Thursday, August 15, 2019

Atas Nama Cinta Untuk Berkorban


Ketika pertama kali terbentuknya lingkunganku sekitar empat belas tahun silam, saya diminta untuk mencari nama orang-orang kudus untuk menjadi nama pelindung lingkungan. Ada beberapa nama  orang kudus dan latar belakang kehidupannya menjadi bahan pertimbanganku, apakah bisa dijadikan sebagai nama pelindung atau tidak. Menarik bahwa ada nama Zakheus dalam pusaran pemilihan nama-nama itu. Saya sendiri tertarik apabila nama Zakheus menjadi nama lingkunganku. Alasan sederhana bahwa Zakheus, walaupun diberi label sebagai manusia pendosa tetapi berani membuka diri di hadapan Yesus. Berkat keterbukaannya maka ia mendapat pengampunan dari Tuhan.
         
Di hadapan  saya, kepribadian Zakheus itu menarik tetapi belum tentu diterima oleh umat lingkungan. Banyak yang protes bahwa tidak layak nama Zakheus menjadi nama lingkungan kita karena badannya pendek dan penuh dengan dosa yang dilakukan selama hidup. Saya merespon protes yang muncul dari umat sambil mencari nama orang kudus untuk menjadi pelindung. Pilihan saya pada akhirnya jatuh pada nama seorang martir, “Maximilianus Kolbe.” Maximilianus adalah seorang imam Fransiskan yang kemudian menjadi tawanan pada zaman Nazi. Ia menjadi martir pada usia 47 tahun dan dibeatifikasi pada tanggal 17 Oktober 1971 oleh Paus Paulus ke VI.  Tanggal 10 Oktober 1982, ia dikanonisasi untuk menjadi seorang santo.
          Kehidupan Maximilianus Kolbe dan saat-saat genting untuk memberanikan diri dihukum mati menggantikan seorang perwira yang sama-sama ditawan, menjadi menarik bahwa gelora pengorbanan terhadap orang lain menjadi fokus perhatiannya. Selama hidupnya menjadi seorang imam, ia tidak hanya mewartakan kabar gembira tetapi hadir menyelamatkan orang lain.  Kabar gembira yang selama ini diwartakan tidak turut terpenjara oleh kekejaman Nazi namun pada situasi tapal batas, Maximilianus Kolbe berusaha menjadikan dirinya untuk menyelamatkan orang lain, walaupun nyawa menjadi taruhan utama.
          Di sini, bisa dilihat bahwa Maximilianus Kolbe mengajarkan kepada kita tentang pentingnya berkorban untuk orang lain. Kita berkorban untuk orang lain bukan karena ada ikatan primordial dengan kita tetapi landasan utama adalah rasa kemanusiaan. Apa yang dilakukan oleh Maximilianus Kolbe merupakan cerminan Sang Guru Agung yang telah mengajarkan tentang nilai pengorbanan atas nama cinta. Cinta selalu menggelorakan niat seseorang untuk melakukan tindakan besar dan mengubah situasi. Yesus telah mengorbankan diri-Nya untuk menebus dan menyelamatkan manusia. Tindakan yang dilakukan oleh Yesus membuka pintu keselamatan yang telah dijanjikan Allah kepada manusia.
          Dalam Matius 18:15-20, Yesus mengajarkan kepada kita tentang cara menasihati sesama saudara. Jika saudaramu melakukan dosa maka tegurlah dia di bawah empat mata. Menegur sesama sebagai bentuk “corectio fraterna” merupakan cara sederhana untuk menyelamatkan saudara yang berada pada situasi kedosaan. Keberanian untuk menegur ini perlu dihidupkan kembali dalam lingkup masyarakat kita yang selalu menekankan sikap individualistik. Apakah setiap kita bersedia berkorban untuk menegur teman yang melakukan kesalahan sebagai cara menyelamatkan dia untuk kembali ke jalan yang benar? Pada pesta peringatan Santo Maximilianus Kolbe, kita belajar untuk membuka diri terhadap  Tuhan dan sesama sambil belajar berkorban untuk sesuatu yang bernilai.***(Valery Kopong).  
Gereja menetapakan pesta Santo Maximilianus Kolbe, 14 Agustus 

No comments: