Ketika persoalan antaragama terus meruncing dan terkadang berujung pada bentrokan fisik, ada kelompok kaum muda muncul di permukaan pergaulan dan menjadi “ikon perdamaian” yang perlu dicontoh. “Komunitas Berhati,” sebuah komunitas lintas agama ingin memberikan sebuah pencerahan tentang dialog, tentang kesaling-terimaan lewat aksi sederhana. Setiap dua minggu sekali, “Komunitas Berhati” melakukan pembersihan rumah-rumah ibadah yang ada di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Anggota komunitas ini berasal dari karyawan-karyawan dari tiga perusahaan yang berada di Kebon Jeruk-Jakarta Barat. Jumlah anggota keseluruhan “Komunitas Berhati” diperkirakan ada 70 lebih orang. Setiap dua minggu sekali, anggota-anggota ini diterjunkan ke lapangan untuk mengadakan pembersihan rumah-rumah ibadah. Satu kelompok yang menanggung satu rumah ibadah terdiri dari 8-10 orang. Tahun 2012 mereka membersihkan lima rumah ibadah, yakni 2 mushola (Musholla Assa’ Adatudaroin yang berada di Bekasi dan Musholla Al-Mudjahidin yang berada di Pondok Aren), 2 vihara yang terletak di Tangerang (Vihara Arriya Dharma dan Vihara Nirmala) dan satu Gereja Katolik (Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang).
Rasyid, salah seorang anggota “Komunitas Berhati” yang memeluk agama Islam, ketika ditemui di sela-sela kesibukan membersihkan Gereja Paroki Santo Gregorius-Tangerang, mengatakan bahwa senang mengikuti kegiatan sosial yang melampaui batas agama. “Saya menjadi tahu tentang agama dan rumah ibadah lain saat bergabung dengan “Komunitas Berhati,” tutur Rasyid dengan penuh kepolosan. Hal senada juga dilontarkan oleh Jhony yang berasal dari gereja HKBP Bekasi. Ia juga menilai dan mengharapkan agar komunitas ini terus berkembang tanpa ditunggangi oleh kepentingan kelompok lain. “Saya sendiri tidak mau kalau kelompok yang bergerak dalam aksi sosial ini ditunggangi oleh pihak lain untuk kepentingan politik tertentu,” paparnya di depan gereja katolik yang sedang dibersihkannya.
Hampir setahun lebih, gerakan ini bergerilya memasuki area-area religius. Kegiatan ini sangat didukung oleh perusahaan-perusahaan di mana mereka bekerja. Ketika ditanya, dari mana dana yang diperoleh untuk mendukung seluruh kegiatan ini? Sumber dana yang digunakan dalam mendukung kegiatan ini berasal dari perusahaan di mana anggota “Komunitas Berhati” ini bekerja tetapi juga berasal dari para donatur lain. Dana tersebut digunakan untuk mendukung seluruh akomodasi dan juga pemberian sumbangan berupa sembako untuk rumah ibadah yang dibersihkan itu. Kehadiran mereka tidak membawa beban bagi pengurus rumah ibadah karena yang terpenting bagi mereka adalah diberikan ijin untuk membersihkan rumah ibadah tersebut.
Apa yang dilakukan itu merupakan hal biasa tetapi menjadi luar biasa ketika mereka mengunjungi semua rumah ibadah dan melakukan pembersihan di area tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan sumbangan berupa bahan sembako. Tindakan sederhana penuh simbolik ini merupakan cara baru yang ditawarkan oleh kaum muda yang tergabung dalam “Komunitas Berhati.” Mereka telah membangun suatu kesadaran baru bahwa yang mau dibersihkan saat ini bukanlah rumah ibadahnya saja tetapi lebih dari itu mereka menawarkan cara baru untuk membersihkan hati dan melihat sesama pemeluk agama lain sebagai sesama peziarah yang sedang meretas jalan menuju Sang Khalik.
Toleransi dalam kehidupan beragama yang selama ini didengungkan masih sebatas “jargon religius” yang sekedar mengusung kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya toleransi itu dibangun atas dasar “persentuhan langsung,” baik itu terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal. Toleransi tidak pernah turun dari langit. Toleransi menjadi bermakna ketika masing-masing orang sanggup merangkul seluruh komponen masyarakat tanpa memandang dari mana dia berasal dan agama mana yang dianutnya. Benar apa yang dikatakan oleh seorang sosiolog bahwa, “agama adalah jaring laba-laba yang memberi makna.” Bahwa dengan label “agama,” para karyawan itu membentuk komunitas yang melampaui batas-batas egoisme dan apa yang dilakukan oleh para karyawan yang tergabung dalam “Komunitas Berhati,” suatu saat akan melebarkan jaringnya untuk menjala setiap orang yang masih memiliki nurani keagamaan yang sempit untuk dibersihkan dan dicerahkan.
Almahrum Pater Fritz Brown, SVD semasa hidupnya selalu berkhotbah dengan titik inti khotbahnya adalah “agama hati baik.” Memang, rasanya aneh ketika pastor berkebangsaan Jerman ini berkhotbah yang selalu menyimpulkan inti khotbahnya dengan agama yang sepertinya memiliki hati, memiliki nurani. Kini masalah agama tidak perlu dipersoalkan ketika disandingkan dengan pendekatan baru di mana kesadaran hidup sosial-keagamaan lebih ditonjolkan. Dari apa yang dilakukan oleh Komunitas Berhati menunjukkan sebuah kesederhanaan cara dalam membangun “kesalehan sosial” dan dengannya dialog agama bukan sesuatu yang mewah dan istimewa.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment