Saat
menulis artikel ini, wajah cemas sekitar 2,7 juta siswa kelas 12 (SMA/SMK), 3,7
juta siswa kelas 9 yang mengikuti UN mulai 15/3 hadir secara spontan. Meski
sudah dijejali aneka pemantapan dan try out, tetapi UN masih menakutkan.
Tidak
hanya itu. Terbayang juga wajah suram siswa di 11 propinsi, termasuk NTT
terpaksa harus menunda pelaksanaan UN. Alasannya, demikian M Nuh, karena ‘kesalahan tekhnis’.
Rangkaian
tragedi seperti ini yang mestinya tidak terjadi apalagi mengingat dasar pedagogis
(pendidikan) yang sangat minim, memunculkan pertanyaan: akankah tragedi tahunan
ini terus berlanjut? Atau ada harapan, UN bakal dihapus?
Mustahil bertanya demikian. Sudah
ada payung hukum yakni keputusan MA yang membatalkan pelaksanaan UN. Lebih lagi,
dengan kurikulum 2013 yang (katanya)
lebih menjanjikan, mestinya ada model UN lebih menarik dari yang sekarang.
Kurikulum Teknis
Dalam bukunya El CurrÃculo: un campo de conocimiento, un ámbito de Debate (1989),
Diaz Barriga mengeritik kurikulum. Berkaca pada pengelaman di Kolumbia, ia
menyimpulkan, kurikulum yang tidak didisain secara baik bukan tak mungkin
menjadi sarana mempermiskin pengetahuan dalam pendidikan.
Mengapa demikian? Ia dirancang secara teknis, terlepas dari konteks
historis yang melingkupinya. Ia disusun sebagai
idealisme indah tanpa memperhitungkan realitas sosial. Akibatnya saat
diimplementasikan, ia ompong tak bergigi.
Sebagai jalan keluar, disusun
rencana kurikulum yang lebih baik. Tapi dalam proses ini pun masih ada
pemikiran fragmentaris dan dispesif. Analisis terhadap pembaharuan masih
bersifat jangka pendek dan didasarkan pada sudut pandang tertentu tanpa
melihatnya sebagai satu kesatuan.
Pengakuan M Nuh (Kompas 8/3) tentang implementasi KTSP
yang terkesan dipaksakan, padahal KBK belum terselesaikan, adalah contohnya.
Kekuasaan yang ada pada menteri (saat itu) memungkinkan ia mengaplikasikan hal
yang dianggapnya paling baik tapi kini harus diubah lagi.
Hal ini mestinya menyadarkan dunia
pendidikan, demikian Barriga, bahwa kurikulum adalah sebuah politik akademis.
Ia harus dirancang sebagai strategi terencana dan terukur dengan sebuah
orientasi jangka panjang dan tidak sekedar diganti karena didasarkan pada cara
pandang tertentu yang belum tentu benar.
Dalam konsep berpikir ini, patut kita akui, kurikulum 2013, bisa saja telah memenuhi
kriteria untuk ditempatkan sebagai sebuah politik akademis. Dukungan dasar
filosofis (yang elektis?) dan yuridis maupun jaminan otput berkualitas oleh keunggulan
akhlak dan penguasaan keterampilan akan membungkam semua kritik.
Tapi, apakah hal itu sebuah
jaminan? Ide secermerlang apa pun perlu daya dukung berupa pemahaman yang tepat
(melaui sosialisasi) dan buku yang menunjang. Hanya dengan demikian anggaran sekitar
2,4 triliun benar-benar tepat sasar dan tidak terkesan mubasir karena tidak
efisien dan efektif.
Lebih lagi penerapan sebuah ide di
negeri kepualauan seperti Indonesia, tentuk butuh persiapan ekstra. Ia tidak
bisa ‘sekedar’ diterapkan, apalagi ada pertimbangan lain yang bisa saja
bersifat sampingan. Tak akan lari gunung dikejar, meski diakui, jabatan
(menteri) itu sementara dan sebentar lagi selesai.
Setengah Hati
Lalu, bagaimana
kita menempatkan UN pada konteks kurikulum 2013? Meskipun tahun kurikulum ini identik
dengan angka sial, tetapi ia lebih memberikan kegembiraan khusus bagi siswa
kelas 11 dan kelas 8 kini. Bakal tidak ada UN lagi.
Mengapa? metode
penilaian yang diterapkan nanti akan lebih otentik. Yang dievaluasi bukan saja
aspek kognitif, seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi diseimbangkan
dengan penilaian kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik
(keterampilan). Malah ada juga penilaian portofolio.
Kalau demikian
maka model UN seperti yang diterapkan hingga kini akan terakhir. Kesedihan
seputar UN, ritual zikir dan istighosah yang selalu diwarnai duka,
bakal tidak terjadi lagi. Ujian akan lebih gembira disambut, ibarat petani yang
rindu menantikan panen tiba.
Sayangnya penafsiran ini bisa saja kandas ketika dikaitkan dengan otoritas
pengelola kurikulum. Jelasnya, jika dalam KTSP saja, otoritas (katanya) ada di
sekolah, tetapi ujung-ujungnya ada UN, apalagi dalam kurikulum 2013. Pemerintah
pusat dan daerah memegang kendalinya.
Di sini, (rasa-rasanya) UN akan dipertahankan. Dan lebih menyayat hati
kalau modelnya seperti sekarang ini akan terus digunakan mengingat lebih
‘praktis’ dan yang tidak bisa dilupakan, ia telah menjadi proyek dengan
anggaran yang tidak sedikit. Lalu,
mengapa pembaharuan kurikulum?
Masih ada kejanggalan lain. Di tengah persiapan ‘apa adanya’, bila
akhirnya hanya diterapkan di sekitar 10% di SD dan 20% di SMP (syukur bahwa
di SMA/SMK 100%) maka apa yang akan terjadi di tahun 2015, terutama ketika
siswa 7 menghadapi UN? Apakah ada dua model ujian bagi yang sudah dan belum menerapkan
Kurikulum 2013? Atau, apakah ketika tiba tahun 2014, menteri baru akan begitu
saja menerima kejanggalan yang ada?
Inilah pertanyaan yang mesti disadari betul oleh para pengambil keputusan
mengingat tidak terjawabnya pertanyaan ini bisa saja memberi kesan kita masih
setengah hati saat menerapkan kurikulum baru. Atau kita lebih sibuk dengan
hal-hal tekhnis pinggiran ketimbang memprioritaskan masa depan bangsa yang nota
bene perencanaannya tidak bisa setengah hati, apalagi main-main.
Dalam kerangka berpikir ini, desakan penundaan tentu tidak bisa sekedar
disinyalir bermuatan politis yang diartikan taktis tak sehat menjegal inisiatif
kemendikbud. Hal itu bisa saja ada tetapi bersifat pinggiran. Yang paling penting,
kesadaran akan keberadaan kurikulum sebagai politik akademis menjadi kata kunci
untuk mengadakan pembaharuan, entah sekarang, atau nanti.
Robert Bala, Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Pengajar Spanyol pada Lembaga Budaya Trisakti.
__._,_.___
__,_._,___
0 komentar:
Post a Comment