Ketika menelusuri kembali kisah hidup
Yosef Freinademetz, seakan saya menelusuri “aliran sungai” yang membawa
kehidupan iman bagi orang-orang yang berada di hulu dan hilir sungai. Kehidupan
Yosef Freinademetz sebagai imam dan misionaris pertama SVD (Societas Verbi Divini) menjadi sebuah
tantangan sekaligus mengairahkan pola pewartaan kabar gembira tanpa mengenal
lelah. Baginya, menjadi misionaris berarti pergi untuk tidak pulang kembali. Seorang
misionaris harus beralih dan semangat untuk melepaskan diri dari hal-hal yang
berkaitan dengan primordialisme. Karena itu tidak heran ketika Yosef Freinademetz
diutus dari rumah misi Steyl, Belanda, Ia mendedikasikan dirinya di Cina sebagai
misionari sejati.
Menjadi misionaris tidak hanya
berkonsentrasi pada bagaimana mewartakan kabar gembira dan membumikan
pesan-pesan cinta kasih tetapi juga harus mengenakan budaya-budaya lokal
sebagai bentuk penyapaan seorang misionaris dengan orang-orang yang
dilayaninya. Dengan mengenakan pakaian orang setempat, menggunakan bahasa
setempat maka secara tidak langsung, seorang misionaris diterima untuk menjadi
bagian dari anggota masyarakat. Dengan sikap terbuka dan berpihak pada
kebudayaan setempat maka seorang misionaris bisa memahami secara tepat untuk
mambangun strategi dalam mewartakan sabda Allah.
Dalam khotbahnya pada perayaan
Ekaristi perpisahan dengan umatnya di paroki San Martino (11 Agustus 1878) memberikan
sebuah pesan bermakna sebelum ia masuk ke rumah misi di Steyl, Belanda. Dalam kotbahnya ia menyatakan keyakinan dan
tekadnya menjadi seorang misionaris. “Atas kebaikan-Nya yang tak terselami,
Gembala Baik yang ilahi telah berkenan mengundang saya supaya pergi bersama
dengan Dia ke padang gurun, dan membantu Dia mencari domba-domba yang tersesat.
Apa yang harus saya buat selain dengan sukacita dan dengan rasa syukur saya
mengecup tangan-Nya dan mengucapkan perkataan Kitab Suci, ‘Lihat, saya datang!’
Seperti Abraham, saya tinggalkan rumah dan orangtuaku, kampung halaman dan anda
sekalian yang saya cintai, dan pergi ke tanah yang akan ditunjukkan Tuhan
kepadaku. Saya merasa berat meninggalkan orangtuaku yang tercinta dan begitu
banyak penderma dan sahabat. Tapi pada akhirnya, manusia itu ada bukan untuk
dunia ini. Dia diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar: bukan untuk menikmati
hidup ini, melainkan untuk bekerja di tempat Tuhan yang memanggilnya.” Selepas
perpisahan itu, ia pun berangkat ke Steyl, Belanda, dan diterima masuk ke dalam
rumah misi yang baru ini dan selang beberapa bulan kemudian, yakni 2 Maret
1879, ia diutus menjadi misionaris perdana ke Cina, bersama dengan seorang
misionaris lain, yakni Yohanes Baptis Anzer.
Isi Khotbahnya syarat makna dan
menyeret pemahaman kita tentang makna sebuah panggilan hidup tidak untuk diri
sendiri tetapi untuk orang lain. Tempat misi
yang menjadi sasaran perutusannya, juga belum diketahui secara pasti, karena
itu Ia menganalogikan dirinya dengan Abraham, yang dipanggil oleh Allah, harus
bersedia meninggalkan tanah kelahirannya. Namun tanah yang dijanjikan oleh
Allah kepada Abraham, juga belum belum diketahui. Tetapi karena panggilan yang
mendesak dan dalam iman yang pasrah, Abraham pada akhirnya menuruti panggilan Allah
itu. Dalam ketidaktahuan tentang tanah terjanji itu, Allah memberikan petunjuk
pasti bagi Abraham yang dipilih menjadi bapa segala bangsa.
Yosef
Freinademetz selalu membuka diri terhadap panggilan Allah dan bersedia
ke tanah misi untuk membuka lahan baru bagi penyebaran benih Sabda Allah. Apakah
tanah misi itu penuh susu dan madu seperti tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan
oleh Allah? Tanah misi Cina adalah tanah penuh tantangan, karena Yosef Freinademetz melihatnya sebagai padang
gurun yang penuh dengan tantangan. Kalau tanah misi Cina dilihat sebagai padang
gurun maka perlu persiapan yang matang untuk menggodok diri agar ketika
tantangan itu muncul, sang misionaris sudah bisa bertahan. Konsep tempat misi
sebagai padang gurun, mengingatkan kita
juga akan perjalanan bangsa pilihan Allah melewati padang gurun. Banyak tantangan
yang dihadapi tetapi karena kesetiaan Allah yang mendampingi maka Bani Israel
bisa masuk ke tanah yang dijanjikan oleh Allah. Padang gurun, juga mengingatkan
kita akan Yesus, yang sebelum berkarya, Ia harus menjalani puasa selama 40 hari
lamanya. Selama Ia berpuasa, ada godaan yang muncul tetapi karena
Dengan izin uskupnya, Joseph memasuki rumah misi di
Steyl, Belanda, pada bulan Agustus 1878. Pada tanggal 2 Maret 1879, dia
menerima salib misinya dan berangkat ke China bersama Fr. John Baptist Anzer,
misionaris Sabda Allah lainnya. Lima minggu kemudian mereka tiba di Hong Kong,
di mana mereka tinggal selama dua tahun, mempersiapkan diri untuk langkah
selanjutnya. Pada tahun 1881 mereka melakukan perjalanan misi baru mereka di
Shantung Selatan, sebuah provinsi dengan 12 juta penduduk dan hanya 158 orang Katolik.
Yosef Freinademetz bekerja
sebagai misionaris sejati dan membumikan benih-benih Sabda Allah kepada umat
yang dilayaninya. Ketika pertama kali datang ke China dan melihat tanah misinya
sebagai tantangan, namun Ia percaya kasih Tuhan mampu mengalahkan segala keterbatasan.
Ia sanggup untuk membangun komunikasi dengan orang-orang yang dilayaninya.
Baginya, "Satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang ialah
Bahasa Cinta." (Valery Kopong)