Setiap orang yang masuk biara tua itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan Yesus yang tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam, terus melahirkan pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang membuat Yesus tertawa? Adakah teks Kitab Suci yang menceritakan Yesus tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu sepertinya, menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak umum itu.
Memang, Yesus sendiri, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa, seperti yang terlukis itu, mengisahkan kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh penulis Kitab Suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
Pelukis yang melukis Yesus yang sedang tertawa sangat memahami kemanusiaan Yesus. Ketika berhadapan dengan murid-murid-Nya dan para pengikut-Nya, sebagai manusia pasti Yesus pernah mengumbar senyum bahkan tertawa lepas sebagai ungkapan kegembiraan terhadap suatu hal. Tetapi tertawanya Yesus dapat dilihat dari dua sisi yang berlainan, tertawa sinis atau tertawa karena merasa gembira. Inilah nilai terdalam kemanusiaan Yesus yang tidak terlepas dari kehidupan-Nya. Sang pelukis mengangkat aspek manusiawi yang sederhana dan tidak tersentuh dalam konteks teologi-biblis.
Tertawa ala Yesus menjadi konsumsi rohani yang baik, karena dalam tertawa itu orang merasa lepas bebas dan tidak terikat oleh beban penderitaan yang lain. Di sini, tertawa dilihat sebagai bentuk pembebasan batin dan dengannya orang bisa mengalami kesembuhan diri. Melalui lukisan sederhana yang terpampang rapi di biara itu, tetap mengundang para tamu, tidak hanya datang dan bertemu para biarawan tetapi lebih dari itu bisa mengalami kegembiraan saat mengingat kembali lukisan Yesus yang sedang tertawa. Mungkin Yesus mengajarkan kepada umat-Nya agar selalu ceria ketika menghadapi setiap persoalan hidup. Persoalan itu dapat teratasi apabila semuanya dihadapi dengan senyum bahkan tertawa agar tidak membawa beban batin pada setiap orang yang berhadapan dengan masalah.
Tawa tidak Cuma berarti menertawakan, merendahkan orang lain dan larut dalam tendensi masyarakat totaliter. Tapi tawa juga merupakan bentuk pembebasan manusia dari pelbagai larangan dan tekanan yang membuat dirinya menderita. Tawa para penderita dan kaum terdepak seperti yang diupayakan Yesus dapat mengurangi beban dan menjadi sebuah substitusi agar gerak perlawanan orang-orang terdepak tidak perlu harus dengan kekerasan. Tetapi sambil tertawa, orang dapat menyampaikan sebuah kritik. Tawa Yesus yang sinis seperti yang ada dalam lukisan membawa sebuah kritik yang mendalam terhadap penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan mereka yang selalu merancang strategi untuk mendepak orang lain dari panggung pergaulan umum. Tawa penuh kritik tidak sepenuhnya untuk merendahkan dan mematikan orang lain, melainkan mengungkapkan kebutuhan orang-orang lemah akan sebuah perubahan. Kalau tertawa merupakan ungkapan kebutuhan akan perubahan maka ia sekaligus menjadi sebuah permintaan kepada penguasa untuk memenuhinya. Kritik seperti ini bukanlah sebuah tuntutan frontal melainkan sebuah undangan untuk penguasa dalam memikirkan seluruh kebijakan yang tidak bijak yang telah dikonstruksinya.
Sang pelukis telah mengangkat persoalan manusiawi Yesus yang tidak dilihat secara jeli oleh para penulis Kitab Suci. Kemanusiaan Yesus dalam tawa menjadi bentuk keberpihakkan kepada orang-orang pinggiran yang disisihkan oleh masyarakat umum. Sang pelukis telah membantu kita untuk memahami kehidupan yang hakiki dan lepas bebas dari persoalan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Iri hatikah engkau karena Aku murah hati?” Membaca Kitab Suci tentang keberpihakkan Yesus terhadap orang-orang kecil, sepertinya membaca sebuah teater yang menyuguhkan peran yang antagonistis. Dalam teater, tokoh-tokoh baik protagonis maupun antagonis menampilkan wajah dan peran yang berbeda sesuai dengan tuntutan karakter tokoh yang diperankannya.
Memang di dalam teater, sering ditampilkan adegan-adegan dalam nuansa yang kocak dan sering mengundang tawa para penonton. Tetapi apa yang ditertawakan itu menawarkan isi yang mendalam yang kadang jauh dari jangkauan refleksi para penonton. Isi sebuah teater tak selamanya menjadi sebuah model baku dalam penyelesaian konflik sosial yang baik. Yang terpenting dalam sebuah teater adalah pengangkatan peristiwa ke atas panggung pentas dan dengan demikian ke atas kesadaran, berbagai pertentangan di dalam diri dan masyarakat yang tidak dihadirkan secara dangkal. Sebab itu kualitas sebuah teater tidak ditentukan oleh bentuk solusi yang ditawarkannya melainkan gugahan yang memungkinkannya bagi para penonton untuk menentukan sikap sendiri.
Sikap penonton yang penuh tawa ketika penggalan kisah hidupnya diangkat, dibiarkan untuk terus bergumul dalam penemuan jati diri kembali sebagai manusia. Memang, tidak semua teater mengundang tawa dan tawa yang dimunculkan bukanlah kriteria untuk menentukan nilai sebuah teater. Namun dalam sejarah penghadapannya dengan kekuasaan, tawa justeru menjadi alasan yang sering menimbulkan ketegangan antara penguasa dan tukang kritik.
Dalam lukisan sederhana itu, barangkali tawanya Sang Guru memberi kritik pada penguasa karena tertawa agak sinis ataukah Ia tertawa bersama orang-orang kecil yang dibebaskan-Nya? Memang tawa Sang Guru seperti yang ada dalam lukisan itu membawa dua motif yang berbeda. Kadang, tawa Sang Guru bersifat destruktif dan merendahkan. Tetapi pada kesempatan lain, Ia memperlihatkan tawa yang membebaskan, yang memberi harapan, yang menularkan daya kesembuhan.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment