Friday, January 4, 2019

"Mata Tuhan"



Beberapa waktu yang lalu, Yogyakarta dikejutkan dengan pemotongan salib yang tertancap pada salah satu makam Katolik. Masyarakat luas digegerkan dengan peristiwa yang kurang terpuji ini. Selang beberapa bulan kemudian, ada perusakan salib di makam Katolik dan kali ini terjadi di Magelang-Jawa Tengah. Salib yang menjadi simbol kemenangan Kristus, seakan menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang beragama lain sehingga ketika melihat salib, sepertinya nurani mereka terganggu. Mengapa mesti salib yang ada di makam orang mati yang dirusakkan?  Apakah pelaku perusakan salib ingin mencari sensasi agar dikenal publik dengan cara yang tidak terpuji?
           
Peristiwa pemotongan salib yang terjadi di Yogyakarta dan Magelang ini terbilang langka karena selama ini gesekan sosial yang mengetengahkan persoalan agama hanya muncul dalam relasi sosial dalam masyarakat. Itu berarti bahwa diakui adanya kejadian gesekan sosial-keagamaan yang terjadi dalam masyarakat dan jarang terjadi persoalan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah meninggal. Peristiwa pemotongan salib bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan orang-orang hidup dengan orang yang sudah mati.  Apakah dengan pemotongan salib menimbulkan perlawanan dari kebangkitan mayat-mayat?  
            Tentang perlawanan mayat-mayat, penulis teringat akan sebuah mini fragmen yang berjudul, “Mayat-Mayat Berjalan.” Mini fragmen itu mempertontonkan sebuah kegelisahan sosial akibat otoritarisme penguasa sehingga masyarakat berada pada masa pembungkaman sosial. Mayat-mayat bangkit dan berdemonstrasi,  seolah-olah merespons terhadap situasi sosial yang serba carut-marut di negerinya. Perlawanan mayat-mayat berjalan merupakan tanda kebangkitan baru dan sekaligus mau mengatakan bahwa orang-orang hidup tidak berdaya di hadapan sebuah rezim  otoritarian yang seakan hadir menakutkan warga masyarakat.
            Kisah fragmen mini di atas sepertinya paradoks dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Bahwa peristiwa pemotongan bagian atas salib yang bertuliskan RIP (Requescat In Pace:  ia beristirahat dalam damai) seakan sedang mengganggu ketenangan tidur abadi bagi orang yang sudah meninggal. Apakah dengan menodai salib, mengaburkan “mata Tuhan” untuk tidak mengenal lagi identitas Kekatolikan bagi mereka yang sudah meninggal? Tuhan yang saya Imani adalah Tuhan bersikap netral dan maha pengampun pada semua orang tanpa harus melihat identitas primordial, baik pada orang yang masih hidup maupun orang yang sudah meninggal dunia.
            Bagi orang Katolik, salib tidak sekedar menandai identitas  diri tetapi lebih dari itu, salib merupakan simbol kemenangan Kristus karena di balik salib itu, ada ruang pengharapan akan kebangkitan. Salib-salib yang ada di makam Katolik dihancurkan tetapi iman akan Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup tak akan luncur. Salib, selain mengenang Sang korban (baca: Yesus) tetapi dibalik salib itu, janji kehidupan abadi dari Kristus akan terwujud di surga.***(Valery Kopong)  





No comments: