Monday, November 30, 2020

“Memeluk Rasa Takut”

 

Beberapa hari ini terkuak peristiwa alam yang menyeramkan. Pada puncak kawah gunung berapi, “Ile Ape,” sebuah gunung yang terletak di Lewotolok, Lembata itu menyisahkan begitu banyak penderitaan. Orang-orang pada lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari ancaman abu dan lahar panas yang dimuntahkan dari mulut gunung berapi itu. Peristiwa itu menyita perhatian publik, terutama mereka yang peduli dengan kemanusiaan. Para petugas keamanan, terutama polisi dan tentara memberikan perhatian ekstra. Orang-orang jompo yang tidak bisa berjalan maka mereka terpaksa digotong oleh para petugas keamanan.

Dalam peristiwa ini, ada sesuatu yang menarik publik dan sempat ditangkap kamera. Seorang ibu yang walaupun dalam kondisi panik, ingin menyelamatkan diri, ia masih sempat membawa pergi dalam genggamannya, patung Bunda Maria dan butiran Rosario. Orang-orang lain terlihat membawa pergi barang-barang berharga, seperti kendaraan dan peralatan dapur lainnya, tetapi seorang ibu ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia lebih memilih menyelamatkan diri dan juga benda-benda rohani yang menjadi simbol kekuatan iman. Baginya, barang-barang berharga yang selama ini terkumpul, belumlah menjanjikan untuk masa depan tetapi justeru dengan simbol-simbil rohani memberikan spirit baru dalam menapaki hari-hari penuh dengan kegelisahan.

Memang, ketika berhadapan dengan situasi kebencanaan seperti ini, tak ada cara lain, selain pasrah pada yang Maha Kuasa. Mengamuknya gunung berapi bukanlah urusan manusia tetapi di bawah kendali Sang Pencipta Semesta. Semesta berdiam dan semua berjalan pada rel waktu, manusia turut merasakan kedamaian yang diberikan oleh alam semesta. Tetapi sebaliknya, ketika semesta tak lagi ramah dengan manusia, tentu muncul kepanikan dari manusia itu. Apakah manusia harus berontak terhadap Tuhan sebagai sang pemberi kehidupan dan pencipta semesta ini? Manusia tak menyalahkan Tuhan dan di hadapan semesta, manusia masih merunduk pasrah di hadapan-Nya.

Momentum bencana seperti ini, merupakan waktu berahmat untuk melihat, siapa  kita sebenarnya, sembari melihat “kekecilan diri” setiap insan manusia di bawah terik matahari ini. Manusia seakan “memeluk ketakutan” untuk berpasrah pada Sang Ilahi dan sambil berdoa, “semoga bencana gunung meletus ini cepat berlalu.” Suatu harapan yang tulus keluar dari mulut orang-orang yang menjadi korban di bawah amukan “Ile Ape” dan para pegiat kemanusiaan. Rasa Kemanusiaan kita teruji di balik setiap tragedi. Memang benar bahwa ketika ada tragedi kemanusiaan, seakan-akan kemanusiaan kita terkoyak tetapi pada saat yang sama, semua tragedi itu mengundang rasa simpati yang mendalam dari orang-orang sekitar. Karena rasa kemanusiaan yang mendalam maka ketika tragedi ini muncul, sepertinya menggerakan hati setiap orang untuk membangun solidaritas untuk mereka yang sedang berada pada puncak gunung berapi untuk segera dievakuasi.

Gerakan untuk solidaritas saat bencana itu muncul, merupakan gerakan spontan yang muncul secara mendadak tanpa sebuah rekayasa. Tak kalah pentingnya juga para nitizen yang mencoba memberikan suport bagi para korban dengan menuliskan “Pray for Lewotolok” sebagai bagian penting dari sebuah keberpihakan.  “Pray for Lewotolok” merupakan doa semesta dan berharap pada Tuhan agar bencana ini segera berhenti. Siapa yang berani menghentikan hentakan alam ini? Manusia tak punya kuasa untuk menghentikan amukan gunung berapi itu. Pada kabut tebal dan siraman abu vulkanik “Ile Ape,” kita bertanya diri. Mengapa manusia tak berdaya di hadapan alam? Seperti titik air di tengah samudera, demikian juga manusia, seperti titik kecil di tengah alam semesta yang maha luas. Manusia tak berdaya di hadapan-Nya.***(Valery Kopong)

 

No comments: