Thursday, April 25, 2013

UN Terakhir?


Saat menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7 juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
 
Tidak hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh,  karena ‘kesalahan tekhnis’.
 
Rangkaian tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis (pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
 
Mustahil bertanya demikian. Sudah ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi, dengan  kurikulum 2013 yang (katanya) lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
 
Kurikulum Teknis
 
Dalam bukunya El Currículo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989), Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
 
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
 
Sebagai jalan keluar, disusun rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa melihatnya sebagai satu kesatuan.
 
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya. Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
 
Hal ini mestinya menyadarkan dunia pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis. Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara pandang tertentu yang belum tentu benar.
 
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui,  kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat (melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar 2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan (menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
 
Setengah Hati
 
Lalu, bagaimana kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
 
Mengapa? metode penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
 
Kalau demikian maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka, bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang rindu menantikan panen tiba.
 
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah pusat dan daerah memegang kendalinya.

Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih ‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan anggaran yang tidak sedikit.  Lalu, mengapa pembaharuan kurikulum?

Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu saja menerima kejanggalan yang ada?

Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.

Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting, kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.

Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.

__._,_.___





__,_._,___


0 komentar: