Thursday, April 24, 2014

Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat


Jesus, Jokowi, dan Keselamatan Rakyat thumbnail

19/04/2014
Romo Aloys Budi Purnomo

Baru-baru ini beredar guyonan politik yang diberi label “persamaan dan perbedaan Jokowi dan Jesus (baca: Yesus)”. Menurut guyonan tersebut, ternyata ada persamaan yang signifikan antara Jokowi dan Jesus. Paling tidak, ada lima persamaan dan hanya ada satu perbedaan.
Kelima persamaan itu, pertama, keduanya sama-sama berinisial huruf J. Kedua, baik Jesus maupun Jokowi sama-sama anak tukang kayu. Ketiga, keduanya sama-sama mencintai rakyat kecil, tersingkir, dan difabel. Keempat, sama seperti Jesus, Jokowi suka blusukan, menjumpai rakyat kecil. Kelima, konon keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Nah, dalam persamaan kelima ini terdapat perbedaan. Meskipun sama-sama berasal dari Jawa Tengah, Jokowi adalah orang Solo, sedangkan Jesus orang “Kudus”.
Guyonan itu hemat saya merupakan harapan. Kami umat Kristiani, terutama saya sebagai orang Katolik yang notabene juga seorang pastor, tidak merasa tersinggung dengan guyonan itu. Tidak masalah Jokowi disandingkan dengan Jesus. Itu bukan pelecehan, juga bukan penghinaan! Pastinya, Jesus akan tersenyum simpul membaca atau mendengar guyonan tersebut. Dipastikan pula Ia tidak marah.

Jangankan disamakan dengan Jokowi yang menjadi tokoh fenomenal dan kerinduan masyarakat kecil menjadikannya pemimpin masa depan, Jesus bahkan menyamakan diri dengan mereka yang lapar, haus, yang telanjang, terpenjara, sakit, dan orang asing (Matius 25:30). Jesus berkata, “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu dari saudaraku yang paling hina itu, kamu lakukan untuk Aku!”
Teologi “Blusukan”
Jauh hari–ribuan tahun silam–sebelum Jokowi, Jesus memang punya hobi blusukan. Kehadiran-Nya di dunia sebagai “Sang Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yohanes 1:14) sudah merupakan blusukan perdana. Blusukan itulah yang disebut penjelmaan Sang Sabda menjadi manusia. Itulah teologi inkarnasi.
Dalam perspektif iman Kristiani, Jesus disebut “Putra Allah yang Mahatinggi”, yang sejak awal mula bersama-sama dengan Alah dalam kesatuan kasih mesra. Namun karena begitu besar kasih Allah terhadap dunia, Allah berkenan mengutus Putra yang tunggal ke dunia agar setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (bandingkan Yohanes 3:16). Percaya kepada-Nya tentu saja tidak boleh dipahami saklek harus menjadi Kristiani dan dibaptis formal.
Karl Rahner berterminologi yang disebut baptis batin, yakni semua orang yang menerima keberadaan-Nya dan percaya Dialah Sang Juruselamat, mewujudkan sikap itu dalam setiap tindakan baik, benar, dan suci. Konsili Vatikan II, melalui dokumen Lumen Gentium (LG) dan Nostra Aetate (NA) menegaskan, Katolik tidak menolak apa pun yang serbabenar, baik, dan suci, yang ada dalam setiap agama dan kebudayaan sebagai hal yang tidak berlawanan dengan Jesus Kristus (bandingkan LG 16 dan NA 2).
Jesus Kristus itu unik sekaligus universal. Tak heran tokoh Hindu dan pemimpin India bernama Mahatma Gandhi sangat mengagumi Jesus dan mengasihi-Nya, terutama dengan ajaran ahimsa, mengasihi musuh. Tokoh politis India tersebut sangat menghayati sabda bahagia yang menjadi bagian dari khotbah di bukit yang disampaikan Jesus dan dicatat dalam Injil.
Itulah teologi blusukan Putra Allah yang Mahatinggi, yang menjadi manusia dalam diri Jesus, yang dikandung dan dilahirkan perawan Maria, yang wafat disalibkan pada masa pemerintahan Pontius Pilatus. Namun, ia bangkit dari maut pada hari ketiga dan menjadi tokoh sentral dalam kristianitas.
Blusukan-Nya mendatangkan keselamatan universal bagi semua orang, yang mengimani Dia, maupun yang tidak mengimani-Nya, bahkan yang memusuhi-Nya. Itu karena Ia pun berdoa bagi orang-orang yang menyalibkan-Nya agar diampuni Allah, yang disebut-Nya Bapa, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat (Lukas 23:34 dan paralelnya).
Pastoral “Blusukan”
Bagi Jesus, blusukan bukan sekadar pencitraan, melainkan misi pastoral. Sejak awal penampilan-Nya di publik, Jesus selalu dekat dengan rakyat kecil, utamanya mereka yang dicap pendosa. Orang-orang miskin dan tertindas adalah orientasi hidup-Nya.
Jesus memerhatikan orang-orang yang dalam Injil disebut dengan berbagai istilah, namun menunjuk pada realitas yang sama, rakyat. Mereka adalah orang miskin, buta, lumpuh, kusta, lapar, sengsara, yang menangis, pendosa, pelacur, pemungut cukai, kerasukan setan, teraniaya, terinjak, terpenjara, yang bebannya terlalu berat, rakyat jembel yang tidak tahu hukum, orang kebanyakan, orang kecil, yang terkecil, yang terakhir, dan anak-anak, bahkan, yang laksana domba-domba tersesat dan hilang.
Termasuk dalam kelompok ini adalah para janda dan yatim, buruh yang tidak mempunyai keahlian, para petani yang tidak mempunyai tanah alias buruh tani, dan para budak. Keempat Injil menyembut mereka semua. Merekalah yang menjadi subjek kehadiran Jesus. Jesus membela mereka, bukan membeli mereka dengan politik uang.
Jesus menjadi tokoh ideal yang berpraksis bela rasa dan solider kepada korban, bukan kepada penguasa dan pemilik modal. Itulah buah teologi blusukan dan praksis dari pastoral blusukan Jesus.
Akibatnya, Jesus dijatuhi hukuman mati, bahkan dianggap pemberontak. Tanda-tanda mukjizat dan buah-buah pastoral blusukan-Nya tidak dianggap. Dia justru dituduh menggunakan ilmu sihir dan menyesatkan rakyat. Begitulah, para pemuka agama dan politikus busuk yang memusuhi-Nya kemudian bersekongkol dengan prokurator Romawi bernama Pontius Pilatus. Jesus dijatuhi hukuman mati.
Justru dengan cara itu, Jesus menghadirkan otentisitas visi-misi kepemimpinan sejati. Seorang pemimpin bukan hanya berkata-kata dan membualkan janji, melainkan mewujudkan setiap kalimat dengan tindakan. Satunya kata dan perbuatan diwujudkan dalam ketulusan, keikhlasan, dan kerendahan hati.
Kalaupun Jokowi disandingkan dengan Jesus dalam guyonan politik, semoga itu tidak menjadikannya jemawa. Justru itu menjadi inspirasi agar Jokowo kian berani berpihak kepada rakyat.
Semoga pencalonannya sebagai presiden pun bukan karena haus kekuasaan, melainkan karena lapar dan haus kebenaran untuk mewujudkan keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan bagi rakyat. Bila memang begitu, tentu kita yang berpikiran waras tetap ikhlas mendukung tekadnya membangun bangsa yang damai dan sejahtera.
Tentu kita berharap, semakin banyaklah di antara kita yang menjadikan kehidupan Jesus sebagai inspirasi untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, kerukunan, kesejahteraan, dan keselamatan, apa pun iman dan agamanya. Selamat Paskah kepada umat kristiani. Tuhan memberkati bangsa ini dengan damai dan sejahtera.
*Penulis adalah rohaniwan, budayawan interreligius, dan Wakil Ketua FKUB Jawa Tengah.
Artikel ini telah diterbitkan di situs Sinar Harapan pada 17 April 2014.

0 komentar: