Sabtu,
12 Maret 2011, bertempat di aula Stasi Gregorius diadakan perpisahan
dengan Romo Sriyanto, SJ yang dikemas secara sederhana. Romo Sri,
demikian panggilan Romo Maximianus Sriyanto, SJ yang sudah kurang lebih 4
tahun bekerja sebagai pastor kepala Paroki Hati Maria Tak
Bernoda-Tangerang, kini berakhir sudah. Memang mutasi di kalangan para
pastor adalah sesuatu yang biasa terjadi. Tetapi mutasi yang terjadi
terutama terhadap Romo Sri yang akan menjalani tahun sabatikal
(penyegaran rohani) merupakan suatu hal yang dianggap oleh umat Stasi
Gregorius sebagai suatu kehilangan. Betapa tidak! Keberadaan Romo Sri
yang masih diharapkan oleh umat untuk mengantar stasi ini menjadi sebuah
paroki mandiri, ternyata cita-cita itu, sepertinya pupus sudah. Tetapi kepindahan Romo Sri tidak menyurutkan semangat para penggantinya untuk memberdayakan umatnya agar lebih mandiri.
Biasanya di dalam sebuah perpisahan, selalu ada pesan dan kesan yang diutarakan. Yang jelas, tidak semua umat memberikan kesan dan pesan terhadap Romo Sri tetapi diminta dari beberapa orang pengurus lingkungan, wilayah dan ketua-ketua seksi memberikan pesan dan kesan. Dari beberapa orang yang memberikan kesan terhadap Romo Sri, ada titik kesamaan terutama menyangkut sifat Romo Sri yang dikenal “galak.” Sifat “galak” seperti yang dituturkan oleh beberapa orang itu dimaknai secara berbeda. Karena memang, sifat “galak” yang diperlihatkan Romo Sri selama berkarya di Paroki Hati Maria Tak Bernoda, dilihat oleh Pak Totok sebagai sesuatu hal yang baik. Menurutnya, “figur kenabian” bisa ditemukan dalam diri Romo Sri. Ia terkadang “galak” tetapi juga sanggup mengajak umat untuk bekerja sama. Dan sifat galak dan marah itu dapat menumbuhkan semangat baru.
Bapak
Dolfi Mamahit, yang mewakili ketua-ketua lingkungan memberi kesan juga
terhadap Romo Sri selama beberapa tahun berada di Paroki Sta. Maria dan
melayani stasi Gregorius. Romo Sri adalah “Romo pembaharu. Biasanya
memimpin misa selalu menarik dan hal ini membuat umat Gregorius merasa
terbantu,” demikian Dolfi. Hal ini diperkuat juga oleh Bapak Pranoto,
yang mewakili ketua-ketua wilayah. Menurutnya, “kehadiran Romo Sri
sangat membantu umat terutama dalam membaca dan mendalami Kitab Suci.
Romo selalu mewajibkan umat untuk selalu membawa dan membaca Kitab Suci
pada setiap hari Minggu. Tidak hanya membawa Kitab Suci saja tetapi
lebih dari itu diharapkan agar umat bisa membaca dan mendalami sabda
Tuhan. Dengan mengakrabi Kitab Suci maka umat diarahkan untuk berpikir
fokus dan terarah pada suatu tujuan. Kitab Suci menjadi sumber inspirasi
dan tempat paling pas bagi umat untuk menimbah kekuatan darinya.
Dengan mewajibkan untuk membaca Kitab Suci, berarti ia mengarahkan umat untuk mengenal,
siapa itu Yesus, Sang Sabda yang hidup. Hal senada juga diperkuat oleh
Pak Totok yang diminta untuk mewakili ketua-ketua seksi dalam memberikan
kesan kepada Romo Sri. “Allah terkadang dialami
oleh umat sangat jauh, tetapi juga terkadang dirasa dekat.” Di samping
itu, menurut Bapak Dalyo, yang dipercayakan untuk memberikan kesan
mewakili anggota dewan stasi, mengatakan bahwa dengan kegalakan Romo
Sri, kita dipacu untuk mendapatkan pengalaman baru. Kegigihan Romo Sri
untuk mempertahankan tempat ibadah dan upaya menatanya menjadi sebuah
tempat ibadah yang layak.
Pada
kesempatan itu Romo Sri diminta untuk memberikan sambutan terakhir,
sekaligus memberikan kesannya terhadap perjalanan Stasi Gregorius. Kesan
Romo Sri, “pada awalnya tempat ini ndeso.” Tempat ini (Gereja Stasi
Gregorius) tidak layak untuk dijadikan sebagai rumah Tuhan. Pada waktu
itu, di bawah kepemimpinan Bapak Soter, mereka mencari tempat baru untuk
didirikan rumah ibadah. “Tempat ini tidak boleh pindah karena kalau
pindah maka pasti akan ada kesulitan yang dijumpai,” demikian Romo. Saya
selalu mencari saat yang tepat untuk merenovasi tempat ini menjadi
tempat yang layak. Romo Sri juga berharap agar bisa secepatnya terjadi
peralihan status stasi ini menjadi sebuah paroki mandiri. Fokus utama ke
depan adalah pendampingan iman umat dalam tugas pastoral. Proses
pendampingan iman umat bukanlah hal yang sederhana, melainkan sesuatu
yang tidak gampang.
Lebih
lanjut, menurut Romo Sri, keberadaan stasi ini tidak terlepas dari
paroki induk. Artinya, seluruh laporan yang dibuat dan dikirim ke
keuskupan harus melalui Paroki Hati Maria Tak Bernoda. Di akhir
sambutannya, ia mengatakan bahwa tidak seluruh umat yang didampingi
secara dekat. Tetapi tulisan di warta stasi setiap minggu menjadi sebuah
proses pendampingan secara sederhana.
Di
akhir pertemuan itu, Bapak Lastiyo juga menyatakan kepengurusan mereka
akan berakhir. Ada idealisme yang dibangun tetapi banyak hal juga yang
belum terlaksana secara baik. Karena itu dia mengharapkan agar
kepengurusan dewan yang baru nanti akan bekerja secara maksimal dan
terutama menghantar stasi ini menuju paroki mandiri.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment