Wednesday, August 12, 2020

Perjamuan Akhir

 

Sebelum pamit dari rumah untuk memulai hidup di perantauan, kami sekeluarga mengadakan makan malam bersama. Ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan keluargaku setiap melepaskan salah seorang anggota keluarga sebelum bepergian jauh. Makan malam menjadi berharga dan nilainya jauh lebih tinggi ketimbang makan malam bersama tanpa melepaskan salah seorang anggota keluarga. Mengapa perlu mengadakan perjamuan malam sebelum melepaspergikan seseorang?

            Bagi saya, perjamuan makan malam bersama keluarga sebelum merantau untuk sekian tahun adalah sebuah pengalaman historis yang tak pernah saya lupakan. Dalam moment yang cukup mendebarkan itu, bapak dan mamaku memberikan pesan-pesan terakhir. “Nak, besok kamu pergi untuk memulai hidup baru. Jagalah baik-baik kaki-tangan dan mulut.” Pesan sederhana ini menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Pesan ini berarti bahwa setiap kali kita bepergian jauh maupun dekat, yang perlu diperhatikan adalah tingkah laku dan perbuatan serta tutur kata yang diucapkan. Apabila kita membangun relasi baik dengan sesama maka pola tingkah laku selalu berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku. Demikian juga penuturan kita saat bertemu dan berinteraksi dengan sesama.

            Keesokan harinya, sebelum kaki ini melangkah meninggalkan rumah tercinta, dari mulut kedua orang tuaku terucap kata, “jangan lupa untuk pulang kampung.” Rumah adalah tempat kita memulai hidup. Rumah di sini tidak hanya mencakup bangunan secara fisik tetapi lebih dari itu rumah adalah “ruang pengharapan” yang selalu terbuka pintunya secara lebar untuk melepaspergikan anggota keluarga dan menerima kembali anggotanya. Rumah adalah “ruang inspirasi” yang memberikan spirit. Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota.

            Sebelum menjalani penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para murid-Nya. Perjamuan yang terselenggara merupakan “pesta pelepasan” sederhana sebelum Ia diserahkan ke tangan-tangan para penyamun. Pesta perjamuan yang diperkenalkan Yesus telah menjadi perjamuan abadi. Dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan memecahkan lalu membagi kepada para murid-Nya. Demikian juga Ia mengambil piala yang berisi anggur. Perjamuan terakhir karenanya, lebih dikenal sebagai perjamuan cinta kasih karena Yesus memperlihatkan nilai-nilai pelayanan kepada para murid dan dengan suatu harapan, nilai-nilai pelayanan dan cinta kasih dapat dipancar-teruskan dalam kehidupan sehari-sehari bagi umat yang percaya kepada-Nya.

            Hampir setiap kali  menghadiri perayaan ekaristi, aku selalu teringat suasana makan sederhana di saat aku dilepaskan oleh orang tuaku. Makan malam, perjamuan bersejarah itu tetap terkenang dalam memori hidupku dan terus mengingatkan aku untuk kembali ke “ruang perjamuan,” ruang persaudaraan yang selalu mengikat aku dalam pesan-pesan bijak.***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

Menegur Sesama

Pasti kita merasa nyaman dan senang jika kita mempunyai sahabat yang punya nama baik dan relasi sosial yang baik.Tetapi,jika  kita mempunyai sahabat yang sedang terpuruk akibat dari perbuatan dosanya, pasti kita merasa tidak nyaman.Sebagai sahabat sejati,kita hendaknya tidak boleh melarikan diri darinya,karena kalau kita tinggalkan dia sendirian, dia justru semakin terpuruk.

Bacaan Injil pada hari ini mengajarkan kepada kita bagaimana kita menegur ketika saudara kita,sahabat kita, anggota keluarga kita sedang dalam keadaan terpuruk akibat perbuatan dosa.Yesus mengajarkan tiga langkah. Langkah pertama adalah menegur secara pribadi, empat mata. Disinilah terjadi ungkapan dari hati ke hati. Dia merasa nyaman dan tenang. Langkah kedua adalah kita mengajak orang lain terlibat  dalam membawa jalan pertobatannya. Kita melibatkan orang lain untuk meyakinkan kepadanya agar dia tidak semakin terpuruk tapi masih bisa diselamatkan. Jika gagal, kita melibatkan jemaat sebagai ikatan persekutuan dan persaudaraan. Kita meyakinkan kepadanya bahwa mereka tetap mau menerima dan mencintainya.Jalan pertobatan akan diterima oleh banyak orang dan mereka akan bersukacita menyambut pertobatannya. Ketiga langkah itu hendaknya selalu disertai dengan doa atas nama Tuhan kita Yesus Kristus,sehingga belas kasih Yesus yang berkarya. Ketiga tahapan langkah itu adalah metode teguran yang akan membawa jalan pertobatan dan menyelamatkan..
(Inspirasi:Matius 18:15-2, 12 Agustus,Suhardi)

Tuesday, August 11, 2020

Komunitas Berhati

 

Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan  menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini  berasal dari karyawan-karyawan  dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang.  Tahun 2012 mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara  yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).

            Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas  Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang  mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.

            Hampir setahun lebih, gerakan ini bergerilya memasuki area-area religius. Kegiatan ini sangat didukung oleh perusahaan-perusahaan di mana mereka bekerja. Ketika ditanya, dari mana dana yang diperoleh untuk mendukung seluruh kegiatan ini? Sumber dana yang digunakan dalam mendukung kegiatan ini berasal dari perusahaan di mana anggota “Komunitas Berhati”  ini bekerja tetapi juga berasal dari para donatur lain. Dana tersebut digunakan untuk mendukung seluruh akomodasi dan juga pemberian sumbangan berupa sembako untuk rumah ibadah yang dibersihkan itu. Kehadiran mereka tidak membawa beban bagi pengurus rumah ibadah karena  yang terpenting bagi mereka adalah diberikan ijin untuk membersihkan rumah ibadah tersebut.

            Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk  agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.

            Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,”  baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika  masing-masing orang  sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar  apa yang dikatakan oleh seorang sosiolog bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan. 

            Almahrum Pater Fritz Brown, SVD semasa hidupnya selalu berkhotbah dengan titik inti khotbahnya adalah “agama hati baik.” Memang, rasanya aneh ketika pastor berkebangsaan Jerman ini berkhotbah yang selalu menyimpulkan inti khotbahnya dengan  agama yang sepertinya memiliki  hati, memiliki nurani. Kini masalah agama tidak perlu dipersoalkan ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial-keagamaan lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh Komunitas Berhati menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama bukan  sesuatu yang mewah dan istimewa.***(Valery Kopong)

"Ojo Adigang, Adigung, Adiguna"

"Lhe, yen urip iku ojo adigang, adigung, adiguna.Yen urip iku kudu andhap asor,," (Nak,hidup itu hendaknya dijalani dengan sikap rendah hati,ngak boleh angkuh) Itulah petuah mama saya yang selalu ingat dalam menjalani hidupku ini.Itu adalah peribahasa Jawa yang artinya:Jangan mengandalkan kekuatan,kekuasaan dan kepandaian yang dimiliki.Tapi hidup itu hendaknya rendah hati.We have to be a humble man.(Kita hendaknya menjadi manusia yang rendah hati)

Dalam kamar kakak saya yang kedua saya juga menemukan sebuah tulisan yang atinya hampir sama yaitu" OJO DUMEH"  " Artinya, kita diajak untuk bersikap rendah hati.
 Santo Agustinus juga pernah berkata, " Tiga ciri orang yang bijaksana adalah yang pertama rendah hati,yang kedua adalah rendah hati,dan yang ketiga adalah rendah hati.  

Sikap rendah hati menjadi hal yang penting yang perlu kita bangun setiap saat.Bacaan Injil pada hari ini mengingatkan kepada kita agar berlaku rendah hati.Sikap rendah hati diibaratkan seperti anak kecil.Anak kecil itu selalu bergantung pada orang lain.Dia tidak mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepintarannya,tapi dia bersandar pada orang lain.Itu artinya,kita diajak untuk bergantung,bersandar sepenuhnya pada Yesus dalam kehidupan kita,sehingga kita layak untuk masuk surga.Yesus bersabda, "Sungguh,jika kalian tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini,kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga....."
( inspirasi:Matius 18:1-5.10.12-14,  11 Agustus,Suhardi)

Monday, August 10, 2020

Semangat Melayani

 Saya tertarik dengan kotbah seorang Pastor pada misa Jumat pertama yang lalu.Pastor menceritakan tentang keluhan seorang suster yang mulai jenuh untuk melayani rekan rekan suster yang lain.Sudah dilayani dengan baik-baik,tetapi rekan-rekan suster itu kadang bertingkah yang menjengkelkan.Hal ini hampir membuat dia menyerah terhadap panggilan hidupnya.Tetapi Pastor itu mengingatkankan kembali akan janji kaul yang telah diucapkan di hadapan pimpinannya,rekan suster yang hadir,orang tua bahkan di hadapan Tuhan sendiri.Hal inilah yang menguatkan kembali suster itu untuk setia melayani kepada rekan-rekan susternya. 

Pengalaman suster tadi bisa jadi menjadi bagian dari pengalaman kita sebagai suami,isteri,orang tua.Mungkin juga hal ini bisa  terjadi dalam pelayanan di Gereja,masyarakat maupun tempat kita bekerja.Kita sudah memberikan pelayanan yang terbaik,tetapi mereka masih merasa kurang puas dan malah menjengkelkan lag.Tetapi kita hendaknya tetap semangat dalam pelayanan.Cinta kasih dinyatakan dalam semangat pelayanan.

Dalam pesta Santo Laurensius pada hari ini kita dingatkan oleh bacaan Injil pada hari ini agar kita mempunyai semangat pelayanan.Yesus bersabda,"Barangsiapa melayani Aku,ia harus mengikuti Aku,dan di mana Aku berada,di situ pun pelayanKu akan berada.Barangsiapa melayani Aku,ia akan dihormati Bapa."
 Santo Laurensius adalah pribadi yang setia melayani kepada orang yang miskin di Roma saat itu
(Inspirasi:Yoh.12:24-26, 10 Agustus, Suhardi )

Ayub Dan Pengalaman Derita


Seorang sahabat saya terpuruk dalam derita. Setelah ia masuk rumah sakit setelah salah dioperasi, dan divonis mati, ternyata Allah masih menghendaki supaya ia hidup. Tidak lama berselang, setelah setahun ia sembuh, anak sulungnya sakit mendadak, pembuluh darahnya pecah dan kepalanya dibelah. Hampir seminggu ia menderita dan tidak menyadarkan diri. Ia terus bergulat dengan maut tetapi Tuhan, Sang Pemilik kehidupan menghendaki agar bertahan hidup. Saat saya berkunjung bersama teman-teman, kami ajak untuk berdoa bersama di Siloam. Saya yang membawakan renungan. Saya memilih figur Ayub, orang saleh yang dicobai Tuhan. Setelahnya ia berbisik, “Salib yang saya pikul itu adalah salib kayu atau besi?  Terlalu berat salib ini yang harus saya tanggung.”

            Menghadapi penderitaan ini keluarga menjadi bingung. Bingung mencari uang yang sudah mencapai ratusan juta rupiah, sementara harapan kesembuhan hanyalah sedikit. Mereka pasrah di bawah ribaan Sang Bunda dan memohon kekuatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Bahwa pengalaman penderitaan yang dialami oleh salah seorang anaknya menjadi bagian dari derita yang terbagi di antara anggota keluarga. Dalam kondisi yang terpuruk, saya yang berkunjung di rumah sakit masih mengarahkan bapaknya untuk tetap optimis ketika berhadapan dengan pengalaman salib dan tantangan yang dihadapi itu.

            Ayub menjadi ikon sejarah yang bertahan dalam derita berkepanjangan. Ketika ternaknya dan anak-anaknya mati, pengalaman ini merupakan pengalaman terpuruk yang membuka peluang baginya  untuk  memberikan keputusan. Masyarakat dan orang-orang sekitarnya menilai bahwa Ayub saat bertahan dalam derita itu, sepertinya yang memberontak adalah masyarakat sekitar dan mendesak supaya meninggalkan Allah yang ia imani. Apakah desakan orang-orang sekitar yang melihat peristiwa itu memungkinkan Ayub untuk lari dari Tuhannya dan mau mencari rasa aman?

            Ayub tetap bertahan dalam kondisi apa pun. Dalam suka dan duka, Ayub masih memperlihatkan diri sebagai orang yang taat kepada Tuhan.   Ia tidak pernah berontak terhadap Tuhan yang memberikannya peluang derita. Tetapi ini merupakan sebuah ujian yang berat. Ia tidak pernah melepaskan Allah dalam kondisi yang rawan. Allah menjadi Allah yang hidup. (Valery)

 

 

 

 

Saturday, August 8, 2020

Kekuatan Iman

Saya pernah membaca sebuah kisah inspiratif iman.Ceritanya demikian : ada sebuah rumah terbakar dan seorang anak laki-laki diminta untuk melompat dari atap.Ayahnya dengan penuh percaya diri akan menangkap anaknya.Tetapi sang anak takut,karena ia tidak mampu melihat ayahnya. Sang ayah kembali meminta "Lompatlah nak,aku akan menangkapmu" Tetapi anak itu ragu-ragu karena ia tidak melihat ayahnya.Sang ayah tetap meminta kepada anaknya, "Lompatlah nak,aku melihatmu."

Jika kita mempunyai pergumulan kehidupan kita, jalan satu-satunya adalah kita berani melompat pada Allah,walau Allah tidak kelihatan dari kita.Allah mampu menangkap semua pergumulan hidup kita,sehingga Allah sendiri yang akan menyelamatkan semua pergumulan hidup kita. Karena kita harus sadari bahwa iman manusia itu rapuh-lemah.Iman manusia itu sangat kecil sekali.Jika kita mempunyai iman sebesar biji sesawi saja,kita mampu melakukan suatu tindakan yang sebenarnya tidak dapat dilakukan oleh manusia.Tuhan Yesus bersabda, "Sungguh sekiranya kalian mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kalian dapat berkata kepada gunung ini,pindahlah dari sini ke sana,maka gunung ini akan pindah,dan tiada yang mustahil."

Kita harus berani melepaskan keegoisan kita, kekuatan diri kita dan keraguan kita.Kita hendaknya menempatkan Yesus sebagai sumber kekuatan hidup kita, sehingga Roh Yesus sendiri yang menjadi sumber penggerak kehidupan kita.
(inspirasi:Matius 17:14-20, 08 Agustus,Suhardi

Friday, August 7, 2020

Berani Menyankal Diri

 Benarkah saya murid Yesus? Pernahkan saya mengukur sudah sejauh mana kemuridan saya?
 Bacaan Injil pada hari ini dapat menjadi salah satu ukuran kwalitas kita sebagai murid Yesus.Yesus bersabda, "Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikuli salib dan mengikuti Aku."Ada tiga ukuran kwalitas sebagai murid Yesus, yang pertama adalah menyangkal diri. Menyangkal diri adalah sikap dan tindakan murid Yesus yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi.Dia lebih mengutamakan rencana dan kehendak Allah. 

Bunda Maria berkata "Ecce Ancila Domini, Fiat  voluntas tua mihi verbum tuum" (Lihat aku ini adalah hamba Tuhan,terjadilah padaku menurut perkataanMu.) Yang kedua adalah memikul salib. Memikul salib adalah berani menghadapi tantangan, kesulitan, penderitaan, kebencian, penghinaan demi memenangkan sebuah kehidupan. Tetapi salib juga berarti sarana untuk meninggalkan berbagai macam sampah dalam kehidupan kita: keserakahan/ketamakan,prasangka dan praduga, atau keangkuhan/kesombongan supaya kita dapat mengalami keakraban dengan Dia yang dibawa Yesus dengan kedatangan-Nya ke tengah dunia.Yang ketiga mengikuti Yesus. Mengikuti Yesus adalah kita hendaknya jejak jejak hidup-Nya yang diteladankan kepada kita, mengikuti visi dan misi-Nya, mengikuti jalan keselamatan-Nya dan mengikuti Yesus di dalam Kerajaan-Nya.

Sudahkah aku memenuhi tiga kwalitas sebagai murid Yesus?
(Inspirasi : Matius 16:24-28, 07 Agustus, Suhardi )