Tanggal
2-5 September 2014, bertempat di hotel
Millenium-Kebon Sirih-Jakarta Pusat, dilangsungkan pertemuan para penyuluh
agama PNS seluruh Indonesia. Pertemuan
ini digagas oleh Pusat Kerukunan
Umat Beragama. Selama kurang lebih 4
hari, para peserta diberi pemahaman tentang wawasan multikulturalisme dari
bebeberapa nara sumber yang dihadirkan. Pertemuan nasional ini dibuka oleh
ketua PKUB Bapak Mubarok. Dalam sambutan dan pengarahannya, ia menekankan
tentang pentingnya menerima perbedaan
orang lain sebagai bekal utama dalam membangun budaya toleransi. Perbedaan yang
dialami dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah pemberian atau sesuatu yang
“terberi” dan hal ini tidak bisa terelakan lagi dalam pergaulan hidup
sehari-hari, kita terus menemukan perbedaan. Dia mengharapkan agar para
penyuluh sebagai ujung tombak di lapangan harus belajar memahami perbedaan dan
sekaligus sebagai figur yang bisa merangkul orang-orang dalam membangun
kerukunan.
Menurut
Bahrul Hayat, ada 4 modal utama dalam proses membangun tatanan kehidupan
masyarakat. Pertama, hukum dan norma agama. Tata nilai pertama ada dalam
norma-norma agama. Agama berdimensi secara halus yakni cinta. Agama juga
memberikan norma pada pengaturan hidup. Dalam praktek kehidupan beragama, masih
ada klaim-klaim kebenaran dari masing-masing agama karena hanya melihat dari
satu sisi. .
Kedua,
hukum formal tertulis. hukum juga
menjadi alat atau perangkat yang mengatur
kerukunan dan kedamaian. Hukum adalah agreement tertinggi dalam sebuah
masyarakat. Ketiga, tradisi dan
budaya. Masyarakat Indonesia memiliki begitu banyak tradisi dan budaya yang telah
lama hidup di bumi nusantara ini. Kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di dalam
masyarakat, perlu dilestarikan dan menjadi bagian penting dalam proses
membangun kerukunan hidup umat beragama dan toleransi pada umumnya. Keempat,
kesepakatan sosial. Kesepakatan sosial lahir dari inisiatif spontan dan hal ini
didasari oleh tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Di akhir pemaparannya,
Bapak Bahrul Hayat mengutip kata-kata dari mantan Sekjen PBB Kofi Annan. “We may have different religions, different
languages, different colored skin, but we all belong one human race.”
M.Imdadun Rahmat (Komisioner KOMNAS
HAM)
Persoalan
tentang multikulturalisme dilihat dari
aspek HAM, banyak sekali terjadi pelanggaran di Indonesia. Imdadun
menegaskan bahwa dalam membangun
masyarakat yang berwawasan multikulturalisme, harus memahami terlebih dahulu
konsep negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Bahwa negara ini
“nation state dan bukannya negara agama. Dalam perkembangan akhir-akhir ini
terutama berkaitan dengan pemahaman terhadap multikulturalisme, bangsa kita
sepertinya mengalami kemunduran. Ada begitu banyak kasus pelanggaran HAM yang
diadukan Komnas HAM. Menurut Imdadun, begitu banyak terjadi pelanggaran dan
penghambatan pendirian rumah ibadat. Puluhan kasus yang diadukan berkaitan
dengan kasus intoleransi. Menunjukkan bahwa bangsa ini harus belajar dan terus
belajar untuk menerima perbedaan orang lain terutama perbedaan agama yang
dianut oleh orang lain. Perbedaan itu bukan menjadi halangan utama dalam
membangun kerukunan tetapi justeru perbedaan itu bisa menjadi perekat yang
menyatukan. “Seperti air dan minyak, sulit bersatu tetapi tetap berdampingan.”
Abdul
Fatah, Mantan Kepada PKUB.
Bapak Abdul Fatah menuturkan
pengalaman hidup dalam keberagaman dan kendala-kendala yang dihadapi oleh
bangsa ini. Ia menuturkan pengalaman dalam proses penanganan kasus-kasus yang
berbau SARA seperti yang terjadi di Ambon dan Poso. Menurutnya bukan
semata-mata persoalan perbedaan agama yang menjadi pemicu terjadinya konflik
horizontal tetapi begitu banyak aspek yang turut berpengaruh di dalam konflik
tersebut. Memang sulit dalam menangani konflik sosial bernuasa agama tetapi hal
ini terus dilakukan agar proses penanaman pemahaman akan keberbedaan itu
menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi pegangan setiap pemeluk agama.
Karena tanpa proses memahami perbedaan antara “saya dan orang” maka sulit untuk
membangun kerukunan itu sendiri.
Hal yang hampir senada juga
diutarakan oleh Dr.A.M.Romly.bahwa perbedaan yang ada terus dipertahankan dan
tetap ditumbuhkan nilai-nilai toleransi. Menurut ketua MUI Banten dan dosen UIN
Syarif Hidayatulah ini bahwa perlu belajar perbedaan yang dimiliki oleh orang
lain. Proses belajar tentang perbedaan itu mestinya mestinya terjadi secara
alamiah, tanpa ada paksaan. Di sela-sela pemaparan makalah, ia juga melukiskan
persahabatan antara seorang kyai dan pendeta. Cerita-cerita sederhana ini mau
menggiring para peserta untuk memahami perbedaan itu indah kalau dilakoni
dengan menempatkan secara mendasar nilai-nilai persahabatan dan kemanusiaan.
Pertemuan ini menjadi menarik karena
di sela-sela pemaparan materi, juga dibarengi dengan diskusi dan
pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh para penyuluh agama, mulai
dari Aceh hingga Papua. Pengetahuan baru tidak hanya didapat dari para
narasumber tetapi juga pengalaman praktis para penyuluh agama yang mengangkat
fakta di lapangan untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yang menarik.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment