Oleh: Valery Kopong*
Setiap
orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah
lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus
melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus
tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa? Adakah teks Kitab
Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan
sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu.
Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan
nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
Memang,
Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru,
kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang
tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok
yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu, mengisahkan kemanusiaan
seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus
terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya.
Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan
ajaran-ajaran-Nya.
Pelukis
yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan
Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya,
sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas
sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya Yesus
dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa
karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang
tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek
manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks
teologi-biblis.
Tertawa
ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu
orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang
lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan
dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan
sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu,
tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa
mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang
tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria
ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi
apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak
membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
Tawa
tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam
tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk
pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat
dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang
diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi
agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan
kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah
kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa
sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan
tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak
orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak
sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan
mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan. Kalau
tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus
menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik
seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan
untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang
telah dikonstruksinya.
Sang
pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat
secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa
menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang
disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk
memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang
dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri
hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang
keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil, sepertinya
membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam
teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah
dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang
diperankannya.
Memang
di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang
kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang
ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari
jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya
menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik.
Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke
atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai
pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara
dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk
solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi
para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
Sikap
penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat,
dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai
manusia. Memang, tidak semua teater
mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk
menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya
dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan
ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru memberi
kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa
bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru
seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda.
Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada
kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi
harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***
0 komentar:
Post a Comment