Monday, March 7, 2011

HARAPAN YANG PATAH

Oleh: Valery Kopong*
Langkah gadis bocah itu terhenti di lorong panti yang berada dekat dengan “bibir ibu kota, Jakarta.” Sorotan cahaya terus menembus ruang yang dihuni oleh sekitar duapuluhan orang yang menyandang cacat dan yatim piatu itu. Di bawah rintik-rintik hujan yang sedikit membasahi tanah Bintaro, Tangerang Selatan, seakan membawa “aroma gurau” yang semakin alot. Mereka sepertinya tidak memikirkan tentang masa lampau di mana telah menyeretkan mereka pada panti itu. Mereka juga tidak menyalahkan orang tua bahkan Tuhan sendiri yang mentakdirkan mereka dengan anggota tubuh yang cacat. Di atas kursi roda itu, sebagian orang-orang cacat menghabiskan waktu sambil menatap sebuah masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Di titian waktu, mereka terus merenung tentang hidup dan perjuangan yang bermula dari diri mereka. Mengapa perjuangan hidup mesti bermula dari dalam diri mereka? Ya, bertahun-bertahun lamanya mereka bergulat dengan keadaan diri mereka yang cacat dan jauh dari sentuhan kasih sayang orang tua. Karena keadaan diri mereka yang tidak lazim, membuat mereka tersingkir, termarginal dari panggung pergaulan hidup. Mereka coba bertahan dan menerima diri apa adanya. Cara untuk menerima diri apa adanya sebagai jalan terbaik untuk mengobati batin yang terluka dan upaya untuk mensyukuri karya Allah sendiri.
Nasib setiap manusia memang beda. Ada yang terlahir sebagai manusia normal yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dan ada yang tidak lengkap, alias cacat. Ada yang terlahir dalam keluarga yang kaya dan tak sedikit orang yang terlahir dalam kemiskinan. Bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kaya, seluruh kebutuhan hidup mereka terpenuhi secara paripurna. Sedangkan mereka yang terlahir dalam lingkaran kemiskinan, marginalitas, kekumuhan dan kelatahan terus menggerus hidup di tengah pusaran waktu. Setiap saat adalah “penantian bermakna” sembari membuka diri untuk menerima setiap tawaran kemurahan yang datang dari orang lain. “Kemurahan hati tidak jatuh dari langit. Ia ada karena terus dihidupi oleh orang-orang yang sungguh merindukannya.” Kerinduan orang-orang yang patah semangat karena dijejali oleh kemiskinan, merupakan sebuah undangan, sekaligus “jalan rahmat” yang ditata oleh mereka yang berpunya.
Panti Sayap ibu
Menelusuri kota metropolitan di bawah naungan semburan asap knalpot, begitu banyak orang miskin yang dijumpai. Tangan-tangan mereka terbuka dan wajah mereka menengadah untuk melihat orang-orang yang lewat dihadapannya. Bagi mereka, jubelan manusia yang lewat adalah rejeki yang semakin mendekat. Dengan mengantongi sedikit rupiah yang diberi oleh para pejalan kaki di trotoar atau di bawah traffic light, merupakan bukti bahwa mereka bisa menyambung hidup untuk esok hari. Wajah mereka yang meminta-minta di jalan memperlihatkan kehidupan yang keras dan jauh dari sentuhan perhatian pemerintah dan orang-orang berduit.
Potret orang-orang miskin di atas, sedikitnya berbeda dengan orang-orang yang berada di bawah naungan “Sayap Ibu,” sebuah panti asuhan yang terletak di Bintaro, Tangerang Selatan-Banten. Keberadaan orang-orang yang menghuni panti ini memiliki cerita dan latar belakang tersendiri. Mereka datang dari hampir seantero pelosok tanah air dan membentuk komunitas, sebuah keluarga besar di bawah naungan Yayasan Sayap Ibu. Ada yang berasal dari Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Madura. Dengan latar belakang daerah yang berbeda ini, menampakkan miniaturnya Indonesia yang terbentuk dari “ketakberdayaan” mereka yang terhempas.
Mengapa mereka datang dan membentuk komunitas dalam panti asuhan itu? Adakah sejarah yang melatarinya sehingga mereka dengan terpaksa tercerabut dari keluarga dan melanglang buana hingga membentuk kelompok baru di bawah “kepakan Sayap Ibu?” Dari hasil penuturan penulis dengan beberapa penghuni dan pengelola panti itu ditemukan akar persoalan, mengapa mereka tidak dikehendaki orang tua dan hidup bersama mereka. Ada beberapa alasan yang muncul, pertama, ada yang kelahirannya tidak diinginkan oleh orang tuanya (hubungan diluar pernikahan resmi). Hasil hubungan gelap yang membentuk anak manusia ini pada akhirnya dibuang di jalan dan didapatkan orang, lalu bayi tersebut dibawa ke panti untuk dirawat. Kedua, ada anak lahir cacat dan hal ini tidak dihendaki oleh orang tua. Menurut pandangan orang tua yang datang mengantarkan anaknya yang cacat bahwa keberadaan anak yang lahir cacat membawa beban bagi keluarga dan karena itu tidak perlu dirawat di tengah keluarga. Anak yang lahir cacat ini lebih pantas untuk diasuh di panti. Ketiga, ada anak yang diserahkan ke panti asuhan “Sayap Ibu” dengan kondisinya yang baik tetapi karena alasan ekonomi yang kurang mampu dari orang tua maka mereka diserahkan pada panti asuhan untuk dirawat, layaknya sebagai seorang manusia.
Belitan Gurita Kemiskinan
Kemiskinan di negeri ini tak akan pernah terhapus. Malah, dari tahun ke tahun tingkat kemiskinan itu terus bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM dan listrik. Di “pergelangan malam,” saat menanti datangnya tahun yang baru, banyak orang bersikap pesimis bahkan enggan untuk memasuki tahun yang baru itu. Entah pesimis atau enggan menerima pergantian tahun, waktu tak pernah berkompromi dengan siapa pun. Jarum jam tak bisa dijegal perjalanannya dan kalender 2010 yang masih tergantung di dinding terpaksa “turun tahta” untuk digantikan oleh pangerang baru bernama “tahun baru.” Ya, tahun baru membawa beban baru. Tahun baru hanya menggelorakan situasi sesaat, persis di persimpangan waktu. Setelah gebyar malam dengan lampu-lampu kota yang gemerlap, orang hanyut dalam euforia semu.
Kemiskinan, sebuah kata yang menetap bersama dengan terbentuknya bumi ini. Akar kemiskinan terus digali oleh pelbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta tetapi tak satu pun sanggup memberantas kemiskinan itu sendiri. Semakin digali akar kemiskinan itu, pada saat yang sama kemiskinan terus tumbuh dan berkembang. Bahkan pada era modern ini kemiskinan menjadi sebuah komoditi politik yang menarik. Atas nama kemiskinan, beberapa pegiat LSM mengusung proposal atas nama mereka yang tak berdaya untuk mencairkan dana. Atas nama kemiskinan, pemerintah terus menggulirkan program keberpihakkan tetapi nyatanya setelah program itu terlaksana, tak satu pun orang miskin yang mendapat dana dari program tersebut. Lalu di mana komitmen para pejuang keadilan untuk menyatakan keberpihakan terhadap mereka yang lemah dan membangkitkan mereka dari keterpurukan?
Panti asuhan “Sayap Ibu” sedang melebarkan sayapnya untuk terbang setinggi dan sejauh mungkin untuk mencari mereka yang terpinggirkan. Kemiskinan menurut salah satu suster pengelola panti “Sayap Ibu” bahwa kemiskinan tidak semata-mata karena orang tidak memiliki kekayaan tetapi kemiskinan yang dihadapi saat ini adalah “miskin kepekaan dan miskin solidaritas.” Anak-anak yang tertampung dalam panti tersebut merupakan bukti bahwa mereka terpaksa didepak dari keluarga yang merupakan basis utama seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dalam menggapai harapan. “Harapan mereka patah atau sengaja dipatahkan dengan alasan tertentu tetapi di panti ini kami berusaha untuk mengembalikan jati diri dan terlebih membangkitkan semangat serta gairah hidup.”
Cara pandang para pengelola panti membawa spirit baru bagi negeri ini. Andaikan di negeri ini, di setiap lingkungan RT atau RW didirikan panti asuhan maka mungkin para kaum miskin bisa tertangani secara baik. Dan dalam mengelola panti asuhan seperti “Sayap Ibu,” perlu adanya spiritualitas yang sanggup menjiwai seluruh pola pelayanan atas dasar kasih. Tanpa kasih, kita kehilangan daya hening, kehilangan spirit untuk membagi. Dalam bahasa ekaristi, melayani berarti membagi diri bagi mereka yang sangat membutuhkan.***

0 komentar: