Friday, January 8, 2021

Jeritan Permohonan

 

Ketika membaca kisah pentahiran orang-orang kusta yang dilakukan oleh Yesus, situasi yang melingkupi orang-orang kusta berada pada  peralihan dari derita menuju suka cita. Orang-orang yang terkena kusta adalah mereka yang pada akhirnya disingkirkan dari pergaulan umum dan bahkan dianggap sebagai limbah masyarakat. Mengidap penyakit kusta bukan impian setiap orang tetapi karena kondisi tubuh yang memungkinkan kusta itu menghinggap pada tubuh mereka maka ini merupakan awal mula munculnya malapetaka hidup. Mengidap penyakit kusta dalam pandangan masyarakat Yahudi merupakan puncuk dari kutukan Allah terhadap penderita. Bisa dibayangkan, betapa berat beban batin yang harus ditanggung oleh seorang penderita karena selain menderita karena penyakit namun di sisi lain, tekanan sosial juga harus ditanggungnya. Mereka dibuang ke hutan sebagai cara untuk membersihkan kampung halaman.

Membaca kisah orang-orang kusta, memunculkan memori tentang kisah pahlawan Molokai, Santo Damian. Saat ia menjadi seorang imam, ia membaktikan hidupnya pada para kusta yang saat itu dibuang di pulau Molokai. Damian melayani mereka yang kusta dan pada akhirnya mati bersama orang-orang kusta. Kisah heroik ini memperlihatkan betapa nilai pengorbanan diri yang menjadi taruhan utama dalam pelayanannya. Pastor Damian tidak mencari titik aman untuk memproteksi diri dari ancaman kusta tetapi justeru ia mencari orang-orang kusta untuk dilayani. Ia memberikan penyegaran rohani melalui pelayanan sakramen, sebagai cara untuk menyiapkan akhir dari sebuah kematian berharga pada orang-orang kusta.

Kisah masa lampau kini terulang kembali. Dalam Injil hari ini, Lukas 5:12-16 memperlihatkan orang-orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus. Dari mulut orang-orang kusta, keluarlah sebuah jeritan permohonan.  "Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku." Penggalan teks ini membahasakan sebuah kerinduan terdalam akan kesembuhan diri mereka. Yesus menanggapi jeritan itu dengan tindakan pentahiran, pembersihan diri mereka dari balutan penyakit yang menjijikan itu. "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Bisa dibayangkan, betapa suka cita seorang kusta mengalami lepas bebas dan bersih dari penyakit kusta yang selama ini dialaminya. Bersih dari kusta membuka ruang perjumpaan baru dengan para pengambil keputusan saat mereka disingkirkan dari masyarakat. Karena itu Yesus, setelah mentahirkan mereka yang kusta, Ia menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri pada para imam, pemegang otoritas dalam masyarakat dan menentukan siapa yang layak berada di dalam masyarakat dan siapa yang harus disingkirkan karena mengidap penyakit kutukan dari Allah itu. 

Terkadang, dalam hidup ini, kita bertindak mirip imam-imam Yahudi yang berani mengambil keputusan untuk menyingkirkan orang dari pergaulan umum. Tindakan penghakiman itu sepertinya mendapat pembenaran karena melibatkan Allah dalam tindakan tak terpuji itu. Banyak orang mungkin menjadi korban dari tindakan kita. Kita telah “mengkustakan” mereka agar layak disingkirkan dari hadapan kita. Tetapi saat melakukan tindakan itu, mestinya kita harus bertanya diri, untuk apa dan mengapa.***(Valery Kopong)

 

 

 


Wednesday, January 6, 2021

Badai Pasti Berlalu (Sumber inspirasi: Markus 6:45-52)

 

Menjadi pengikut Yesus dan berjalan bersama dengan-Nya pada misi awal di dunia ini, belumlah meyakinkan para murid tentang siapa itu Yesus sebenarnya. Pelbagai tindakan Yesus yang diperlihatkan melalui mukjizat, di mata para murid, sepertinya  belum cukup untuk menegaskan diri sebagai Mesias, penyelamat manusia. Tidak cukupkah Yesus menggandakan lima potong roti dan dua ekor ikan, setelah itu dimakan oleh lima ribu orang? Masih tidak percayakah akan Yesus yang menyembuhkan orang sakit, mentahirkan orang kusta dan bahkan menghidupkan orang yang sudah meninggal? Pertanyaan menjadi penting karena cara beriman tidak harus melihat tanda dan membangun iman kepada-Nya. Mata kita tidak harus melihat secara nyata tentang mukjizat yang melampaui ratio manusia dan karena itu membangun kepercayaan pada-Nya.

Dalam Injil hari ini, menampilkan Yesus yang sedang berjalan di atas air dan menenangkan badai di malam kelam. Ketakutan para murid yang berada dalam perahu karena diguncang oleh badai yang berkecamuk, membuat nyali mereka semakin ciut. Tetapi karena kasih dan perhatian Yesus, badai itu bisa ditenangkan. Cara Yesus menenangkan badai di malam kelam, merupakan bentuk keberpihakan dan proteksi Yesus pada murid-murid-Nya dan sekaligus membangun kepercayaan para murid terhadap-Nya bahwa Yesus yang selama ini berada bersama dengan mereka, merupakan Mesias, penyelamat. 

Kehadiran Yesus selalu membawa suka cita bagi orang-orang yang dijumpainya. Karena Yesus yang hadir di malam kelam penuh badai maka ketakutan para murid berubah menjadi ketenangan. Badai yang sebelumnya berkecamuk, ditenangkan juga dan berubah menjadi keteduhan. Alam tunduk pada Yesus.

Apa yang bisa dipetik dalam Injil hari ini? Beriman pada Yesus bisa mengubah cara pandang kita tentang-Nya dan tentang hidup yang sedang kita jalani ini. Ketika kita berada pada “pelayaran hidup” dan digempur oleh badai tantangan maka iman kita mesti bersimpuh di sini. Berimanlah pada Yesus dan berpasrahlah pada-Nya agar segala gelombang hidup yang dialami, dilalui dengan baik. Tuhan mengubah malam gelap dan menjadi siang benderang. Tuhan yang sama juga mengubah hidup kita yang kelam menjadi terang suka cita. “Kesusahan sehari, cukuplah untuk sehari.” (Valery Kopong)  

 

Monday, November 30, 2020

“Memeluk Rasa Takut”

 

Beberapa hari ini terkuak peristiwa alam yang menyeramkan. Pada puncak kawah gunung berapi, “Ile Ape,” sebuah gunung yang terletak di Lewotolok, Lembata itu menyisahkan begitu banyak penderitaan. Orang-orang pada lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari ancaman abu dan lahar panas yang dimuntahkan dari mulut gunung berapi itu. Peristiwa itu menyita perhatian publik, terutama mereka yang peduli dengan kemanusiaan. Para petugas keamanan, terutama polisi dan tentara memberikan perhatian ekstra. Orang-orang jompo yang tidak bisa berjalan maka mereka terpaksa digotong oleh para petugas keamanan.

Dalam peristiwa ini, ada sesuatu yang menarik publik dan sempat ditangkap kamera. Seorang ibu yang walaupun dalam kondisi panik, ingin menyelamatkan diri, ia masih sempat membawa pergi dalam genggamannya, patung Bunda Maria dan butiran Rosario. Orang-orang lain terlihat membawa pergi barang-barang berharga, seperti kendaraan dan peralatan dapur lainnya, tetapi seorang ibu ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia lebih memilih menyelamatkan diri dan juga benda-benda rohani yang menjadi simbol kekuatan iman. Baginya, barang-barang berharga yang selama ini terkumpul, belumlah menjanjikan untuk masa depan tetapi justeru dengan simbol-simbil rohani memberikan spirit baru dalam menapaki hari-hari penuh dengan kegelisahan.

Memang, ketika berhadapan dengan situasi kebencanaan seperti ini, tak ada cara lain, selain pasrah pada yang Maha Kuasa. Mengamuknya gunung berapi bukanlah urusan manusia tetapi di bawah kendali Sang Pencipta Semesta. Semesta berdiam dan semua berjalan pada rel waktu, manusia turut merasakan kedamaian yang diberikan oleh alam semesta. Tetapi sebaliknya, ketika semesta tak lagi ramah dengan manusia, tentu muncul kepanikan dari manusia itu. Apakah manusia harus berontak terhadap Tuhan sebagai sang pemberi kehidupan dan pencipta semesta ini? Manusia tak menyalahkan Tuhan dan di hadapan semesta, manusia masih merunduk pasrah di hadapan-Nya.

Momentum bencana seperti ini, merupakan waktu berahmat untuk melihat, siapa  kita sebenarnya, sembari melihat “kekecilan diri” setiap insan manusia di bawah terik matahari ini. Manusia seakan “memeluk ketakutan” untuk berpasrah pada Sang Ilahi dan sambil berdoa, “semoga bencana gunung meletus ini cepat berlalu.” Suatu harapan yang tulus keluar dari mulut orang-orang yang menjadi korban di bawah amukan “Ile Ape” dan para pegiat kemanusiaan. Rasa Kemanusiaan kita teruji di balik setiap tragedi. Memang benar bahwa ketika ada tragedi kemanusiaan, seakan-akan kemanusiaan kita terkoyak tetapi pada saat yang sama, semua tragedi itu mengundang rasa simpati yang mendalam dari orang-orang sekitar. Karena rasa kemanusiaan yang mendalam maka ketika tragedi ini muncul, sepertinya menggerakan hati setiap orang untuk membangun solidaritas untuk mereka yang sedang berada pada puncak gunung berapi untuk segera dievakuasi.

Gerakan untuk solidaritas saat bencana itu muncul, merupakan gerakan spontan yang muncul secara mendadak tanpa sebuah rekayasa. Tak kalah pentingnya juga para nitizen yang mencoba memberikan suport bagi para korban dengan menuliskan “Pray for Lewotolok” sebagai bagian penting dari sebuah keberpihakan.  “Pray for Lewotolok” merupakan doa semesta dan berharap pada Tuhan agar bencana ini segera berhenti. Siapa yang berani menghentikan hentakan alam ini? Manusia tak punya kuasa untuk menghentikan amukan gunung berapi itu. Pada kabut tebal dan siraman abu vulkanik “Ile Ape,” kita bertanya diri. Mengapa manusia tak berdaya di hadapan alam? Seperti titik air di tengah samudera, demikian juga manusia, seperti titik kecil di tengah alam semesta yang maha luas. Manusia tak berdaya di hadapan-Nya.***(Valery Kopong)