Friday, June 4, 2010

DARI GEREJA ‘LESEHAN’ MENUJU GEREJA ‘WARTEG’

Ketika menelusuri sejarah perjalanan Stasi St.Gregorius yang sedang berproses untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri, tentunya ada banyak kisah yang ternokta pada ‘peta’ perjalanan penuh makna. Memaknai kisah perjalanan ini adalah sebuah momentum bersejarah dan setiap umat punya alasan untuk menilik kilas balik arah perjalanan Gereja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari realitas sosial. Pengalaman perjumpaan dengan realitas sosial turut serta membentuk karakter Gereja ini, apakah menjadi Gereja yang inklusif atau menjadi Gereja yang eksklusif? Dua ciri Gereja yang dibangun ini merupakan cerminan masa lampau dalam pola pembentukan, baik oleh umat sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Keberadaan Gereja Stasi St. Gregorius pada masa awal, hanyalah merupakan kumpulan kelompok kecil umat yang semuanya adalah masyarakat perantau. Sebagai masyarakat perantau, biasanya membentuk paguyuban ataupun komunitas doa sebagai jalan untuk mengenal satu terhadap yang lain dengan mencontohi Kristus sebagai landasan dasar dalam beriman. Kristus telah datang dan mempersatukan orang-orang yang mengikuti-Nya. Dengan membentuk kelompok kecil antarsesama katolik maka lama kelamaan menjadikannya sebagai sebuah lingkungan dan bisa berkembang menjadi sebuah wilayah, stasi dan bahkan sebuah paroki. Perkembangan umat ini selalu mengikuti alur pembukaan perumahan baru.
Merunut kisah Stasi ini, hanya bermula dari umat yang terhimpun pada lingkungan Bernadus. Lingkungan ini terdiri dari 70 KK, dan pada tahun 1990 bertambah menjadi 150 KK. Walaupun ada perkembangan penambahan umat tetapi mereka masih bernaung di bawah lingkungan Bernadus. Tahun 1993 berkembang menjadi 2 lingkungan dan semuanya berada di wilayah Kota Bumi.
Keberadaan lingkungan ini tidak terlepas dari Paroki Santa Maria Tangerang. Jumlah umat yang minim ini tidak lalu diabaikan oleh pihak paroki terutama perhatian pastor paroki. Romo Bin yang saat itu menjabat sebagai pastor paroki, memberikan respons positif terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh lingkungan yang tergolong masih sepi ini. Sebulan sekali pastor paroki mempersembahkan ekaristi bagi umat di lingkungan Bernadus. Sebenarnya misa bulanan ini dilakukan sebagai usaha untuk meredam pengeluaran biaya transportasi bagi umat yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah karena sebelumnya, umat di lingkungan Bernadus harus mengeluarkan biaya transportasi apabila mau ke Gereja Santa Maria. Dengan misa bulanan ini maka terjadi penghematan secara ekonomis namun menambah kekayaan dari sisi rohani.
Misa bulanan ini dilakukan di aula milik developer yang waktu itu dijadikan sebagai tempat belajar dan bermain bagi TK Maria Mediatrix. Karena perkembangan umat semakin hari semakin bertambah maka tahun 1993, pelayanan ekaristi dilaksanakan di sekolah Maria Mediatrix dengan menempati beberapa ruangan.

Gereja “Lesehan”
Bapak Bonefasius Dalyo, ketua Dewan stasi pertama selalu memberi spirit bagi tumbuh-kembangnya iman dan kebersamaan umat. Kehadiran dan pola kepemimpinannya yang humanis, memungkinkan terjadinya komunikasi yang komunikatif hingga terjalinnya sebuah persaudaraan sejati antarumat. Kepemimpinannya telah membawa kisah perjalanan umat dari Maria Mediatrix ke GSG yang pada tahun 1994 mulai dibangun dan pada tahun 1995 sudah mulai diadakan misa. Menurut penuturan Bapak Dalyo ketika dikonfirmasi, misa yang berlangsung di GSG pada saat-saat awal cukup memprihatinkan. Gedung sudah dibangun tetapi belum adanya bangku di gedung tersebut karena itu diharapkan masing-masing umat yang hadir dalam perayaan ekaristi untuk membawa “tikar” pribadi untuk berlesehan bersama umat lain sambil menikmati siraman rohani dari sang pastor.
Keadaan yang serba kekurangan, baik tempat duduk yang belum ada maupun jalanan yang becek menuju GSG tetapi itu tidak menyurutkan semangat umat untuk mau datang dan bersama umat lain terlibat dalam perayaan ekaristi. Ekaristi dalam nuansa seperti saat awal yang dirasakan oleh umat Gregorius tidak lebih sebagai pesta rakyat, tempat di mana masyarakat menuai kegembiraan. Tetapi apakah kondisi seperti ini terus bertahan dalam deraan zaman?
Sejak pelayanan pastoral dipusatkan di GSG, perkembangan umat semakin membludak, tidak hanya umat yang berdomisili di Kota Bumi saja tetapi sudah merambah ke wilayah lain seperti Sangiang, Regency bahkan berujung pada Rajeg. Wilayah-wilayah ini menjadi basis utama umat katolik dan menjadi harapan bagi keberlangsungan Gereja ini.
Membangun Gereja Warteg
Sebagian besar umat yang terhimpun pada Gereja Stasi St.Gregorius umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, guru dan sedikit sekali dijumpai para pengusaha. Dengan populasi umat yang ragam, terutama dari mata pencaharian maka Gereja ini diharapkan membuka diri dan merangkul semua pihak yang memiliki obsesi demi pengembangan Gereja ini. Eksistensi Gereja ini tidak lebih sebagai sebuah ‘Gereja Warteg’ yang berani menghimpun dan memberikan perhatian pada umat yang secara ekonomis masih tergolong kelas menengah ke bawah. Menjadi Gereja Warteg, berarti Gereja berani bersedia mendengar jeritan umat dan bahkan Gereja sendiri harus membela orang-orang yang tertindas.
Keberadaan Gereja di tengah masyarakat, memungkinkan terbangunnya sebuah relasi yang intens terutama mereka yang non katolik agar darinya terpancar kasih dan persaudaraan yang telah kita terima dari Yesus Sang Guru Agung. Memberi perhatian kepada sesama adalah bukti bahwa dalam diri umat masih ada cinta dan kasih yang membara.*** (Valery)

0 komentar: