Ketika pertama kali
terbentuknya lingkunganku sekitar empat belas tahun silam, saya diminta untuk
mencari nama orang-orang kudus untuk menjadi nama pelindung lingkungan. Ada
beberapa nama orang kudus dan latar
belakang kehidupannya menjadi bahan pertimbanganku, apakah bisa dijadikan
sebagai nama pelindung atau tidak. Menarik bahwa ada nama Zakheus dalam pusaran
pemilihan nama-nama itu. Saya sendiri tertarik apabila nama Zakheus menjadi
nama lingkunganku. Alasan sederhana bahwa Zakheus, walaupun diberi label
sebagai manusia pendosa tetapi berani membuka diri di hadapan Yesus. Berkat
keterbukaannya maka ia mendapat pengampunan dari Tuhan.
Kehidupan
Maximilianus Kolbe dan saat-saat genting untuk memberanikan diri dihukum mati
menggantikan seorang perwira yang sama-sama ditawan, menjadi menarik bahwa
gelora pengorbanan terhadap orang lain menjadi fokus perhatiannya. Selama
hidupnya menjadi seorang imam, ia tidak hanya mewartakan kabar gembira tetapi
hadir menyelamatkan orang lain. Kabar
gembira yang selama ini diwartakan tidak turut terpenjara oleh kekejaman Nazi
namun pada situasi tapal batas, Maximilianus Kolbe berusaha menjadikan dirinya
untuk menyelamatkan orang lain, walaupun nyawa menjadi taruhan utama.
Di
sini, bisa dilihat bahwa Maximilianus Kolbe mengajarkan kepada kita tentang
pentingnya berkorban untuk orang lain. Kita berkorban untuk orang lain bukan
karena ada ikatan primordial dengan kita tetapi landasan utama adalah rasa
kemanusiaan. Apa yang dilakukan oleh Maximilianus Kolbe merupakan cerminan Sang
Guru Agung yang telah mengajarkan tentang nilai pengorbanan atas nama cinta.
Cinta selalu menggelorakan niat seseorang untuk melakukan tindakan besar dan
mengubah situasi. Yesus telah mengorbankan diri-Nya untuk menebus dan
menyelamatkan manusia. Tindakan yang dilakukan oleh Yesus membuka pintu
keselamatan yang telah dijanjikan Allah kepada manusia.
Dalam
Matius 18:15-20, Yesus mengajarkan kepada kita tentang cara menasihati sesama
saudara. Jika saudaramu melakukan dosa maka tegurlah dia di bawah empat mata.
Menegur sesama sebagai bentuk “corectio fraterna”
merupakan cara sederhana untuk menyelamatkan saudara yang berada pada
situasi kedosaan. Keberanian untuk menegur ini perlu dihidupkan kembali dalam
lingkup masyarakat kita yang selalu menekankan sikap individualistik. Apakah
setiap kita bersedia berkorban untuk menegur teman yang melakukan kesalahan
sebagai cara menyelamatkan dia untuk kembali ke jalan yang benar? Pada pesta
peringatan Santo Maximilianus Kolbe, kita belajar untuk membuka diri terhadap Tuhan dan sesama sambil belajar berkorban
untuk sesuatu yang bernilai.***(Valery
Kopong).
Gereja menetapakan pesta Santo Maximilianus Kolbe, 14 Agustus
0 komentar:
Post a Comment