Beberapa
tahun yang lalu, di kalangan umat katolik beredar tulisan-tulisan yang
menyoroti kehidupan doa keluarga. Sorotan terhadap kehidupan keluarga karena sampai saat ini masih terdapat
pemilahan yang tidak proporsional antara ranah hiburan dan doa. Dua hal ini
menampilkan kesenjangan yang berarti. Terhadap persoalan yang mengemuka ini
menggiring kita untuk bertanya lebih jauh. Mengapa umat kristiani saat ini
sulit meluangkan waktu untuk bertemu
Tuhan lewat untaian doa? Atau mengapa doa yang dilakukan kurang intensif bahkan
porsi waktu yang disediakan sangat sedikit?
Melihat pengalaman hidup harian,
kecenderungan yang kuat dan selalu menggoda yakni setiap orang sepertinya
“terpanggil” menjadi penonton yang pasif terhadap acara-acara yang ditayangkan
di TV. Suguhan acara tentu menarik dan memiliki daya magnetis sehingga mudah
memberi ruang tontonan daripada masuk ke dalam ruang sunyi. Ruang sunyi yang
menawarkan keheningan seakan kalah di hadapan ranah hiburan bahkan sunyi itu
sendiri menawarkan rasa takut bila berada dalam kesunyian doa. Doa dalam
konteks tertentu “tidak bernyawa” lagi karena dipengaruhi oleh kecenderungan
untuk terlibat dalam gebiyarnya kehidupan metropolitan.
Yesus sendiri ketika berada pada
titian derita, Ia berdoa dalam ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin, biarlah
piala ini berlalu daripada-Ku.” Doa di tengah taman pergulatan Getzemani,
memperlihatkan aspek kemanusiaan Yesus di mana Ia mengalami kesendirian , jauh
dari sentuhan Bapa-Nya. Doa Yesus menjadi modal rohani dan membuka
“interupsi Ilahi” di mana dalam doa itu
bergantung sebuah harapan akan perubahan situasi dan pengembalian situasi
darurat ke situasi normatif.
Apakah kita berani masuk ke dalam
ruang sunyi untuk bertemu Tuhan melalui doa-doa? Ataukah kita sendiri menyeret
diri sendiri untuk lebih mengandalkan kehidupan
modern dengan tawaran yang menarik sebagai jalan pintas yang membebaskan
kita dari pelbagai persoalan? Kita lebih banyak membuang waktu di depan TV,
sebagai “tabernakel orang-orang zaman ini.”
Manusia bisa mengakses berita-berita aktual yang menyegarkan dan memberi
arah baru dan memulihkan kehidupan dari pelbagai aspek. Kegelisahan manusia
yang hidup di abad modern ini terlihat
ketika mereka tidak menyaksikan acara kesayangan mereka di televisi atau lebih gelisah lagi kalau ketinggalan
handphone (HP) saat ia bepergian jauh. Tetapi apakah manusia yang hidup di abad modern ini mengalami
kegelisahan ketika ia tidak berdoa kepada Allah?
Seorang rahip tua (pertapa) melewati
masa-masa hidupnya di biara dengan doa. Di biara itu ada doa angelus, doa Brevir,
ada meditasi dan kontemplasi yang terus digelutinya sebagai kekuatan utama
untuk menopang kehidupan membiara. Doa-doa yang didaraskan ini adalah doa-doa
yang ada dalam buku. Suatu ketika ia (rahip) pergi ke pasar melihat kehidupan
nyata di luar biara. Pada jam 12.00
siang, ia masih berada di tengah kota. Suara adzan di masjid, juga mengingatkan
ia bahwa sudah saatnya ia bersiap untuk berdoa angelus (malaikat Tuhan). Pada
awalnya doanya, ia meminta maaf kepada Tuhan. “Maaf, Tuhan. Aku mau berdoa
tetapi aku lupa rumusan doa angelus. Buku yang biasa kupakai sebagai panduan
doa, saya lupa di biara. Ia memulai berdoa dengan hanya menyebutkan setiap
abjat, mulai dari A,B,C,D,…sampai Z. Di akhir doanya yang berbentuk abjatnya ini, ia
berkata pada Tuhan. Tuhan, bentukkanlah (susunlah) sendiri setiap abjat yang
telah kuucapkan ini sesuai dengan keinginan hatiku. Hanya Engkaulah yang tahu
tentang isi hatiku ini.
Berkaca pada doa sang rahip ini bisa
dikatakan bahwa doa adalah ungkapan batin yang tulus dan dalam doa itu kita
membiarkan Allah merajai diri kita karena apa yang akan kita ungkapkan dalam
doa, sudah diketahui oleh Allah. Allah itu mahatahu, tahu tentang persoalan
yang tengah dihadapi oleh manusia. Menjadi problem saat ini adalah seberapa
sering kita memberikan porsi waktu untuk doa di hadapan Allah? Di sini kita dituntut untuk meluangkan waktu
untuk mencari waktu sunyi dan berdoa. Doa yang baik, selain kita memberikan
porsi waktu yang cukup dalam berdoa tetapi juga bagaimana kita meninggalkan
kelekatan dengan aspek duniawi seperti tayangan-tayangan di TV yang menarik dan
berkhusyuk dalam doa. Kaita harus berani meninggalkan kelekatan duniawi seperti
tontonan menarik dan masuk dalam kehidupan doa yang sunyi.
Doa
bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Seperti rahip yang berdoa di tengah
keramaian pasar, demikian juga kita perlu mencari waktu untuk berdoa padanya.
Yang dapat menciptakan suasana sunyi, hanyalah hati kita sendiri dan bukan
keadaan di luar diri kita yang sunyi. Seorang tukang bengkel las teralis dapat
berdoa khusyuk di antara riuhnya mesin-mesin. Dapatkah kita berdoa di tengah
kebisingan berita, sinetron yang tertayang di layar kaca?***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment