Tuesday, June 8, 2010

MATA AIR

Di hutan yang masih perawan itu, terdapat mata air yang mengalirkan sungai dan memberikan kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Mata air sebagai sumber air yang menawarkan kesuburan dan kesegaran senantiasa bertahan di tengah terpaan musim. Pergantian musim, dari musim penghujan ke musim kemarau, seakan tidak berpengaruh pada debit air yang selalu siap memberi kesegaran dan menawarkan dahaga bagi yang haus.
Kehadiran Yesus di tengah dunia ibarat mata air sejati. Ia selalu menawarkan kesegaran iman bagi mereka yang telah kehilangan harapan. Karenanya, percaya pada Yesus berarti membiarkan iman kita tersirami dengan air kasih-Nya. Tetapi apakah mungkin iman setiap orang tersirami secara sempurna oleh Yesus? Beriman berarti sebuah bentuk penyerahan diri secara total kepada-Nya dan dalam proses penyerahan diri, seseorang selalu membuka diri bagi-Nya dan membiarkan Yesus hidup di dalam dirinya sendiri.
Santo Paulus yang dikenal sebagai rasul terbesar dalam Gereja katolik, dimatangkan imannya oleh pengalaman dalam Dia. Para pengikut Yesus, yang dahulunya disiksa dan dianiaya olehnya tetapi kemudian setelah peristiwa Damsyik (Peristiwa jatuhnya Saulus dari kudanya) menjadi pengalaman yang berharga dalam membangun kondisi hidupnya. Hatinya yang keras dan selalu mau mematahkan hidup bagi yang percaya pada Yesus, justeru dicairkan oleh Yesus. Imannya yang dulunya gersang dan tandus, jauh dari sentuhan-Nya, kini tersirami kembali berkat daya kekuatan Roh Kudus.
Betapa besar kasih Yesus. Kasih-Nya seluas samudera dan cinta-Nya sedalam lautan telah diperlihatkan kepada siapa saja yang percaya pada-Nya. Di sini, dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk dibenah hidupnya dan disegarkan imannya. Saulus yang dulunya dikenal sebagai penjahat telah diperkenalkan secara baru bagi kita, yakni Paulus. Ia mendapat tugas istimewa untuk mewartakan sabda Allah, tidak hanya dalam lingkungan Yahudi melainkan di luar lingkungan Yahudi. Ia (Paulus) menjadi pewarta karena daya Roh Kudus. Pengalaman Damsyik tidak hanya menjadi pengalaman Paulus semata tetapi juga menjadi pengalaman kita semua yang senantiasa membuka diri bagi Tuhan dan rela dituntun ke jalan yang benar.*** (Valery Kopong)

Friday, June 4, 2010

DIBAPTIS UNTUK MENJADI ANAK ALLAH

Pembaptisan merupakan peristiwa penting dalam Gereja Katolik. Melalui pembaptisan, seseorang diterima secara resmi untuk masuk menjadi anggota Gereja. “Anda telah dibaptis dan resmi menjadi anggota Gereja dan Anak Allah,” demikian Pastor Charles Javlean, Pr. Hal ini disampaikan dalam khotbahnya ketika mempermandikan 84 orang dewasa. Pembaptisan dewasa yang berlangsung pada Minggu, 14 Maret 2010 di Gereja Stasi Santo Gregorius ini merupakan kelompok baptis yang dipersiapkan untuk Paskah tahun ini. Karena terlalu banyak orang yang dibaptis dan dalam pembaptisan itu masih ada lagi sakramen yang diterimakan maka dengan alasan ini pembaptisan didahulukan sebelum pelaksanaan Paskah. Walaupun pembaptisan tidak terlaksana persis pada malam Paskah tetapi suasana pembaptisan berjalan dengan khidmat. Ada rasa haru dan sedih yang terlihat pada wajah calon baptis. Beberapa pasangan yang dibaptis dan menerima sakramen krisma dan perkawinan merasa haru karena mereka sudah mendambakan pembaptisan serta perkawinan secara katolik selama belasan tahun.
Sebelum dibaptis, mereka semua dibimbing dan dipersiapkan untuk mengenal Kristus secara lebih mendalam. Menurut Fredy, salah seorang pembimbing para katekumen ketika ditemui, menuturkan bahwa hampir 6 bulan mereka dibimbing dan dalam proses bimbingan itu selalu dipantau soal komitmen dan keseriusan para calon.
Mereka yang dibaptis untuk menjadi katolik umumnya dikarenakan perkawinan yang beda agama. Dalam peristiwa ini, tidak hanya sakramen pembaptisan yang diterima tetapi juga sakramen krisma dan bahkan bagi pasangan yang sudah berkeluarga,langsung menerimakan sakramen perkawinan. Upacara pembaptisan ini dimeriahkan oleh koor inti Stasi Gregorius kota Bumi – Tangerang, di bawah pimpinan bapak Yulius Totok. ***(Valery Kopong)
AIR MATA KEBERPIHAKKAN
(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?
Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia ini.
Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negara ini. Kekayaan negara kita bukan lagi kandungan bumi atau hasil-hasil hutan tetapi kekayaan baru yang terhimpun adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan anak negeri ini untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat negeri ini?
Beberapa penggalan puisi Tanah Air Mata berikut ini dapat menginformasikan sebuah kepolosan tentang gejolak batin dan sekaligus gejolak kehidupan negeri ini. Kami coba simpan nestapa // Kami coba kuburkan duka lara // Tapi perih tak bisa sembunyi // Ia merebak ke mana-mana // Bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu // Namun kalian tak bisa menyingkir // Ke mana pun melangkah // Kalian pijak air mata kami // Ke mana pun terbang // Kalian kan hinggap di air mata kami // Ke mana pun berlayar // Kalian arungi air mata kami // Kalian sudah terkepung // Takkan bisa mengelak // Takkan bisa ke mana pergi // Menyerahlah pada kedalaman air mata
Derita, nestapa seperti yang diproklamirkan dalam puisi tak akan tersingkir dari kehidupan ini. Mereka telah berusaha untuk menguburkannya tetapi derita yang sama masih tetap berdenyut. Semakin dalam derita itu terkubur, semakin cepat pula denyutannya. Kehidupan dan penderitaan tak terpisahkan dari ruang lingkup masyarakat kecil, ia diibaratkan sebagai dua jantung yang berada dalam satu denyutan.
Kekuatan sebuah puisi bukan semata-mata terletak pada siapa penulisnya, dalam hal ini seorang penyair tetapi lebih dari itu terletak pada kata-kata yang dipakainya. Kata-kata menjadi “anak panah” dan mulut seorang penyair adalah “busurnya” yang sanggup menikam lawan (pembaca) dengan ketajaman kata-kata. Beberapa penyair yang terkenal keberpihakkannya terhadap masyarakat kecil, lebih memilih permainan kata-kata untuk mengeritik penguasa dan menggilas pemikiran mereka yang terkesan angkuh. W.S. Rendra misalnya, selalu tampil dengan puisinya untuk merobek tirai keangkuhan para pejabat dan berani menyatakan keberpihakkan pada mereka yang dianggap sebagai limbah politik kekuasaan. Penguasa dan kekuasaan, bagi Rendra, bukanlah sesuatu yang mutlak tetapi merupakan peluang yang perlu dikritik.
Sutardji pernah menulis bahwa “puisi adalah alibi kata-kata.” Dengan mengatakan demikian maka kata-kata yang mengisi sebuah bangunan puisi diberi kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut. Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai

kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Seorang penyair menangkap realitas dan disublimasi dalam kata-kata dan kata-kata tersebut memberi makna pada sebuah puisi. Tetapi untuk memaknai secara mendalam sangat bergantung pada siapa pembaca puisi tersebut yang sanggup membedah makna dengan pisau pemikiran yang tajam dan jernih.****
DARI GEREJA ‘LESEHAN’ MENUJU GEREJA ‘WARTEG’

Ketika menelusuri sejarah perjalanan Stasi St.Gregorius yang sedang berproses untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri, tentunya ada banyak kisah yang ternokta pada ‘peta’ perjalanan penuh makna. Memaknai kisah perjalanan ini adalah sebuah momentum bersejarah dan setiap umat punya alasan untuk menilik kilas balik arah perjalanan Gereja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari realitas sosial. Pengalaman perjumpaan dengan realitas sosial turut serta membentuk karakter Gereja ini, apakah menjadi Gereja yang inklusif atau menjadi Gereja yang eksklusif? Dua ciri Gereja yang dibangun ini merupakan cerminan masa lampau dalam pola pembentukan, baik oleh umat sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Keberadaan Gereja Stasi St. Gregorius pada masa awal, hanyalah merupakan kumpulan kelompok kecil umat yang semuanya adalah masyarakat perantau. Sebagai masyarakat perantau, biasanya membentuk paguyuban ataupun komunitas doa sebagai jalan untuk mengenal satu terhadap yang lain dengan mencontohi Kristus sebagai landasan dasar dalam beriman. Kristus telah datang dan mempersatukan orang-orang yang mengikuti-Nya. Dengan membentuk kelompok kecil antarsesama katolik maka lama kelamaan menjadikannya sebagai sebuah lingkungan dan bisa berkembang menjadi sebuah wilayah, stasi dan bahkan sebuah paroki. Perkembangan umat ini selalu mengikuti alur pembukaan perumahan baru.
Merunut kisah Stasi ini, hanya bermula dari umat yang terhimpun pada lingkungan Bernadus. Lingkungan ini terdiri dari 70 KK, dan pada tahun 1990 bertambah menjadi 150 KK. Walaupun ada perkembangan penambahan umat tetapi mereka masih bernaung di bawah lingkungan Bernadus. Tahun 1993 berkembang menjadi 2 lingkungan dan semuanya berada di wilayah Kota Bumi.
Keberadaan lingkungan ini tidak terlepas dari Paroki Santa Maria Tangerang. Jumlah umat yang minim ini tidak lalu diabaikan oleh pihak paroki terutama perhatian pastor paroki. Romo Bin yang saat itu menjabat sebagai pastor paroki, memberikan respons positif terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh lingkungan yang tergolong masih sepi ini. Sebulan sekali pastor paroki mempersembahkan ekaristi bagi umat di lingkungan Bernadus. Sebenarnya misa bulanan ini dilakukan sebagai usaha untuk meredam pengeluaran biaya transportasi bagi umat yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah karena sebelumnya, umat di lingkungan Bernadus harus mengeluarkan biaya transportasi apabila mau ke Gereja Santa Maria. Dengan misa bulanan ini maka terjadi penghematan secara ekonomis namun menambah kekayaan dari sisi rohani.
Misa bulanan ini dilakukan di aula milik developer yang waktu itu dijadikan sebagai tempat belajar dan bermain bagi TK Maria Mediatrix. Karena perkembangan umat semakin hari semakin bertambah maka tahun 1993, pelayanan ekaristi dilaksanakan di sekolah Maria Mediatrix dengan menempati beberapa ruangan.

Gereja “Lesehan”
Bapak Bonefasius Dalyo, ketua Dewan stasi pertama selalu memberi spirit bagi tumbuh-kembangnya iman dan kebersamaan umat. Kehadiran dan pola kepemimpinannya yang humanis, memungkinkan terjadinya komunikasi yang komunikatif hingga terjalinnya sebuah persaudaraan sejati antarumat. Kepemimpinannya telah membawa kisah perjalanan umat dari Maria Mediatrix ke GSG yang pada tahun 1994 mulai dibangun dan pada tahun 1995 sudah mulai diadakan misa. Menurut penuturan Bapak Dalyo ketika dikonfirmasi, misa yang berlangsung di GSG pada saat-saat awal cukup memprihatinkan. Gedung sudah dibangun tetapi belum adanya bangku di gedung tersebut karena itu diharapkan masing-masing umat yang hadir dalam perayaan ekaristi untuk membawa “tikar” pribadi untuk berlesehan bersama umat lain sambil menikmati siraman rohani dari sang pastor.
Keadaan yang serba kekurangan, baik tempat duduk yang belum ada maupun jalanan yang becek menuju GSG tetapi itu tidak menyurutkan semangat umat untuk mau datang dan bersama umat lain terlibat dalam perayaan ekaristi. Ekaristi dalam nuansa seperti saat awal yang dirasakan oleh umat Gregorius tidak lebih sebagai pesta rakyat, tempat di mana masyarakat menuai kegembiraan. Tetapi apakah kondisi seperti ini terus bertahan dalam deraan zaman?
Sejak pelayanan pastoral dipusatkan di GSG, perkembangan umat semakin membludak, tidak hanya umat yang berdomisili di Kota Bumi saja tetapi sudah merambah ke wilayah lain seperti Sangiang, Regency bahkan berujung pada Rajeg. Wilayah-wilayah ini menjadi basis utama umat katolik dan menjadi harapan bagi keberlangsungan Gereja ini.
Membangun Gereja Warteg
Sebagian besar umat yang terhimpun pada Gereja Stasi St.Gregorius umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, guru dan sedikit sekali dijumpai para pengusaha. Dengan populasi umat yang ragam, terutama dari mata pencaharian maka Gereja ini diharapkan membuka diri dan merangkul semua pihak yang memiliki obsesi demi pengembangan Gereja ini. Eksistensi Gereja ini tidak lebih sebagai sebuah ‘Gereja Warteg’ yang berani menghimpun dan memberikan perhatian pada umat yang secara ekonomis masih tergolong kelas menengah ke bawah. Menjadi Gereja Warteg, berarti Gereja berani bersedia mendengar jeritan umat dan bahkan Gereja sendiri harus membela orang-orang yang tertindas.
Keberadaan Gereja di tengah masyarakat, memungkinkan terbangunnya sebuah relasi yang intens terutama mereka yang non katolik agar darinya terpancar kasih dan persaudaraan yang telah kita terima dari Yesus Sang Guru Agung. Memberi perhatian kepada sesama adalah bukti bahwa dalam diri umat masih ada cinta dan kasih yang membara.*** (Valery)
“ABDI PARA ABDI ALLAH”

Servus Servorum Dei, abdi para abdi Allah. Begitulah Paus Gregorius menyebut dirinya. Sebutan ini juga menjadi sebuah julukan bagi jabatan Paus di Roma. Mengabdi pada umat, apalagi berani menjadi pelayan merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dilakoni. Namun orang-orang tertentu yang menyadari spiritualitas pelayanan kristiani, menjadi seorang pelayan ketika menjadi pejabat adalah sesuatu yang lumrah. Spiritualitas pelayanan kristiani adalah spiritualitas gerak turun, mengikuti peristiwa inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia. Itu berarti setiap orang harus rendah diri dan mengambil pola pelayanan pada komunitas kelas bawah.
Cita-cita untuk melayani dan menjadi abdi umat selalu menggaung dalam diri Gregorius. Ia dilahirkan di kalangan bangsawan (Aristokrat). Gregorius lahir di Roma pada tahun 540. Ibunya Silvia dan dua orang tantenya, Tarsilla dan Aemeliana, dihormati pula oleh Gereja sebagai orang kudus. Ayahnya Geordianus, tergolong kaya raya; memiliki banyak tanah di Sicilia dan sebuah rumah indah di lembah bukit Ceolian, Roma. Selama masa kanak – kanaknya, Gregorius mengalami suasana pendudukan suku bangsa Goth, Jerman atas kota Roma; mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun demikian, Gregorius menerima suatu pendidikan yang memadai. Ia pandai sekali dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialetika.
Kehidupan dalam lingkup keluarga bangsawan tidak membuat ia berbesar kepala terhadap orang di luar kelompok Aristokrat. Cita-cita awal menjadi pemimpin dan pelayan, memungkinkan ia untuk belajar berendah hati dan mau bersolider dengan siapa saja. Pada usia 33 tahun ia menjadi Prefek kota Roma, suatu kedudukan tinggi dan terhormat dalam dunia politik Roma saat itu. Kedudukan duniawi diperoleh karena didukung oleh keluarga berdarah biru itu. Tetapi apakah jabatan politik yang diemban membuat ia lupa akan yang lain dan terus mempertahankannya?
Jabatan politis itu tidak selamanya abadi. Melalui jabatan tersebut belum membuka “ruang” baginya untuk membaktikan diri secara penuh bagi Allah. Ia pada akhirnya memilih jalan Tuhan. Tuhan memanggil dan menghendaki Gregorius untuk berkarya di ladang anggur-Nya. Gregorius meletakkan jabatan politiknya dan mengumumkan niatnya untuk menjalani kehidupan membiara. Ia menjual sebagian besar kekayaannya dan uang yang diperolehnya dimanfaatkan untuk mendirikan biara – biara. Ada enam biara yang didirikan di Sicilia dan satu di Roma. Di dalam biara – biara itu, ia menjalani kehidupannya sebagai seorang rahib. Namun ia tidak saja hidup di dalam biara untuk berdoa dan bersemadi, ia juga giat di luar; membantu orang – orang miskin dan tertindas, menjadi diakon di Roma, menjadi Duta Besar di istana Konstantinopel. Pada tahun 586 ia dipilih menjadi Abbas di biara Santo Andreas di Roma. Di sana ia berjuang membebaskan para budak belian yang dijual di pasar – pasar kota Roma.
Pada tahun 590, dia diangkat menjadi Paus. Dengan ini dia dapat dengan penuh wibawa melaksanakan cita – citanya membebaskan kaum miskin dan lemah, terutama budak – budak dari Inggris. Ia mengutus Santo Agustinus ke Inggris bersama 40 biarawan lain untuk mewartakan Injil di sana. Gregorius adalah Paus pertama yang secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia. Ia memimpin Gereja selama 14 tahun dan dikenal sebagai seorang Paus yang masyur, negarawan dan administrator ulung pada awal abad pertengahan serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Karena tulisan – tulisannya yang berbobot, dia digelari sebagai Pujangga Gereja Latin. (Valery, dari berbagai sumber*)
A P I
Oleh: Valery Kopong*
Prometheus, nama yang bisa didapatkan dalam mitologi Yunani. Ia sempat mencuri api di dunia khayangan, dunia para dewa dan dewi. Karena perbuatannya ini maka Prometheus menjadi santer namanya di masyarakat bahkan menjadi buah tutur penghuni kampung itu. Ada jalan baru, ada terobosan baru mengenai perombakan pola hidup manusia yang didesain dengan bertitik tolak dari api yang merupakan hasil curian. Suasana sebelum adanya api begitu suram, sepertinya hidup di ruang tak berpenghuni. Prometheus telah mengubah situasi. Ia telah membakar semangat orang-orangnya dan mengubah pola hidup baru dalam masyarakatnya.
Prometheus dianggap sebagai sang pembaharu, seorang reformis yang telah menata kehidupan manusia melalui “api kesadaran.” Api telah menjadi milik manusia dan digunakan untuk membantu seluruh aktivitasnya. Sebagian besar hidup manusia bergantung pada api. Api menjadi daya dorong untuk memunculkan energi baru. Ia (api) selalu menularkan “nyala” sebagai penyuluh hidup manusia dan “membagi bara” untuk membakar kesadaran manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberadaan api, selain memberi semangat hidup bagi orang sezamannya tetapi juga dapat menggapai cita-cita mengubah dunia yang tak pernah berkesudahan. Perjuangan Prometheus tak mengenal lelah. Usahanya adalah memberi bentuk dan warna kehidupan manusia lewat visi yang futuristik. Perjuangan untuk menggapai api dan memilikinya ibarat menggapai sebuah mimpi. Mimpi untuk mengubah hidup dan menggerakkan roda kehidupan manusia.
Api menjadi simbol dan motor primum, penggerak utama yang memobilisasi manusia untuk menata hidupnya. Melihat api, berarti melihat perubahan baru karena ketika api membakar di tempat-tempat tertentu, di sanalah ada perubahan yang muncul. Perubahan yang muncul bisa membawa nilai positip ataupun nilai negatip terhadap manusia.
Semangat manusia tak lebih dari api. Kalau api selalu membawa perubahan baru bagi manusia, maka dalam diri manusia sendiri selalu ada gerakan perubahan, mobilitas yang mengarah pada pembaruan hidup. Dalam diri manusia selalu ada “semangat,” ada gairah yang membawa manusia menuju ke situasi yang lain. Di dalam “bara api semangat manusia” tersembul daya dorong yang sanggup mengilhami pemikiran untuk membuka sekat-sekat pemisah yang menjadi kendala untuk berubah. Perubahan itu ada dalam diri setiap manusia, tetapi sejauh mana manusia merasakan getaran perubahan dalam dirinya?
Ketika manusia merasakan daya dorong dalam dirinya untuk mau berubah, maka pada saat yang sama, ia (manusia) mau membuka diri dan membiarkan getaran dorongan itu menguasai dirinya. Bertitik tolak pada daya dorong, memungkinkan seseorang untuk mau tampil secara berbeda di setiap generasi yang berbeda pula. Di titian generasi yang berbeda, setiap manusia menampilkan “elan vita,” daya hidup yang sanggup menghidupkan manusia sendiri.
Musa, seperti yang diceritakan dalam kitab suci, telah melihat api yang menyala di semak-semak duri. Api yang menyala ramah merupakan bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Nyala api di semak duri adalah simbol peringatan Tuhan bahwa di tempat di mana ia pijak adalah suci, karena itu ia harus menanggalkan sandal. Peringatan Tuhan lewat nyala api mengubah pola kepatuhan Musa. Ia, Musa, tanpa kompromi menanggalkan kedosaan (baca: sandal / alas kaki) untuk masuk ke dalam suasana baru, suasana suci. Api (nyala api) seakan telah mempurifikasi dirinya untuk layak masuk ke dalam ruang yang lain, ruang suci. Nyala api di semak duri membuka kesadaran Musa untuk melihat kembali relasinya dengan Allah. Lewat nyala api, ia diingatkan, dengan siapa ia sedang berkomunikasi?
Berkomunikasi dengan Allah menampilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, melalui nyala api, Allah mau menunjukkan kepada manusia (melalui Musa) tentang kemahakuasaan dan kedasyatan dalam menguasai semesta alam. Dan di sisi lain, Ia juga menyadarkan manusia tentang pembersihan diri, purifikasi . Allah memberi kesempatan dan menggugah kesadaran agar manusia sendiri menyadari dosa-dosa sebelum membangun relasi dengan Allah. Pertobatan dan pembersihan diri merupakan jembatan ampuh yang dapat menghubungkan manusia dan Allah.
Ketika para rasul berada dalam ruang yang sunyi setelah Yesus terangkat ke sorga, turunlah Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api. Kehadiran Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api membawa perubahan bagi para murid. Mereka disanggupkan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Seluruh kehidupan para rasul dirasuki oleh Roh Kudus yang memberi semangat untuk mewartakan kabar gembira ke penjuru dunia. Roh Kudus yang sama yang turun dalam bentuk lidah-lidah api menyulut umat-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada siapa saja. Api Roh Kudus selalu membara dan mengembangkan “sayap lidah-lidahnya” ke penjuru dunia. Ia (Roh Kudus) menjiwai dunia dengan “nyala api kesadaran” dan membangunkan umat-Nya (baca: Gereja) untuk terus mewartakan Injil ke penjuru dunia.
Api menjadi simbol daya hidup karena di dalamnya ada semangat beralih (passing over spirituality). Setiap manusia terdorong untuk beralih, sekaligus membuka diri bagi yang lain. Cita-cita untuk beralih merupakan kerinduan dasar manusia. Dalam kerinduan untuk menggapai sesuatu yang lain, kita terbentur pada pertanyaan nakal, untuk apa dan mengapa?***
JAUHI NARKOBA

“Hidup Indah Tanpa Narkoba.” Itulah tema seminar yang diusung oleh WKRI cabang Stasi Santo Gregorius-Tangerang. Seminar yang diadakan di aula sekolahan Tarsisius Vireta-Tangerang pada Minggu, 21 Februari 2010 ini merupakan suatu tuntutan atas kondisi hidup yang telah dipengaruh narkoba. Narkoba yang selama ini dianggap masih jauh dari peredaran lingkungan Tangerang, tetapi ternyata kenyataan berbicara lain. Ia, narkoba, semakin dekat bahkan tempat produksinya pun di lingkungan perumahan regensi 2-Tangerang. Menyadari keberadaan tempat produksi dan peredaran narkoba semakin menghimpit ruang lingkup kehidupan masyarakat terutama wilayah Tangerang, mengetuk hati ibu-ibu yang tergabung dalam wadah WKRI untuk mau mengadakan seminar sebagai salah satu cara untuk menjawabi tantangan yang sedang dihadapi oleh orang tua saat mendampingi putera-puterinya.
Kehidupan masyarakat umum harus disesuaikan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kehidupan normatif yang menjadi dambaan masyarakat umum adalah sebuah kehidupan yang sehat, jauh dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keberadaan dan kelangsungan hidup manusia sendiri. Anggapan umum ini semakin bergeser sejalan dengan pengaruh negatif yang muncul terutama dipengaruhi oleh arus informasi dan perkembangan teknologi. Pesatnya perubahan yang diakibatkan oleh arus informasi, turut mengubah pola perilaku dan pemikiran masyarakat terutama generasi muda. Generasi muda adalah generasi yang selalu mau berkembang ke arah kemajuan dan cukup banyak orang juga yang terjerumus dalam arus informasi yang negatif. Menurut Bapak Drs. Tedi Suwardi, MSi, utusan dari pemerintah kabupaten Tangerang, yang membuka acara seminar, bahwa “pesatnya arus informasi dan teknologi berpengaruh pada pola pikir anak. Banyak pengaruh negatif yang telah menjerumuskan mereka dalam kehidupan yang penuh dengan narkoba.” Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kegiatan seminar merupakan sesuatu yang urgen untuk memberikan informasi sedini mungkin bagi kaum muda. “Dengan bekal pengetahuan agama, mereka bisa menata hidup untuk jauh dari narkoba.” Ia juga mengiformasikan bahwa di daerah Tangerang menjadi salah satu tempat yang memproduksi narkoba dan hal ini perlu disikapi, diwaspadai mulai dari sekarang. Karena itu di dalam proses mewaspadai persoalan yang membawa maut ini maka perlu adanya pembekalan yang matang terutama lewat seminar ini.
Seminar merupakan sebuah wahana sederhana dan sebagai “ruang kondusif” untuk menggali informasi. Menurut ketua WKRI cabang Stasi Santo Gregorius, ibu Effi, tujuan utama diadakan seminar adalah “untuk memperingati HUT WKRI Stasi Gregorius ke 11 dan sekaligus memberikan kepedulian terhadap orang tua untuk secara dini mengenal apa itu narkoba dan bahaya-bahayanya.” Setiap orang tua perlu mengetahui dan membekali diri dengan hal-hal yang berkaitan dengan narkoba. Dengan pengetahuan tersebut seorang ibu atau bapak, cukup dengan gampang menelusuri sepak terjang kehidupan anak-anaknya. Anak adalah titipan Tuhan karena itu perlu dijaga dari godaan dunia ini terutama “hantu narkoba.”


Peredaran narkoba semakin hari semakin luas jaringannya, tidak hanya dalam lingkup regional tapi tetapi transaksi sudah dan sedang terjadi secara internasional. Proses perdagangan barang-barang haram ini dengan motif dan modus yang begitu canggih yang dapat meloloskan diri dari kejaran polisi. Semakin banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan ada yang telah dihukum mati, tetapi apakah dapat memberikan efek jerah terhadap transaksi penjualan narkoba? Keberadaan manusia sekarang begitu rentan terhadap persoalan yang membawa ini. Namun semakin banyak orang yang dihukum bahkan dihukum mati tetapi masih banyak barisan panjang yang terjerumus dalam limbah narkoba dan siap menunggu untuk mati.
Menurut Dr. Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM sebagai pembicara utama dalam seminar, bahwa saat ini sedang terjadi peredaran narkoba lintas negara. Sistem dan modus peredaran sangat variatif, dan hal ini dilakukan untuk mengelabui kejaran polisi. Ada begitu banyak obat-obatan terlarang yang beredar baik itu jenis shabu-shabu, heroin, kokain maupun pil ekstasi. Dalam memperkenalkan jenis obat-obatan ini, ia (Dr.Victor) menampilkan tayangan-tayangan yang memperlihatkan kondisi riil transaksi narkoba yang sedang dan terus terjadi. Beragam modus diperlihatkan sebagai upaya untuk membuka wawasan peserta seminar yang hadir. Kurang lebih 270 peserta yang mengikuti seminar, mereka terdiri dari kaum muda dan ibu-ibu yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan di Stasi Santo Gregorius Kota Bumi-Tangerang.
Dalam pemaparan, ia menginformasikan sumber-sumber peredaran yang terjadi saat ini, misalnya, jenis heroin sumber pengedar adalah Negara Thailand, Myanmar dan Laos. Ketiga negara ini dikenal sebagai segi tiga emas yang merupakan daerah penyuplai heroin terbesar dan disebarkan ke pelbagai daerah. Umumnya semua jenis obat-obatan terlarang ini beredar di tempat-tempat tertentu, seperti: diskotik, kamar kecil / WC, kantin sekolah, warung sekitar, tempat parkiran, perpustakaan, bandara / pelabuhan, tempat kos. Tempat-tempat ini menjadi sasaran utama para pengedar untuk menawarkan penjualan narkoba sebagai “komoditi primadona.”
Memang peredaran dan penggunaan narkoba sangat berbahaya bagi kesehatan dan efek lain yang muncul adalah penyebaran HIV/ AIDS. Orang-orang yang tertular penyakit AIDS ini disebabkan oleh penggunaan jarum suntik secara bersama. Berkaitan dengan hal ini, Tiara, Puteri Indonesia 2007 yang hadir dalam seminar, menuturkan pengalaman seorang anggota keluarganya yang terkena narkoba dan pada akhirnya terkena AIDS. Penyakit berbahaya akhirnya memakan korban, yang adalah keluarganya sendiri. Sharing pengalaman ini lebih dimaksudkan agar kaum muda tidak terjerumus ke dalam penggunaan narkoba karena berakibat fatal bahkan menghantarkan hidup itu sendiri kepada sebuah kematian secara tragis.
Para peserta yang hadir terlihat antusias dan bertahan sampai berakhirnya seminar karena seminar ini diselingi dengan atraksi berupa sulap dan drama yang diperankan oleh Dr. Victor dan Jefri Chandra, bintang sinetron serta kru yang lain. Narkoba sudah diambang pintu, hati-hatilah dan waspadalah. *** (Valery)
BALADA KAYU SALIB DAN KISAH KEBANGKITAN

“Di kala Yesus disambut di gerbang Yerusalem
Umat bagai lautani…”
Begitulah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara Tarsisius Vireta pada Minggu Palma. Lagu ini menunjukkan betapa antusiasme umat manusia terhadap kehadiran Yesus saat memasuki kota Yerusalem. Yesus yang menunggang keledai, sepertinya digiring secara lugu, mirip keledai tunggangan-Nya menuju gerbang kota Yerusalem. Apakah sorak-sorai dan gegap gempita umat menggiring masuk Sang Raja menunjukkan, betapa kepedulian mereka terhadap-Nya? Yesus sendiri tahu bahwa memasuki gerbang Yerusalem menjadi titik awal Ia masuk ke gerbang penderitaan. Ia tahu bahwa jalan yang harus dilalui adalah jalan menuju derita, tetapi sangat mengherankan bahwa Ia (Yesus) melakoni hidup dan perutusan-Nya ini dengan tenang.
Di gerbang Yerusalem, Yesus memperlihatkan seorang manusia yang lemah lembut, manusia yang tidak menyombongkan diri, walaupun Ia berada di tengah “ruang sorak-sorai.” Dalam kotbahnya di Minggu Palma, Romo Sriyanto menekankan kelemah-lembutan Yesus yang bersedia di sorak-sorai bahkan dicaci-maki. Ketika Yesus diolok-olok, dicaci-maki tapi Ia tidak pernah marah. Dalam peristiwa ini kita diajak untuk menyingkirkan perbuatan-perbuatan kita yang kadang kita rancang untuk menyingkirkan orang lain. Kita tiru semangat dan pengorbanan Yesus yang selalu menekuni jalan kesengsaraan ini.
Mencari Format Pelayanan
Dalam Paskah Yahudi, yang dikenang adalah pembebasan orang-orang Israel dari perbudakan Mesir. Paskah Yahudi merupakan budaya yang diadakan untuk mengenang masa lampau dan dalam perjamuan itu mereka makan roti dan sayuran pahit serta anak domba yang dibakar. Bukan soal makan yang dibicarakan tetapi ciri khas perjamuan ini adalah mereka memakan dengan tongkat di tangan dan pinggan yang terikat. Dalam kitab keluaran (eksodus), tongkat di tangan menjadi simbol kesiap-siagaan Bani Israel untuk menunggu Tuhan datang dan melawat umat-Nya.
Perjanjian Baru berbicara sesuatu yang berbeda tetapi memiliki kesamaan intinya. Kalau Perjanjian Lama mengenang Allah yang melawat umat-Nya yang sedang dalam perderitaan oleh perbudakan Mesir maka Paskah Yesus, kita mengenangkan peristiwa di mana Allah membebaskan umat-Nya dari noda dosa asal melalui Yesus Putera-Nya. Sebelum memulai penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama Yesus. Pada kesempatan itu Yesus sendiri membasuh kaki para rasul dan apa yang dilakukan ini juga merupakan sebuah tradisi Yahudi ketika mengadakan sebuah pesta. Kaki dan tangan mesti dibasuh sebelum masuk ke dalam ruang pesta. Tetapi mengapa Yesus yang membasuh kaki dan bukan yang lain? Apa yang dilakukan Yesus tidak dipahami oleh para murid-Nya dan di kemudian hari barulah mereka tahu arti pembasuhan kaki yang diperlihatkan Yesus pada para murid-Nya. “Mengertikah kamu akan perbuatan ini?”
Dalam kisah pembasuhan kaki para murid, Yesus sendiri meninggalkan sebuah kisah kerendahan hati yang mendalam di antara para rasul dan kita semua sebagai pengikut-Nya. “Hendaklah kamu semua saling melayani.” Perayaan malam perjamuan merupakan puncak iman karena di dalamnya Yesus sendiri menyerahkan diri sebagai santapan rohani. Karena itu setiap kali kita merayakan ekaristi, kita menerima kehadiran Yesus untuk menjiwai hidup kita. “Dalam kerapuhan dan ketakberdayaan Yesus, kita dikuatkan. Roh Tuhan senantiasa bekerja sehingga pelayanan Tuhan bekerja dalam diri kita dan kasih yang sama kita terapkan dalam keluarga dan lingkungan sekitar kita,” tegas Romo Heru, SJ di penghujung khotbahnya.
Pada misa ke 2 kamis putih yang dipimpin oleh Romo Edi, ia menekankan pembersihan diri. Sebelum masuk ke ruang pesta, setiap undangan harus membasuh diri terlebih dahulu. Perjamuan malam terakhir, memperlihatkan Yesus sebagai tuan pesta. Dia berani membasuh kaki para murid untuk mengatakan pada kita bahwa setiap manusia adalah terhormat, karena itu perlu dilayani. Yesus memberi contoh atau teladan sekaligus mengingatkan kita bahwa dalam peristiwa pembasuhan juga Yesus menceritakan tentang asal dan tujuan hidup manusia yaitu dari Allah sendiri. Apa yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang berharga dan karena itu tidak disepelehkan.
Drama Penyaliban, Membuka Ingatan Kolektif
Suasana sepi. Dunia berkabung atas wafatnya Yesus Kristus di atas kayu salib. Sebuah kematian yang sangat tragis tetapi harus juga dijalani demi umat manusia. Kisah kematian ini tetap dipilin menjadi sebuah “ingatan kolektif” karena di balik peristiwa ini, ada harapan baru yang menyelamatkan dan memberdayakan iman umat manusia.
Jumat Agung, sebuah hari yang menawarkan suasana sepi dari hari-hari lain. Tapi di pucuk sore itu, di bawah rimbunan pohon-pohon masih terdengar suara para dramawan yang mendramatisasikan kisah ini dengan hikmat. Umat dihantar untuk memasuki gerbang keheningan untuk pada akhirnya memahami bahwa kisah ini hanyalah pengulangan masa silam yang dialami oleh Yesus sendiri. Ia mengalami pergulatan hebat di taman Getzemani, hingga mengeluarkan peluh berdarah.
Penderitaan tidak selamanya membawa kemalangan. Apa yang dialami oleh Yesus merupakan sebuah cara yang ditawarkan Allah untuk menebus dosa manusia. Apakah Yesus gentar ketika berhadapan dengan penderitaan? Sebagai manusia, tentunya di dalam diri Yesus muncul rasa takut namun Allah yang mengutus-Nya senantiasa membimbing Dia untuk sampai pada kesudahannya. Penderitaan, menurut Romo Swasono dalam khotbahnya, tidak pernah menggetarkan iman kita akan Dia. Namun derita, sengsara dan kebangkitan-Nya memperkuat iman kita akan Yesus dan berani mengakui sebagai Allah yang hidup dan menyelamatkan.
Kisah Kebangkitan
Yesus sebagai penyelamat, tentunya diharapkan oleh banyak orang. Peristiwa sengsara dan kematian-Nya seakan membawa keputus-asaan bagi mereka yang setia menemani-Nya. Dalam kotbah di malam Paskah, Romo Yosef Situmorang mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi saksi atas kekosongan kubur adalah pengikut Yesus selama Ia masih hidup dan berkarya. Mereka tahu bahwa Yesus adalah Mesias dan karena itu menaruh harapan yang besar pada-Nya.
Perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus adalah orang-orang yang sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka menaruh harapan penuh pada “pundak Yesus” akan hidup itu sendiri. Peristiwa kematian menjadi moment yang dapat mengguncang iman mereka pada-Nya. Dia yang diharapkan menjadi penyelamat ternyata mati di kayu salib, mirip manusia pesakitan. Kekecewaan yang dialami oleh perempuan-perempuan tidak berlarut-larut. Kekosongan kubur Yesus menjadi sebuah bukti kebangkitan Yesus dan berita utama untuk perempuan-perempuan dalam mewartakan cerita (balada) kebangkitan-Nya. Yesus telah bangkit, mari kita pergi mewartakan kabar itu ke penjuru dunia seperti yang diwartakan oleh perempuan-perempuan terdahulu.***
PERJAMUAN AKHIR

Oleh: Valery Kopong*

Sebelum pamit dari rumah untuk memulai hidup di perantauan, kami sekeluarga mengadakan makan malam bersama. Ini merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan keluargaku setiap melepaskan salah seorang anggota keluarga sebelum bepergian jauh. Makan malam menjadi berharga dan nilainya jauh lebih tinggi ketimbang makan malam bersama tanpa melepaskan salah seorang anggota keluarga. Mengapa perlu mengadakan perjamuan malam sebelum melepaspergikan seseorang?
Bagi saya, perjamuan makan malam bersama keluarga sebelum merantau untuk sekian tahun adalah sebuah pengalaman historis yang tak pernah saya lupakan. Dalam moment yang cukup mendebarkan itu, bapak dan mamaku memberikan pesan-pesan terakhir. “Nak, besok kamu pergi untuk memulai hidup baru. Jagalah baik-baik kaki-tangan dan mulut.” Pesan sederhana ini menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Pesan ini berarti bahwa setiap kali kita bepergian jauh maupun dekat, yang perlu diperhatikan adalah tingkah laku dan perbuatan serta tutur kata yang diucapkan. Apabila kita membangun relasi baik dengan sesama maka pola tingkah laku selalu berada dalam koridor nilai dan norma yang berlaku. Demikian juga penuturan kita saat bertemu dan berinteraksi dengan sesama.
Keesokan harinya, sebelum kaki ini melangkah meninggalkan rumah tercinta, dari mulut kedua orang tuaku terucap kata, “jangan lupa untuk pulang kampung.” Rumah adalah tempat kita memulai hidup. Rumah di sini tidak hanya mencakup bangunan secara fisik tetapi lebih dari itu rumah adalah “ruang pengharapan” yang selalu terbuka pintunya secara lebar untuk melepaspergikan anggota keluarga dan menerima kembali anggotanya. Rumah adalah “ruang inspirasi” yang memberikan spirit. Rumah sebagai tempat terakhir kami berlabuh setelah berjuang dalam kisaran ruang dan waktu, juga menjadi tempat pertemuan manusia dengan identitas masing-masing serta pola pikir yang sudah terkontaminase dengan glamournya kehidupan kota. Kota telah memperlihatkan daya tariknya pada manusia sehingga mereka dapat dengan leluasa mencari sepenggal hidup di “ruang polusif” itu. Tetapi separoh nafas mereka berada di jantung desa yang senantiasa menunggu untuk merangkulnya. Rumah telah merangkulnya kembali setelah sekian lama didera oleh belenggu kota.
Sebelum menjalani penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya. Perjamuan yang terselenggara merupakan “pesta pelepasan” sederhana sebelum Ia diserahkan ke tangan-tangan para penyamun. Pesta perjamuan yang diperkenalkan Yesus telah menjadi perjamuan abadi. Dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan memecahkan lalu membagi kepada para muridNya. Demikian juga Ia mengambil piala yang berisi anggur. Perjamuan terakhir karenanya, lebih dikenal sebagai perjamuan cinta kasih karena Yesus memperlihatkan nilai-nilai pelayanan kepada para murid dan dengan suatu harapan, nilai-nilai pelayanan dan cinta kasih dapat dipancar-teruskan dalam kehidupan sehari-sehari bagi umat yang percaya kepadaNya.
Hampir setiap kali menghadiri perayaan ekaristi, aku selalu teringat suasana makan sederhana di saat aku dilepaskan oleh orang tuaku. Makan malam, perjamuan bersejarah itu tetap terkenang dalam memori hidupku dan terus mengingatkan aku untuk kembali ke “ruang perjamuan,” ruang persaudaraan yang selalu mengikat aku dalam pesan-pesan bijak.***
“SAATKU BELUM TIBA”
Pengantar: Tim Voluntas berhasil mewawancari Bunda Maria seputar perkawinan di Kana di Galilea. Kisah ini dimunculkan berkenaan dengan tema Voluntas mengenai keluarga. Sebagai umat beriman, kita mencontohi keluarga Nazareth di mana Maria sebagai ibu Tuhan memainkan peranan penting dalam kehidupan Yesus. Berikut petikan wawancara
=================================================================================
Selamat bertemu Bunda. Perkenalkan, nama saya Valery, Redaktur senior majalah Voluntas, sebuah majalah milik stasi Santo Gregorius. Apakah Bunda ada waktu untuk kita ngobrol bersama seputar kisah perkawinan di Kana?
“Oh, boleh,” jawab Bunda. Kalau untuk Voluntas, saya menyediakan waktu. Kira-kira apa yang mau ditanyakan?
Begini Bunda. Seperti yang diceritakan dalam kitab suci bahwa perkawinan di Kana merupakan moment yang tepat bagi Yesus untuk mengadakan mukjizat. Bolehkan Bunda cerita sedikit mengenai peristiwa itu?
Kami sekeluarga diundang untuk menghadiri pesta itu. Pesta perkawinan itu merupakan pesta akbar dan merupakan taruhan nama baik keluarga kedua mempelai. Pertaruhan nama baik yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana tuan pesta menjamu para undangan, apakah memuaskan para undangan yang hadir atau tidak? Letak keberhasilan sebuah pesta, terletak pada tingkat kepuasan para undangan yang hadir.
Tingkat kepuasan seperti apa yang dialami dalam sebuah pesta?
Dalam konteks budaya Yahudi dan juga budaya-budaya lain di Indonesia, kepuasan para pengunjung pesta (para undangan) terletak pada aspek lahiriah, seperti penataan tempat (dekorasi) tetapi yang lebih penting adalah makanan dan minuman. Persoalan makanan dan minuman menjadi ukuran sekaligus memberi warna sebuah pesta. Apabila makanan dan minuman tidak terpenuhi secara baik maka orang akan pulang dengan sungut dan gerutu. Ini merupakan pratanda tidak baik bagi promosi nama baik keluarga kedua belah pihak. Minuman menjadi ciri khas dan penentu kualitas sebuah pesta. Tanpa minuman, pesta sepertinya tidak mempunyai nyawa.
Lalu bagaimana dengan peristiwa di mana tuan pesta yang kekurangan anggur? Dari mana mereka tahu bahwa di situ ada Yesus bersama ibu-Nya?
Mereka memiliki daftar orang-orang yang diundang. Namun peristiwa ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Ada gerakan Ilahi yang mendorong salah seorang tuan pesta untuk menemui saya. Ini saya lihat sebagai jalan Allah untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik. Undangan yang hadir merupakan representan (mewakili) manusia secara keseluruhan. Apa yang akan dilakukan Yesus merupakan tindakan Allah terhadap manusia dalam menyelamatkan peristiwa kekurangan anggur. Sebagai seorang ibu sekaligus undangan, hatiku sepertinya terketuk untuk berbuat sesuatu untuk bisa menyelamatkan situasi.
Ketika Bunda menyampaikan hal tersebut, terutama soal kekurangan anggur, apa reaksi Yesus saat mendengar tawaran dari Bunda?
Kamu tentu tahu bahwa Yesus ketika kecil sangat malu untuk memperkenalkan diri saat berhadapan dengan orang lain. Ketika saya menyampaikan peristiwa kekurangan anggur yang dialami oleh tuan pesta, Ia sendiri terkesan tidak bisa berbuat banyak. Sampai pada akhirnya Ia mengatakan pada saya bahwa “saat-Ku belum tiba.”
Kalimat “saat-Ku belum tiba” menjadi sebuah tafsiran yang menarik bagi para teolog dan para ekseget (ahli kitab suci). Apa makna kalimat “saat-Ku belum tiba?”
Setiap kali Yesus mengucapkan kata-kata, tersembul sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang diucapkan memiliki daya atau energi tersendiri. Apa yang dikatakan-Nya ketika aku memintanya, Ia tidak menerima tawaran itu secara langsung. Ia harus mengelola tawaran itu dalam terang tuntunan Allah. Karena itu apa yang dikatakan-Nya, walaupun keluar dari mulut-Nya sendiri tetapi Allah yang sedang berbicara di dalam-Nya.
Tentang “saat” seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes memang perlu dipahami secara mendalam terutama dalam dimensi waktu yang selalu mengitari kehidupan Yesus. Yesus selalu menyebut waktu ketika perutusan-Nya sebagai “saat”-Nya. Dalam peristiwa perkawinan di Kana, kata “saat” ini muncul lagi sebagai pemenuhan tawaran dari ibu-Nya untuk menyelamatkan tuan pesta yang kehabisan anggur. Jawaban Yesus terhadap permintaan yang diberikan oleh ibu-Nya kedengaran aneh. Tetapi apakah ini merupakan jalan dan saat yang tepat bagi-Nya untuk memperkenalkan diri-Nya di hadapan publik?
Yesus menggunakan kata “saat” untuk membahasakan misteri iman yang hidup dan perlu mendapat penggenapannya. Rekaman pertama penggunaan kata ini oleh-Nya adalah pada kisah kehabisan anggur di Kana yang dialami oleh tuan pesta. Peristiwa ini mendorong naluri keibuanku untuk berbuat suatu sebagai ungkapan nyata terhadap mereka yang kekurangan. Apa yang harus aku lakukan? Aku meminta Puteraku Yesus. “Mereka kehabisan anggur.” Yesus menjawab, “Mau apakah engkau dari Aku, Ibu? Saat-Ku belum tiba” (Yoh 2:3-4).
Mencermati apa yang dikatakan Yesus dalam teologi Yohanes memanglah sulit dan seperti mengawang, karena itu tidak mengherankan bila Injil Yohanes dilambangkan dengan burung rajawali. Seperti burung rajawali yang terbang mengawang, demikian juga dengan teologi Yohanes yang sulit untuk digapai maknanya. Untuk memahami pernyataan Yesus, “Saat-Ku belum tiba,” kita akan menangkap pola pemikiran dasarnya. Dengan menjawab demikian, sepertinya Yesus sedang membentengi diri dan mengantisipasi suatu “saat” ketika sesuatu yang lebih penting yang akan terjadi. Tetapi saat itu sekarang belum tiba.
Menyimak apa yang dikatakan Yesus terutama “saat” yang menjadi titik sentral lebih berpihak pada tiga dimensi waktu yang harus dilalui oleh Yesus yaitu saat sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya. Apa yang dikatakan Yesus tentang “saat” yang akan melengkapi tiga dimensi waktu yang didalamnya termuat peristiwa tragis dan kemuliaan.
Hanya dengan mengatakan, “mereka kehabisan anggur,” sebetulnya aku sendiri mendesak supaya saat berahmat untuk melakukan sebuah tanda mesti terlaksana. Yesus akhirnya tahu kalau saat-nya sudah tiba, Ia akan menyediakan anggur-anggur yang paling baik. Namun perlu disadari bahwa “saat”-Nya sudah tiba tetapi “saat definitif” belumlah tiba. “Saat” di Kana merupakan titik awal pengenalan Yesus ke hadapan publik walau mukjizat yang dilakukan hanyalah tuan pesta yang tahu. Kita semua pun diundang menjadi tuan pesta agar tahu memahami arti mukjizat itu.*** (Valery Kopong)