Beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat dari
seorang teman yang memberitakan pada
saya mengenai judul bukunya yang mau diterbitkan di Yogyakarta. Judul
bukunya “Orang-orang Kalah.” Saya lalu bertanya, kira-kira apa isi
dari buku yang diberi judul orang-orang
kalah? Dia lalu memberikan jawaban bahwa bukunya itu menceritakan tentang seluruh pewartaan dan pengorbanan Yesus yang
selalu mengendepankan diri sebagai
orang yang mengalah pada situasi, demi
sebuah nilai yang lebih tinggi. Ketika kehadiran Yesus sebagai Mesias (penyelamat dunia) di dunia, Ia ditolak oleh orang-orang
Israel karena konsep kemesiasan orang Israel adalah seorang pemimpin yang tampil dengan gagah
perkasa dan bisa menumpas para penjajah
agar mereka terhindar dari tekanan kolonial.
Walaupun tidak bersalah tetapi Yesus diadili dan dijatuhi hukuman
mati. Yesus tidak membela diri, Yesus tidak mencari
pengacara kondang untuk membela agar terhindar tuduhan itu tetapi apa yang dilakukan terhadapnya, diterima
dengan tangan terbuka. Di sini kita melihat ketakberdayaan Yesus di hadapan hukum duniawi dan orang-orang yang memiliki kekuasaan.
Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Yesus
kepada kita, tidak lewat kata-kata tetapi lewat perbuatan. Ia telah menunjukkan
kepada kita sebuah jalan salib kehidupan, jalan penuh liku dan tantangan.
Bahwa cinta kasih yang diwartakan oleh Yesus adalah cinta total, cinta
paripurna yang Ia tunjukkan pada saat ketika berhadapan dengan kayu salib.
Salib dipikul pada sebuah jalan panjang,
dari rumah Pilatus menuju puncak Golgota, semestinya Ia mengajak kita untuk
menengadah sambil melihat kesempurnaan cinta yang mendekati keselamatan. Pada
puncak bukit Golgota, tempat Yesus disalibkan, dari ketinggian bukit itu Ia
membuka mata kita untuk melihat betapa
penderitaan yang dialami oleh manusia yang mesti ditanggung dalam Dia.
Saya masih ingat cerita tentang Santa Teresa dari Kalkuta, semasa
hidupnya ia melayani orang-orang miskin
tanpa memandang suku, agama dan rasa. Suatu ketika diberitakan bahwa Muder Teresa bekerja
melayani orang-orang kecil untuk mencari
popularitas dan mengkatolikan orang yang
dilayani. Mendengar berita itu maka
beberapa polisi India mau menjemput paksa Muder Teresa di sebuah kuil kosong
yang kemudian dijadikan sebagai klinik
sementara untuk mengobati orang-orang
miskin dan yang terluka. Ketika polisi
masuk ke kuil kosong, mereka melihat bagaimana Muder Teresa sedang membalut kaki luka
penuh bau dan dilakukan dengan penuh kasih sayang. Polisi yang menyaksikan apa yang dilakukan
oleh Muder Teresa akhirnya pulang dan
tidak jadi menangkap dia bahkan mereka mewartakan kepada orang-orang yang
dijumpai bahwa apa dilakukan sangat mulia.
Apa yang dilakukan oleh Muder
Teresa bukan atas kehendaknya sendiri tetapi atas gerakan Roh Kudus. Ajaran
dan cinta Kristus telah meresapi kehidupan Muder Teresa yang melakukan hal
sederhana di mata manusia tetapi sulit
untuk melaksanakannya. Atau masih ingatkan kita akan tindakan Paus Yohanes Paulus II yang meminta maaf dan memberi
pengampunan pada Ali Acqa yang menembaknya? Ia yang terluka atau yang
dilukai tetapi berani untuk berdamai
dengan orang yang melukainya. Cara
sederhana ini yakni membawa luka kepada
pencipta luka, untuk memperlihatkan bahwa tindakan yang dilakukan itu
tidak baik karena menyisahkan kepedihan yang mendalam. Dengan cara yang lembut,
tindakan memaafkan itu memberi warna baru tentang cinta dan
pengampunan.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment