Ketika membaca kisah pentahiran orang-orang kusta yang dilakukan oleh Yesus, situasi yang melingkupi orang-orang kusta berada pada peralihan dari derita menuju suka cita. Orang-orang yang terkena kusta adalah mereka yang pada akhirnya disingkirkan dari pergaulan umum dan bahkan dianggap sebagai limbah masyarakat. Mengidap penyakit kusta bukan impian setiap orang tetapi karena kondisi tubuh yang memungkinkan kusta itu menghinggap pada tubuh mereka maka ini merupakan awal mula munculnya malapetaka hidup. Mengidap penyakit kusta dalam pandangan masyarakat Yahudi merupakan puncuk dari kutukan Allah terhadap penderita. Bisa dibayangkan, betapa berat beban batin yang harus ditanggung oleh seorang penderita karena selain menderita karena penyakit namun di sisi lain, tekanan sosial juga harus ditanggungnya. Mereka dibuang ke hutan sebagai cara untuk membersihkan kampung halaman.
Membaca kisah
orang-orang kusta, memunculkan memori tentang kisah pahlawan Molokai, Santo
Damian. Saat ia menjadi seorang imam, ia membaktikan hidupnya pada para kusta
yang saat itu dibuang di pulau Molokai. Damian melayani mereka yang kusta dan
pada akhirnya mati bersama orang-orang kusta. Kisah heroik ini memperlihatkan
betapa nilai pengorbanan diri yang menjadi taruhan utama dalam pelayanannya.
Pastor Damian tidak mencari titik aman untuk memproteksi diri dari ancaman
kusta tetapi justeru ia mencari orang-orang kusta untuk dilayani. Ia memberikan
penyegaran rohani melalui pelayanan sakramen, sebagai cara untuk menyiapkan
akhir dari sebuah kematian berharga pada orang-orang kusta.
Kisah masa lampau
kini terulang kembali. Dalam Injil hari ini, Lukas 5:12-16 memperlihatkan
orang-orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus. Dari mulut orang-orang kusta,
keluarlah sebuah jeritan permohonan. "Tuan, jika Tuan mau, Tuan
dapat mentahirkan aku." Penggalan teks ini membahasakan sebuah kerinduan
terdalam akan kesembuhan diri mereka. Yesus menanggapi jeritan itu dengan
tindakan pentahiran, pembersihan diri mereka dari balutan penyakit yang
menjijikan itu. "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu
juga lenyaplah penyakit kustanya. Bisa dibayangkan, betapa suka cita seorang
kusta mengalami lepas bebas dan bersih dari penyakit kusta yang selama ini
dialaminya. Bersih dari kusta membuka ruang perjumpaan baru dengan para
pengambil keputusan saat mereka disingkirkan dari masyarakat. Karena itu Yesus,
setelah mentahirkan mereka yang kusta, Ia menyuruh mereka untuk memperlihatkan
diri pada para imam, pemegang otoritas dalam masyarakat dan menentukan siapa
yang layak berada di dalam masyarakat dan siapa yang harus disingkirkan karena
mengidap penyakit kutukan dari Allah itu.
Terkadang, dalam
hidup ini, kita bertindak mirip imam-imam Yahudi yang berani mengambil
keputusan untuk menyingkirkan orang dari pergaulan umum. Tindakan penghakiman
itu sepertinya mendapat pembenaran karena melibatkan Allah dalam tindakan tak
terpuji itu. Banyak orang mungkin menjadi korban dari tindakan kita. Kita telah
“mengkustakan” mereka agar layak disingkirkan dari hadapan kita. Tetapi saat
melakukan tindakan itu, mestinya kita harus bertanya diri, untuk apa dan
mengapa.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment