May 17, 2013

MENGHIDUPKAN SPIRITUALITAS PELINDUNG



Tanggal  18 dan 25 November 2012 yang lalu, penulis dan beberapa anggota dewan Paroki Santo Gregorius-Tangerang mengikuti rapat karya  yang diselenggarakan oleh Paroki Ibu Teresa Cikarang. Rapat karya yang diselenggarakan ini merupakan momentum untuk berefleksi terdapat program yang telah terlaksana dan menyusun program baru yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya.  Keikutsertaan kami dari Tangerang tidak lain adalah mau mengadakan sebuah studi banding dan mau belajar tentang kehidupan di Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang. Memang kedengaran aneh, di Gereja kok ada studi banding? Studi banding tidak hanya dilakukan oleh elit birokrat saja tetapi juga dalam lingkup Gereja, kegiatan pembelajaran seperti ini merupakan hal yang penting karena dalam studi banding itu, kita bisa belajar, bagaimana membuat program, penataan pola pastoral yang benar-benar menyentuh umat. Paroki kami (Santo Gregorius-Tangerang) masih baru, diresmikan tanggal 23 september 2012. Karena itu sangat wajar kalau anggota dewan paroki mencoba untuk belajar dari paroki lain sebagai cara sederhana dalam proses pembenahan diri dan pada akhirnya menumbuhkan iman umat akan Yesus sendiri.
                Ada beberapa keunikan dari Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, salah satunya adalah menghidupkan peran umat dalam kehidupan menggereja. Para pengurus Gereja (dewan paroki)  hanya berperan sebagai fasilitator sedangkan yang bergerak penuh adalah umat sendiri. Sistem yang berlaku adalah piramida terbalik, artinya bahwa peran serta umat berada pada posisi yang teratas, sedangkan dewan paroki berada di tengah-tengah umat. Memang, mengupayakan tumbuh-kembangnya  kehidupan umat dengan pola seperti ini sangat sulit. Mengapa sulit? Karena kondisi seperti ini memerlukan  penataan dan persiapan secara matang.
                Kalau saya mengamati, kehadiran sang gembala (pastor) sangat penting karena memberikan spirit dan nuasa baru dalam hidup menggereja. Gereja menyadari bahwa  Gereja bisa hidup karena kekuatan keluarga yang membentuk lingkungan dan pada akhirnya menyokong kehidupan sebuah paroki. Maka langkah utama yang ditempuh adalah membangun kekuatan umat basis yang dimulai dari keluarga.

Menghidupkan Spiritualitas Pelindung
                Ciri khas dalam kehidupan menggeraja secara umum, yakni memiliki pelindung, entahkah nama pelindung untuk pribadi maupun institusi religius. Tetapi menjadi pertanyaan, seberapa jauh, orang menghidupkan spiritualitas atau semangat hidup dari sang pelindung? Jangankan menghidupkan spiritualitas, mengetahui riwayat hidup sang pelindung, mungkin juga belum. Tetapi gejala ini sudah ada dalam kehidupan kita. Kita dengan seenaknya mencari dan menggunakan santo-santa pelindung namun kurang mendalami kehidupan mereka.
                Untuk apa mendalami spiritualitas hidup mereka? Seberapa pengaruhnya terhadap individu ataupun instansi religius yang menggunakan nama pelindung tersebut?  Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang, sungguh-sungguh menghidupi semangat hidup  pelindung paroki. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan visi dan misi paroki. Visi Gereja Paroki Ibu Teresa Cikarang merupakan suatu paguyuban umat beriman yang mau berbagi dan merakyat. Sedangkan misinya adalah Gereja Paroki Ibu Teresa berkehendak untuk membangun paguyuban umat beriman (komunitas basis beriman penuh harapan) dalam ikatan persaudaraan sejati murid-murid Kristus, yang dijiwai oleh Roh Kudus, berani berkata “cukup” kepada godaan duniawi, mempunyai spiritualitas berbagi dan jiwa merakyat (inkarnatoris) sehingga kehadirannya merupakan rahmat bagi masyarakat sekitar.   
                Visi dan misi yang digulirkan itu memiliki landasan spiritual yang sangat kuat dengan mencontohkan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa dari Calcuta semasa hidupnya dan kesalehan sosial yang telah ditunjukkan kepada dunia. Tetapi lebih dari itu, Gereja dalam pola pastoralnya berusaha mengikuti teladan Yesus Kristus sebagai Gembala yang baik (bdk. Yoh.10). Gembala yang selalu murah hati, penuh kasih dan mencari domba yang hilang serta menyelamatkan semua orang. 
                Kehendak Sang Gembala ini perlu diwujudkan dalam suatu paguyuban umat beriman yang berpadan dengan komunitas umat perdana (Kis 2: 41-47). Paguyuban umat beriman di Cikarang yang sehati sejiwa berkumpul dalam kesatuan iman karena telah ditebus oleh Yesus. Pengalaman iman tersebut memampukan umat (Gereja) untuk berempati satu sama lain dalam persaudaraan sejati dengan siapa saja  (penderitaanmu adalah penderitaanku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, bdk. GS 1).
                Dalam evaluasi program yang telah terselenggara, ada dua hal yang menjadi program unggulan Paroki Ibu Teresa Cikarang, yakni memberikan pelayanan kesehatan dan santunan pendidikan kepada masyarakat. Apa yang dilakukan ini mencontohkan apa yang sudah dilakukan oleh Ibu Teresa semasa hidupnya. Kepedulian terhadap mereka yang tersisih karena sakit dan tidak diperhatikan menjadi prioritas perhatian Ibu Teresa. “Teresa adalah salah satu titik perenungan tentang  kemanusiaan yang terabaikan. “ Mengenang Teresa dan perjuangan mengumpulkan orang-orang terbuang di Calcuta, adalah mengenang kemanusiaan yang terabaikan hingga titik nadir. Tindakan kemanusiaan yang dilakukan, tidak membuat orang memuji kebaikannya, tetapi lebih banyak orang mencela bahkan mencibir kebaikan yang ia curahkan kepada orang-orang miskin di sudut-sudut kota.
                Cikarang bukanlah Calcuta namun tentu memiliki kesamaan yakni masih dijumpai orang-orang miskin dan sederhana di wilayah itu. Apa yang dilakukan oleh pihak paroki memang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ibu Teresa di Calcuta. Ibu Teresa melakukan semua itu dalam purna waktu, seluruh perhatian dan cinta kasih dicurahkan kepada orang-orang miskin. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Gereja Paroki Ibu Teresa, walaupun di selah-selah kesibukan namun perhatian terhadap orang-orang kecil tidak dengan setengah hati tetapi dengan sepenuh hati. Apa yang dilakukan itu merupakan cara sederhana untuk memperkenalkan Kristus kepada mereka yang menderita. Suatu waktu, mereka (orang-orang miskin) lebih tahu dan mengenal, siapa itu Yesus Kristus dan tujuan utama kedatangan-Nya ke dunia.***(Valery Kopong)

Sunday, April 28, 2013

TAWA SANG GURU


Oleh: Valery Kopong*
Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***

PASKAH: PAS KAH?


Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.

ROMO PEMBAHARU

Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
            

Thursday, April 25, 2013

UN Terakhir?


Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7 juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
 
Tidak hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh,  karena ‘kesalahan tekhnis’.
 
Rangkaian tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis (pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
 
Mustahil bertanya demikian. Sudah ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi, dengan  kurikulum 2013 yang (katanya) lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
 
Kurikulum Teknis
 
Dalam bukunya El Currículo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
 
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
 
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
 
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
 
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu benar.
 
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui,  kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar 2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan (menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
 
Setengah Hati
 
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
 
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
 
Kalau demikian maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka, bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang rindu menantikan panen tiba.
 
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah pusat dan daerah memegang kendalinya.

Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih ‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan anggaran yang tidak sedikit.  Lalu, mengapa pembaharuan kurikulum?

Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu saja menerima kejanggalan yang ada?

Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.

Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting, kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.

Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.

__._,_.___





__,_._,___