Sunday, April 28, 2013

ROMO PEMBAHARU

Sabtu, 12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri, demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4 tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal (penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
            
Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan terutama menyangkut sifat Romo Sri yang dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat “galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya, “figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak” tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama. Dan sifat galak dan marah itu dapat menumbuhkan semangat baru.
Bapak Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga terhadap Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan melayani stasi Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya memimpin misa selalu menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa terbantu,” demikian Dolfi. Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto, yang mewakili ketua-ketua wilayah. Menurutnya, “kehadiran Romo Sri sangat membantu umat terutama dalam membaca dan mendalami Kitab Suci. Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan membaca Kitab Suci pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja tetapi lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir fokus dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dan tempat paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya.
Dengan mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk mengenal, siapa itu Yesus, Sang Sabda yang hidup. Hal senada juga diperkuat oleh Pak Totok yang diminta untuk mewakili ketua-ketua seksi dalam memberikan kesan kepada Romo Sri. “Allah terkadang dialami oleh umat sangat jauh, tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping itu, menurut Bapak Dalyo, yang dipercayakan untuk memberikan kesan mewakili anggota dewan stasi, mengatakan bahwa dengan kegalakan Romo Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru. Kegigihan Romo Sri untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya menjadi sebuah tempat ibadah yang layak.
Pada kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir, sekaligus memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan Romo Sri, “pada awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi Gregorius) tidak layak untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu itu, di bawah kepemimpinan Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk didirikan rumah ibadah. “Tempat ini tidak boleh pindah karena kalau pindah maka pasti akan ada kesulitan yang dijumpai,” demikian Romo. Saya selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi tempat ini menjadi tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa secepatnya terjadi peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri. Fokus utama ke depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu yang tidak gampang.
Lebih lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari paroki induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke keuskupan harus melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir sambutannya, ia mengatakan bahwa tidak seluruh umat yang didampingi secara dekat. Tetapi tulisan di warta stasi setiap minggu menjadi sebuah proses pendampingan secara sederhana.
Di akhir pertemuan itu, Bapak Lastiyo juga menyatakan kepengurusan mereka akan berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang belum terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar kepengurusan dewan yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan terutama menghantar stasi ini menuju paroki mandiri.*** (Valery Kopong)

No comments: