Menulis adalah sebuah habit,
sebuah kebiasaan yang perlu dihidupkan dalam setiap waktu. Ketika memberikan
pelatihan di beberapa tempat, banyak pertanyaan yang dimunculkan oleh peserta.
Bagaimana caranya untuk menjadi seorang penulis? Dengan santai saya menjawab,
bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai titik sukses sebagai penulis, selain
mulai menulis. Artinya bahwa jika ingin menjadi penulis terkenal maka langkah
pertama yang harus dilakoni adalah mulailah menulis. Seorang penulis yang baik, adalah dia
yang selalu menulis setiap waktu dan tidak ada alasan sibuk dan mengabaikan
kegiatan menulis itu. Menulis di sini, bisa dilihat sebagai habitus baru dan
sekaligus merupakan perayaan kebebasan batin sang penulis yang menyebarkan
virus-virus berupa ide atau gagasan yang tertuang dalam bentuk tulisan.
Sejak kapan saya mulai menulis? Kebiasaan menulisku mulai
tumbuh ketika mengenyam pendidikan di SMP Lembah Kelapa-Kiwangona – Adonara
Timur. Ketika itu bersama beberapa teman dipercayakan untuk mengisi kolom pada
majalah dinding yang waktu itu dibaptis dengan nama “QUO VADIS.” Nama majalah
dinding “QUO VADIS” tetapi arti dari kata Latin ini kutahu setelah saya
mengenyam pendidikan di Seminari San Dominggo, yang kebetulan juga kita belajar
bahasa Latin. QUO VADIS, ke mana engkau pergi? Pertanyaan ini menarik sekaligus
menantang seseorang untuk melihat diri dan selalu bergerak keluar dari diri
untuk menjumpai yang lain. Sejak berkenalan dengan majalah dinding, naluriku untuk
menulis terus bergerak tumbuh dan apalagi didukung dengan iklim di Seminari
Hokeng yang menggiatkan pola hidup membaca dan menulis, baik di majalah sekolah
maupun majalah dinding.
Menulis juga secara
tidak langsung membentuk opini publik tentang kita sebagai penulis. Karena
keseringan menulis opini di koran Pos
Kupang dan Flores Pos, maka teman-teman seangkatanku melihat saya sebagai orang
hebat dan pada akhirnya ketika pada posisi mahasiswa tingkat V, saya dipilih
untuk menjadi pemimpin redaksi majalah ilmiah VOX Seminari Tinggi Santo Paulus
Ledalero. Majalah ini bergengsi karena para penulis yang berkecimpung di
dalamnya adalah penulis andalan dengan daya analisis filosofis yang bernas.
Menulis sepertinya membawa saya pada titik keterbukaan untuk berjumpa dengan
yang lain. Menulis menjadi modal utama saya untuk melanglang ibu kota.
Tahun 2002 saya mulai masuk ibu kota Jakarta yang penuh
dengan tantangan. Tiga bulan lamanya saya mencari pekerjaan. Saya mulai melamar ke Kompas dan beberapa
redaksi majalah bergengsi dan juga sekolah-sekolah. Saya malah diterima menjadi
pengajar di SD Tarsisius Vireta – Tangerang. Enam bulan saya mengajar di SD
Tarsisius Vireta, saya diminta untuk menulis di majalah Yayasan Bunda Hati
Kudus. Nama majalah itu “GESER” (Gema Serikat). Majalah ini milik serikat guru
yang membidik pelbagai persoalan seputar dunia pendidikan. Tulisan pertama yang masuk di majalah GESER
ini rupanya menghipnotis orang dan salah
seorang staf yayasan mulai mencari saya hanya karena membaca tulisanku itu.
Melihat tulisanku yang
dinilai baik maka Bapak Martin Rio (Staf yayasan Bunda Hati Kudus) waktu itu,
merekomendasikan saya untuk bekerja pada majalah “HOLISTIK” yang berkantor di
Grogol – Jakarta Pusat. Suatu ketika di tahun 2002, setelah mengajar di SD
Tarsisius Vireta, sore harinya saya diajak Bapak Martin untuk pergi ke redaksi
majalah HOLISTIK. Kami bertemu dengan Bapak Willy Wea, pemegang saham majalah
HOLISTIK. Saya langsung diminta untuk memimpin redaksi majalah HOLISTIK. Tanpa
banyak kompromi, saya menerima tawaran itu. Dengan menerima tugas baru sebagai
pemimpin redaksi maka saya harus mengelola waktu lagi karena pada saat yang
sama, saya masih mengajar. Pagi hari
saya mengajar di Tangerang dan sore harinya bekerja di redaksi majalah
HOLISTIK. Pada tahun-tahun awal bekerja di Jakarta dan Tangerang membawa berkah
tersendiri bagiku. Gaji yang saya peroleh dari bekerja sebagai “kuli
tinta,” saya gunakan untuk DP (Down
Payment/ uang muka) untuk mengambil rumah di Tangerang. Rumah, tempat saya
tinggal sampai dengan saat ini, saya lihat sebagai rumah inspirasi karena
dibeli dengan hasil menjual ide / gagasan.
Saat ini saya tidak bekerja lagi sebagai redaktur namun
menulis adalah sebuah keharusan bagi saya. Menulis untuk blog pribadi dan saya
lebih banyak waktu untuk memberikan pelatihan pada kaum remaja dan juga para
peminat jurnalistik. Pelatihan yang saya berikan terutama penulisan opini dan
feature karena penulisan opini ataupun feature dibayar mahal apabila dimuat di koran
ataupun majalah. Selain menulis untuk blog pribadi dan sebagai narasumber untuk
penulisan opini dan feature, saya juga menerbitkan buku. Ada dua buku yang
merupakan buah dari pemikiranku, SALIB: MENGENANG SANG KORBAN dan CINTA SPION
yang terbit 2017.
Menulis mendatangkan banyak hal,terutama finansial dan
terlebih lagi saya bisa dikenal dan dikenang. Mengutip kata-kata sastrawan
Pramoediyah Ananta Toer, “siapa yang tidak pernah menulis, ia gampang dilupakan oleh sejarah.” Pram masih
dikenal dan dikenang oleh sejarah karena
tulisannya. Lewat novelnya Larasati, Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
dan masih banyak novelnya, orang mengenang dengan membaca tulisannya yang
cerdas. Mari kita mulai menulis karena dengan menulis juga, kita membangkitkan
apa yang telah mati.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment