Wednesday, April 30, 2014

Kotbah Paus Fransiskus dalam Perayaan Kanonisasi

 
“Wojtyla Paus Keluarga
Roncalli Paus Yang Manis – Lembut Hati"
Minggu 27 April 2014
            Pada puncak Minggu ini pada akhir oktaf paska – dimana Yohanes Paulus II menetapkannya sebagai Minggu Kerahiman Ilahi – terdapat luka-luka kemuliaan Yesus yang bangkit. Dia telah menampakkan luka-luka itu pertama kali kepada para rasul tepat pada malam yang sama setelah hari Sabtu, -  Hari Kebangkitan. Saat itu Tomas tidak ada. Tomas memberikan keraguan, jika ia tidak melihat dan menyentuh luka-luka itu – ia tidak percaya.    Delapan hari kemudian, Yesus menampakkan diri lagi kepada para rasul, pada saat perjamuan malam. Tomas hadir malam itu. Kristus mengarahkan diri kepadanya dan mengundangnya untuk menyentuh luka-luka itu. Serentak Tomas, sporangi pribadi yang jujur – yang telah terbiasa menyelidiki kebenaran diri orang lain, berlutut di hadapan Yesus dan berkata: “Ya Tuhanku dan Allahku”.
            Luka-luka Yesus telah menjadi skandal iman – tapi serentak menjadi bukti kehadiran iman. Karenanya pada tubuh Kristus yang bangkit – luka-luka itu tidak terhapus – tetap membekas karena luka-luka itu menjadi tanda abadi Cinta Tuhan bagi kita – tanda-tanda yang teramat penting untuk percaya kepada Allah. Bukan untuk percaya bahwa Tuhan itu ada – untuk percaya bahwa Tuhan adalah Cinta, Belas Kasih, dan Setia. Santu petrus telah mengutip Kitab Yesaya dan menulisnya kepada jemaat kristiani “Dari bilur-bilurnya kita disembuhkan” (1 Pt 2,24; Cfr Is 53,5). Yohanes XXIII dan Yohanes Paulus II memiliki keberanian untuk memandang luka-luka Yesus – dan menyentuh dengan tangan mereka bilur-bilur itu serta lambung Yesus yang tertikam.
            Mereka tidak merasa malu akan daging Kristus, tidak menganggap tubuh dan salib Kristus sebagai sebuah skandal. Tidak malu terhadap ‘daging’ saudarnya (baca, penderitaan dan luka-luka kemanusiaan), sebab dalam diri setiap orang yang menderita – mereka menemukan Yesus. Mereka adalah dua pribadi pemberani – penuh dengan keterbukaan pada penyelenggaraan Roh Kudus – dan telah memberikan kesaksian bagi Gereja dan dunia tentang kebaikan Allah dan belas kasihNya. Mereka telah menjadi imam, uskup dan paus yang hidup pada abad XX. Mereka mengalami berbagai trgedi tapi tragedi-tragedi itu tidak mengalahkan mereka. Mereka lebih tangguh – karena di dalam diri mereka ada Tuhan. Mereka lebih tangguh karena di dalam diri mereka ada iman akan Kristus Penebus umat manusia. Dalam diri mereka ada Tuhan yang setia mendampingi manusia dalam sejarahnya. Mereka lebih tangguh karena di dalam diri mereka ada pengampunan, belas kasih Allah yang tampak dalam 5 macam luka-luka Yesus. Di dalam diri mereka lebih kuat terdapat kedekatan keibuan Maria. Didalam diri dua pribadi yang senantiasa mengkontemplasikan sengsara dan penderitaan Kristus berdiam ‘suatu harapan yang hidup’ yang ada bersama dengan sebuah kegembiraan yang mulia dan tak terkatakan. (1 Pt 1,3-8).
            Harapan dan kegembiraan akan Kristus yang bangkit memberikan kepada murid-muridNya jaminan bahwa tidak ada sesuatupun dan tak ada seorangpun yang dapat melenyapkan harapan dan kegembiraan itu dari diri mereka. Harapan dan kegembiraan Paska telah melewati penelanjangan pada salib, pehampaan diri, mendekatkan diri kepada para pendosa hingga menggapai mereka yang paling nista, hingga merasa muak karena turut merasakan pahitnya cawan. Ini adalah harapan dan kegembiraan dimana dua orang paus yang kudus telah menerima anugerah dari Tuhan dan pada gilirannya dengan penuh kemurahan hati telah menganugerahkannya kepada umat Allah dalam kelimpahan – dan hal itu telah menjadi kenangan abadi sepanjang masa. Harapan dan suka cita ini telah dihidupi oleh kaum beriman dalam komunitas perdana, Yerusalem, yang dimaklumkan dalam bacaan Kisah Para Rasul (Cfr 2,42-47).
            Komunitas itu adalah komunitas yang menghidupi ‘dasar injil’ yang layak disebut “Cinta”, “Belas Kasih” “Kesederhanaan” dan “Peresaudaraan”. Ini adalah gambaran atau citra Gereja di mana Konsili Vatikan II menetapkan hal ini di hadapannya. (Baca, kebajikan ini menjadi semangat Konsili Vatikan II).  Yohanes XXIII dan Yohaenes Paulus II, telah berkarya bersama Roh Kudus – untuk meningkatkan dan mebaharui Gereja menurut wajah aslinya – wajah Gereja yang telah dibuktikan para kudus sepanjang abad. Jangan kita lupa bahwa sesungguhnya para kudus telah memajukan dan membuat Gerja bertumbuh. Dalam Sidang Konsili – Paus Yohanes XXIII telah menunjukkan suatu kelembutan yang manis kepada Roh Kudus, dan membiarkan diri dituntun olehNya dan ia telah menjadi seorang gembala dan pemimpin. Telah menjadi pelayan bagi umat Allah – dan Paus Yohanes Paulus II, telah menjadi seorang Paus bagi keluarga. Demikian pada suatu kesempatan beliau menyatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai Paus Keluarga.
            Saya suka menggarisbawahi hal ini pada saat ketika kita sedang berjalan dalam sinode (sidang para uskup) yang berbicara tentang keluarga. – Sebuah perjalanan yang sangat pasti dari surga – beliau (Paus Yoh. Paulus II) tetap mendampingi dan menopang kita. Kedua Gembala Umat Allah yang Kudus ini tentunya menjadi perantara Gereja agar selama dua tahun perjalanan Sinode – tetap bersikap manis (baca, terbuka) pada karya Roh Kudus demi pelayanan pastoral keluarga – keduanya mengajarkan kita untuk tidak menjadikan luka-luka Kristus sebagai skandal tetapi membuat kita masuk semakin dalam pada misteri belas kasih Ilahi yang tetap berharap, tetap berbelas kasih karena selalu mencintai.
 
Disadur dari teks asli – pada Surat Kabar Katolik Italia, Avvenire.
Ria Pay Damian, SVD
 

0 komentar: