Thursday, October 2, 2014

MEMAHAMI MULTIKULTURALISME


Tanggal  2-5 September 2014, bertempat di hotel Millenium-Kebon Sirih-Jakarta Pusat, dilangsungkan pertemuan para penyuluh agama PNS  seluruh Indonesia. Pertemuan ini digagas oleh Pusat  Kerukunan Umat  Beragama. Selama kurang lebih 4 hari, para peserta diberi pemahaman tentang wawasan multikulturalisme dari bebeberapa nara sumber yang dihadirkan. Pertemuan nasional ini dibuka oleh ketua PKUB Bapak Mubarok. Dalam sambutan dan pengarahannya, ia menekankan tentang pentingnya  menerima perbedaan orang lain sebagai bekal utama dalam membangun budaya toleransi. Perbedaan yang dialami dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah pemberian atau sesuatu yang “terberi” dan hal ini tidak bisa terelakan lagi dalam pergaulan hidup sehari-hari, kita terus menemukan perbedaan. Dia mengharapkan agar para penyuluh sebagai ujung tombak di lapangan harus belajar memahami perbedaan dan sekaligus sebagai figur yang bisa merangkul orang-orang dalam membangun kerukunan.
Beberapa narasumber yang dihadirkan dalam acara itu, seperti Bapak Bahrul Hayat, Ph.D, Bapak M. Imdadun Rahmat (komisioner Komnas HAM), Bapak Abdul Fatah (Mantan kepala PKUB), Bapak Dr. A.M.Romly (Ketua MUI Banten dan Dosen UIN Syarif Hidayatulah-Jakarta). Masing-masing narasumber menyoroti persoalan multikulturalisme dari perspektif yang berbeda. Bapak Bahrul Hayat dalam memaparkan makalah tentang pengembangan wawasan multikulturalisme masyarakat, mengatakan bahwa “kerukunan itu rentan dan mudah pecah. Ibarat lukisan yang bagus yang dibingkai dengan kaca, tapi hati-hati dalam merawatnya.” Hal ini disampaikan dengan melihat kondisi riil yang dihadapi masyarakat saat ini. Bahwa kerukunan masyarakat Indonesia yang sudah terbangun lama bisa rusak sesaat apabila tidak dijaga secara baik.     
Menurut Bahrul Hayat, ada 4 modal utama dalam proses membangun tatanan kehidupan masyarakat. Pertama, hukum dan norma agama. Tata nilai pertama ada dalam norma-norma agama. Agama berdimensi secara halus yakni cinta. Agama juga memberikan norma pada pengaturan hidup. Dalam praktek kehidupan beragama, masih ada klaim-klaim kebenaran dari masing-masing agama karena hanya melihat dari satu sisi. .
Kedua, hukum formal tertulis.   hukum juga menjadi alat atau perangkat yang mengatur  kerukunan dan kedamaian. Hukum adalah agreement tertinggi dalam sebuah masyarakat. Ketiga, tradisi dan budaya. Masyarakat Indonesia memiliki begitu banyak tradisi dan budaya yang telah lama hidup di bumi nusantara ini. Kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di dalam masyarakat, perlu dilestarikan dan menjadi bagian penting dalam proses membangun kerukunan hidup umat beragama dan toleransi pada umumnya. Keempat, kesepakatan sosial. Kesepakatan sosial lahir dari inisiatif spontan dan hal ini didasari oleh tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Di akhir pemaparannya, Bapak Bahrul Hayat mengutip kata-kata dari mantan Sekjen PBB Kofi Annan. “We may have different religions, different languages, different colored skin, but we all belong one human race.”

M.Imdadun Rahmat (Komisioner KOMNAS HAM)
Persoalan tentang multikulturalisme dilihat dari  aspek HAM, banyak sekali terjadi pelanggaran di Indonesia. Imdadun menegaskan bahwa dalam  membangun masyarakat yang berwawasan multikulturalisme, harus memahami terlebih dahulu konsep negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Bahwa negara ini “nation state dan bukannya negara agama. Dalam perkembangan akhir-akhir ini terutama berkaitan dengan pemahaman terhadap multikulturalisme, bangsa kita sepertinya mengalami kemunduran. Ada begitu banyak kasus pelanggaran HAM yang diadukan Komnas HAM. Menurut Imdadun, begitu banyak terjadi pelanggaran dan penghambatan pendirian rumah ibadat. Puluhan kasus yang diadukan berkaitan dengan kasus intoleransi. Menunjukkan bahwa bangsa ini harus belajar dan terus belajar untuk menerima perbedaan orang lain terutama perbedaan agama yang dianut oleh orang lain. Perbedaan itu bukan menjadi halangan utama dalam membangun kerukunan tetapi justeru perbedaan itu bisa menjadi perekat yang menyatukan. “Seperti air dan minyak, sulit bersatu tetapi tetap berdampingan.”

 Abdul Fatah, Mantan Kepada PKUB.
            Bapak Abdul Fatah menuturkan pengalaman hidup dalam keberagaman dan kendala-kendala yang dihadapi oleh bangsa ini. Ia menuturkan pengalaman dalam proses penanganan kasus-kasus yang berbau SARA seperti yang terjadi di Ambon dan Poso. Menurutnya bukan semata-mata persoalan perbedaan agama yang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal tetapi begitu banyak aspek yang turut berpengaruh di dalam konflik tersebut. Memang sulit dalam menangani konflik sosial bernuasa agama tetapi hal ini terus dilakukan agar proses penanaman pemahaman akan keberbedaan itu menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi pegangan setiap pemeluk agama. Karena tanpa proses memahami perbedaan antara “saya dan orang” maka sulit untuk membangun kerukunan itu sendiri.
            Hal yang hampir senada juga diutarakan oleh Dr.A.M.Romly.bahwa perbedaan yang ada terus dipertahankan dan tetap ditumbuhkan nilai-nilai toleransi. Menurut ketua MUI Banten dan dosen UIN Syarif Hidayatulah ini bahwa perlu belajar perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Proses belajar tentang perbedaan itu mestinya mestinya terjadi secara alamiah, tanpa ada paksaan. Di sela-sela pemaparan makalah, ia juga melukiskan persahabatan antara seorang kyai dan pendeta. Cerita-cerita sederhana ini mau menggiring para peserta untuk memahami perbedaan itu indah kalau dilakoni dengan menempatkan secara mendasar nilai-nilai persahabatan dan kemanusiaan.

            Pertemuan ini menjadi menarik karena di sela-sela pemaparan materi, juga dibarengi dengan diskusi dan pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan oleh para penyuluh agama, mulai dari Aceh hingga Papua. Pengetahuan baru tidak hanya didapat dari para narasumber tetapi juga pengalaman praktis para penyuluh agama yang mengangkat fakta di lapangan untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yang menarik.***(Valery Kopong)      

No comments: