Monday, November 9, 2020

Misionaris Sejati

 

Ketika menelusuri kembali kisah hidup Yosef Freinademetz, seakan saya menelusuri “aliran sungai” yang membawa kehidupan iman bagi orang-orang yang berada di hulu dan hilir sungai. Kehidupan Yosef Freinademetz sebagai imam dan misionaris pertama SVD (Societas Verbi Divini) menjadi sebuah tantangan sekaligus mengairahkan pola pewartaan kabar gembira tanpa mengenal lelah. Baginya, menjadi misionaris berarti pergi untuk tidak pulang kembali. Seorang misionaris harus beralih dan semangat untuk melepaskan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan primordialisme. Karena itu tidak heran ketika Yosef Freinademetz diutus dari rumah misi Steyl, Belanda, Ia mendedikasikan dirinya di Cina sebagai misionari sejati.

Menjadi misionaris tidak hanya berkonsentrasi pada bagaimana mewartakan kabar gembira dan membumikan pesan-pesan cinta kasih tetapi juga harus mengenakan budaya-budaya lokal sebagai bentuk penyapaan seorang misionaris dengan orang-orang yang dilayaninya. Dengan mengenakan pakaian orang setempat, menggunakan bahasa setempat maka secara tidak langsung, seorang misionaris diterima untuk menjadi bagian dari anggota masyarakat. Dengan sikap terbuka dan berpihak pada kebudayaan setempat maka seorang misionaris bisa memahami secara tepat untuk mambangun strategi dalam mewartakan sabda Allah.

 

Dalam khotbahnya pada perayaan Ekaristi perpisahan dengan umatnya di paroki San Martino (11 Agustus 1878) memberikan sebuah pesan bermakna sebelum ia masuk ke rumah misi di Steyl, Belanda. Dalam kotbahnya ia menyatakan keyakinan dan tekadnya menjadi seorang misionaris. “Atas kebaikan-Nya yang tak terselami, Gembala Baik yang ilahi telah berkenan mengundang saya supaya pergi bersama dengan Dia ke padang gurun, dan membantu Dia mencari domba-domba yang tersesat. Apa yang harus saya buat selain dengan sukacita dan dengan rasa syukur saya mengecup tangan-Nya dan mengucapkan perkataan Kitab Suci, ‘Lihat, saya datang!’ Seperti Abraham, saya tinggalkan rumah dan orangtuaku, kampung halaman dan anda sekalian yang saya cintai, dan pergi ke tanah yang akan ditunjukkan Tuhan kepadaku. Saya merasa berat meninggalkan orangtuaku yang tercinta dan begitu banyak penderma dan sahabat. Tapi pada akhirnya, manusia itu ada bukan untuk dunia ini. Dia diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar: bukan untuk menikmati hidup ini, melainkan untuk bekerja di tempat Tuhan yang memanggilnya.” Selepas perpisahan itu, ia pun berangkat ke Steyl, Belanda, dan diterima masuk ke dalam rumah misi yang baru ini dan selang beberapa bulan kemudian, yakni 2 Maret 1879, ia diutus menjadi misionaris perdana ke Cina, bersama dengan seorang misionaris lain, yakni Yohanes Baptis Anzer.

 

Isi Khotbahnya syarat makna dan menyeret pemahaman kita tentang makna sebuah panggilan hidup tidak untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain.  Tempat misi yang menjadi sasaran perutusannya, juga belum diketahui secara pasti, karena itu Ia menganalogikan dirinya dengan Abraham, yang dipanggil oleh Allah, harus bersedia meninggalkan tanah kelahirannya. Namun tanah yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham, juga belum belum diketahui. Tetapi karena panggilan yang mendesak dan dalam iman yang pasrah, Abraham pada akhirnya menuruti panggilan Allah itu. Dalam ketidaktahuan tentang tanah terjanji itu, Allah memberikan petunjuk pasti bagi Abraham yang dipilih menjadi bapa segala bangsa.

Yosef  Freinademetz selalu membuka diri terhadap panggilan Allah dan bersedia ke tanah misi untuk membuka lahan baru bagi penyebaran benih Sabda Allah. Apakah tanah misi itu penuh susu dan madu seperti tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan oleh Allah? Tanah misi Cina adalah tanah penuh tantangan, karena  Yosef Freinademetz melihatnya sebagai padang gurun yang penuh dengan tantangan. Kalau tanah misi Cina dilihat sebagai padang gurun maka perlu persiapan yang matang untuk menggodok diri agar ketika tantangan itu muncul, sang misionaris sudah bisa bertahan. Konsep tempat misi sebagai  padang gurun, mengingatkan kita juga akan perjalanan bangsa pilihan Allah melewati padang gurun. Banyak tantangan yang dihadapi tetapi karena kesetiaan Allah yang mendampingi maka Bani Israel bisa masuk ke tanah yang dijanjikan oleh Allah. Padang gurun, juga mengingatkan kita akan Yesus, yang sebelum berkarya, Ia harus menjalani puasa selama 40 hari lamanya. Selama Ia berpuasa, ada godaan yang muncul tetapi karena   

Dengan izin uskupnya, Joseph memasuki rumah misi di Steyl, Belanda, pada bulan Agustus 1878. Pada tanggal 2 Maret 1879, dia menerima salib misinya dan berangkat ke China bersama Fr. John Baptist Anzer, misionaris Sabda Allah lainnya. Lima minggu kemudian mereka tiba di Hong Kong, di mana mereka tinggal selama dua tahun, mempersiapkan diri untuk langkah selanjutnya. Pada tahun 1881 mereka melakukan perjalanan misi baru mereka di Shantung Selatan, sebuah provinsi dengan 12 juta penduduk dan hanya 158 orang Katolik.

Yosef  Freinademetz bekerja sebagai misionaris sejati dan membumikan benih-benih Sabda Allah kepada umat yang dilayaninya. Ketika pertama kali datang ke China dan melihat tanah misinya sebagai tantangan, namun Ia percaya kasih Tuhan mampu mengalahkan segala keterbatasan. Ia sanggup untuk membangun komunikasi dengan orang-orang yang dilayaninya. Baginya, "Satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti oleh semua orang ialah Bahasa Cinta." (Valery Kopong)

0 komentar: