Wednesday, February 14, 2018

MULAILAH MENULIS (Catatan pengalaman)



Menulis adalah sebuah habit, sebuah kebiasaan yang perlu dihidupkan dalam setiap waktu. Ketika memberikan pelatihan di beberapa tempat, banyak pertanyaan yang dimunculkan oleh peserta. Bagaimana caranya untuk menjadi seorang penulis? Dengan santai saya menjawab, bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai titik sukses sebagai penulis, selain mulai menulis. Artinya bahwa jika ingin menjadi penulis terkenal maka langkah pertama yang harus dilakoni adalah mulailah  menulis. Seorang penulis yang baik, adalah dia yang selalu menulis setiap waktu dan tidak ada alasan sibuk dan mengabaikan kegiatan menulis itu. Menulis di sini, bisa dilihat sebagai habitus baru dan sekaligus merupakan perayaan kebebasan batin sang penulis yang menyebarkan virus-virus berupa ide atau gagasan yang tertuang dalam bentuk tulisan.
Sejak kapan saya mulai menulis? Kebiasaan menulisku mulai tumbuh ketika mengenyam pendidikan di SMP Lembah Kelapa-Kiwangona – Adonara Timur. Ketika itu bersama beberapa teman dipercayakan untuk mengisi kolom pada majalah dinding yang waktu itu dibaptis dengan nama “QUO VADIS.” Nama majalah dinding “QUO VADIS” tetapi arti dari kata Latin ini kutahu setelah saya mengenyam pendidikan di Seminari San Dominggo, yang kebetulan juga kita belajar bahasa Latin. QUO VADIS, ke mana engkau pergi? Pertanyaan ini menarik sekaligus menantang seseorang untuk melihat diri dan selalu bergerak keluar dari diri untuk menjumpai yang lain. Sejak berkenalan dengan majalah dinding, naluriku untuk menulis terus bergerak tumbuh dan apalagi didukung dengan iklim di Seminari Hokeng yang menggiatkan pola hidup membaca dan menulis, baik di majalah sekolah maupun majalah dinding.
Setelah tamat dari Seminari San Dominggo Hokeng, saya masuk ke Novisiat SVD (Societas Verbi Divini) di Nenuk- Timor. Kebiasaan menulis semakin berkembang, apalagi Magisterku (Pater Simon Bata, SVD)  mempercayakan saya untuk mengisi buku catatan harian milik novisiat. Seluruh peristiwa yang terjadi pada hari itu diliput dan dimasukan ke dalam buku catatan harian. Dengan dikasih kepercayaan untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa hidup seputar novisiat maka dengan sendirinya saya dibiasakan untuk menulis. Kemudian setelah menyelesaikan masa novisiat, saya mulai belajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik – Ledalero (STFK Ledalero). Dengan belajar filsafat sangat membantu saya untuk menganalisis sebuah permasalahan dan menuangkannya dalam bentuk tulisan berupa opini. Sejak menjadi mahasiswa di STFK Ledalero, saya sudah menulis di koran Pos Kupang dan Flores Pos.  Cukup banyak honor yang saya dapatkan dari menjual ide di koran. Karena itu selama menjadi mahasiswa, saya tidak pernah meminta uang saku dari orangtua karena uang saku bisa saya dapatkan dari  redaksi yang memuat tulisan saya.
  Menulis juga secara tidak langsung membentuk opini publik tentang kita sebagai penulis. Karena keseringan menulis opini di koran  Pos Kupang dan Flores Pos, maka teman-teman seangkatanku melihat saya sebagai orang hebat dan pada akhirnya ketika pada posisi mahasiswa tingkat V, saya dipilih untuk menjadi pemimpin redaksi majalah ilmiah VOX Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero. Majalah ini bergengsi karena para penulis yang berkecimpung di dalamnya adalah penulis andalan dengan daya analisis filosofis yang bernas. Menulis sepertinya membawa saya pada titik keterbukaan untuk berjumpa dengan yang lain. Menulis menjadi modal utama saya untuk melanglang ibu kota.
Tahun 2002 saya mulai masuk ibu kota Jakarta yang penuh dengan tantangan. Tiga bulan lamanya saya mencari pekerjaan.  Saya mulai melamar ke Kompas dan beberapa redaksi majalah bergengsi dan juga sekolah-sekolah. Saya malah diterima menjadi pengajar di SD Tarsisius Vireta – Tangerang. Enam bulan saya mengajar di SD Tarsisius Vireta, saya diminta untuk menulis di majalah Yayasan Bunda Hati Kudus. Nama majalah itu “GESER” (Gema Serikat). Majalah ini milik serikat guru yang membidik pelbagai persoalan seputar dunia pendidikan.  Tulisan pertama yang masuk di majalah GESER ini rupanya menghipnotis orang  dan salah seorang staf yayasan mulai mencari saya hanya karena membaca tulisanku itu.
 Melihat tulisanku yang dinilai baik maka Bapak Martin Rio (Staf yayasan Bunda Hati Kudus) waktu itu, merekomendasikan saya untuk bekerja pada majalah “HOLISTIK” yang berkantor di Grogol – Jakarta Pusat. Suatu ketika di tahun 2002, setelah mengajar di SD Tarsisius Vireta, sore harinya saya diajak Bapak Martin untuk pergi ke redaksi majalah HOLISTIK. Kami bertemu dengan Bapak Willy Wea, pemegang saham majalah HOLISTIK. Saya langsung diminta untuk memimpin redaksi majalah HOLISTIK. Tanpa banyak kompromi, saya menerima tawaran itu. Dengan menerima tugas baru sebagai pemimpin redaksi maka saya harus mengelola waktu lagi karena pada saat yang sama, saya masih mengajar.  Pagi hari saya mengajar di Tangerang dan sore harinya bekerja di redaksi majalah HOLISTIK. Pada tahun-tahun awal bekerja di Jakarta dan Tangerang membawa berkah tersendiri bagiku. Gaji yang saya peroleh dari bekerja sebagai “kuli tinta,”  saya gunakan untuk DP (Down Payment/ uang muka) untuk mengambil rumah di Tangerang. Rumah, tempat saya tinggal sampai dengan saat ini, saya lihat sebagai rumah inspirasi karena dibeli dengan hasil menjual ide / gagasan.
Saat ini saya tidak bekerja lagi sebagai redaktur namun menulis adalah sebuah keharusan bagi saya. Menulis untuk blog pribadi dan saya lebih banyak waktu untuk memberikan pelatihan pada kaum remaja dan juga para peminat jurnalistik. Pelatihan yang saya berikan terutama penulisan opini dan feature karena penulisan opini ataupun feature dibayar mahal apabila dimuat di koran ataupun majalah. Selain menulis untuk blog pribadi dan sebagai narasumber untuk penulisan opini dan feature, saya juga menerbitkan buku. Ada dua buku yang merupakan buah dari pemikiranku, SALIB: MENGENANG SANG KORBAN dan CINTA SPION yang terbit 2017.
Menulis mendatangkan banyak hal,terutama finansial dan terlebih lagi saya bisa dikenal dan dikenang. Mengutip kata-kata sastrawan Pramoediyah Ananta Toer, “siapa yang tidak pernah menulis, ia  gampang dilupakan oleh sejarah.” Pram masih dikenal dan dikenang oleh sejarah  karena tulisannya. Lewat novelnya Larasati, Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan masih banyak novelnya, orang mengenang dengan membaca tulisannya yang cerdas. Mari kita mulai menulis karena dengan menulis juga, kita membangkitkan apa yang telah mati.*** (Valery Kopong)     

0 komentar: