Friday, September 12, 2008

11 September 2008
Selamat jalan Pak Anshary Thayib
Wartawan Idealis Itu Berpulang Oleh Dahlan IskanKalau ada sejumlah wartawan Surabaya yang sangat idealis, salah satunya yang penting adalah ini: H Anshary Thayib.Dan dia meninggal dunia: kemarin 911/9/2008), tengah hari.Saya mengenalnya melebihi yang lain-lain. Dia satu ''komplotan" dengan kakak saya, Sofwati, namun lebih berkomplot lagi dengan saya, terutama karena kakak saya itu meninggal. Umurnya di antara umur kakak saya dan umur saya.Tapi, bahwa dia teman baik kakak saya, baru saya ketahui kemudian. Yakni ketika sama-sama menjalani pendidikan khusus wartawan di Jakarta selama tiga bulan pada 1975.Waktu itu, sebuah yayasan dari Jerman yang bekerja sama dengan LP3ES memang ingin mendidik 10 wartawan muda dari seluruh Indonesia. Tujuannya untuk memajukan koran-koran daerah. Hanya 10 orang. Agar pendidikannya berjalan efektif. Siang hari kami dititipkan untuk magang di koran Jakarta. Malamnya mengikuti pelajaran teori di kelas.Anshary terpilih mewakili Jatim. Saya terpilih dari Kaltim. Saya sendiri tidak mengira kalau bisa lulus seleksi, mengingat peminatnya begitu banyak. Nasibnya sama: kami sama-sama ditempatkan di majalah TEMPO. Inilah bagian dari keberuntungan kami. Kalau saja saya waktu itu ditempatkan di Pos Kota atau Berita Buana, hasilnya bisa jadi sangat berbeda.Ketika pendidikan sudah berlangsung 1,5 bulan, seharusnya kami bertukar tempat. Tapi, pimpinan TEMPO berkeberatan. Sebagai majalah mingguan, mendidik orang 1,5 bulan belum cukup. Maka, ketika yang lain-lain bertukar tempat, kami berdua tetap di TEMPO. Hasil pendidikan itu juga sama: kami sama-sama dinilai baik. Bahkan sama-sama ditawari untuk menjadi wartawan TEMPO di Jakarta. Kami tidak bisa menerima tawaran itu. Kontrak kami dengan penyelenggara pendidikan adalah harus kembali ke daerah, setidaknya selama dua tahun.Maka, kami pun pulang. Anshary pulang ke Surabaya. Saya ke Samarinda. Masing-masing kembali bekerja di koran kami yang sama-sama tidak terkenal. Anshary kembali bekerja di mingguan Indonesia Membangun dan saya kembali bekerja di mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda. Namun, hubungan kami terus berjalan akrab. Mengapa? Kami sama-sama merangkap sebagai wartawan TEMPO di daerah. Ketika pulang dari Jakarta, dengan kereta api, kami sama-sama sudah mengantongi kartu wartawan TEMPO.Nasib kami lantas berubah karena ini: pembina kami yang di TEMPO itu, Bur Rasuanto, berhenti dari TEMPO. Ingin mendirikan majalah sendiri, dengan nama Obor. Kami diminta ikut dia. Kami langsung menyanggupi -karena harus membalas budi. Anshary langsung keluar dari TEMPO. Saya belum -karena harus menunggu persiapan untuk boyongan ke Surabaya.Dalam proses itulah akhirnya saya ketahui bahwa Obor tidak mendapat izin terbit. Waktu itu, untuk bikin penerbitan, sulitnya bukan main. Dianggap ekstrem sedikit tidak akan bisa dapat izin. Mas Bur, begitu kami biasa memanggil Bur Rasuanto, bergabung di majalah itu dengan tokoh-tokoh aktivis mahasiswa anti-Soeharto. Mas orang hebat. Dialah sastrawan yang antara lain menciptakan kata ''santai" (untuk mengganti relax yang berasal dari bahasa Inggris). Kata ''santai'' dia ambil dari bahasa daerahnya di Ogan Komering, Palembang. Anshary akhirnya beberapa tahun terus di Jakarta sambil menunggu proses perizinan tersebut. Selama menunggu itu, mereka sempat menerbitkan majalah Derap, yang dulu milik Pramuka.Belakangan Anshary lantas bekerja di harian Surya. Jadi salah seorang redaktur penting di situ. Saya ke Jawa Pos. Setelah pensiun dari Surya. Anshary terpilih sebagai anggota Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sungguh layak dia di situ.Anshary lantas sangat sibuk dengan urusan idealisme. Itu cocok dengan kepribadiannya yang sangat kuat. Tidak henti-hentinya dia keliling Indonesia untuk mengecek pengaduan masyarakat yang merasa dilanggar hak-hak asasinya. Mulai Nias sampai Papua.Saya tahu, dia sangat ingin menerbitkan buku tentang pengalamannya jadi anggota Komnas HAM. Tapi, ketika pensiun dari lembaga itu, kesehatannya keburu memburuk. Dia mengeluhkan punggungnya. Juga sedikit stroke. Ternyata, punggungnya diserang kanker. Sudah sangat terlambat. Waktu saya menengoknya di rumah sakit, keadaannya sudah sangat parah. Saya tidak berhasil bertanya apakah persiapan penulisan bukunya sudah beres.Mestinya sudah.Anshary sangat cepat kalau menulis. Juga sangat serius. Banyak buku yang sudah dihasilkannya. Saya kagum ketika masih sama-sama menderita dulu: dia cepat sekali menghasilkan ''buku-kilat''. Yakni, buku yang temanya sedang hangat saat itu. Ada heboh Islam Jamaah, langsung terbit buku tentang kehebohan itu. Hangat, tipis, murah, laris. Dia juga pembaca buku yang tekun. Termasuk yang berbahasa Inggris.Kami juga sama-sama punya latar belakang sebagai aktivis di Pelajar Islam Indonesia (PII). Juga HMI. Juga sama-sama di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Prof Sam Abede dan Agil H. Ali adalah senior kami. Secara pribadi, saya yang lebih sering merepotkan dia. Ketika saya tiba di Surabaya, saya nunut di rumah kos-kosannya di salah satu gang di Semut Kali Surabaya. Lalu, ketika dia harus pindah ke rumah kontrakan di Kertajaya Gang KA, saya minta dicarikan kontrakan di dekat-dekat situ. Saya belum begitu paham Surabaya. Maka, dia dapatkan sebuah rumah kecil untuk saya kontrak. Rumah itu terbuat dari setengah bata, setengahnya lagi papan. Lantainya semen. Tidak ada perabotan. Satu rumah dihuni tiga keluarga. Karena tidak ada saluran air PDAM, tiga rumah itu menggunakan satu sumur di tengah-tengahnya. Tiga keluarga itu juga harus menggunakan kamar mandi yang sama. Yakni, di Gang I C, Jalan Kertajaya, belakang pasar, tidak jauh dari rel kereta api.Dua tahun saya di situ sebelum pindah ke rumah kontrakan di Gubeng Airlangga Gang 4. Anshary kemudian bisa membeli rumah mungil. Dan kawin dengan istrinya yang sekarang. Dua anak diperolehnya yang kini sudah pada jadi sarjana dan bekerja.Anshary pribadi yang kuat, keras, dan memegang prinsip. Sebagian orang menilainya kaku. Ketika saya sudah dua kali menjabat ketua PWI Jatim, Anshary yang terpilih menggantikan saya.Tidak mengira, dalam hal kematian, dia mendahului saya.Selamat jalan Anshary. Toh kita akan ketemu lagi.

Wednesday, September 10, 2008

TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA
( Sebuah Analisis Sosio-kultural)

Oleh: Valery Kopong*

KETIKA menonton tarian “hedung”, sebuah tarian perang dari Adonara-Flores Timur, seorang sahabat yang bukan berasal dari Adonara sempat berdecak kagum melihat sentakan kaki dan ayunan parang serta tombak para penari menuruti irama gong-gendang. Sebuah kekaguman apresiatif yang lahir dari kedalaman rasa seni seorang manusia. Aku yang menyaksikan pentasan tarian dan memahami latar belakang munculnya tarian itu, sempat tergidik diam dan merenungkan kisah perjalanan penuh kebuasan hingga melahirkan tarian itu. Tarian hedung, kini dijadikan sebagai tarian yang mencirikan karakter orang Adonara, menyisahkan garis luka batin yang mendalam buat orang Adonara sendiri. Betapa tidak!
Adonara yang pernah dijuluki sebagai “The killer island,” terproyeksi lewat tarian yang mengungkapkan kebuasan, sekaligus mempertontonkan sebuah kebiadaban. Di sini, di atas panggung pentas, tempat para penari berlaga adalah cerminan “medan laga” di mana sebagian warga Adonara berunjuk kebenaran di mata parang dan tombak. Kisah perang saudara yang seringkali terjadi, kini terakumulasi lewat sentakan kaki dan ayunan tombak serta parang para penari. Pada pentasan kisah masa lalu yang sempat terekam oleh mataku sendiri, membuka memori kesadaranku untuk mengingat cerita masa lalu akan sosok kakekku sendiri yang menjadi korban saat terjadi perang.
Tarian lalu menjadi semacam ‘siluet tipis’, pemberi informasi masa lampau yang penuh dengan kekerasan. Memang, bumi Adonara memendam kekerasan, baik alamnya yang ganas maupun karakter orangnya. “Seseorang pernah bertanya pada saya saat berlibur di kampung halamanku, di masa macam apa kita ini hidup? Aku menjawab,” di masa ketika adanya koma….,koma…., seribu koma membentang pada perjalanan hidup ini.” Jawaban seribu koma dan koma lagi menunjukkan sesuatu yang tak pernah selesai. Kekerasan yang sudah sekian tahun hidup di bumi Adonara tak pernah mencapai titik akhir penyelesaian. Pembunuhan yang terjadi turun temurun, juga tak pernah berhenti dibalik limbahan darah dan gelimangnya nyawa manusia. Kekerasan dan pembunuhan seakan menjadi budaya dan bahasa terakhir di mana seluruh jalan penyelesaian masalah menemukan jalan buntu.
Seperti tersirat dalam kisah perang “Paji dan Demon”, mimpi tetua adat memang menyiapkan petunjuk dalam aktivitas berperang. Berangsur-angsur para tetua adat, dengan memamah halia sembari menuangkan tuak ke tanah, mengajak “Rera Wulan Tana Ekan”, (Wujud Tertinggi) sebagai yang suci untuk memihaki dia saat berlaga. Ia menghimpun yang suci dan mengajaknya untuk berpihak padanya saat berperang melawan musuh. Di sini, “Yang Sakral” telah dinodai oleh para pembujuk untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kehendak yang suci itu. Mungkinkah dalam peperangan, Sang Rera Wulan Tana Ekan merestui tangan-tangan para pembunuh untuk mengayun tombak dan parang? Melalui dosa dan keterbatasan, ia menghimpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa jauh. Konflik batin pun berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Pembunuhan pun tak terelakkan.
Proses itu memang jarang diakui sekarang. Tetapi pada dasarnya sejarah sosial manusia di mana pun terpaksa mencampuradukkan yang sakral dan yang bukan dengan cacat dan kelebihannya. Tetapi mungkin, dengan jiwa yang haus akan darah dan meminta korban, para pembunuh mencari legitimasi pada yang suci. Keberpihakan dari yang suci (baca: Rera Wulan Tana Ekan), menurut konsep para pembunuh, dapat terlihat setelah terjadi peperangan. Pihak yang mengalami korban adalah bukti bahwa mereka berada pada posisi yang salah dan secara tidak langsung keterlibatan dari yang suci pun tidak ada. Demikian sebaliknya, pihak yang menang dalam peperangan merasa bahwa Rera Wulan Tana Ekan sebagai Wujud yang suci berada pada pihak mereka.
Tarian “hedung” dalam arti tertentu membawa misi ke arah penggugahan hati manusia Adonara yang kerap membatu. Ia (tarian hedung) hadir di atas pentas untuk memberikan kritik sosial kepada masyarakat tentang teori konflik yang telah dirancang dan dibangun dalam sekian abad. Tarian membawa pesan peradaban dan sepertinya memberikan kritik terhadap pola interaksi kekerasan antarmanusia. Dengan melihat kondisi masyarakat yang militan ini, perlu adanya pengembangan pemikiran ke arah baru tentang harmoni dan konflik dalam masyarakat sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga tarian membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***

Tuesday, September 9, 2008

Berhenti sampai Jaksa Urip?

Selasa, 9 September 2008 | 00:33 WIB

Saldi Isra

Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi kepada jaksa Urip Tri Gunawan, Kamis (4/9), sama sekali tidak mengejutkan. Bahkan, dengan derajat penyalahgunaan jabatan yang dilakukannya, hukuman lebih berat masih amat pantas dijatuhkan kepada Urip.

Bagaimanapun, putusan Pengadilan Tipikor yang dipimpin Teguh Hariyanto ini membuat dewi keadilan sedikit lega. Sebelumnya, dalam putusan Artalyta Suryani (Ayin), sang dewi hanya bisa senyum kecut. Meskipun telah dijatuhi pidana maksimal, hukuman lima tahun kepada Ayin masih begitu jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Masalahnya, apakah skandal suap kasus BLBI yang melibatkan Jaksa Urip dan Ayin tersebut akan dijadikan langkah awal untuk membongkar semua jejaring yang berperan di sekeliling skandal tersebut? Atau yang akan terjadi justru sebaliknya, proses hukum berhenti alias macet total setelah vonis 20 tahun dijatuhkan kepada Jaksa Urip?

Isyarat vonis

Sejak semula hampir tidak ada yang percaya bahwa tindakan Urip merupakan inisiatif pribadi tanpa melibatkan pihak lain di Kejaksaan Agung. Dalam ”Membongkar Gedung Bundar” (Kompas, 18/6) dikemukakan, sulit untuk membantah bahwa uang ”tanda terima kasih” yang diterima Urip bukan merupakan ”hadiah” atas kerja kolektif. Apalagi, Ayin meminta kepada Jamdatun Untung Udji Santoso untuk ”menyelamatkan semua, orang- orang kita”. Tidak hanya itu, dalam proses persidangan terungkap skenario untuk menyelamatkan Ayin agar tidak ditangkap KPK.

Sebelum vonis Jaksa Urip, setiap pendapat yang mengindikasikan keterlibatan pejabat tinggi di lingkungan Kejaksaan Agung hampir selalu dibantah dengan berbagai dalih. Untuk memberi kesan bahwa Kejaksaan Agung peduli dengan pendapat publik, petinggi yang terlibat hotline dengan Ayin dijatuhi sanksi berupa pelanggaran terhadap kode etik. Kemudian, mereka diselamatkan dengan penjatuhan sanksi administrasi.

Berdasarkan vonis Pengadilan Tipikor, upaya penyelamatan tersebut menjadi tidak banyak bermanfaat kecuali menambah bopeng wajah kejaksaan. Vonis majelis hakim menegaskan keterkaitan jaksa Urip dengan mantan Jampidsus Kemas Yahya Rahman, mantan Direktur Penyidikan Muhammad Salim, dan anggota Tim Penyelidik BLBI Hendro Dewanto (Kompas, 5/9). Keterkaitan itu berdasarkan keyakinan hakim: jaksa Urip bersama-sama dengan Kemas dan Salim mengatur penarikan kesimpulan untuk menyatakan hasil penyelidikan skandal BLBI dalam kasus BDNI ”tidak ditemukan unsur melawan hukum”.

Dengan demikian, setelah vonis hakim dibacakan, kerja kolektif Jaksa Urip dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung tidak lagi terbatas level keyakinan publik, ia berubah menjadi fakta hukum. Penegasan itu memberikan isyarat yang amat jelas: Jaksa Urip bukan pemain tunggal, tetapi menjadi bagian dari lingkaran kejahatan yang tertata rapi (organized crime) di lingkungan Kejaksaan Agung.

Tidak kejaksaan

Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), terutama pemberantasan korupsi, sesuai dengan asas equality before the law, semua pihak yang terkait dengan jaksa Urip harus mendapat perlakuan yang sama dengan Urip. Artinya, Jaksa Urip tidak boleh dijadikan tumbal demi melindungi petinggi kejaksaan yang terindikasi menjadi bagian dari persekongkolan jahat skandal ini. Sebagai sebuah fakta hukum, penyidik harus melanjutkan proses hukum terhadap nama-nama yang disebutkan dalam vonis Pengadilan Tipikor tersebut.

Sekalipun menjadi sebuah keniscayaan untuk menindaklanjuti, penyidiknya tidak boleh berasal dari kejaksaan. Selain sulit bagi penyidik kejaksaan bersikap obyektif terhadap nama-nama yang menjadi jejaring Jaksa Urip, kejaksaan tidak lagi memiliki alasan moral yang kuat untuk bertindak sebagai penyidik. Apalagi sejak skandal Urip terkuak ke permukaan, Kejaksaan Agung terkesan melindungi pejabat yang menjadi jaringan Urip. Bahkan, dengan terbongkarnya skandal Urip, kejaksaan menjadi kehilangan segala-galanya untuk tetap dipertahankan dalam melanjutkan penyelesaian kasus BLBI.

Keengganan KPK

Dengan posisi kejaksaan yang demikian, KPK menjadi satu-satunya lembaga yang masih dapat diterima akal sehat menindaklanjuti vonis Pengadilan Tipikor. Jika selama ini KPK enggan menindaklanjuti penyidikan terhadap petinggi kejaksaan yang terindikasi terlibat suap, vonis Pengadilan Tipikor meletakkan kewajiban bagi KPK untuk membongkar semua pelaku yang menjadi bagian konspirasi jaksa Urip. Dalam hal ini, vonis Pengadilan Tipikor harus dimaknai sebagai sabda keadilan oleh KPK.

Sabda itu tidak hanya untuk memosisikan petinggi-petinggi kejaksaan yang disebut dalam vonis tersebut ke dalam jalur pesakitan seperti yang dirasakan Jaksa Urip saat ini, tetapi juga napas keadilan untuk kasus BLBI (terutama dengan obligor Sjamsul Nursalim) yang selama ini telah merampas ruang untuk hidup layak bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sekiranya tetap enggan menindaklanjuti vonis Pengadilan Tipikor, patut diduga KPK terjebak dalam pola perlindungan petinggi kejaksaan yang berkembang di Kejaksaan Agung.

Yang dikhawatirkan banyak kalangan, keengganan KPK amat mungkin terkait dengan Ketua KPK Antasari Azhar yang pernah menjadi inner-circle Kejaksaan Agung. Apalagi, nama Antasari Azhar pernah disebut Ayin ketika berkomunikasi dengan Jamdatun Untung Udji Santoso. Untuk membuktikan bahwa KPK punya pola pikir yang berbeda dengan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian keterlibatan petinggi kejaksaan dan skandal BLBI secara keseluruhan, jangan biarkan megaskandal ini berhenti sampai pada vonis Jaksa Urip.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Inspirasi Amerika Latin


Selasa, 9 September 2008 | 00:34 WIB

Robert Bala

Derasnya arus neososialisme yang merambah Amerika Latin kian menjadi perhatian dunia. Bisa saja hal itu dilihat secara miris, sekadar reaksi atas gembosnya roda kapitalisme.

Namun, bila pengaruhnya sudah menggurita mencakup Kuba, Venezuela Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan kini Paraguay, hal itu bukan lagi kebetulan.

Pesimisme

Awal abad XX dengan janji kesejahteraan menyeluruh, disambut penuh antusias di Amerika Latin dan diakui para uskup AL dalam Dokumen Medellin (1968). Ada optimisme bakal terwujudnya emansipasi total, pembebasan dari segala bentuk perbudakan, kemantangan pribadi, dan integrasi kolektif.

Dalam kenyataan, harapan itu cepat sirna. Optik desarrollista (asal dianggap maju) yang mengandalkan pinjaman luar negeri, dengan cepat diketahui kedoknya. Kesejahteraan yang dijanjikan berubah wajah menjadi seram. ”Bantuan” telah menggiring negara miskin ke jalan buntu. Mereka terus ”dibuntuti” untuk melunasi utang luar negeri.

Oleh Leonardo Boff (Pasado y Futuro de la Teologia de la Liberacion, 1987) kenyataan ini dilihat sebagai produk logika pasar (logica del mercado). Di sana modal dibiarkan bergerak semau gue. Sementara itu, gerakan ke arah pendistribusian kekayaan demi meratanya kesejahteraan dibendung.

Bukan itu saja. Kemiskinan menjadi awal dari serentetan kekerasan baru. Konflik, pertentangan, peperangan, kelaparan, dan kematian menjadi wajah baru. Oleh José Comblin (Liberación y Cautiverio, 1976), fenomena ini disebut kekerasan yang terinstitusionalisasi (violencia institucionalizada). Hal ini memprihatinkan. Hidup seakan tidak berharga karena begitu mudah dimangsa kematian oleh perebutan makanan.

Logika kehidupan

Jeratan neokapitalisme yang dipromotori oleh saudara sebenua AS dengan cepat disadari. Tawaran memperbanyak senjata dan menggandakan militer demi mengatasi konflik dipahami sebagai taktik licik. Di sana, atas ”nama keamanan”, sejumlah negara miskin (tetapi kaya sumber alam) dipaksakan memiliki delapan kali lipat tentara daripada jumlah dokter (R Ruiz, El Paiz, 1992). Padahal, masalah yang dihadapi adalah ancaman kematian oleh kelaparan.

Kuba yang cukup mahir mempelajari gelagat ”sang tetangga”, menawarkan jalan keadilan sosial. Kekayaan bersama dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama dan menjamin hak hidup masyarakat. Tak pelak, puluhan rumah sakit dibangun. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba yang hanya berpenduduk 10 juta jiwa memiliki 4.000 tamatan dokter spesialis setiap tahun. Sebanyak 30.000 dokter bekerja di jaringan rumah sakit (red de hospitales), 20.000 lebih sebagai dokter keluarga. Yang lain sebagai peneliti dan pengajar di berbagai tempat. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba telah menjadi pionir dalam pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran di seluruh Amerika Latin (Gianni Mina, Habla Fidel, 1987). Seluruh dokter tamatan Kuba kini melayani hampir 70 juta penduduk dunia.

Venezuela dengan keunggulan sumber daya alam tidak kurang keterlibatan sosialnya. Pada saat dunia menjerit akibat kenaikan harga BBM, Chavez menawarkan ”harga berdamai” kepada sesama negara di Amerika Latin. Ia bahkan menawarkan harga 100 dollar AS per barrel kepada pemerintahan sosialis Spanyol. Di Bolivia, bertepatan dengan hari Buruh 1 Mei 2006, Evo Morales memulai program reapropiación social de la riqueza pública dengan menasionalisasi semua perusahaan migas. Baginya, perwujudan keadilan sosial adalah harga mati.

Harapan

Gelombang sosialisme yang menyebar di Amerika Latin menjadi inspirasi bagi kita.

Pertama, butuh komitmen pada keadilan sosial sebagai pijakan awal. Ia bukan sekadar ekspresi aksi karitatif yang mungkin dilakukan dengan motif politis sekunder. Tidak. Keadilan sosial dipahami secara komutatif demi terpenuhinya kebutuhan dasar dan terjunjungnya harkat dan martabat semua manusia.

Kita masih jauh dari idealisme ini. Kelangkaan kebutuhan dasar, melambungnya harga BBM dan gas, kian sulitnya mendapatkan beras murah, selain orang miskin yang ”dilarang untuk sakit” (karena itu berarti ajal) adalah tanda betapa jauhnya kita dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, butuh gerakan sosial yang kompak. Untuk ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia bersyukur punya Ramadhan, bulan penuh rahmat. Di sana pembaruan sosial berawal dari pengekangan nafsu badaniah perlahan dibatinkan untuk kemudian hadir sebagai gerakan sosial demi membarui negeri ini.

Pembaruan seperti ini bersifat menyeluruh karena mencakup dimensi transenden sekaligus imanen, demikian Boff dalam El águila y la gallina (1989). Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Kalau proses ini dijalani, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid

Friday, September 5, 2008


Dansa tango.
Kamis, 4 September 2008 | 12:55 WIB

Bila Anda pernah menyaksikan keanggunan sepasang penari membawakan tarian waltz, tango, atau samba, Anda akan menyadari bahwa makna lantai dansa tak sekadar arena untuk bergoyang, tapi juga dalam tarian dansa itu tersimpan rahasia hidup manusia.

Secara garis besar, ada dua karakteristik dansa yang populer, yakni latin dan ballroom standar. Dansa latin, misalnya cha cha, rumba, samba, jive, dan paso double. Sedangkan yang disebut ballroom standar antara lain waltz, romantic, slow foxtrot, quick step vienese waltz, dan tango. Meski demikian, tarian-tarian ini pada dasarnya adalah luapan ekspresi perasaan, entah itu gairah, kemarahan, kesedihan, atau keindahan.

Janet Carlson, penulis buku Quick, Before the Music Stop mengatakan, baginya dansa juga berarti kegiatan menemukan diri sendiri. Menurutnya, gerakan-gerakan dansa bagaikan metafora yang menuntun kita untuk mengambil langkah tepat dalam kehidupan nyata. Dansa telah mengajarkan Carlson pada cinta, diri sendiri, juga keindahan hidup.

Mengalah
Bila Anda perhatikan, saat berdansa, pasangan penari akan bergerak berlawanan. Ketika salah seorang melangkah kakinya ke depan, pasangannya akan melangkah mundur, demikian juga sebaliknya. Konsep ini, menurut Carlson, juga bisa diterapkan dalam hubungan kita dengan orang lain. Misalnya saja, bila salah satu sedang emosi, pasangannya harus menahan diri, bergerak mundur.

It Takes Two to Tango
Dansa yang baik membutuhkan keseimbangan. Penari pria bukan yang memimpin, dan penari wanita bukanlah pengikut. Sebuah gerakan dansa adalah dialog, keduanya berkomunikasi. Bila diterapkan dalam sebuah hubungan, ini berarti butuh dua orang untuk menjaga ikatan cinta dan keduanya harus peduli pada kebutuhan pasangan. "Dalam sebuah hubungan, seperti juga dansa, tugasmu adalah membuat saya nyaman, dan tugas saya adalah membuatmu nyaman," kata Carslon.

Hiduplah saat ini
Meditasi mengajarkan kita untuk hadir pada saat ini, menikmati saat ini. "Kita sering berada di satu tempat, tapi pikiran kita mengembara ke mana-mana, tak bisa fokus sehingga kita kehilangan momen yang berharga dengan orang lain," ujar Carlson. Oleh karena itu, hadirlah seutuhnya pada suatu momen. "Buat apa tergesa-gesa, bukalah mata pada keindahan setiap momen dan biarkan diri kita tinggal di situ," katanya.

Penguatan Ekonomi Desa


Jumat, 5 September 2008

Mukhaer Pakkanna

Tim Ekspedisi Anjer-Panaroekan 2008 yang digelar Kompas menyampaikan reportase menarik tentang ”Bendar, Pengecualian Desa Nelayan” (Kompas, 23/8/2008).

Kehidupan Desa Bendar Juwana, Pati, Jawa Tengah, dikesankan sebagai desa yang memiliki tingkat kesejahteraan rata-rata di atas penduduk desa nelayan dari daerah lain.

Ada tiga hal yang bisa ditangkap dari ritme kehidupan desa itu, pertama, tingkat social trust masih berjalan sempurna. Relasi kekerabatan yang ditandai semangat gotong royong dan persaudaraan masih terasah.

Kedua, keterlibatan kaum perempuan, termasuk dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap, masih sangat tinggi.

Ketiga, hilangnya sistem ijon (lintah darat) diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Ketiga hal itu sejatinya menjadi modal sosial bagi penduduk desa lain di Tanah Air. Pola kehidupan nelayan yang diperlihatkan di Desa Bendar sebenarnya sudah lama hidup dan bersemayam dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia. Namun, pola-pola itu terberangus akibat kebijakan pembangunan yang tersentralisasi. Inisiasi lokal menjadi lumpuh, diganti kebijakan penyeragaman pusat.

Desentralisasi Desa

Otonomi daerah meniscayakan desentralisasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasar prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000, kebijakan desentralisasi diikuti desentralisasi fiskal dan anggarannya pun terus meningkat signifikan.

Tidak mengherankan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 22 Agustus, kembali menyampaikan, transfer dana dari pusat ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, yang semula Rp 129,7 triliun (2004) menjadi Rp 292,4 (APBN-P 2008). Bahkan, pada RAPBN 2009 transfer digenjot lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Namun, Presiden mengakui tidak optimalnya pembelanjaan di daerah melalui APBD. Akibatnya, pada APBN 2007 ada sisa anggaran yang amat besar, mencapai lebih Rp 45 triliun.

Peningkatan 134,3 persen transfer dana pusat ke daerah sejatinya mampu menguatkan ekonomi desa. Namun, transfer dana itu lebih banyak berhenti pada lingkaran elite pejabat di daerah. Para pejabat di daerah menganggap pemerintahan desa adalah bawahan bupati. Segala kebijakan desa diatur oleh pemerintahan daerah sehingga desa tidak dianggap sebagai pemerintahan yang otonom (Rozaki dkk; IRE dan FF, 2004). Padahal, desa adalah pion terdepan dalam peningkatan prakarsa dan partisipasi rakyat. Pemerintahan desa seyogianya mampu mangagregasi dan mengatalisasi aspirasi rakyat, terutama dalam rangka merangsang rakyat dalam partisipasi publik.

Diakui, di tingkat desa sudah ada Badan Perwakilan Desa (BPD) yang menjadi corong masyarakat desa menyalurkan aspirasinya. Namun, secara umum, anggota BPD banyak yang tidak paham arti dan fungsi yang mereka miliki.

Tupoksinya tidak jalan karena pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi serius, hanya sekadar prosedural. Fungsi-fungsi legislasi DPD di tingkat lokal tidak optimal. Sementara itu, pemerintahan desa juga kurang memiliki prakarsa merangsang partisipasi dan inisiasi rakyat. Implikasinya, rakyat pun berjalan sendiri-sendiri. Tidak mengherankan jika arus urbanisasi membesar akibat kemelaratan rakyat yang terus mengimpit di desanya.

Penguatan desa

Menurut data Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT; 2008), terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori amat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori amat tertinggal.

Desa tertinggal adalah desa yang belum dapat dilalui mobil, belum ada sarana kesehatan, belum ada pasar permanen, dan belum ada listrik. Rata-rata keluarga miskin di desa tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Data ini berbicara, hampir separuh desa di Indonesia tertinggal. Tentu, peningkatan alokasi anggaran ke daerah dari tahun ke tahun seharusnya mampu mengurangi jumlah desa tertinggal. Namun, stimulus desentralisasi fiskal kurang optimal berjalan untuk membangun prakarsa dan kesejahteraan masyarakat desa. Maka, pendekatan sosial-kultural seharusnya berjalan simultan dengan peningkatan alokasi anggaran ke daerah dan desa.

Untuk menguatkan kapasitas ekonomi desa, perspektif desentralisasi seharusnya berujung tombak di tingkat desa. Prakarsa pemimpin dan tokoh masyarakat desa harus digalakkan. Jangan sampai karisma dan keteladanan pemimpin/tokoh masyarakat desa kian hilang.

Dengan tipikal masyarakat paternalistik, penguatan ekonomi masyarakat desa membutuhkan ”nabi-nabi” yang mampu menggelorakan semangat wirausaha desa. Maka, Pemda harus membuat program berkesinambungan—tidak sekadar dijadikan proyek jangka pendek—mendekati tokoh teladan di masyarakat.

Selanjutnya, perlu pula menghidupkan kembali sistem kekerabatan di desa-desa. Hidupkan kembali semangat gotong royong dan persaudaraan masyarakat. Dalam konteks ini, alokasi anggaran yang besar bukan jaminan untuk membangun sistem kekerabatan. Yang diperlukan adalah membangun saling percaya (social trust) melalui perkumpulan-perkumpulan warga.

Selanjutnya perlu membangun berbagai kelompok sosial dan ekonomi kaum perempuan. Keberhasilan Grameen Bank di Banglades karena mampu membangun kolektivitas produksi di tingkat perempuan. Kata Muhammad Yunus, membantu perempuan akan lebih mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dan, inilah yang membuat Desa Bendar Juwana, Pati, mampu membuktikannya.

Namun, perlu diingat, diperlukan upaya kuat membangun sistem dan kelembagaan ekonomi desa yang didasarkan pada pola kekerabatan dan bagi hasil. Untuk itu, hidupkan kembali sistem jimpitan, lumbung padi, warung-warung desa, dan lainnya.

Mukhaer Pakkanna Peneliti Cides; Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta



Anjloknya Ketahanan Pangan


Jumat, 5 September 2008 |

IVAN A HADAR

Indonesia masuk perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor.

Padahal, sejak dua tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian anak balita dan ibu melahirkan.

Sebenarnya, spirit penguatan ketahanan pangan bisa ditemui dalam judul utama disertasi doktoral SBY, ”Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran”. Sayang, kebijakan pemerintah selama ini dinilai mengorbankan pertanian di pedesaan sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak. Indikasinya, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri.

Saat ini sumber pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat modal. Tak heran jika dulu tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja.

Mereka yang jatuh miskin pun semakin bertambah. Sebagian besar berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.

Bagi Amartya sen (Poverty and Famines), persyaratan pengamanan pangan masyarakat bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar. Sebenarnya, ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956), misalnya, mengingatkan, kesenjangan penghasilan dan menunjukkan trickle-down effect sulit dicapai.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980-an diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas pada tahun 1990-an lewat kebijakan Structural Adjustment Program oleh IMF sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini sebagai ”masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian.” Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Bagi Brandt, penerapan SAP menjadi akhir dari pembangunan pedesaan.

Keberhasilan negara lain

Dilatari kegagalan pembangunan pedesaan itu, ada baiknya menengok keberhasilan Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai ”motor” pengembangan sektor lainnya. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting, yaitu dukungan kepada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi, membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil, serta menghindari diskriminasi sektor pertanian (Binswanger, 1998). Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.

Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan juga dianjurkan Gabrielle Geier (1996). Pertama, perlu koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar Yang diperlukan adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur.

Ketiga, mengoreksi kebijakan male bias demi memperkuat status sosial-ekonomi perempuan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 12 tahun lalu, semua negara peserta, termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 juta menjadi separuhnya pada tahun 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, masih ada 825 juta jiwa kelaparan. Meski terjadi proses deras urbanisasi, 60-70 persen penduduk negeri ini masih bermukim di pedesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan pangan berasal dari keluarga petani gurem.

Perubahan

Dua pertiga petani gurem tergolong marginalized karena memiliki lahan tandus, terisolasi letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses kredit. Penyebab lainnya, buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30 persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani, nelayan musiman, dan menggantungkan hidup pada hasil hutan (Armin Paasch, 2006).

Ketahanan pangan atau hak atas pangan harus dimulai dari berbagai kelompok ini. Kenyataannya, sejak dekade terakhir mereka kian tergusur. Perubahan struktural berupa komersialisasi sumber daya produktif, seperti lahan, air, dan bibit serta anjloknya harga produk pertanian dan liberalisasi asismetris perdagangan pertanian, telah memperburuk kondisi mereka (Windfuhr, 2005). Tanpa perubahan drastis kebijakan agar berpihak pada petani gurem dan pembangunan pedesaan, permintaan pemerintah pusat agar gubernur, wali kota, bupati, dan masyarakat untuk bekerja keras dalam peningkatan ketahanan pangan akan sia-sia karena menjadi sekadar imbauan tanpa arah dan pemihakan yang jelas.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs; Pendapat Pribadi

Didi Supriyanto: Setahu Saya Sophan Ditabrak

KOMPAS.COM/SUGIHARTO
Seorang kerabat termenung melihat foto kenangan Alm Sophan Sophiaan di rumah duka Jl.Garuda V, Bintaro, Jakarta Selatan, Sabtu (17/5). Alm Sophan Sophiaan meninggal diusia 64 tahun karena kecelakaan dalam tour jalur merah Putih di Ngawi Jawa Timur menuju Yogyakarta dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional

Kamis, 4 September 2008 | 17:27 WIB

Laporan wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KAMIS - Sahabat almarhum Sophan Sophiaan, Didi Supriyanto mengaku mendapat kabar bahwa Sophan meninggal dunia karena ditabrak oleh seorang pengendara sepeda motor gede (moge) yang berada di belakangnya. Bukan jatuh, seperti yang diberitakan selama ini.

Didi merupakan teman sesama pecinta Harley Davidson dan juga teman satu partai Sophan di Partai Demokrasi Pembaruan. Kabar meninggalnya Sophan, didapat Didi dari salah satu temannya yang juga ikut dalam touring Jalur Merah Putih (JMP).

"Info dan berita yang saya terima di hari H (hari kecelakaan), almarhum ditabrak oleh orang yang berada di belakangnya. Tapi karena saat itu semua panik, nggak saya follow up. Sehari kemudian, saya berangkat umroh. Sepulang umroh, kok jadinya karena jatuh saya nggak tahu juga. Karena yang saya tahu, di hari kecelakaan itu ditabrak, bukan jatuh," kata Sekretaris Pelaksana Harian PDP, di Jakarta, Kamis (4/9).

Si penyampai informasi menyebutkan siapa orang yang diduga menabrak Sophan. "Tapi tidak usah disebutkan. Saat saya tanya, juga orangnya nggak ngaku," ujarnya.

Menurut pengalaman yang diketahui Didi selama melakukan touring bersama Sophan, aktor kawakan itu tahu bagaimana menyelamatkan diri jika terjatuh. Sesuai teori yang diajarkan, jika pengendara moge terjatuh, maka ia akan melepas motornya dan menyelamatkan diri ke arah yang berlawanan dengan arah jatuhnya motor. Sehingga, tak memungkinkan tubuhnya akan tertindih motor yang cukup berat.

Kisah Didi, Sophan pernah mengalami dua kali kecelakaan. Pertama, di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan dan kedua, saat melakukan touring di Amerika Serikat. Saat kejadian, Didi berada di dekat Sophan. "Sehingga, saya tahu pasti bagaimana almarhum menyelamatkan diri sesuai teori yang diajarkan. Dan selama dua kali kecelakaan itu, almarhum sama sekali tidak mengalami luka," kata Didi.

Terlepas dari takdir Tuhan, Didi mengatakan tak masuk akal jika Sophan mengalami akibat yang fatal sampai meninggal dunia kalau hanya jatuh dari motornya. Sebab, menurut dia, kecepatan motor saat touring sangat rendah, di bawah 40 km/jam. (ING)

Dirlantas Polda Jatim: Sophan Tidak Ditabrak

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Widyawati dan Sophan Sophiaan (1992).


Kamis, 4 September 2008 | 22:11 WIB

SURABAYA, KAMIS - Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur Kombes Pol Condro Kirono menyatakan sembilan saksi yang sudah diperiksa polisi menyebutkan bahwa Sophan Sophiaan tidak meninggal dunia karena ditabrak, melainkan kecelakaan tunggal saat tur "Jalur Merah Putih" (17/5/2008).

"Semua saksi yang kami periksa menyatakan almarhum mengalami kecelakaan tunggal dan belum ada yang menyebut ditabrak," kata Condro saat menggelar konferensi pers bersama Kasat Lantas Polres Ngawi AKP Eny Mardiasri dan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti di Balai Wartawan Mapolda Jatim, Kamis (4/9) sore.

Dirlantas Polda Jatim yang segera bertugas di Polda Metro Jaya mengemukakan hal itu menanggapi pernyataan isteri almarhum, Widyawati, di Jakarta bahwa suaminya tewas bukan akibat terjatuh dari sepeda motor gede (moge) yang dikendarai saat touring menyemarakkan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, melainkan karena dilindas pengendara sepeda motor di belakangnya.

Widyawati mengaku mendapat bukti baru soal kematian suaminya, yaitu opini berbeda dari dokter, surat lampiran dari Polres Ngawi yang diduga hilang, keterangan saksi, dan surat tentang perkembangan perkara yang telah dibuka seseorang, bahkan Widyawati mengaku mengetahui siapa yang patut diduga melindas suaminya, tapi dirahasiakan.

Namun, beberapa pengendara moge yang disebut-sebut ada di belakang Sophan adalah mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Roesmanhadi dan mantan Dirjen Sistem Perencanaan Pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan) Marsda (Purn) Pieter Wattimena.

Menurut Dirlantas Polda Jatim Kombes Pol Condro Kirono, hingga kini belum ada satu pun kesaksian yang menyatakan almarhum ditabrak, namun pihaknya tidak akan menghentikan penyidikan bila ada keterangan lain.

"Dalam pemeriksaan sembilan saksi memang ada kisaran suara dari ibu Atin, karena itu kami pun memanggil ibu Atin untuk diperiksa, namun keluarganya menyatakan ibu Atin masih ada di Amerika. Kalau datang, kami akan melayangkan panggilan kedua," katanya.

Bahkan, katanya, saksi Murjoko yang menyebut almarhum ditabrak juga sudah diperiksa. "Pak Murjoko ternyata tukang ojek yang ada di TKP (tempat kejadian perkara) sekira tiga jam setelah kejadian. Dia memang saksi yang sempat ditanya wartawan yang datang belakangan, tapi ternyata dia tidak tahu langsung," katanya.

Visum RS Sragen

Dalam kesempatan itu, Kasat Lantas Polres Ngawi AKP Eny Mardiasri menambahkan visum et repertum dari Rumah Sakit (RS) Sragen menyebutkan almarhum mengalami luka memar dan lebam serta patah tulang di bagian rusuk.

"Tapi, hal itu belum dapat dikatakan karena ditabrak, karena luka-luka seperti itu dapat diakibatkan beberapa sebab, bisa karena ditabrak, tapi bisa juga karena tertindih moge yang dikendarai," katanya.

Setelah kejadian, katanya, pihaknya memantau TKP dan menemukan di lokasi kejadian ada lobang di bahu jalan yang lebarnya 40 cm dan panjangnya 90 cm.

"Setelah pemeriksaan, kami memang mengirimkan surat lampiran dari Polres Ngawi kepada isteri almarhum sebagai ungkapan bela sungkawa, kemudian kami juga mengirimkan SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan) sebagai bentuk pertanggungjawaban kami untuk memberitahukan perkembangan penyidikan," katanya.

Namun, katanya, dugaan adanya lampiran diduga hilang, karena Polres Ngawi memang tidak menyertakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atau lampiran hasil pemeriksaan saksi, sebab BAP merupakan dokumen penting yang hanya boleh diketahui pimpinan Ditlantas Polda Jatim.

"Jadi, kami sengaja tidak menyertakan lampiran dokumen penting itu, karena sifatnya memang tidak boleh diketahui umum," katanya.

Menurut dia, sembilan saksi yang telah diperiksa antara lain Freddy Sumitro (peserta touring), Kusnadi (peserta touring), Kompol Haris (Polantas), AKP Yoga (Polantas), dan sebagainya.

"Kalau ibu Atin memang peserta touring, tapi dia berada di belakang agak jauh, padahal kami sudah memeriksa peserta touring yang ada di dekat almarhum dan beberapa saksi mata," katanya.

Rekan satu rombongan dalam touring itu, Tri Erika, menyatakan almarhum mengalami kecelakaan hingga meninggal akibat motor besarnya melindas lubang di perbatasan Sragen (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur). Sophan sempat terjatuh, lalu motornya terguling, kemudian tubuhnya tertimpa motor serta membentur batu jalanan.

IMA
Sumber : Antara

Rekapitulasi Orang Hilang


Usman Hamid

Beberapa pekan ini, korban penghilangan paksa memperingati hari orang hilang sedunia yang jatuh pada 30 Agustus.

Peringatan di Banda Aceh, Palu, dan Jakarta ini ingin mengingatkan, penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan sebab setiap orang harus dilindungi oleh kekuasaan negara.

Mendunia

Perjuangan korban penghilangan paksa telah mendunia. Perjuangan ini dimotori ibu-ibu yang kehilangan anaknya, berpuncak Desember 2006, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Tiap negara diamanatkan kewajiban imperatif untuk memenuhi hak korban atas kebenaran (truth), menghukum pelaku, dan mencegah terulangnya kejahatan terkeji ini.

Kasus orang hilang di Indonesia telah lama disorot PBB. Sebelum reformasi, Pelapor Khusus PBB Urusan Penyiksaan, Prof Koijmas, mengunjungi Indonesia dan Timor Timur (4-16 November 1991). Dalam kunjungan itu, Indonesia diminta melaksanakan upaya legislatif, administratif, peradilan efektif, atau upaya lain untuk mencegah dan menghentikan penghilangan paksa sesuai Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (disahkan 18 Desember 1992). Pemerintah diharapkan mengundang Kelompok Kerja (Pokja) PBB untuk Orang Hilang ke Indonesia.

Komite Antipenyiksaan 2008 meminta klarifikasi atas hilangnya seorang anak usia 16 tahun yang diambil dari tahanan tahun 2004; dua aktivis di Aceh, Mukhlis dan Zulfikar (Link for Community Development), serta seorang guru SD, Muhammad Amin Alwi; dan Hasballah, yang diambil paksa orang bersenjata dan berpakaian militer di Nagan Raya.

Tahun ini mekanisme baru bernama Peninjauan Berkala Universal mengkaji keadaan HAM berbagai negara. Untuk Indonesia, Dewan HAM PBB meminta Indonesia menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa. Salah satu isinya menegaskan, ”Orang-orang yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa harus diadili hanya oleh pengadilan biasa yang kompeten dan bukan pengadilan khusus seperti mahkamah militer” (Pasal 16).

Kepada Dewan HAM PBB, Pokja Orang Hilang menyerahkan lima laporan kasus orang hilang ke pemerintah, yaitu kasus Rohadi Iwan Hadi Subroto dan Makdum Budi Martono, yang dilaporkan ditahan tahun 1965 oleh militer dan polisi. Sementara tiga lainnya, Iwan Ronti, Hasyim Toana, dan Aswat Lamarati, yang diketahui ditahan militer tahun 2001. Kelompok kerja tak mendapat respons atas kasus-kasus itu.

Pokja Orang Hilang juga menyampaikan permintaan kunjungan ke Indonesia. Pada 12 Desember 2006, pokja mengajukan permintaan untuk melakukan misi ke Indonesia setidaknya akhir tahun 2007 atau awal 2008 guna mengklarifikasi kasus yang belum terespons. Pemerintah menyatakan telah menerima permohonan kunjungan itu pada 24 January 2007. Lalu, pada Maret 2007 Sekretaris Pokja bertemu perwakilan misi tetap Indonesia untuk mendiskusikan beberapa kasus yang belum terespons dan permintaan misi. Pokja mendapat catatan dari Permanen Mission, Indonesia menerima kunjungan special rapporteur dan dua kunjungan telah dijadwalkan selama 2007, yakni Utusan Khusus dari Sekjen PBB untuk Urusan Pembela Hak Asasi Manusia.

Klarifikasi

Untuk alasan ini, pemerintah menyatakan, agenda 2007 telah penuh. Lebih baik pokja mengajukan kunjungan setelah itu. Pokja menghargai respons pemerintah atas permohonan kunjungan itu dan berharap ada tanggal yang diajukan. Sekitar tahun lalu dan selama tahun berjalan, pokja menyerahkan 162 kasus kepada pemerintah. Dari semua itu, tiga kasus telah diklarifikasi berdasarkan info dari sumber dan 159 kasus belum bisa ditindaklanjuti. Pokja mengulang kembali pada laporan tahunan 2006 karena pokja juga tidak menerima informasi dari pemerintah.

Dalam Laporan Komisi HAM 2005, pokja meminta pemerintah mengklarifikasi 148 kasus orang hilang yang terjadi tahun 1992 dan tahun 1998-2000 di Jakarta, Aceh, dan Timor Timur, serta kasus-kasus lain yang terjadi tahun 2002-2003 di Aceh. Seluruh kasus penghilangan paksa melibatkan aparat keamanan. Dari data itu, masih 146 kasus belum terklarifikasi sehingga pokja belum mengetahui nasib dan keberadaan korban.

Pokja telah menyerahkan 10 kasus baru kepada Pemerintah Indonesia, di antaranya penculikan Aristoteles, sopir Theys Eluay yang dibunuh, dan Bachtiar Johan yang hilang tahun 1984. Juga ada delapan kasus atas nama Gunawan, Alfian, Aman, Jumanro, Ihwan, Mulyani, Rinawati, dan Sugianto yang dilaporkan hilang di Mall Yogya 14 Mei 1998. Selama periode itu, pokja tidak menerima informasi apa pun dari pemerintah atas kasus-kasus yang belum terklarifikasi.

Di antara kasus dalam laporan PBB itu, mungkin sudah ada yang ditemukan atau dibawa ke pengadilan. Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mengklarifikasi semua informasi itu. Misalnya, meninjau hasil penyelidikan Komnas HAM atau klarifikasi langsung dengan instansi pemerintah yang relevan, seperti TNI/Polri. Agar komprehensif, pemerintah perlu membentuk Komisi untuk Orang Hilang sebagaimana rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Tujuannya, mencari kejelasan nasib dan keberadaan orang hilang.

Usman Hamid Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

Thursday, September 4, 2008

Apa yang kau cari, Alfredo?

17 February 2008



Mayor Alfredo Reinado Alves, Senin (11/2/2008), tewas di tangan pasukan pengawal Jose Ramos Horta di Dili. Sebelumnya, Alfredo memimpin serangan yang menyebabkan presiden Timor Leste itu kritis. Apa yang kau cari Alfredo?

Wajah Alfredo Reinado Alves (51) sebenarnya tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sebab, dia sempat nongol di acara Kick Andy pada Mei 2007. Secara blak-blakan pria kelahiran Dili pada 1956 ini mengecam keras Ramos Horta (presiden Timor Leste), Xanana Gusmao (perdana menteri), Mari Alkatiri (bekas presiden), serta para pemimpin Timor Leste dari faksi Fretelin.

Alfredo mengklaim sebagai orang yang sangat gigih membela konstitusi negaranya. Sebaliknya, dia menilai Xanana, Horta, dan kawan-kawan sebagai pengkhianat konsitusi. "Saya tidak desersi. Saya bukan pemberontak. Saya justru melayani bangsa dan negara," tegas Alfredo saat diwawancarai Andy F Noya, pengasuh Kick Andy. Wawancara di sebuah tempat yang dirahasiakan di Indonesia ini ditayangkan kembali oleh Metro TV Senin malam.

Seperti diketahui, setelah revolusi bunga di Portugis pada 1975, terjadi kekosongan kekuasaan di Timor Timur. Terjadi pergolakan di dalam negeri karena partai-partai politik seperti Fretelin, Apodeti, UDT, dan Kota gagal mencapai kesepakatan tentang masa depan negerinya. Perang saudara pun pecah. Ribuan warga Timor Timur terpaksa mengungsi ke Indonesia, tepatnya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Lalu, sebagian elemen politik menyatakan berintegrasi dengan Indonesia. Pada Sidang Umum MPR 1976, Timor Timur secara resmi dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Republik Indonesia. Sejak itulah Alfredo serta para elemen anti-integrasi, termasuk Xanana Gusmao, bergerilya di hutan-hutan dan ranah diplomasi.

Pada 1976 dia berpisah dari ibunya, asli Timor, dan ayahnya, keturunan Portugis, dan memilih berjuang. Usianya baru 20 tahun. Pasukan TNI dari Batalyon 725/Kendari pernah menjinakkan Alfredo sebagai tenaga bantuan. Beberapa saat kemudian, ia dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke Kendari lewat kapal laut. Di ibukota Sulawesi Tenggara itu dia tinggal bersama orang Bugis.

"Saya kemudian lari ke Kalimantan, kemudian Surabaya, dan beberapa kota di Jawa," tutur Alfredo. Tak heran, Alfredo bisa berbahasa Indonesia dengan fasih dan diplomatis.

Lama tak ada kabarnya, pascareferendum 1999, yang dimenangi kubu prokemerdekaan, Alfredo turun gunung untuk menikmati euforia kemerdekaan. "Saya dipanggil untuk masuk militer karena saya dianggap punya kemampuan," kenang Alfredo.

Taur Matan Ruak, pentolan gerilyawan Fretelin, menjadi bosnya. Alfredo mengaku diminta membangun unit khusus tentara Timor Leste dari nol.

Yang menarik, pria ganteng ini mengaku sebetulnya tidak ingin menjadi tentara di negara baru tersebut. Ia lebih senang menjadi rakyat biasa, nelayan kecil. Tapi, karena negara membutuhkannya, Alfredo pun akhirnya bersedia berkarir di militer.

"Saya minta cukup empat tahun saja. Sebab, keluarga tidak mau saya jadi militer," papar Alfredo.

Pada 20 Mei 2002, Republik Timor Leste alias Timor Lorosae diakui dunia internasional sebagai negara merdeka. Xanana Gusmao dipercaya sebagai presiden, Ramos Horta perdana menteri. Para bekas gerilyawan pun mendapat posisi penting di negara yang berbatasan dengan Kabupaten Belu, NTT, itu.

Meskipun merdeka, Timor Leste tidak mampu menjamin ketertiban dan keamanan di dalam negeri. Maka, pasukan asing pun dikerahkan ke sana, mayoritas berasal dari Australia. Sampai sekarang pun Timor Leste masih mengandalkan pasukan Australia untuk menjaga stabilitas nasional negara miskin itu. Bukan itu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Timor Leste melakukan kerja sama ekonomi dengan Australia, khususnya dalam rangka eksploitasi minyak di celah Timor.

Nah, Alfredo ternyata sangat menentang kerja sama serta ketergantungan pada Australia. Dia menilai hal ini sebagai 'memerkosa' konstitusi. "Kehadiran pasukan internasional itu melanggar konstitusi. Dan saya seorang nasionalis yang ingin membela konstitusi," tegas Alfredo.

Dia juga menuduh Horta, Xanana, Mari Alkatiri, serta petinggi Fretelin melakukan rekayasa politik sedemikian rupa agar bisa berkuasa hingga 50 tahun ke depan. Termasuk memaksakan ideologi komunisnya di Timor Leste.

Namanya juga mantan gerilyawan, diam-diam Alfredo menyusun kekuatan. Pada 28 April 2006, dia bersama 591 tentara Timor Leste membuat kerusuhan di Dili, ibukota Timor Leste. Sejumlah orang terbunuh dan sekitar 150 ribu warga mengungsi, termasuk ke Indonesia. Sejak itulah Alfredo menjadi buronan pemerintah. Xanana, yang saat itu menjadi presiden dan Horta menjabat menteri luar negeri meminta pasukan Australia untuk menangkap Alfredo.

Setelah bernegosiasi dengan pemerintah, pada 25 Juli 2006 Alfredo menyerahkan diri. Pria yang istrinya tinggal di Australia ini juga menyerahkan sebagian senjata. Namun, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menahan 'sang pemberontak', begitu julukan pemerintah Timor Leste pada Alfredo.

"Saya ditahan tanpa alasan yang jelas. Katanya, saya membawa senjata ilegal, melakukan revolusi, meninggalkan dinas. Saya tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Padahal, semua tuduhan itu fitnah," katanya.

Menurut Alfredo, 80 persen petinggi Timor Leste sekarang, termasuk Xanana dan Ramos Horta, pembohong karena pernyataan mereka berbeda dengan praktik sehari-hari. Dia juga kecewa dengan Xanana yang berubah setelah menjadi orang penting di Timor Leste.

"Xanana saat perjuangan dengan Xanana sekarang sudah lain. Saya kecewa karena Xanana memfitnah hati nuraninya hanya karena alasan ekonomi dan kekuasaan," tegasnya.

Sebulan kemudian, tepatnya 30 Agustus 2006, Mayor Alfredo kabur dari penjara Becora, Timor Leste. Mantan kepala polisi militer sekaligus pemimpin tentara desersi itu melarikan diri bersama 56 tahanan lainnya setelah menjebol beberapa tembok di sisi timur penjara. Kepala Penjara Becora Carlos Sarmento mengatakan, beberapa tahanan yang dulu menjadi milisi pro-Indonesia juga ikut kabur.

"Siapa bilang saya kabur? Saya dan teman-teman bisa keluar dengan santai. Kami kan militer, jadi punya kemampuan," ujar Alfredo lalu tertawa kecil.

Sejak itulah Alfredo seperti lenyap ditelan bumi. Tiba-tiba saja dia membuat geram pemerintah Timor Leste karena muncul di talkshow Metro TV pada Mei 2007. Setahun kemudian, tepatnya 11 Februari 2008, Alfredo kembali bikin ulah dengan menyerang Ramos Horta, presiden negara miskin itu. Kudeta ini gagal. Sang pemberani ini pun tewas. Lalu, dia dimakamkan dengan iringan lagu Ungu Band, Andai Kutahu.

"Pemberontak yang benar-benar gaul," celetuk Mr Pecut di Jawa Pos.

Apa yang kau cari Alfredo?

Danau Kelimutu di Flores

28 June 2008



Oleh Metta Dharmasaputa

Sejaras cahaya jingga seolah membelah langit ketika saya tiba di puncak gunung suatu pagi pada Maret 2008. Pucuk-pucuk cemara tegak di tepian kawah, hening dan berkilau keemasan dalam cahaya fajar. Di ketinggian 1.670 meter, angin dingin menderu menusuk tulang. Yohanes Voda, 61 tahun, menyuguhkan secangkir kopi jahe hangat. Nikmatnya bukan main. Apalagi kerongkongan sudah kering setelah mendaki Gunung Kelimutu.

Seperti semua turis lain yang sudi mendaki satu kilometer anak tangga sampai ngos-ngosan, tujuan saya adalah menikmati keelokan kawah tiga warna di puncak gunung itu: Danau Kelimutu. Tak ada catatan pasti kapan danau tiga warna ini mua-mula ditemukan penduduk setempat. Warna airnya berubah-ubah dari masa ke masa. Namun, kelir air danau paling terkenal adalah merah, putih, dan biru. Inilah warna yang biasa dinyanyikan anak-anak sekolah dasar di berbagai belahan Pulau Flores. Dari masa ke masa, warna ini berubah-ubah seturut dengan musim, cahaya matahari, serta aneka perubahan kimiawi di dasar kawah.

Di sebuah tugu kecil di puncak gunung saya bertemu Yohanes Voda. Dia penduduk setempat yang telah 'merawat' Kelimutu selama 26 tahun terakhir sembari berjualan sekadar minuman bagi para turis. Dia pula yang memandu saya ke puncak menunjukkan kawah tiga warna. Indah, tenang, dan mistis, air danau terbentang jauh di dasar kawah dalam warna hijau kebiru-biruan, hitam, dan cokelat pekat seperti Coca Cola. Pak Tua Voda ibarat 'juru kunci tak resmi' bagi para pelancong Kelimutu.

Di sebuah pelataran dekat tugu kecil, Voda 'menjamu' tamunya setiap pagi--turis lokal dan asing. Mereka datang pagi-pagi benar, mengejar matahari terbit, agar keindahan puncak ketiga danau gunung itu dapat dilahap mata secara maksimal. "Saya sudah 26 tahun berjualan di sini," ujar Voda. Berdiam di sebuah desa di kaki gunung, dia berjalan kaki enam kilometer setiap hari untuk menjajakan kopi jahe khas Ende, teh hangat, serta lembar-lembar tenun ikat.

Kain-kain itu bersepuh warna alami dari akar mengkudu dan daun nila. Selembar kain dia hargai Rp 125 ribu. "Agak mahal karena selembar kain itu butuh tiga bulan untuk membuatnya," kata Voda. Puncak Kelimutu bukan sekadar tempat dia mencari nafkah. Tiga kawah itu dia yakini sebagai tempat bermukim para arwah leluhur suku Lio, suku asli di Kabupaten Ende.

"Tempat ini keramat dan disucikan," kata Voda. Karena itu, ia meminta setiap pengunjung tak sembarang memetik buah dari tanaman khas bedaun merah yang tumbuh di sepanjang bukit. "Itu makanan para arwah. Kalau mau petik, izin dulu," dia menambahkan.

***

Terletak 60 kilometer dari Ende, ibu kota Kabupaten Ende, kawah di puncak Kelimutu telah lama menjadi andalan pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Namanya masyur bahkan hingga ke berbagai belahan dunia, terutama melalui getok tular para turis asing yang pernah melancong ke sana.

Bentuknya mirip danau membuat sisa kawah ini pun disebut Danau Kelimutu atau danau triwarna. Berada di lahan sekitar 5.000 hektare, sejak 1967 kawasan ini ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional. Wilayahnya masuk lima kecamatan: Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Wolojita, dan Kelimutu.

Van Schuktelen, warga negara Belanda, yang mula-mula 'membuka' informasi danau tiga warna ini ke dunia luas pada 1915. Keindahan Kelimutu kian tesia setelah Y. Bouman, juga seorang pelancong Eropa, menuliskannya pada 1929. Sejak saat itulah turis asing mulai berdatangan. Misionaris asing di Flores turut membawa kabar tentang danau unik ini ke belahan Eropa dan negeri lain. Belum lagi peneliti yang amat tertarik mencari tahu penyebab fenomena alam yang amat langka ini.

Di Ende Lio, penduduk menyebut ketiga danau ini sebagai Tiwu Ata Mbupu (danau orang tua), Tiwu Nua Muri Ko'o Fai (danau muda-mudi), dan Tiwu Ata Polo (danau tukang tenung) yang dikenal angker. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri hanya dipisahkan dinding terjal selebar 15-20 meter. Sekitar 300 meter di sebelah barat Tiwu Nua Muri terletak Tiwu Ata Mbupu. Masyarakat sekitar percaya bahwa Danau Kelimutu adalah tempat semayam arwah para leluhur. Setelah meninggal, arwah mereka pindah dari kampung ke puncak Kelimutu untuk selamanya. Kawah mana yang akan ditempati tergantung usia dan amal perbuatannya semasa hidup.

Sebelum masuk ke salah satu danau, menurut kepercayaan, para arwah terlebih dahulu menghadap Konde Ratu. Dialah penjaga gerbang Perikonde, yang diyakini sebagai pintu masuk arwah menuju Danau Kelimutu. Di sini setiap pengunjung diperkenankan memberikan kepingan uang logam, sirih pinang, atau rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu.

***

Kelimutu juga memiliki tempat tersendiri di hati Soekarno. Menurut Voda, presiden pertama Indonesia itu biasa bersemedi di puncak gunung semasa keluarganya dibuang pemerintah Belanda pada 1934-1938. Sebagian jejak Soekarno masih terekam di Museum Bung Karno di Jalan Perwira Ende. Sejumlah barang koleksi miliknya masih tesimpan baik. Seperti foto keluarga dan pribadi Bung Karno, barang-barang keramik, dua tongkat berkepala monyet, lemari pakaian, dan tempat tidur.

Di halaman belakang ada sumur yang digali sendiri oleh Soekarno untuk keperluan sehari-hari. Sebagian kalangan percaya airnya berkhasiat menyembuhkan penyakit dan obat awet muda. Musa, penjaga museum, mengatakan: "Ada pengunjung khusus datang untuk mengambil air dari sumur itu."

Peninggalan lain yang menjadi daya tarik museum adalah ruang semadi Bung Karno. Dalam ruang senyap dan dingin berukuran tiga kali dua meter itu Soekarno biasa menghabiskan malam untuk bersujud memohon 'bantuan' bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Anggota DPR Permadi pernah juga bersemadi di situ," kata Musa. Di kota ini pulalah Soekarno mencetuskan ide lahirnya Pancasila. "Jika ke Kelimutu, Bung Karno pergi dengan berkuda," Musa menambahkan.

Guntur Soekarnoputra, anak tertua Bung Karno, meneruskan kebiasaan ayahnya. Voda menuturkan, dua tahun lalu [2006] Guntur datang mengendarai ojek untuk mengambil air dari dasar kawah. Setelah bersemadi dari malam hingga subuh, ia melepas ayam merah. "Sayalah yang menjaga ayam itu," kata Voda.

***

Bagi para turis yang tidak suka pada urusan klenik, 'keajaiban' tiga kawah Kelimutu tetap punya daya tarik. Warna air di ketiga kawah itu terus berubah. Kawah Tiwu Ata Mbupu yang pada 1915 berwarna merah darah, kini berwarna hitam kecokelatan. Begitu pula Tiwu Nua Muri. Kawah aktif dengan kedalaman 127 meter ini terus berubah warna dari hijau zamrud menjadi putih, biru, dan akhirnya hijau muda. Sedangkan Tiwu Ata Polo dari putih, hijau, biru, merah, dan kini cokelat kehitaman.

Menurut sejumlah peneliti, perubahan warna di kawah itu bisa jadi akibat pembiasan cahaya matahari dan pantulan warna dinding kawah, biota air, pantulan dasar danau, serta perubahan zat kimia yang terlarut di kawah. "Luar biasa indah," kata Mary, turis asal Amerika berdarah Indian.

Sayang, keindahan itu tak bisa dinikmati lama-lama. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, kabut sudah menyelimuti permukaan kawah. Karena itu, para wisatawan harus berangkat dari Ende ketika hari masih gelap agar setelah dua jam perjalanan mobil, mereka bisa mencapai danau ketika matahari terbit.

Pilihan lain adalah menginap semalam di Kampung Moni, 12 kilometer dari Kelimutu. Kebanyakan turis asal Eropa bahkan bisa menghabiskan 4-5 hari di sana. "Pagi-pagi mereka berlari menuju puncak gunung," ujar seorang staf penginapan. Setelah kabut menyergap, barulah mereka turun.

Perjalanan pulang biasanya menjadi saat-saat menarik karena banyak 'lukisan alam' yang luput terlihat sebelum terang tanah. Persawahan, air terjun, pemandian air hangat, serta jalan terjal yang melingkar di punggung bukit-bukit Flores yang permai. (Majalah TEMPO, 29 Juni 2008)

Imamat perak Romo Zakarias Benny




Kejadiannya sudah agak lama, 9 Agustus 2008, tapi saya kebetulan baru saja membaca di www.antara.co.id. Perayaan 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr di Witihama, Adonara Timur, Flores Timur, ternyata diwarnai peristiwa tragis.

Mama Maria Imaculata Barek Bunga, yang biasa disapa Ina Siti, orang tua angkat Romo Zaka selama bertugas di Adonara Timur selama seperempat abad meninggal dunia karena tertabrak sepeda motor. Maka, perayaan 25 tahun imamat--momentum sangat penting bagi seorang pastor--pun berubah nuansa. Usai misa syukur, Romo Zaka memimpin misa requiem, sekaligus melepas Ina Siti ke tempat peristirahatan terakhir.

Bagi kami di kampung, Desa Mawa [Napasabok] dan Nobolekan [Bungamuda], Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr punya posisi sentral. Romo Zaka, tetangga kakek saya di Nobolekan itu, merupakan pastor pertama di kampung saya. Namanya juga sangat dikenal di Ile Ape, kecamatan tandus di sebelah utara Pulau Lembata, karena jumlah pastor asal Ile Ape memang sangat sedikit.

Ile Ape yang tanahnya tidak subur sejak dulu dikenal sangat tandus untuk panggilan. Kalaupun ada benih panggilan, biasanya lekas kering, tak sampai berbuah. Beda sekali dengan tiga kecamatan lain di Lembata--Lebatukan, Atadei, dan Nagawutun--yang subur panggilan. Wilayah Kedang [Omesuri dan Buyasuri], meski tanahnya subur, tergolong kering panggilan. Tapi kasus di Kedang [bapak saya pernah jadi guru di Kedang] sangat berbeda dengan Ile Ape.

Pastor asal Ile Ape bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sebut saja Pater Gabriel Goran SVD, Pater Yulius Yuli Hada CSsR, Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, kemudian Romo Paskalis Kabe Hurek Pr. Lalu, siapa lagi ya? Oh, ya, berbeda dengan umat Katolik di Jawa yang menyamaratakan sebutan ROMO untuk pastor, di Flores umat mengenal PATER dan ROMO. PATER untuk imam biarawan [klerus], sedangkan ROMO untuk imam diosesan. Padahal, artinya ya sama saja: bapak.

Saking sulitnya panggilan di Kecamatan Ile Ape, pada 1980-an Pater Geurtz SVD dan Pater Willem van de Leur SVD--dua misionaris penting asal Belanda [RIP]--melakukan kampanye panggilan cukup gencar ke anak-anak sekolah dasar. Guru-guru sekolah dasar, yang juga merangkap ketua stasi atau gabungan, pun diberi semacam arahan khusus. Doa-doa panggilan sangat gencar. Meminta agar Tuhan sudi memanggil anak-anak Ile Ape bekerja di kebun anggur-Nya.

Kemudian ada program, kalau tak salah, namanya KELUARGAKU SEMINARI KECIL. Bahwa panggilan hanya bisa tumbuh di dalam keluarga yang rajin berdoa bersama-sama. Makan bersama, doa bersama, rajin misa, berkelakuan baik, dan seterusnya. Kemudian guru-guru asal Atadei, Nagawutun, dan Atadei dimutasi ke Ile Ape untuk menyebarkan 'virus' panggilan.

Saya yang masih kecil sering bertanya kepada guru-guru di sekolah dasar di Mawa, mengapa tidak ada orang Ile Ape yang jadi pastor. Pater-pater kok selalu dari Belanda, Adonara, Sikka, atau daerah Adonara, Solor, dan Flores lainnya?

"Yah, kita berdoa saja. Mudah-mudahan suatu ketika ada orang Ile Ape yang jadi pastor," kata Pak Paulus Lopi Blawa [RIP], guru asal Lebala. "Kalau kalian belajar rajin, otak encer, rajin berdoa, kalian di Ile Ape pun bisa. Tuhan itu kan memanggil siapa saja, termasuk orang Ile Ape," kata Pak Paulus bijak.

Kemudian muncul banyak analisis mengapa Ile Ape sulit melahirkan imam, bruder, dan suster. Pertama, budaya merantau yang luar biasa. [Topik ini akan saya bahas secara khusus.] Merantau lebih menguntungkan karena bisa mendatangkan uang untuk memperbaiki rumah, membeli barang-barang, dan sebagainya. Pastor bukanlah pilihan buat masa depan.

Di SDK Mawa, tempat bapak saya menjadi kepala sekolah [sekarang pensiun], misalnya, sejak akhir 1960-an tidak ada murid yang bercita-cita jadi pastor. Kecuali Paskalis Hurek, putra Ama Yeremias Selebar Hurek, katekis atau guru agama mula-mula di Mawa dan sekitarnya. Sebagian besar siswa nyaris tidak punya cita-cita. Lulus SD, merantau ke Malaysia. Atau sekolah sebentar di SMP atau SMA... lalu merantau. Mana bisa jadi pastor?

Kedua, intelektualitas anak-anak Ile Ape rata-rata rendah. Paling tidak dibandingkan dengan tiga kecamatan yang subur panggilan tadi: Atadei, Nagawatun, Lebatukan. Modal kecedasan alias IQ ini penting karena pendidikan di seminari jauh lebih berat daripada sekolah-sekolah umum. IQ harus tinggi agar mudah menyerap pelajaran. Namanya juga asumsi, ya, tidak ada kajian ilmiah. Tapi memang ada fakta bahwa anak-anak Ile Ape yang mencoba masuk seminari biasanya keluar [atau dikeluarkan] karena berbagai alasan.

Ketiga, orang Ile Ape rata-rata sulit berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Maklum, sejak melihat dunia, kami dibiasakan berbicara dalam bahasa ibu: bahasa Lamaholot. Berpikir dalam bahasa Lamaholot versi Ile Ape. Sulit sekali berbahasa Melayu ala Larantuka atau Lewoleba. Ini membuat anak-anak Ile Ape macam saya cenderung minder ketika bertemu orang Lewoleba. Wah, dia bisa cas-cis-cus dalam bahasa Indonesia, sementara saya hanya bisa menyimak.

Saya sendiri pun terheran-heran ketika mendengar orang Larantuka bisa bicara bahasa Melayu dengan fasih dan sangat cepat. Sedangkan saya terbata-bata. Maka, ketika saya SMP di Larantuka, saya menjadi bahan olok-olokan teman-teman asal Larantuka, Adonara, Flores Timur daratan yang jauh lebih fasih daripada kami orang Ile Ape. Tapi, bagi saya, olok-olok ini ada hikmah. Saya menjadi lebih terpacu belajar bahasa Indonesia, dan kemudian membuat saya selalu menjadi juara mengarang di Larantuka. Hehehe....

Dengan latar belakang ini, saya benar-benar kaget ketika mendengar kabar bahwa Diakon Zakarias Benny Nihamaking akan ditahbiskan di kampung. "Diakon Zaka heku? Nepe ti na nang tuana?" tanya saya kepada bapak saya. Diakon Zaka itu siapa? Berarti dia akan segera jadi pastor?

Asal tahu saja, selama pendidikan di seminari, Diakon Zaka Benny jarang pulang kampung, sehingga kami yang anak-anak tak banyak mengenalnya. Padahal, ya itu tadi, rumah orang tuanya dekat rumah kakek saya di Nobolekan.

Singkat cerita, 25 tahun lalu, Pater Geurtz SVD mengumumkan bahwa Diakon Zaka akan segera ditahbiskan di... Ile Ape. "Puji Tuhan! Ternyata, orang Ile Ape pun bisa jadi pastor. Kami juga bisa memberikan seorang putra terbaik untuk kebun anggur Tuhan," begitu kira-kira komentar orang kampung.

Misa tahbisan dipimpin Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa SVD [sekarang RIP]. Pesta besar-besaran. Melibatkan berbagai kalangan, tak hanya beberapa suku macam pesta perkawinan, semua orang berbahagian luar biasa. Akhirnya, ada juga romo yang lahir dari kampung kami yang terpencil di pelosok Lembata. Tahbisan Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr, saya yakin, semakin memotivasi Paskalis Hurek untuk kemudian ditahbiskan juga sebagai romo.

Teman sebaya saya waktu SD, Marselina, belum lama ini mengabarkan lewat adik saya bahwa dia dalam perjalanan ke kampung halaman. Tujuan utamanya Adonara Timur. Untuk apa? "Ikut pesta 25 tahun imamat Romo Zakarias Benny," begitu pesan pendek dari Vincentia, adik perempuan saya di Kupang.

Aha, ternyata Marselina sekarang ini berstatus biarawati. Suster Marselina! Puji Tuhan!

Kenyataan ini juga mematahkan anggapan miring pada tahun 1970-an bahwa orang Ile Ape sangat sulit menjadi pastor, bruder, dan suster. Dengar-dengar saat ini sudah lumayan banyak gadis-gadis asal Ile Ape yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan melalui berbagai kongregasi.

Ini juga berarti bahwa doa-doa kami, anak-anak kampung, perjuangan misionaris-misionaris perintis macam Pater Lorentz Hambach SVD, Pater Lambertus Paji Seran SVD, Pater Geurtz SVD, Pater Willem van de Leur SVD didengarkan Tuhan.

Selamat pesta perak imamat untuk Romo Zakarias Benny Nihamaking Pr!

Dominus vobis cum!

TAHANAN

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat? Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap

**
Di sini tak ada “aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu

**
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku…

Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa?

Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi.

Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja.

Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:

Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti….
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang, sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain.

Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”

Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-habisnya.

api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 - 24 Agustus 2008~

BINTANG

Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.

Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak.

Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita se­akan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”

Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesua­tu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang mengge­rakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah re­publik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.

Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.

Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidak­adilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?

Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.

Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledak­kan bom, menebar takut dan maut, seperti Al-­Qa­­i­dah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan se­suatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasa­an, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.

Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita meng­ubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menja­lankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah ­kemasan. Partai jadi komoditas, lengkap dengan kha­yalan yang muncul: seakan­-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.

Kini kita punya media massa yang mempermudah pa­rodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luas­nya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gam­pang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddhar­ta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus.

Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”

Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 - 31 Agustus 2008~

Perang

September 1, 2008


Ada sebuah pernyataan tentang perang yang seharusnya tak terlupakan, terutama ketika senjata masih terus diproduksi dan mesiu diledakkan dan manusia tak habis-habisnya sengsara: ”Tiap senjata yang dibuat, tiap kapal perang yang diluncurkan, tiap roket yang ditembakkan, menandai sebuah pencurian.”

”Pencurian” adalah kata yang mengejutkan. Tapi orang yang mengucapkannya, Dwight D. Eisenhower, tahu apa yang dikatakannya. Ia—satu-satunya jenderal yang jadi presiden Amerika Serikat pada abad ke-20—melihat dengan tajam bahwa ada hubungan erat antara ekonomi persenjataan dan peperangan, sebuah hubungan yang disebutnya sebagai ”kompleks militer-industri”. Bagi Eisenhower, tiap kali perang disiapkan dan tiap kali meletus, sesuatu yang berharga diambil dari ”mereka yang lapar dan tak dapat makan, mereka yang kedinginan dan tak dapat baju”. Permusuhan bersenjata menghabiskan keringat para buruh dan kecerdasan para ilmuwan. Korban tak hanya di medan tembak-menembak. Di bawah bayang-bayang perang, ”kemanusiaan-lah yang terpentang di sebatang salib besi”.

Eisenhower mengatakan itu pada 1953, kurang dari dua dasawarsa setelah perang besar menggerus dan mengubah Eropa dan Pasifik—sebuah perang tempat ia, sebagai prajurit, menyaksikan dan mengalami kegagalan dan kemenangan, seraya tahu bahwa di tiap medan tempur, kebrutalan, kebodohan, dan kesia-siaan tampak dengan jelas.

Kini tahun 2008. Di Irak dan Afganistan seharusnya semua itu juga jelas. Tapi orang Amerika telah memilih persepsi lain tentang perang: sebagai bagian prestasi kegagahan, patriotisme, sikap setia kawan, dan keluhuran budi yang sudi berkorban sehabis-habisnya.

Empat tahun yang lalu, John Kerry, calon presiden Partai Demokrat, kalah karena ia diragukan kepahlawanannya dalam Perang Vietnam. Tahun ini, calon presiden dari Partai Republik, John McCain, seorang yang berumur 72 tahun, bisa jadi akan dipilih karena nun di masa lalu dia ”pahlawan perang”. Sebaliknya Obama, yang tak pernah terlibat dalam perang apa pun, dan menjanjikan sebuah masa depan yang berbeda, diragukan kemampuannya sebagai ”panglima tertinggi”. Ia bisa kalah karena itu.

Kenangan bisa jadi aneh memang, dan masa lalu tak pernah datang sendiri. Sejarawan Inggris terkenal, Tony Judt, dalam The New York Review of Books (1 Mei 2008), mengatakan sesuatu yang tajam dan menukik dalam: ”Amerika Serikat kini satu-satunya demokrasi yang telah lanjut di mana tokoh-tokoh publik mengagungkan dan menjunjung tinggi militer, sebuah perasaan yang dikenal di Eropa sebelum 1945 tapi tak terasa lagi sekarang.” Para politikus Amerika, kata Judt pula, mengelilingi diri dengan ”lambang dan pajangan yang menandai kekuatan bersenjata”.

Judt menemukan sebabnya: perang belum pernah membuat Amerika remuk. Dalam pelbagai konflik abad lalu, Amerika tak pernah diserbu. Ia tak pernah kehilangan onggok besar wilayahnya karena diduduki negara asing. Bahkan, sementara AS amat diperkaya oleh dua perang dunia, Inggris kehilangan imperiumnya. Meskipun merasa dipermalukan dalam perang neokolonial di negeri jauh (di Vietnam dan di Irak), orang Amerika tak pernah menanggungkan akibat kekalahan secara penuh. Mereka bisa saja mendua dalam menyikapi aksi militer belakangan ini, tapi kebanyakan orang Amerika masih merasa bahwa perang yang dilancarkan negerinya adalah ”perang yang baik”.

Korban jiwa Amerika juga tak sebanyak korban negara lain. Menurut catatan Judt, dalam Perang Dunia I, jumlah prajuritnya yang tewas kurang dari 120 ribu, sementara Inggris 885 ribu, Prancis 1,4 juta, dan Jerman di atas dua juta. Dalam Perang Dunia II, sementara AS kehilangan 420 ribu tentara, Jepang 1,2 juta, Jerman 5,5 juta, dan Uni Soviet 10,7 juta. Di dinding granit hitam monumen Perang Vietnam di Washington, DC, tercantum 58.195 orang Amerika yang mati; tapi jumlah itu dihitung selama 15 tahun pertempuran, sementara, kata Judt, tentara Prancis kehilangan dua kali lipat hanya dalam waktu enam minggu.

”Perang”, akhirnya, adalah sebuah pengertian yang disajikan dari bagaimana sejarah dibicarakan. Kini orang Amerika percaya, sejarah telah terbagi dua: sebelum dan sesudah ”11 September 2001”. Semenjak itu, masa lalu dan masa depan pun ditentukan oleh apa yang tumbuh pada tanggal itu: sikap waspada, takut, malu, dan dendam yang berkecamuk pada hari-hari setelah para teroris menghancurkan dua gedung tinggi di Kota New York itu.

Yang dilupakan: sejarah lebih lama dan lebih luas ketimbang hari itu. Seperti ditunjukkan Judt, terorisme tak hanya terjadi pada 11 September 2001. Apokalips tak hanya terjadi ”kini”, dan tak hanya mengenai orang Amerika.

Dalam film Apocalypse Now, dari rimba Vietnam yang penuh kekejaman, Kolonel Kurtz memaparkan segala yang menakutkan, berdarah, absurd, edan, dan tak bertujuan. Pada akhirnya ia adalah sosok rasa ngeri dan kebuasan manusia, yang menyebabkan Perang Vietnam tak membedakan lagi mana yang ”biadab” dan yang ”beradab”. Di jantung kegelapan Sungai Mekhong, Kurtz dalam film Coppola pada 1979 itu adalah versi lain dari Kurtz di Sungai Kongo dalam novel Conrad pada 1899. Kita tahu ia manusia luar biasa. Tapi ia bagian dari konteks yang brutal.

Itulah perang, itulah kekerasan kolektif yang meluas. Hanya mereka yang melihatnya dari jauh yang akan bertepuk tangan untuknya tanpa mendengar bisikan terakhir Kurtz: The horror! The horror! Eisenhower, yang menyaksikan perang dari dekat, tahu: dalam perang, apa yang luar-biasa, yang terkadang disebut kepahlawanan, jangan-jangan terkait dengan ”kebrutalannya, kesia-siaannya, kebodohannya”.

~Majalah Tempo Edisi. 28/XXXVII/01 - 07 September 2008~

Pesta kacang [bean festival] di Ile Ape

20 August 2008


Kak, kame mete pesta kacang.
Pia mete OHA.
Bupati nong hang di ega.


Pesan pendek alias short message service [SMS] ini saya terima dari Kristofora, adik kandung saya, di pelosok Lembata, Flores Timur, Senin 18 Agustus 2008, malam. Dia mengabarkan bahwa di kampung [Mawa dan Bungamuda, Kecamatan Ile Ape] sedang berlangsung PESTA KACANG. Bupati Andreas Duli Manuk dan istri, Margareta Hurek, hadir. Warga sedang ramai-ramai OHA.

OHA nama tarian tradisional di daerah-daerah etnis Lamaholot: Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan. Meskipun ada variasi di sana-sini, pada dasarnya OHA sama saja. Warga berpegangan tangan, bikin lingkaran, kemudian menari. Selang-seling laki-laki perempuan lebih bagus.

Tarian massal macam ini tidak membutuhkan kemampuan khusus macam tari-tarian di Jawa. Siapa saja bisa. Gerakannya sangat sederhana. Hanya saja, perlu beberapa penyanyi tradisional yang bernyanyi solo. Dia menguasai sastra Lamaholot--koda kiring, tutu nuan--sehingga syairnya muncul spontan. Bisa memuji, menyindir, bahkan mengkritik siapa saja, termasuk pejabat.

OHA sangat dinamis. Mula-mula solis menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Istilah musik klasiknya: poco a poco allegretto. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang yang bikin lingkaran membuat gerakan kaki secara rritmis. Bisa dibayangkan 50-80 orang mendentumkan kaki bersama-sama. Di sinilah letak keindahan OHA. Tarian yang berusia ratusan tahun ini senantiasa menarik perhatian orang baik yang hanya sekadar menonton, apalagi melakukannya.

Saking populernya, setiap ada pesta pernikahan, pesta kampung, atau apa saja, OHA selalu digelar. Dulu, orang rela jalan kaki cukup jauh ke kampung-kampung lain hanya untuk bisa OHA bersama-sama. Mana bisa OHA ditarikan sendiri, bukan? Apalagi, di sela-sela tarian orang bisa makan minum dengan lahap.

Dulu, mungkin juga sampai sekarang, OHA dilakukan dari malam sampai matahari terbit. Siangnya istirahat, kerja di kebun, malamnya OHA lagi, dan seterusnya. OHA memang bisa membuat orang Lamaholot kecanduan. Lebih-lebih kalau solis bisa membawakan ORENG [semacam nyanyian tunggal] dengan suara merdu dengan pesan mendalam.

Tarian sejenis OHA adalah HAMANG. Baik OHA maupun HAMANG dilakukan di NAMANG alias tanah lapang. Karena itu, semua kampung harus punya NAMANG. Lebih baik lagi kalau punya lapangan sepak bola. Berbeda dengan OHA yang dinamis, mencapai puncak dengan gerakan yang lincah-bersemangat, HAMANG relatif tenang dan lambat. Lebih reflektif.

Lagu-lagu yang dibawakan secara spontan sarat dengan hikmah kebijaksanaan, kritik sosial, sindiran, hingga doa-doa kepada Sang Pencipta. Tapi HAMANG bisa dengan lekas diubah menjadi OHA kalau situasinya menuntut demikian. HAMANG pun lazim dimainkan semalam suntuk.

Kembali ke PESTA KACANG.

Bagi kami di kampung, pesta kacang ini sangat penting maknanya secara kultural maupun religius. Lazim digelar tiap bulan Agustus, seperti sekarang, pesta kacang merupakan momentum untuk menengok kampung lama [lewo nolungen, lewo ulun]. Berada di kampung lama ibarat kembali ke akar kami sebagai lewo alawen, orang Lamaholot. Di sinilah aneka ritual adat Lamaholot [versi Mawa/Nobolekan] digelar secara relatif sempurna.

Kenapa disebut kampung lama? Ceritanya, hingga awal 1970-an penduduk Ile Ape yang berada di kawasan pesisir utara tinggal di kaki Ile Ape alias Gunung Api. Ata kiwan. Sekitar 5-7 kilometer dari pantai. Rumah di kampung lama sangat sederhana. Namanya ORING atau pondok. Tak pakai dinding. Setiap suku atau fam punya gugus rumah sendiri-sendiri. Rumah ini sangat sentral dalam momentum pesta kacang.

Pengaruh modernisasi, perjumpaan dengan dunia luar, kedatangan misionaris Katolik, era Orde Baru... membuat nenek moyang kami perlahan-lahan eksodus ke bawah [pantai]. Pondok-pondok, berikut berbagai perlengkapan adat, termasuk logam-logam peninggalan zaman dulu, ditinggalkan. Kampung lama pun menjadi arena kosong. Hanya ada beberapa orang yang mampir kalau kebetulan lewat.

Kampung lama, bagi anak-anak era 1980-an macam saya, ibarat sesuatu yang angker. Wingit, kata orang Jawa. Punya nilai mistis sangat tinggi. TULA GUDUNG atau upacara-upacara adat sangat khas. Juga ada banyak larangan, misalnya, tidak boleh mengambil sedikit pun salah satu bagian dari atap pondok dari daun kelapa atau alang-alang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu.

Suku Hurek Making seperti saya ada tambahan pemali: Tidak boleh makan daging anjing! Kenapa? Ada legendanya sendiri. Kalau makan daging anjing, kata nenek moyang, bisa terkena penyakit kulit yang sulit disembuhkan. Harus bikin upacara di rumah adat di kampung lama dan melakukan macam-macam ritual. Tapi, anehnya, banyak famili kami, fam Hurek, di luar Nusa Tenggara Timur yang makan daging anjing.

"Itu kan makanan, ciptaan Tuhan. Saya ikut Alkitab saja deh," kata Cornelis Hurek, paman saya di Malang. Pak Cornelis ini malah pernah beternak anjing. Orang-orang Lembata di Malang dan sekitarnya sering mampir di rumahnya, Kota Lama Gang Buntu 66 Malang, hanya untuk... makan RW. Tahu kan RW? Hehehehe....

Sebelum 1990, pesta kacang berlangsung biasa-biasa saja. Hanya ritual tahunan khusus untuk penduduk di kampung kami, khususnya Mawa dan Nobolekan. Pada era pembentukan 'desa gaya baru' di pesisir pantai, Mawa menjadi Desa Napasabok, sedangkan Nobolekan bergabung dengan Desa Bungamuda. Tapi dulu di kampung lama orang Mawa [Napasabok] dan Nobolekan ini satu kampung alias satu darah. Maka, logat Mawa dan Nobolekan sama saja. Beda dengan logat Atawatung atau Lamawara atau Lewotolok, desa tetangga.

Pesta kacang biasanya berlangsung lebih dari satu minggu. Diawali dengan membersihkan dan memperbaiki rumah adat suku masing-masing. RIE WANAN [tiang kanan] diperciki darah ayam oleh kepala suku. Halaman dan semua bagian penting di kampung lama dibersihkan. Para perempuan mengambil air dari sumur yang ada di bawah [pantai].

Ibu-ibu sibuk memasak. Para bapak yang pintar memancing atau menjala ikan ke pantai. Semua keluarga urunan lauk-pauk, gotong-royong luar biasa. Saya biasanya bantu menganyam ketupat. Ini makanan pokok pesta kacang. Simpanan kacang panjang [merah] di LEPO, wadah anyaman dari daun lontar, dikeluarkan. Kacang ini nantinya dicampur dengan jagung, dibuatlah ketupat. Komposisi kacangnya cukup besar.

Dari sinilah muncul istilah PESTA KACANG. Yah, kacang panjang dan kacang hijau memang makanan penting di Ile Ape. Ibu-ibu tidak pernah memasak nasi jagung 100% atau beras 100%, tapi mencampurnya dengan kacang sebagai NALINGEN. Tentu kacang direbus dulu sampai matang, baru ditanak dengan jagung menjadi nasi jagung.

Jadi, nenek moyang di Ile Ape sebenarnya secara tidak sadar mengkombinasikan karbohidrat dan protein nabati [kacang-kacangan] dalam makanannya. Ditambah sayur merungge alias kelor, plus ikan laut, wah menu itu cukup komplet menurut ilmu gizi. Sampai sekarang banyak orang Ile Ape 'tidak bisa' makan nasi kalau nasinya murni macam di Jawa. Harus ada NALINGEN alias biji-biji kacang panjang.

Pesta kacang yang semula biasa-biasa saja, alamiah, tradisional, lama-kelamaan diketahui orang luar. Termasuk turis Eropa. Orang-orang Ile Ape yang kebetulan menjadi pejabat, mahasiswa, dosen, perantau... menceritakan hal ini kepada orang luar. Lantas, muncul ide untuk menjadikan pesta kacang sebagai event pariwisata budaya.

"Kenapa tidak 'dijual' saja? Bisa mendatangkan devisa, menggerakkan ekonomi rakyat? Dan sebagainya," demikianlah pikiran-pikiran khas pejabat pariwisata.

Ndilalah, Bapak Andreas Duli Manuk, asli Nobolekan, kebetulan terpilih sebagai bupati Lembata. Lalu, saya dengar cerita bahwa jalan setapak menuju kampung lama alias LEWO NOLUNGEN diperbaiki. Diperlebar. Agar kendaraan roda empat bisa tembus ke sana. Tidak perlu lagi jalan kaki sambil menjunjung barang, memikul barang, macam saya dulu waktu kecil.

"Sekarang sudah enak sekali ke kampung lama. Bisa naik oto," kata adik saya. "Kame pia mete OHA," begitu bunyi pesan pendek di telepon seluler saya.

Wah, saya hanya bisa membayangkan PESTA KACANG versi modern di era seluler. Masih adakah suasana wingit, mistis, adat yang kental, macam dulu? Zaman memang terus bergulir. Dan kita tak mungkin membalik putaran jarum jam sejarah.

Orang Ile Ape, Lembata, Lamaholot umumnya, makin maju dan modern. Jalan pikirannya sudah berbeda jauh dengan Ama Arakian [RIP], mantan kepala suku, yang selalu memimpin ritual pesta kacan di kampung lama. Contohnya, ya, om saya di Malang yang mengabaikan larangan makan daging anjing.

"Yang penting, tite tetap peten lewo, peten Lera Wulan Tanah Ekan," katanya.

Ya, sudah!