Beberapa waktu yang
lalu, Yogyakarta dikejutkan dengan pemotongan salib yang tertancap pada salah
satu makam Katolik. Masyarakat luas digegerkan dengan peristiwa yang kurang
terpuji ini. Selang beberapa bulan kemudian, ada perusakan salib di makam
Katolik dan kali ini terjadi di Magelang-Jawa Tengah. Salib yang menjadi simbol
kemenangan Kristus, seakan menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang
beragama lain sehingga ketika melihat salib, sepertinya nurani mereka terganggu.
Mengapa mesti salib yang ada di makam orang mati yang dirusakkan? Apakah pelaku perusakan salib ingin mencari
sensasi agar dikenal publik dengan cara yang tidak terpuji?

Kisah
fragmen mini di atas sepertinya paradoks dengan kenyataan yang terjadi di
Indonesia. Bahwa peristiwa pemotongan bagian atas salib yang bertuliskan RIP (Requescat In Pace: ia beristirahat dalam damai) seakan sedang
mengganggu ketenangan tidur abadi bagi orang yang sudah meninggal. Apakah
dengan menodai salib, mengaburkan “mata Tuhan” untuk tidak mengenal lagi
identitas Kekatolikan bagi mereka yang sudah meninggal? Tuhan yang saya Imani adalah
Tuhan bersikap netral dan maha pengampun pada semua orang tanpa harus melihat
identitas primordial, baik pada orang yang masih hidup maupun orang yang sudah
meninggal dunia.
Bagi
orang Katolik, salib tidak sekedar menandai identitas diri tetapi lebih dari itu, salib merupakan
simbol kemenangan Kristus karena di balik salib itu, ada ruang pengharapan akan
kebangkitan. Salib-salib yang ada di makam Katolik dihancurkan tetapi iman akan
Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup tak akan luncur. Salib, selain
mengenang Sang korban (baca: Yesus) tetapi dibalik salib itu, janji kehidupan
abadi dari Kristus akan terwujud di surga.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment