Thursday, September 17, 2020

TV: SEBUAH TABERNAKEL?

 

Beberapa tahun yang lalu, di kalangan umat katolik beredar tulisan-tulisan yang menyoroti kehidupan doa keluarga. Sorotan terhadap kehidupan keluarga  karena sampai saat ini masih terdapat pemilahan yang tidak proporsional antara ranah hiburan dan doa. Dua hal ini menampilkan kesenjangan yang berarti. Terhadap persoalan yang mengemuka ini menggiring kita untuk bertanya lebih jauh. Mengapa umat kristiani saat ini sulit  meluangkan waktu untuk bertemu Tuhan lewat untaian doa? Atau mengapa doa yang dilakukan kurang intensif bahkan porsi waktu yang disediakan sangat sedikit?

                Melihat pengalaman hidup harian, kecenderungan yang kuat dan selalu menggoda yakni setiap orang sepertinya “terpanggil” menjadi penonton yang pasif terhadap acara-acara yang ditayangkan di TV. Suguhan acara tentu menarik dan memiliki daya magnetis sehingga mudah memberi ruang tontonan daripada masuk ke dalam ruang sunyi. Ruang sunyi yang menawarkan keheningan seakan kalah di hadapan ranah hiburan bahkan sunyi itu sendiri menawarkan rasa takut bila berada dalam kesunyian doa. Doa dalam konteks tertentu “tidak bernyawa” lagi karena dipengaruhi oleh kecenderungan untuk terlibat dalam gebiyarnya kehidupan metropolitan.

                Kalau mau jujur, seberapa penting kita menempatkan doa sebagai bagian integral dalam hidup keluarga? Kesibukan kerja menggampangkan kita untuk lebih memilih suasana rekreatif ketimbang suasana doa. Doa bisa terlaksana dengan baik bila berada dalam situasi terdesak bahkan berada dalam penderitaan. Di sini, dapat dikatakan bahwa doa tidak lain adalah jeritan batin dan meminta perhatian dari Allah untuk mendengarnya.

                Yesus sendiri ketika berada pada titian derita, Ia berdoa dalam ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu daripada-Ku.” Doa di tengah taman pergulatan Getzemani, memperlihatkan aspek kemanusiaan Yesus di mana Ia mengalami kesendirian , jauh dari sentuhan Bapa-Nya. Doa Yesus menjadi modal rohani dan membuka “interupsi  Ilahi” di mana dalam doa itu bergantung sebuah harapan akan perubahan situasi dan pengembalian situasi darurat ke situasi normatif.

                Apakah kita berani masuk ke dalam ruang sunyi untuk bertemu Tuhan melalui doa-doa? Ataukah kita tersebut atau menyeret diri sendiri untuk lebih mengandalkan kehidupan sebagai jalan pintas yang membebaskan kita dari pelbagai persoalan? Kita lebih banyak membuang waktu di depan TV, sebagai tabernakel orang-orang zaman ini. Manusia bisa mengakses berita-berita aktual yang menyegarkan dan memberi arah baru dan memulihkan kehidupan dari pelbagai aspek.

                Seorang rahip tua (pertapa) melewati masa-masa hidupnya di biara dengan doa. Di biara itu ada doa angelus, doa Brevir, ada meditasi dan kontemplasi yang terus digelutinya sebagai kekuatan utama untuk menopang kehidupan membiara. Doa-doa yang didaraskan ini adalah doa-doa yang ada dalam buku. Suatu ketika ia (rahip) pergi ke pasar melihat kehidupan nyata di luar biara. Pada jam  12.00 siang, ia masih berada di tengah kota. Suara adzan di masjid, juga mengingatkan ia bahwa sudah saatnya ia bersiap untuk berdoa angelus (malaikat Tuhan). Pada awalnya doanya, ia meminta maaf kepada Tuhan. “Maaf, Tuhan. Aku mau berdoa tetapi aku lupa rumusan doa angelus. Buku yang biasa kupakai sebagai panduan doa, saya lupa di biara. Ia memulai berdoa dengan hanya menyebutkan setiap abjat, mulai dari A,B,C,D,…sampai Z.  Di  akhir doanya yang berbentuk abjatnya ini, ia berkata pada Tuhan. Tuhan, bentukkanlah (susunlah) sendiri setiap abjat yang telah kuucapkan ini sesuai dengan keinginan hatiku. Hanya Engkaulah yang tahu tentang isi hatiku ini.

                Doa bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Seperti rahip yang berdoa di tengah keramaian pasar, demikian juga kita perlu mencari waktu untuk berdoa padanya. Yang dapat menciptakan suasana sunyi, hanyalah hati kita sendiri dan bukan keadaan di luar diri kita yang sunyi. Seorang tukan g bengkel las teralis dapat berdoa khusyuk di antara riuhnya mesin-mesin. Dapatkah kita berdoa ditengah kebisingan berita, sinetron yang tertayang di layar kaca?***(Valery Kopong)

Wednesday, September 16, 2020

Setia Dalam Iman

 Hari ini Gereja Katolik memperingati Santo Cornelius dan Siprianus.Santo Cornelius ditunjuk sebagai seorang Paus karena adanya kekosongan jabatan Paus.Beliau ditunjuk sebagai seorang Paus,pasti beliau mempunyai keistimewaan dalam kesaksian hidupnya.Saya membaca bahwa beliau adalah seorang Imam, Paus yang rendah hati,setia dalam iman dan menjaga kesatuan Gereja serta beliau adalah seorang martir. Santo Siprianus adalah sahabat Paus Cornelius dalam membela ajaran Gereja Katolik dan menjaga persatuan Gereja.

Bacaan Injil pada hari ini menyinggung soal kesaksian kehidupan Yohanes dan Tuhan Yesus, yang sama-sama mendapat tantangan dan penolakan dalam hidupnya.Ada persamaan kesaksian hidup di antara Yesus,Yohanes, Paus Cornelius dan Siprianus yaitu pribadi yang rendah hati, tegas dalam prinsip lembut dalam cara dan menjadi martir. 

Santo Cornelius dan Siprianus menjadi martir kerena kesetiaannya pada ajaran Katolik dan cintanya kepada Yesus.Yohanes Pembabtis setia selamanya sampai menjadi seorang martir.Yesus juga menunjukkan hal yang sama sebagai martir di kayu salib. Ternyata berkarya untuk keselamatan umat manusia, setia terhadap iman dan menjaga kesatuan Gereja itu ngak gampang.Kita menghadapi rasa suka dan duka.Kita menghadapi penerimaan dan penolakan.Tetapi,kalau kita berkarya bersama Yesus dan untuk Yesus, pasti kita akan membawa kemenangan, sukacita , dan kehidupan kekal.  
(Inspirasi:Lukas 7:31-37, 16 September,Suhardi)

Tabib

 

Apa yang dilakukan Yesus mendapat banyak reaksi terutama orang-orang Yahudi yang tahu tentang hukum Taurat. Seorang guru, tidak perlu duduk, apalagi makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya. Yesus sendiri, kehadiran-Nya di tengah manusia membawa perubahan sekaligus mengundang reaksi berlebihan dari orang-orang yang mapan dengan tata aturan sosial religius. Para pemungut cukai adalah gambaran mereka yang menjadi tukang pemeras masyarakat terutama kalangan petani dan nelayan. Penagihan pajak yang tinggi menjadikan kelompok-kelompok pinggiran menjadi terdepak secara ekonomis dan memelaratkan hidup mereka.

                Keberadaan Yesus yang seharusnya menjadi kerinduan besar kelompok petani dan nelayan untuk menentang para pemungut pajak, namun justeru Yesus membaur dengan Matius, seorang pemungut cukai. Mengapa Yesus bergaul dengan pemungut cukai? Tidak adakah orang lain yang lebih layak diperhatikan oleh Yesus? Apa yang dilakukan Yesus menjadi pertentangan bersama bahkan dengan peristiwa di mana Yesus bergaul dengan Matius, menjadi pilihan mereka untuk menjerat-Nya.

                Apa kata Yesus, seorang yang sehat tidak memerlukan tabib. Hanya orang sakitlah yang memerlukan tabib. Yesus memperlihatkan secara implisit tujuan kedatangan-Nya untuk mengembalikan kondisi hidup mereka yang dipandang dengan sebelah mata. Tidak hanya Matius, Zakheus pun demikian. Mereka sama-sama sebagai pemungut cukai selalu membuka diri bagi kehadiran Yesus. Menyadari pentingnya kehadiran Yesus, Zakheus pun rela memanjat pohon agar melihat, seperti apakah Yesus itu. Baginya, Yesus tidak hanya lewat begitu saja di hadapannya tetapi justeru ia memaknai “safari rohani” Yesus dalam mencari mereka yang terbuang.

                Kehadiran Yesus mengubah hidup mereka dan menjadikan hidup mereka lebih bermakna. Matius sebagai pemungut cukai, dijadikan oleh Yesus sebagai murid-Nya. Inilah bukti kemuridan Yesus yang menempatkan para murid-Nya dengan nuansa kesederhanaan. Mereka-mereka inilah yang membuka diri, membiarkan rahmat mengalir dari dalam dirinya agar tertumbuhkan benih-benih kebaikan. “Ikutlah Aku. Matius pun bangkit dan mengikut Dia.” Bangkit dan mengikuti Dia tidak hanya dimengerti sebagai gerak tubuh secara normatif, tetapi lebih dari itu mereka bermakna, mereka sudah bangkit dari keterpurukan, dari ketakberdayaan untuk menggapai rahmat keselamatan.***(Valery Kopong) 

Tuesday, September 15, 2020

BELAJAR DARI DUKACITA SANTA PERAWAN MARIA

 Hari ini kita memperingati Santa Perawan Maria yang berdukacita.Dalam perjalanan hidupnya dikisahkan bahwa Santa Perawan Maria mengalami tujuh kali penderitaan yang luar biasa, penderitaan dari masa pengungsian sampai Yesus dimakamkan.Puncak penderitaan Santa Perawan Maria itu dirasakan ketika ia melihat langsung kisah sengsara Yesus sampai kematian Puteranya tergantung di kayu salib dan ia turut memakamkan Yesus di tempat pemakaman.Semuanya ditanggung oleh Santa Perawan Maria sebagai bentuk ketaatannya pada rencana dan kehendak Allah. 

Apa yang dapat kita refleksikan dari peringatan wajib Santa Perawan Maria yang berdukacita ? Yang pertama,kita bisa belajar bagaimana Santa Perawan Maria menjalani dan menghadapi penderitaan yang dialaminya. Dia merasakan itu semua dengan tenang, sabar dan menyerahkan sepenuhnya pada Allah.Kita pasti pernah menghadapi penderitaan dan pergumulan hidup. Bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi penderitaan itu? Hal kedua yang dapat kita pelajari adalah bagaimana dia mendampingi Puteranya yang menghadapi derita akibat penolakan dan kebencian dari orang lain.Karena cintanya yang sangat luar biasa pada Puteranya,Yesus, dia berkenan mendampiNya dari derita satu ke derita berikutnya.Kita hendaknya juga setia mendampingi keluarga atau sesama kita yang sedang menderita.


Bunda Maria adalah Ibu Yesus dan ibu kita,  doakanlah dan ajarilah kami anak-anakmu.
(Inspirasi : Yoh. 19:25-27, 15 September, Suhardi)

Tuhan

 

Sabtu, 12 September, sebuah peristiwa yang tak terlupakan di jalan tol Tangerang – Serang. Salah satu ban mobilku di bagian kiri belakang  meledak. Dalam kecepatan tinggi, dan ban mobilku ini meledak, membuatnya berhenti mendadak. Tetapi untunglah bahwa jalan tol tidak terlalu ramai di pagi itu. Setelah berhenti pada sebelah kanan tol, aku langsung berhentikan mobil dan turun langsung dari mobil untuk mencari pertolongan orang-orang yang ada di sekitar tol.  Memang sulit sekali ketika mendapat musibah ini di tengah tol karena kecepatan mobil para pengemudi yang lewat begitu kencang dan tidak mungkin bisa mencari pertolongan orang. Sekitar sepuluh menit setelah kejadian itu, ada seorang yang datang menanyakan kepada saya tentang peristiwa yang saya alami itu. Sepertinya ia seorang pekerja proyek di jalan tol. Dia membantu saya untuk memarkirkan mobil pada posisi bahu kiri jalan tol agar tidak mengganggu lalu lintas perjalanan tol.  Aku menghidupkan mobil lagi dan dengan tergopoh-gopoh harus meminggirkan mobil dengan bantuan seorang penolong ini.

Setelah membantu saya, orang ini sepertinya menghilang. Awalnya aku minta dia untuk membantu saya dalam proses mengganti ban mobilku itu. Ia mengiyakan tetapi setelah itu ia pergi dan tanpa saya tahu, ke mana arah ia pergi dan saya mengalami kesulitan untuk mencarinya lagi, apalagi di jalan tol. Hampir dua puluh menit saya menunggu orang yang pertama membantuku itu. Tetapi karena kelamaan dan orangnya tidak kunjung tiba, maka terpaksa saya harus mencari orang lain lagi untuk membantu saya menggantikan ban mobil. Kebetulan di pinggir tol, saya melihat beberapa orang petani yang sedang memetik padi di sawah yang letaknya di pinggir tol. Walaupun para petani sawah sedang sibuk mengurusi padinya tetapi saya harus memanggil mereka dan meminta pertolongan.

Setelah mendengar teriakanku minta tolong, seorang dari petani memberikan respon dan mendekat pada saya yang berada di pinggir tol. Ia pada akhirnya mencari jalan kecil untuk bisa masuk ke area tol untuk membantu saya. Petani berhati tulus itu pada akhirnya membantu saya membuka ban dan menggantinya dengan ban serep. Awalnya saya tidak menanyakan, apakah dia bisa membuka ban atau tidak, tetapi saya menyerahkan sepenuhnya pada petani itu untuk membantu saya. Nama petani itu Sanudin.  Setelah memperkenalkan dirinya, ia mulai mengambil ban serep dan mulai mengerjakan pemasangan ban itu.

Setelah memasang ban mobil, saya menjadi bingung karena saya tidak bawa uang cash dan yang ada di dompet hanyalah ATM. Saya coba untuk melihat dompetku, ternyata masih ada Rp 15.000. Apa artinya nilai Rp 15.000 di mata seorang petani yang membantu saya? Sambil menunjukkan dompetku yang kosong dan genggaman uang Rp 15.000, saya memberikan pada Bapak Sanudin, sambil menanyakan nomor rekeningnya.

“Apakah bapak punya ATM?” Tanyaku. “Aku seorang petani, tidak punya rekening, jawabnya polos. Ketika memberikan uang Rp 15.000, Bapak Sanudin menolaknya dan berkata bahwa bapak masih perjalanan jauh, biarlah bapak yang pake uang Rp 15.000 itu.  “Saya tulus membantu,” ungkapnya. Saya menjadi terharu mendengar ungkapan tulus sang petani ini.  Pada akhirnya saya menuliskan nomor Hp saya dan memberikan pada Bapak Sanudin. Sorenya dia masih menelpon saya dan menanyakan, apakah saya sudah nyampe rumah atau belum. Pada saat dia telpon saya, kemudian saya memintakan nomor rekening anaknya agar saya bisa transfer untuknya sebagai ungkapan terima kasih.

 

Ketika berada pada peristiwa itu, saya berada pada titik kepanikan. Saya sedikit panik karena pertama kali mengalami ban mobilku yang meledak saat dalam kecepatan tinggi. Tetapi satu hal yang saya pegang bahwa hidup dan mati ada dalam genggaman Tuhan. Sedahsyat apa pun kecelakaan yang menimpah seseorang, pasti mendapat perlindungan-Nya, kalau Tuhan masih mengijinkan untuk hidup. Peristiwa ini menggetarkan nurani sambil bersujud syukur pada Tuhan. Ada dua hal yang saya ingat, yakni Tuhan dan ban serep. Mengapa Tuhan yang saya ingat? Karena dialah yang menyelenggarakan kehidupan manusia, terutama saya sendiri. Mengapa pula saya ingat akan ban serep? Karena hanya dengan ban serep, mobilku bisa terpasang ban kembali dan berjalan lagi.

Memang, ban serep terkadang kita tidak menghiraukan keberadaannya ketika keadaannya masih normal. Tetapi menjadi penting bagiku, ketika ban serep hadir pada saat di mana kita mengalami musibah pecahnya ban mobil ini. Ban serep hadir untuk menenangkan sang pemilik mobil dan menawarkan jalan keselamatan. Terkadang, dalam hidup ini juga kita menempatkan Tuhan sebagai ban serep, terkadang melupakan-Nya saat senang dan diingat kembali pada musibah yang menimpah kita. Tuhan, ban serep dan Sanudin hadir dalam peristiwa itu untuk menyelamatkanku.***(Valery Kopong)

Monday, September 14, 2020

Berilah Kami Rejeki

 

“Berilah Kami Rejeki Pada Hari ini.”  Itulah penggalan doa Bapa Kami yang keluar secara perlahan dari mulut seorang Aurel, anak saya yang masih TK pada belasan tahun lalu. Dia belajar untuk menghafal rumusan doa Bapa Kami. Sambil belajar berdoa, terkadang ia bertanya pada saya, mengapa  ada rumusan berilah kami rejeki pada hari ini dan bukannya besok? Pertanyaan seorang anak kecil yang berbau teologis-filosofis, mengundang reaksi saya untuk segera memberikan jawaban. Lama aku bermenung sambil mencari tahu tentang  makna rumusan doa-doa bapa kami. “Secara  gamblang, saya katakan bahwa orang-orang tentu membutuhkan kebutuhan primer (kebutuhan utama) pada hari ini dan tidak mungkin tertunda sampai besok.  Doa ini juga membuka “ruang pengharapan” bagi setiap orang yang percaya pada Allah untuk mendapatkan rejeki untuk menghidupi kebutuhan hidupnya. Tetapi sejauh mana manusia menaruh harap pada Allah yang murah hati?

                Memang persoalan tentang hidup berpulang pada pribadi manusia. Ada yang bekerja seharian di bawah terik matahari tetapi rejeki yang diperoleh hanyalah sedikit. “Apa gunanya manusia berjerih lelah di bawah terik matahari?” demikian kata Sang Pengkhotbah. Manusia boleh menjalani hidup dengan amat keras tetapi belum tentu memperoleh  hasil sesuai yang diharapkan. Keterlibatan Allah sangat penting karena intervensi Allah membuat seluruh apa yang kita kerjakan menjadi lebih bermakna atau dengan kata lain, Allah membuat hidup ini menjadi lebih hidup dengan mendatangkan rejeki yang secukupnya. Penggalan doa bapa kami di atas menjadi semacam prolog bagi setiap manusia untuk menjalani hidup ini. Membuka hari baru, sepertinya kita membuka selubung rejeki dari Allah dan Allah membiarkan kita bergumul dengan dingin dan terik matahari untuk bekerja. Di sana, di ufuk batas matahari terbenam kita akan melihat, seberapa besar rejeki yang diperoleh.

                Di bawah remang-remang matahari yang beringsut pamit dari dunia ini, kadang kita gerutu sambil mempersalahkan Allah yang memberikan  rejeki tidak sesuai dengan porsi keinginan manusia. Salahkah Allah dalam memberikan rejeki di luar porsi yang diharapkan? Tapi ingatlah bahwa Allah tentu memberikan rejeki untuk dikonsumsi pada hari ini. Besok ada rejekinya tersendiri karena itu jangan menggabungkan rejeki pada hari ini dan pada hari-hari yang akan datang untuk diterima hari ini. Rejeki yang kita terima adalah bagian terbaik yang diberikan oleh Allah. Dapatkah kita mensyukuri rejeki yang telah diterima dengan lapang dada? Setiap orang memahami hidup ini sebagai sebuah anugerah maka rejekipun merupakan bagian integral dari anugerah hidup itu sendiri. “Bagi orang yang percaya (beriman), hidup adalah sebuah anugerah, dunia adalah lahan lubur, tempat kita mengais rejeki. Tetapi bagi orang yang tidak percaya, mereka melihat hidup ini sebagai penyakit, dunia adalah rumah sakit dan mati adalah jalan keluar yang terbaik.”  Anugerah Allah itu indah dan dalam keindahan kita digenggam-Nya.*** (Valery Kopong)       

Salib Kristus

Setiap kali saya mau keluar rumah, pasangan hidup saya selalu mengingatkan saya untuk berdoa.Lalu,saya membuat tanda salib sebagai bentuk doa saya.Membuat tanda salib memang merupakan hal yang sederhana untuk dilakukan.Tetapi sebenarnya,tanda salib mempunyai makna yang sangat luar biasa. "Tanda salib adalah sebuah doa yang mujarab dan ajaib," kata seorang pembimbing rohani. "Bila kita meresapi dengan baik-baik tanda salib yang sering kita buat,kita sungguh menghayati misteri iman ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS. 

Allah yang telah mencurahkan cinta kasihNya yang sangat besar melalui Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah sengsara, wafat, bangkit dan mulia serta menuntun dan membimbing jalan keselamatan umat manusia dalam Terang Roh Kudus,"katanya.  Sudah berulang kali kita membuat tanda salib.Tanda salib yang kita buat hendaknya bukan hanya sebagai simbol kekatolikan kita saja dan kita  ucapkan hanya keluar dari mulut kita.Tetapi, tanda salib yang kita buat, kita  resapi bahwa Kristus telah menyelamatkan umat manusia melalui sengsara dan wafatNya di kayu salib, melalui kebangkitan dan kemuliaanNya.Kita yang percaya dan beriman kepadaNya akan dibangkitkan dan dimuliakan di Surga.   


Salib Kristus adalah lambang cinta kasih Kristus yang luar biasa bagi keselamatan umat manusia.Di hari Pesta Salib Suci ini, Pantaslah kita bersyukur kepada Kristus dan marilah kita selalu memandang dan selalu ingat salib Kristus dengan mata iman kita.
(Yoh. 3:13-17,  14 September,Suhardi)