KETIKA saya diminta oleh ketua lingkungan untuk
mencari nama pelindung lingkungan yang baru dibentuk waktu itu, saya
menyodorkan satu nama sebagai pelindung lingkungan yaitu Zakheus. Nama yang
saya tawarkan sepertinya menjadi racun bagi setiap telinga yang mendengarnya.
Orang-orang lingkungan secara serta merta menolaknya dengan alasan yang
beragam. Ada yang mengatakan bahwa ia (Zakheus) terlalu pendek orangnya
sehingga nama ini menjadi bahan tertawaan lingkungan lain. Ada lagi yang
mengatakan bahwa ia sang koruptor.
Saya coba menampung aspirasi umat sambil tetap mencari alasan apa yang mendasar
sebagai bukti otentik untuk meyakinkan masyarakat bahwa Zakheus juga berharga
di mata dunia. Waktu itu, kebetulan seorang pastor menginap di rumahku selama
seminggu dan saya coba berkonsultasi dengan dia dan herannya, nama yang saya
tawarkan ini menjadi kisah yang menarik dan menjadi bahan diskursus yang hangat
antara saya dan romo. Romo sendiri mengiakan kepantasan nama itu (Zakheus)
karena walaupun dunia memandangnya dengan sebelah mata, tetapi justeru ia
membuka diri bagi Yesus untuk datang dan berada di rumahnya.
Rumah Zakheus
adalah sebuah “ruang publik” yang dapat memungkinkan siapa saja yang masuk ke
dalamnya. Yesus adalah orang pertama yang berani masuk ke dalam rumahnya.
Kehadiran Yesus menjadi tanda yang mengingatkan peristiwa masa lampau yang
serba kelam. Dan kehadiran Yesus sendiri seakan merombak pola pikir masyarakat
tentang dia dan keluarganya. Labelisasi yang dikenakan padanya yakni sebagai
koruptor perlahan hilang oleh sebuah kejujuran yang mengantarnya menuju jalan
pulang. Kehadiran Yesus di rumahnya membukakan matanya untuk secara tajam
melihat seluruh sepak terjang perjalanan karirnya yang manipulatif dan
koruptif. Kehadiran Yesus juga merupakan saat teduh baginya untuk berefleksi
serta menuding diri, berapa ribu orang yang telah diselewengkan pajak-pajaknya.
Kerinduan
terbesar dalam diri seorang Zakheus adalah mau melihat, siapakah Yesus
sebenarnya. Kerinduan ini tersembul dari balik tumpukan uang yang merupakan
hasil pemerasan pada rakyatnya. Memang, menjadi pengalaman dilematis seorang
pegawai pajak ketika berhadapan dengan tumpukan uang. Mau menghamba pada
“mamon” ataukah percaya pada Allah, sumber kekayaan itu sendiri. Peristiwa
pertemuan antara Yesus dan Zakheus adalah sebuah peristiwa iman yang sanggup
mengembalikan hati yang pernah berpaling dari Allah sendiri. Zakheus, selama
dalam menjalani kehidupan yang oleh masyarakat dilihat sebagai pekerjaan haram,
menjadikan ia semakin jauh dari sentuhan kasih Allah sendiri. Karena tenggelam
dalam perbuatannya yang tak terpuji maka ia sendiri menjadi “buta” dan tidak
sanggup melihat Yesus sebagai penyelamat. Badannya yang pendek tidak
semata-mata diartikan secara fisik tetapi lebih dari itu membahasakan
kekurangan iman sehingga ia harus naik ke pohon ara, “pohon iman” agar mata
batinnya dibuka untuk melihat Tuhan yang lewat.
Di tengah jejalan manusia yang ingin melihat Yesus dalam perjalanan-Nya dari
desa ke desa, dalam hati Yesus, Ia ingin berjumpa dengan seorang bernama
Zakheus. Kalau dianalisis lebih jauh, memunculkan beberapa pertanyaan rujukan
untuk memahami kedekatan batin antara sang koruptor dan Mesias.
Zakheus tentu
sebelumnya menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan mungkin menjadi
pemberitaan lisan tentang tingkahnya yang mengecewakan masyarakat. Di sini,
kontrol sosial menjadi kuat, namun tidak menyanggupkan hati seorang Zakheus
untuk berbalik.
Yesus yang lewat, tidak dibiarkan begitu saja menghilang ditengah jubelan
manusia namun ia menyadari betapa pentingnya ia mencari seorang penyelamat
untuk mengembalikan reputasi dan harga diri yang selama ini jatuh tertindih
tumpukan uang. Kehadiran Yesus membuka jalan baru, jalan keselamatan. Kehadiran
Yesus tidak bertindak sebagai penggeleda kekayaan Zakheus tetapi hanyalah
ungkapan solidaritas dan silahturahmi. Yesus bukanlah penyidik yang menuding,
siapa-siapa lagi yang terjebak dalam kasus yang sama. Dengan mengatakan
“Zakheus, turunlah, Aku mau ke rumahmu,” dilihat sebagai “interupsi ilahi” di
mana Yesus sendiri menciptakan peluang sunyi bagi introspeksi diri seorang
Zakheus. Ia mau ke rumahnya, menunjukkan betapa Yesus peduli terhadap pribadi
dan keluarganya. Kunjungan Yesus ke rumahnya merupakan titik awal Ia menanamkan
nilai-nilai pertobatan. Rumah Zakheus setelah dikunjungi Yesus sepertinya
mengalami sebuah transformasi, dari rumah “berlandaskan” strategi kebohongan
menjadi rumah “bertiangkan” metanoia. Rumahnya juga menjadi ruang publik dan
“ruang produksi nilai-nilai pertobatan” dan akan didistribusikan kepada siapa
saja yang membuka diri pada keselamatan.
Yesus sudah berkunjung ke rumahnya, tetapi di mata masyarakat, ia tetap sebagai
koruptor. Zakheus menjadi ikon pemanipulasian pajak dan menjadi hidup di setiap
generasi yang berbeda. Orang-orang dan dunia umumnya seperti telah memancangkan
prasasti abadi tentang Zakheus sehingga orang tidak mudah melupakannya. Tetapi
Zakheus mengalami kegembiraan dan kehormatan ketika si Tuhan datang menemui dia
dalam kondisi tak berdaya oleh cara pandang yang keliru dari masyarakat umum.
Kegembiraan yang dialami juga bukan merupakan “kegembiraan instan” karena ia menghayati
kegembiraan ini dalam terang iman pertobatan.
Orang-orang di lingkungan saya menolak keras bila nama Zakeus menjadi pelindung
lingkungan itu. Dan apabila setiap instansi pemerintah mencari seorang kudus
sebagai pelindung, maka Direktorat Pajak pasti berpelindungkan Zakheus, sebuah
nama yang membuka historia biblis dan mengingatkan setiap pegawai pajak akan
uang-uang pajak yang ditagih dari masyarakat. Dunia dan Indonesia khususnya
membenci Zakheus, tapi herannya pola perilaku koruptif yang merupakan
warisannya ditumbuh-suburkan dalam lahan “republik korupsi” ini. Andaikata
Zakheus masih hidup sampai dengan saat ini pasti ia berujar, “hari gini masih
korupsi, apa kata dunia?” *** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment