Thursday, August 6, 2020

Tawa Sang Guru

Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa?  Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.

                Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu,  mengisahkan  kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.

                Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya  Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.

                Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.

                Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan.  Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.

                Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil,  sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.

                Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.

                Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia.   Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.

Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru  memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***(Valery Kopong)


 

 

Kemuliaan Yesus Kristus

Saat sendiri dalam keheningan atau saat refleksi pribadi, pernahkan Anda membayangkan suasana kemuliaan Yesus dalam Kerajaan Surga? Apakah Anda punya harapan untuk merasakan seperti yang dialami oleh ketiga murid Yesus?

Bacaan Injil hari ini mungkin dapat menjadi gambaran suasana kemuliaan Yesus dalam Kerajaan-Nya di mana orang yang berada dalam lingkaran Kerajaan Surga akan merasakan sukacita dan berubah raut wajahnya menjadi cerah ceria. Rasul Petrus mengungkapkannya, "Tuhan betapa bahagianya kami berada di tempat ini." Pasti suasana ini menjadi tujuan,dambaan dan harapan sebagian besar umat manusia dalam peziarahan kehidupanya di tengah-tengah dunia ini.Ketiga murid Yesus telah melihat dan mengalami suasana Kerajaan Surga itu,sehingga mereka berharap tinggal lama bersama dengan Yesus dalam kemuliaan-Nya. Tetapi,untuk sungguh merasakan suasana Kerajaan Surga seperti itu,kita hendaknya setia dalam iman dan berani menapaki jalan yang susah dan memanggul salib. "No pain no glory. Tidak ada kemuliaan tanpa perjuangan dengan penuh tantangan."

Pada hari pesta Yesus menampakkan Kemuliaan-Nya, marilah kita sadari bahwa hidup dalam kemuliaan bersama dengan Yesus dalam Kerajaan-Nya  hendaknya menjadi proyek kehidupan kita, menjadi tujuan dan kerinduan kehidupan kita,sehingga kehidupan kita di tengah-tengah dunia ini tidak akan sia-sia. Maka, kita hendaknya tetap setia terhadap Yesus sebagai Sumber Kemuliaan.
(inspirasi:Matius 17:1-9, 06 Agustus, Suhardi)

Wednesday, August 5, 2020

Iman: Sumber Kekuatan Hidup

Bacaan Injil pada hari ini mengisahkan tentang iman seorang wanita Kanaan yang luar biasa.Berkat imannya itu dapat meluluhkan belas kasih Yesus kepadanya dan memberi rahmat kesembuhan kepada anaknya yang kerasukan setan.Kita lihat bahwa pada awal mulanya Yesus terasa cuek terhadap keluhan wanita itu.Tapi wanita itu terus menerus berseru dan berharap pada Yesus,maka hati Yesus pun tergerak belas kasihNya. "Kasihanilah aku ya Tuhan,Anak Daud.Anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita", kata wanita itu. Tetapi Yesus terasa diam dan tidak menjawab keluhan wanita itu.Bahkan para murid meminta Yesus agar ia disuruh pergi.Wanita Kanaan itu tetap berjuang dan berharap pada Yesus. "Tuhan,tolonglah aku ", kata wanita itu. Akhirnya, berkat imannya itu Yesus bersabda, "Hai ibu,sungguh besar imanmu.Terjadilah padamu seperti yang engkau kehendaki." Dan saat itu pula anak perempuannya sembuh.

Pandemi virus corona ini menyebabkan resesi ekonomi global yang berdampak dalam kehidupan ekonomi keluarga serta berdampak dalam kehidupan berumah tangga.Dalam situasi begini, godaan-godaan roh jahat/setan dapat mudah menggoyahkan iman kita,apalagi tata peribadatan yang dapat menjadi sumber penyegaran dan kekuatan iman kita ditutup sementara. Maka,kita hendaknya tetap datang dan berharap selalu pada Yesus sebagai satu-satunya sumber kekuatan iman,sehingga kita mampu menghadapi kenyataan hidup saat ini.
(Inspirasi:Matius 15:21-28, 05 Agustus, Suhardi)

Tuesday, August 4, 2020

Memilih Kata-Kata Yang Baik

"Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang".Itulah sabda Yesus ketika Dia berbicara di hadapan kaum Farisi dan ahli Taurat. Apa yang bisa kita refleksikan dari sabda Yesus itu? Kata-kata lisan dan tulisan yang keluar dari mulut kita hendaknya kita jaga dengan baik  dan bijaksana. Ada yang berpendapat lidah itu setajam silet. Dengan kata-kata lisan maupun tulisan dapat melukai hati sesama. Betapa banyak orang sakit hati, saling bermusuhan,saling membenci,bahkan saling membunuh akibat dari kata-kata yang keluar dari mulut kita.

Di zaman modern sekarang ini betapa banyak orang mengungkapkan kata-katanya dalam sebuah tulisan di Whatsapp, Facebook, Instragram dan lain-lain. Jika kata-kata amarah,ujaran kebencian,penghinaaan,kejengkelan,frustasi tidak diolah dengan baik dan bijaksana, betapa banyak orang dapat terluka dari rangkaian kata-kata itu.Rangkaian kata-kata yang keluar dari mulut kita baik lisan maupun tulisan dapat membuat sumber dosa bagi kita, jika kita tidak menjaga mulut kita dengan baik dan bijaksana.

Hari ini kita diingatkan oleh Yesus agar kita menjaga mulut kita dengan baik dan bijaksana.Kita hendaknya memakai mulut kita untuk menyanyikan  pujian dan keagungan Tuhan, kita pakai untuk mewartakan cinta kasih dan keselamatan Allah,
kita pakai untuk mengucapkan kata-kata yang baik dan bijaksana
(Inspirasi:Matius15:1-2.10-14, 04 Agustus,Suhardi)

Buta

Udara di pesisir Yogyakarta masih terasa sejuk. Pohon-pohon bamboo  yang tumbuh di sekitar rumah yang terkesan asri itu, terus bergesek, seakan menyambut kehadiran kami. Gesekan bambu itu perlahan-lahan mengeras seirama dengan hembusan bayu yang kian kejam. Tapi di dalam rumah itu tampak sepi, hanya orang tua menjadi penghuni terakhir rumah ini. Maklum, anak-anaknya merantau ke ibu kota, menjaring nasib bersama derunya mesin-mesin kota yang terus menderu. Saminem, nama ibu itu, yang walaupun kondisi matanya buta tetapi terus bercerita tentang kehidupan yang dialaminya. Kebutaannya bukanlah bawaan sejak lahir. Ia baru buta sejak beberapa bulan lalu. Kondisi mata yang buta ini memperlihatkan sebuah situasi lain, ia pasrah dengan keadaannya. Rekaman peristiwa hidup dan lingkungan sekitar yang telah dikenalnya sejak matanya masih normal, kini tinggallah sebagai kenangan belaka.

            Buta baginya adalah sebuah kondisi yang menyiksa. “Saya tersiksa sekali dengan mataku yang buta ini. Saya tidak bisa melihat cucu-cucuku, terutama Edmund yang baru lahir,” tuturnya.   Cucu-cucuku yang lain, yang sudah saya kenal sejak mataku masih baik, wajah mereka masih kebayang. Inilah kondisi manusiawi yang mau tidak mau diterima sebagai bagian dari proses hidup yang kian menua. Buta menjadikan hidup saya menyempit. Suatu ketika, di pagi hari minggu, saat prodiakon melayani komuni di rumahnya, ia bercerita banyak tentang hidup yang dialami sekarang. “Andaikata Yesus datang secara fisik saat ini, pasti……pasti…… “ Itulah sepenggal keluhan yang dilontarkan oleh ibu Saminem. Keluhan ini merupakan keluhan  ketakberdayaan, dan membersitkan sebuah harapan akan situasi yang bakal merubah dirinya, yakni bisa melihat kembali.

            Harapan ini sepertinya hampa, kosong. Tetapi di tengah situasi hidupnya yang tak menentu, ia selalu berdoa dan memohon, kiranya Tuhan akan menolongnya, membuka selaput mata yang menjadi penghalang baginya untuk tidak lagi melihat dunia luar. Di atas tempat tidur yang sempit itu ia selalu berdoa. Suatu ketika ia bercerita tentang orang buta yang pernah disembuhkan oleh Yesus. Bartimeus, si buta itu, terus memanggil Yesus sebagai sang guru, kasihanilah dia. Kisah biblis ini menjadi simbol kekuatan dan harapan bagi mereka yang tak pernah melihat karena buta. Walau dalam kondisi buta, Bartimeus sanggup melihat Yesus dengan “mata batinnya” sendiri. Dari mana ia tahu banyak tentang Yesus yang akan lewat di dekatnya adalah Mesias, penyelamat yang bisa menolong mereka dalam kondisi tak berdaya?

            Daya ilahi telah menggerakkan Bartimeus untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang tak bisa berbuat banyak, terkecuali berharap akan belas kasih Allah. Allah menjadi satu-satunya  sandaran bagi  Bartimeus yang walaupun tidak melihat namun percaya akan kuasa Allah. Kebutaannya sepertinya menjadi “alat Tuhan” untuk memperkenalkan Yesus di hadapan umum sebagai guru dan tabib. “Yesus Tuhan, kasihanilah aku.” Inilah seruan permintaan yang menggelisahkan tetapi sekaligus penuh harapan. Si Bartimeus tidak lebih sebagai informan yang memberi isyarat pada publik bahwa Dia yang akan lewat adalah Dia yang memiliki kuasa. Ia menyembuhkan mata sebagai bukti kebesaran kasih Allah terhadap dirinya dan peluang ini dijadikan sebagai alasan untuk mewartakan dirinya tentang orang yang telah berbuat baik bagi dirinya.(Valery Kopong) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, August 3, 2020

Mau Berbagi

Kemarin sore saya membaca sebuah kisah yang ditulis pada facebook.Tulisan itu mengisahkan tentang perjuangan orang tua dalam situasi pandemi virus corona ini.Di satu sisi dia harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarganya, di lain pihak dia harus membiayai kuliah anaknya.Kalau terus kuliah,tentu akan tambah biaya karena sistem kuliah jarak jauh yang harus membeli kuota pulsa data. Orang tua itu memutuskan untuk mengkuliahkan anaknya demi masa depan anaknya,dengan konsekwensi dia harus lebih berjuang hidup dan lebih prihatin.Dalam situasi pandemi virus corona ini banyak orang tua menghadapi masalah yang sama.Mereka berjuang untuk m
encukupi kebutuhan pangan keluarganya dan menyekolahkan anaknya

Bacaan Injil pada hari ini mengisahkan tentang tuntutan Yesus untuk mau berbagi rejeki yang dimiliki untuk orang yang sangat membutuhkan. Yesus bersabda, "Mereka tidak perlu pergi. Kalian saja memberi makan kepada mereka." Akhirnya lima roti dan dua ikan itu didoakan oleh Yesus lalu terjadi mukjijat.Roti dan ikan itu dapat mencukupi sekian ribu orang yang mengikuti Yesus.
 Inilah panggilan hidup kita mau berbagi untuk meringankan beban hidup sesama kita.Kita bisa membantu mereka, tidak selalu berupa makanan.Tapi kita bisa membagi ketrampilan kita, mungkin cara menanam, cara membuat makanan atau kuliner,memberi pekerjaan sehingga darinya mereka dapat berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
( inspirasi:Matius 14:13-21, 03 Agustus, Suhardi )

Pewartaan Melampaui Ruang

Gereja Gregorius Agung, Kota bumi-Tangerang, sedang gencar untuk memberikan katekese umat secara “live streaming” melalui channel youtube Komsos Gregorius Agung. Apa yang dilakukan oleh pihak paroki ini merupakan bentuk penawaran baru ketika dunia diterpa oleh virus corona di mana setiap orang diminta untuk tidak boleh mengikuti kegiatan secara massal terutama di lingkungan gereja. Karena itu satu-satunya cara untuk membangun iman umat melalui live streaming. Ada nilai positif yang harus dipelajari dari kegiatan live streaming, yakni katese umat bisa berjalan secara baik. Tetapi dibalik nilai positif ini, ada pertanyaan yang muncul di sini. Berapa orang umat paroki yang setia mendengarkan ulasan warisan iman? Persoalan bukan terletak pada tingkat animo umat yang mendengarkan tetapi banyak faktor, namun faktor utama adalah kuota internet.  

 

Memang, di satu sisi kita melihat ada kegampangan untuk mendapatkan informasi tentang warisan iman secara live streaming tetapi pada sisi lain, banyak umat yang masih terbentur pada kuota pulsa yang menjadi modal utama dalam menggerakan kegiatan online. Di masa-masa sulit terutama ketika kita terkena dampak Covid 19, umat lebih menekankan kebutuhan hidup yang harus diutamakan. Bagaimana mungkin setiap umat setia menonton live streaming tetapi pada saat yang sama mereka membutuhkan sembako untuk menopang kehidupannya. Dua hal yang saling bertolak belakang, di satu sisi, Gereja menginginkan agar dalam kondisi apapun, iman umat tetap kuat dalam menghadapi situasi tetapi di lain pihak, keterpurukan hidup menjadi kendala untuk menerima warisan iman yang diwartakan oleh imam dan para katekis paroki secara live streaming.

 

Melihat kondisi riil yang terjadi ini memungkinkan kita untuk tidak menyerah pada situasi yang sedang didera oleh virus yang tak kelihatan ini. Memang, virus corona telah meluluhlantakan tatanan kehidupan manusia. Pola kerja yang tertata rapih selama ini pada akhirnya diobrak-abrik oleh corona bahkan para pekerja pabrik kehilangan pekerjaan karena dilarang untuk bekerja secara massal. Para agamawan pun merasa jauh dari umat karena selama pendemi Covid 19, umat tidak diperbolehkan untuk berkumpul mendengarkan siraman rohani. Apa yang terjadi ketika kegiatan keagamaan tidak diperbolehkan? Yang jelas, bahwa banyak agamawan yang selama ini mengandalkan hidup dari menebarkan ayat-ayat suci, terpaksa harus mengelus dada dan kalah dihadapan situasi yang terkena corona ini.

 

Hampir semua sektor mengarahkan diri untuk bekerja secara daring. Sekolah-sekolah melakukan kegiatan pembelajaran secara daring. Tetapi masih banyak problem yang dihadapi karena tidak semua siswa memiliki perangkat yang bisa memudahkan mereka untuk melakukan pembelajaran secara online. Dalam bidang keagamaan juga terjadi hal demikian. Gereja-gereja Katolik mulai memberikan pelayanan Ekaristi secara live streaming. Apa yang dilakukan ini merupakan cara untuk bisa menyapa dan  menyegarkan iman umat. 

Internet memberikan ruang bagi para pewarta iman untuk bagaimana menumbuhkan iman umat melampaui ruang dan waktu. Di tengah kesibukan umat, mereka lebih memilih untuk mendengarkan khotbah dan renungan melalui live streaming. Allah itu berbicara melampaui ruang dan waktu, karena dalam kondisi keterpurukan hidup akibat pandemi ini, Allah masih setia mendampingi umat-Nya melalui suara para gembala.***(Valery Kopong)