Tuesday, August 18, 2020

Zakheus

KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya. Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus) karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.

Rumah Zakheus adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya. Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.

Kerinduan terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada “mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram, menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias.

Zakheus tentu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini, kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding, siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan “Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan “ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa saja yang membuka diri pada keselamatan.


Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum. Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih korupsi, apa kata dunia?” *** (Valery Kopong)

 

 

 

Yesus Kekayaan Utama Kita

Saya sangat tertarik dengan salah satu kesaksian pemain sepakbola terkenal di liga Inggris.Setelah menjadi pemain sepakbola terkenal dan menjadi kaya raya, dia sangat berjiwa sosial.Sebenarnya,ia bisa tinggal di rumah supermewah di perumahan kaum elit,dia bisa mengendarai jenis mobil super mahal,dia bisa pakai handphone super canggih,dia bisa makan super lezat dan mahal.Tapi dia tinggalkan semuanya itu. Kekayaannya dia bagi untuk kaum lemah,membantu karya karya sosial dan memajukan pendidikan di negaranya.

Banyak di antara kita mempunyai kekayaan, tapi jarang mau membagi kepada sesama  dan untuk Tuhan. Kita mempunyai kekayaan waktu, tenaga,pemikiran,materi, tapi kita susah membagi untuk sesama dan untuk Tuhan. Kita sering disibukkan dengan urusan pribadi.I HAVE NO TIME FOR OTHERS AND GOD.

Bacaan Injil pada hari ini mengajarkan dua hal kepada kita. Yang pertama kita diajak  untuk tidak terikat dengan kekayaan yang kita miliki (waktu, tenaga, pemikiran, materi). Tapi kita mau membagi untuk sesama dan Tuhan, sehingga kita bisa menikmati kehidupan kekal. Yang kedua, kita diajak untuk menjadikan Yesus sebagai kekayaan utama kita. Yesus lebih berharga daripada kekayaan yang kita miliki. Ada tiga janji yang akan kita terima, ketika kita menjadikan Yesus sebagai kekayaan utama kita, yaitu menikmati kemuliaan bersamaNya, menerima seratus kali lipat  apa yang  telah dikurbankan dan memperoleh hidup kekal.
(Inspirasi Matius 19:23-30, 18 Agustus, Suhardi)

Monday, August 17, 2020

Berjuang Untuk Gereja dan Negara

Merdeka...merdeka...merdeka...itulah pekik kemerdekaan yang digelorakan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang lalu dan setiap kali kita memperingati hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus.Semua rakyat menyambut dengan sukacita kemerdekaan itu.Para pejuang kemerdekaan dari orang-orang Katolik pun turut ambil bagian dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Kini,masyarakat Indonesia tinggal menikmati perjuangan para pahlawan bangsa,yang telah gugur demi kehormatan dan martabat bangsa.Ingat pesan Sukarno,"JASMERAH" (JANGAN SEKALI KALI MELUPAKAN SEJARAH).Semangat perjuangan mereka hendaknya selalu kita gelorakan untuk mengisi kemerdekaan bangsa dan negara kita yang tercinta ini.Kita jaga kesatuan dan persatuan bangsa,kita perjuangkan kebenaran dan keadilan dalam cinta kasih,kita jaga nilai-nilai luhur para leluhur bangsa,kita hindari korupsi,kolusi dan nepotisme demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia

Sebagai umat katolik kita diingatkan akan semboyan "PRO ECCLESIA ET PATRIA dan refleksi (Alm.) Mgr.Sugiyopranoto yang menyampaikan bahwa kita hendaknya menjadi warga Gereja Katolik 100% dan warga negara 100%.Umat katolik hendaknya berkiprah dalam memajukan Gereja dan negara.Yesus sudah menegaskan peran kita sebagai pengikutNya dan sebagai warga negara.Yesus bersabda,"Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (inspirasi:Matius 22:

15-21, 17Agustus,Suhardi)

Saturday, August 15, 2020

Mendidik Iman Anak

Kemarin kita diajak untuk merenungkan bacaan Injil yang mengajak kepada kita untuk  menjaga keutuhan perkawinan. Bacaan Injil pada hari ini kita diajak untuk merefleksikan peran orang tua terhadap anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Kita diajak oleh Yesus untuk membawa anak-anak kita datang kepadaNya.Yesus memperlakukan anak-anak secara istimewa, mungkin Yesus menyadari bahwa masa depan seseorang ditentukan oleh  pembinaan iman sejak dini. 

Sudah menjadi tanggung jawab bagi kita sebagai orang tua untuk mendidik iman anak anak kita secara iman katolik.Pada saat mengikuti persiapan dan pembinaan perkawinan, pembimbing perkawinan telah mengingatkan kepada kita untuk mendidik iman anak anak kita secara iman katolik.Pembinaan iman sejak dini dapat dilakukan dengan cara:  membabtis anak kita segera mungkin,membawa anak anak ke sekolah minggu, membawa anak anak kita ke persekolahan katolik, membawa anak anak untuk mengikuti kegiatan kegiatan rohani seperi bible camp, retret, rekoleksi, ibadat sabda maupun perayaan ekaristi.
  Tantangan bagi kita sebagai orang tua saat ini adalah membiarkan anak anak sibuk dengan permainan elektronik. Bahkan orang tua justru memanjakannya dengan permaian games elektronik.Kegiatan-kegiatan rohani dikalahkan dengan permainan games ini. Yesus bersabda, " Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu......"
( inspirasi: Matius 19:13-15,  15 Agustus, Suhardi )

Friday, August 14, 2020

Keutuhan Perkawinan

Saya sering melihat video yang dikirim oleh teman-temanku lewat Facebook atau Whatsapp. Video itu menceritakan tentang  kebahagiaan sepasang suami dan isteri di masa tuanya.Mereka saling bercanda, minum kopi bersama, makan bersama dan bermain bersama, berjalan bergandengan tangan. Masih terpancar cinta kasih di antara mereka. Dalam refleksi saya, saya bertanya," Mengapa mereka masih menunjukkan kebahagiaan di antara mereka?"  Mungkin mereka mampu menguasai ketegaran hatinya.Karena ketegaran hatilah penyebab keutuhan keluarga mengalami keretakan. Ketegaran hati adalah sama dengan keras hati.


Bacaan Injil pada hari ini mengingatkan kepada kita agar menjaga keutuhan sakramen perkawinan.Ketika masa pacaran sampai berlangsungnya pemberkatan sakramen perkawinan atau saat merayakan pesta ulang tahun perkawinan,setiap pasangan berharap dan didoakan agar bisa menciptakan keluarga yang utuh, yang saling melengkapi, mencintai dan memberi maaf dan pengampunan demi kebahagaiaan dan kesejahteraan.Maka ketika terjadi prahara keutuhan perkawinan yang disebabkan oleh sikap dan tindakan hedonistis,konsumenristis, materialistis,individualistis,utilaristis, kita hendaknya tetap menjaga keutuhan sakramen perkawinan.Kita diingatkan janji perkawinan yang telah kita ucapkan untuk hidup dalam suka dan duka, untung dan malang. Tuhan Yesus bersabda, "apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia."
(Inspirasi:Matius 19:1-12, 14 Agustus, Suhardi )

Bahasa Penyadaran

 

“Carilah dengan kerinduan untuk menemukannya, temukanlah dengan kerinduan untuk mencari terus-menerus.”

 

Kebutaan mereka yang menyiksa selama puluhan tahun, semakin menyadarkan mereka bahwa kondisi mata yang buta bisa tersembuhkan oleh sang Mesias. Kasihanilah kami, hai anak Daud.  Inilah seruan kerinduan dua orang buta sekaligus meminta belas kasih dari Yesus. Seruan yang sama menjadi bahasa penyadaran akan Yesus bahwa dunia orang buta adalah dunia penyiksaan karena tidak mengalami secara langsung kehidupan nyata.

            Tetapi yang tetap menjadi pertanyaan di sini, mengapa mereka yang buta, memiliki kesadaran lebih baik? Dari mana mere ka tahu bahwa Yesus, Sang Mesias lewat di hadapan mereka? Perjalanan Yesus merupakan ‘safari penyelamatan’ yang mencari siapa saja yang tak berdaya dan lumpuh secara fisik untuk dirangkul kembali dalam lingkaran keselamatan. Yesus yang lewat, bagi sang buta, tidak dilewatkan begitu saja namun Yesus yang lewat memiliki makna yang mendalam akan peristiwa pengangkatan kembali martabat manusia yang telah terpuruk karena ketimpah kondisi kebutaan.

            Dalam menyusuri perjalanan, Yesus banyak kali berjumpah dengan mereka-mereka yang tak berdaya, tersisih dari panggung kehidupan. Ia tidak menutup mata terhadap mereka yang tengah mengalami kesulitan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan tindakan keselamatan dan bahasa penyadaran pada mereka yang tersisih bahwa kerajaan Allah dan keselamatan telah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Bagi mereka, kerajaan Allah adalah tempat untuk memelekkan mata mereka,  dan menyadarkan untuk menyaksikan peristiwa hidup yang sedang terjadi di sekitar mereka.

            Di mata orang-orang buta, Sang Mesias tidak berada jauh dari harapan dan penantian yang berkepanjangan tetapi Yesus, Sang Mesias itu sudah hadir di tengah-tengah mereka. Iman mereka yang buta, jauh melampaui iman orang-orang yang saleh yang kelihatan dekat dengan Allah. Dalam iman, mereka telah membuka diri terhadap Dia yang lewat, dia yang sedang menyusuri lorong-lorong waktu dan keluar masuk kota dan desa. Keselamatan hakiki sebenarnya sedang terjadi dan terus ditawarkan oleh Yesus kepada manusia. Hanya saja manusia masih buta, imannya belum menembus batin kesadaran untuk melihat Dia yang lewat, dia menyapa setiap orang, baik dalam kesendirian, maupun dalam kebersamaan.*** (Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

 

Thursday, August 13, 2020

Mengampuni Sesama

Saya pernah membaca sebuah kisah mantan President Afrika Selatan, Bapak Nelson Mandela.Ceritanya demikian:Pada suatu hari President Nelson Mandela mengajak ajudannya mampir di sebuah warung.Dia pesan minuman dan mengajak tuan warung untuk minum bersama.Pada saat minum bersama itu, sang ajudan merasa heran karena sikap dan tingkah laku tuan warung yang terasa keringat dingin dan ketakutan.Lalu,sang ajudan itu bertanya kepada Bapak President, " Kenapa tuan warung merasa keringat dingin dan ketakutan duduk dekat Bapak, bukankah seharusnya bergembira dapat duduk  dekat sang presiden? " Kemudian sang presiden berkata, "Selama saya ada dalam penjara,dia telah memperlakukan aku tidak layaknya manusia.Dia telah menghina diriku dengan tindakannya.Makanya, ketika aku datang di sini, dia berpikir bahwa aku akan membalas dendam atas tindakannya kepadaku. Aku bukanlah tipe seperti itu.Aku telah mengampuninya."Senyum dan ramah tetap ditunjukkan sang presiden kepada tuan warung itu,sehingga sang tuan warung merasa lega hatinya. 

Sikap dan tindakan sang president inilah yang dikehendaki Kristus sebagaimana yang diceritakan dalam Injil pada hari ini bahwa kita diajak oleh Yesus untuk mempunyai rasa pengampunan kepada orang yang pernah menyakiti hati kita.Yesus mengajak kita untuk memberi ampun tanpa batas.Yesus bersabda, "Engkau harus mengampuni bukan hanya tujuh kali, melainkan tujuh puluh kali tujuh kali"
(Inspirasi:Matius 18: 21-19:1,  13 Agustus, Suhardi )

Belajar Menjadi Murid

  

                                              Sumber Inpirasi :Markus 9:2-10    

 

Seorang  pendaki gunung bisa berhasil mencapai puncak gunung dengan penuh resiko. Sesama temannya yang berhasil mendaki ke puncak gunung, memberi ucapan selamat. Tetapi temannya ini merasa sedih. Kok sedih? Kenapa sedih? Saya sedih untuk memikirkan bagaimana supaya bisa turun ke lembah nanti. Baginya, mendaki gunung jauh lebih menyenangkan dan karena ada tumpuan kaki yang bisa digunakan. Sementara kalau menurun, sulit sekali untuk mencari tumpuan kaki.

 Injil Markus  mengantar kita untuk memahami betapa Yesus  dimuliakan di atas gunung. Petrus, Yakobus dan Yohanes menjadi saksi atas peristiwa itu di mana mereka mengalami kebahagiaan di atas gunung. Pengalaman ini seakan melupakan  kehidupan yang lain yang lebih berat sebagai konsekuensi mengikuti Yesus. Menjadi murid Yesus, tidak berarti mengalami pengalaman Tabor sepanjang sejarah hidup, melainkan menjadi Murid Yesus berarti siap untuk menderita, mengalami juga pengalaman golgota.

            Teks Kitab suci sebelum kisah Yesus dimuliakan di atas gunung, mengisahkann secara dramatis tentang syarat-syarat untuk mengikuti Dia. Apabila mau mengikuti Dia dan menjadi bagian dari Murid-Nya berarti bersedia menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri tidak lain adalah berani untuk melepaskan diri dari kelekatan duniawi, berani untuk memisahkan diri dari orang-orang yang kita cintai untuk mengikuti-Nya. Memang berat mengikuti jalan Yesus, tidak hanya dialami oleh murid-muridnya yang berada bersama dengan Dia, melainkan sampai dengan saat ini tuntutan yang sama terus dihidupkan sebagai tantangan sekaligus menguji iman kita pada-Nya. Salib menjadi pilihan utama dalam mengambil keputusan untuk mengikutinya.    Salib menjadi tanda nyata yang membahasakan pengalaman pergulatan hidup Yesus. Melalui salib, kita akan merunut banyak kisah tentang penolakan dirinya, disiksa dan kematiannya di kayu salib. Melalui salib yang sama,   Yesus mengajarkan suatu hal sederhana di dalam menjalani hidup, yaitu pengalaman suka dan duka senantiasa mewarnai seluruh hidup manusia. Namun yang lebih ditekankan adalah kisah penderitaan sebagai murid yang dipanggilnya. Mengapa Yesus lebih banyak menekankan kriteria-kriteria bahkan menetapkan syarat-syarat yang begitu berat dalam mengikuti jejak-Nya? Bukankah ini menjadi langkah surut bahkan menjauhkan orang-orang untuk tidak lagi mengikuti-Nya?

            Saudara/i yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam teks ini terutama Yesus dimuliakan di atas gunung, masing-masing penginjil melihatnya secara berbeda. Penginjil Matius lebih melihat peristiwa ini sebagai cara sederhana untuk memperlihatkan Yesus sebagai Musa baru. Sedangkan penginjil Lukas melihat peristiwa pemuliaan Yesus ini sebagai bentuk persiapan untuk penderitaan Yesus. Lalu bagaimana cara pandang penginjil Markus? Markus mengartikan peristiwa ini sebagai penyataan Mesias yang mulia walaupun kemesiasan Yesus masih tersembunyi. Lebih jauh Markus, dalam peristiwa ini mau menyatakan siapa sesungguhnya Yesus yang untuk sementara waktu perlu mengalami perendahan sebagai hamba Tuhan yang menderita.  

            Terlepas dari penafsiran teks ini, saya hanya mau mengatakan bahwa Yesus sudah memulai suatu karya besar yakni menunjukkan kepada dunia tentang karya keselamatan yang diraih dengan pengorbanan diri tanpa batas. Anak manusia harus menderita agar mengangkat kembali martabat manusia yang menderita oleh tekanan dunia. Anak manusia harus menghambakan diri agar mengangkat kembali martabat manusia yang kini menjadi hamba di antara sesamanya. Pengorbanan diri Yesus di salib  sebagai bentuk protes terhadap sikap-sikap manusiawi yang selalu merendahkan martabat sesamanya sendiri. Jeritanya di kayu salib adalah jeritan kritis yang mewakili mereka yang tersisihkan, terhempas dari panggung dunia.

             Yesus mengajak kita untuk naik gunung, untuk mau menyatakan bahwa kemanusiaan kita turut diangkat olehnya. Namun pada saat yang sama kita dibiarkan untuk turun ke lembah melewati jalan-jalan terjal. Pada saat mendaki menuju puncak gunung, kita dibiarkan untuk menemukan tumpuan yang tepat untuk berpijak. Namun jauh lebih menyedihkan adalah kita dibiarkan untuk menurun sendiri mencari lembah-lembah kehidupan untuk bertarung, berhadapan dengan pelbagai tantangan. Terkadang, kita tidak menemukan tumpuan hidup saat menuruni gunung, kita merasa jauh dari sentuhan dan pendampingan-Nya. Untuk memaknai hidup dan kehidupan ini, Kristus menjadi titik pijak kita dan salibNya  menjadi tempat teduh bagi kita untuk bersimpuh, merenung dan di bawah salib yang sama kita menemukan jalan keluar mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.  Kita perlu jujur di mata Bapa, agar kita dengan mudah berjumpa dengan Yesus anakNya. Dalam Dia dan PuteraNya, seluruh   kehidupan, kita labuhkan ke hadapannya. *** (Valery Kopong)