Sunday, March 27, 2011

Matinya' Sekolah Swasta

Oleh Valery Kopong*

Rumor yang beredar dan sempat dilansir media, baik cetak maupun online, menyebutkan bahwa ada kebijakan baru dari pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) akan menarik guru-guru negeri (PNS) yang selama ini diperbantukan di sekolah-sekolah swasta. Belum ada alasan pasti tentang penarikan tersebut tetapi yang jelas bahwa isu tersebut telah menjadi konsumsi publik dan dengannya membuka “ruang pertanyaan” bagi masyarakat yang peduli pendidikan. Mengapa baru terjadi penarikan saat ini dan bukannya jauh sebelum itu? Apa reaksi orang NTT yang secara umum memiliki begitu banyak sekolah swasta?
Sejarah mencatat bahwa pendidikan di NTT dipelopori oleh pihak swasta yang secara umum dikelola oleh Gereja (keuskupan) yang ada di Nusa Tenggara. Para imam dan misionaris luar yang datang ke Indonesia dan NTT khususnya waktu itu, tidak hanya mengedepankan pola pewartaan dengan mekanisme mimbar sentris atau paroki sentris tetapi lebih dari itu mereka memberikan sumbangsih pada masyarakat dengan mendirikan sekolah-sekolah katolik, baik tingkat dasar, menengah dan atas, bahkan perguruan tinggi. Di sini dapat dilihat bahwa sekolah-sekolah swasta katolik memiliki nilai sejarah yang tinggi dan sanggup “memproduksi” manusia-manusia intelektual yang tengah bertarung dengan perubahan zaman.
Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia pendidikan swasta katolik, rumor tentang penarikan guru-guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta membawa keresahan tersendiri. Keresahan kritis masyarakat ini memunculkan pertanyaan untuk digali bersama. Sudah mampukah sekolah-sekolah katolik dapat menjalankan roda pendidikan tanpa bantuan guru-guru yang nota bene PNS? Peristiwa penarikan yang bakal terjadi, memunculkan dua persoalan, yaitu pertama, sekolah-sekolah swasta terutama katolik kekurangan guru dan hal ini akan mengganggu proses pembelajaran dan mengorbankan generasi yang sedang mengenyam pendidikan. Kedua, setelah terjadi penarikan nanti, mau dikemanakan guru-guru PNS-nya? Karena fakta menunjukkan bahwa jumlah guru-guru PNS barangkali lebih banyak ketimbang ketersediaan sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian akan menciptakan pengangguran terselubung bagi guru PNS yang tidak mendapat jatah mengajar karena kekurangan sekolah negeri.
Peristwa penarikan ini juga menjadi momentum refleksi bersama, baik di kalangan dinas pendidikan maupun pihak yayasan yang mengelola sekolah-sekolah swasta. Penarikan guru PNS yang bakal dilaksanakan nanti tentu dipicu oleh kerjasama yang mungkin kurang terlaksana secara baik antara pihak swasta dan pemerintah. Saya masih ingat baik peristiwa yang terjadi di tahun 1990-an. Terjadi kerjasama yang disharmonis antara pihak Yapersuktim (sebuah yayasan milik keuskupan Larantuka yang menangani sekolah-sekolah swasta katolik) dengan dinas pendidikan Flores Timur. Ekses dari disharmonitas kerjasama menguat ketika terjadi mutasi guru ke sekolah-sekolah dan yang menjadi korban adalah guru sendiri.
Memang, dalam mengelola sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan dengan guru-gurunya yang kebanyakan pegawai negeri sipil (PNS) membutuhkan kerja sama yang baik, antara dinas pendidikan dan yayasan dalam pelbagai bidang. Tetapi dalam kerja sama tersebut sering mengalami keterbenturan terutama mengenai konsep dan gagasan. Pihak swasta terkadang tidak mau diintervensi oleh dinas, sebaliknya, pihak dinaspun tidak mau didikte oleh pihak swasta, dalam hal ini yayasan sebagai pengelola sekolah. Siapa yang mau mengalah dan sekaligus membangun jalan kompromi?
Penarikan guru-guru PNS dari sekolah swasta, pelan tetapi pasti akan “memuseumkan” sekolah swasta sebagai tanda matinya nurani bangsa yang selalu mendikotomi sekolah swasta dan sekolah negeri. Tetapi harus diingat bahwa para pejabat dan guru-guru negeri sendiri merupakan potret masa lalu dari hasil pendidikan swasta. Karenanya, kebijakan penarikan guru-guru negeri dari sekolah swasta merupakan ciri normatif melupakan jasa sekolah swasta, mirip kacang lupa akan kulitnya. Kebijakan ini juga merupakan buah dari penaklukan dinas pendidikan dan pemerintah umumnya terhadap kenyataan penting peranan swasta dalam memajukan peradaban. Sekolah-sekolah swasta kini berada pada ambang kehancuran kebebasan dalam menentukan sikap yang penuh dilematis.
Situasi ini perlu disikapi secara jernih terutama oleh Gereja. Gereja tidak bisa tinggal diam atau hanya berseru dibalik mimbar sabda. Sudah waktunya Gereja mengkaji persoalan ini dan bila perlu memisahkan secara tegas antara kepentingan pemerintah dan swasta dalam pengelolaan sekolah. Untuk yayasan persekolahan Katolik dan Kristen di NTT, sedikit mengalami posisi dilematis, mengingat bahwa kekuatan finansial tidak mencukupi untuk mengembangkan sekolah dan menggaji guru. Di sinilah pihak swasta memiliki posisi tawar yang lemah karena tidak memiliki dana yang memadai.
Kalau saya membandingkan sekolah-sekolah swasta di kota, masih memiliki kesempatan untuk mengelola sekolah secara baik karena memiliki dana yang memadai. Pihak swasta, sudah waktunya menata kembali yayasannya agar dapat menggaji guru bahkan memikirkan dana pensiunan. Mengapa sekolah swasta di kota sanggup membetahkan gurunya untuk tetap mengajar di swasta tanpa perlu menjadi guru (PNS)? Karena pihak swasta sendiri sanggup mengelola secara baik, tidak hanya menggaji tetapi lebih dari itu memikirkan hari tua bagi guru-guru yang pensiun. Dua aspek ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk meletakan fondasi bagi sekolah swasta. Mengapa guru-guru swasta seperti di Jakarta setia dengan sekolah swasta bahkan tidak berminat tes PNS untuk menjadi guru negeri? Jawabannya sederhana karena di swasta mereka sudah diperhatikan secara baik. Sistem penggajian lebih banyak merujuk pada PGPS dan untuk pensiunan, para guru swasta di bawah naungan MPK (Musyarawah Persekolahan Katolik) keuskupan Agung Jakarta diikutkan dana pensiun (YADAPEN).
Memang, mendirikan sekolah itu gampang tetapi menghidupi sekolah di tengah persaingan yang ketat itu tidak gampang. Para misionaris terdahulu cukup banyak memberikan donasi terhadap kelanjutan sekolah-sekolah swasta di NTT. Dan tugas berat yang harus dijalani oleh para imam pribumi terutama yang terlibat langsung dalam mengelola yayasan, yakni bagaimana mempertahankannya sehingga keberadaan sekolah swasta semakin hari mendapat tempat yang bermartabat di mata masyarakat NTT. Bersaing itu penting sebagai bagian dari proses pembenahan diri tetapi bukan mematikannya dengan cara yang terstruktur.

(*Penulis adalah Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang-Banten)

No comments: