Friday, June 4, 2010

BALADA KAYU SALIB DAN KISAH KEBANGKITAN

“Di kala Yesus disambut di gerbang Yerusalem
Umat bagai lautani…”
Begitulah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara Tarsisius Vireta pada Minggu Palma. Lagu ini menunjukkan betapa antusiasme umat manusia terhadap kehadiran Yesus saat memasuki kota Yerusalem. Yesus yang menunggang keledai, sepertinya digiring secara lugu, mirip keledai tunggangan-Nya menuju gerbang kota Yerusalem. Apakah sorak-sorai dan gegap gempita umat menggiring masuk Sang Raja menunjukkan, betapa kepedulian mereka terhadap-Nya? Yesus sendiri tahu bahwa memasuki gerbang Yerusalem menjadi titik awal Ia masuk ke gerbang penderitaan. Ia tahu bahwa jalan yang harus dilalui adalah jalan menuju derita, tetapi sangat mengherankan bahwa Ia (Yesus) melakoni hidup dan perutusan-Nya ini dengan tenang.
Di gerbang Yerusalem, Yesus memperlihatkan seorang manusia yang lemah lembut, manusia yang tidak menyombongkan diri, walaupun Ia berada di tengah “ruang sorak-sorai.” Dalam kotbahnya di Minggu Palma, Romo Sriyanto menekankan kelemah-lembutan Yesus yang bersedia di sorak-sorai bahkan dicaci-maki. Ketika Yesus diolok-olok, dicaci-maki tapi Ia tidak pernah marah. Dalam peristiwa ini kita diajak untuk menyingkirkan perbuatan-perbuatan kita yang kadang kita rancang untuk menyingkirkan orang lain. Kita tiru semangat dan pengorbanan Yesus yang selalu menekuni jalan kesengsaraan ini.
Mencari Format Pelayanan
Dalam Paskah Yahudi, yang dikenang adalah pembebasan orang-orang Israel dari perbudakan Mesir. Paskah Yahudi merupakan budaya yang diadakan untuk mengenang masa lampau dan dalam perjamuan itu mereka makan roti dan sayuran pahit serta anak domba yang dibakar. Bukan soal makan yang dibicarakan tetapi ciri khas perjamuan ini adalah mereka memakan dengan tongkat di tangan dan pinggan yang terikat. Dalam kitab keluaran (eksodus), tongkat di tangan menjadi simbol kesiap-siagaan Bani Israel untuk menunggu Tuhan datang dan melawat umat-Nya.
Perjanjian Baru berbicara sesuatu yang berbeda tetapi memiliki kesamaan intinya. Kalau Perjanjian Lama mengenang Allah yang melawat umat-Nya yang sedang dalam perderitaan oleh perbudakan Mesir maka Paskah Yesus, kita mengenangkan peristiwa di mana Allah membebaskan umat-Nya dari noda dosa asal melalui Yesus Putera-Nya. Sebelum memulai penderitaan, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama Yesus. Pada kesempatan itu Yesus sendiri membasuh kaki para rasul dan apa yang dilakukan ini juga merupakan sebuah tradisi Yahudi ketika mengadakan sebuah pesta. Kaki dan tangan mesti dibasuh sebelum masuk ke dalam ruang pesta. Tetapi mengapa Yesus yang membasuh kaki dan bukan yang lain? Apa yang dilakukan Yesus tidak dipahami oleh para murid-Nya dan di kemudian hari barulah mereka tahu arti pembasuhan kaki yang diperlihatkan Yesus pada para murid-Nya. “Mengertikah kamu akan perbuatan ini?”
Dalam kisah pembasuhan kaki para murid, Yesus sendiri meninggalkan sebuah kisah kerendahan hati yang mendalam di antara para rasul dan kita semua sebagai pengikut-Nya. “Hendaklah kamu semua saling melayani.” Perayaan malam perjamuan merupakan puncak iman karena di dalamnya Yesus sendiri menyerahkan diri sebagai santapan rohani. Karena itu setiap kali kita merayakan ekaristi, kita menerima kehadiran Yesus untuk menjiwai hidup kita. “Dalam kerapuhan dan ketakberdayaan Yesus, kita dikuatkan. Roh Tuhan senantiasa bekerja sehingga pelayanan Tuhan bekerja dalam diri kita dan kasih yang sama kita terapkan dalam keluarga dan lingkungan sekitar kita,” tegas Romo Heru, SJ di penghujung khotbahnya.
Pada misa ke 2 kamis putih yang dipimpin oleh Romo Edi, ia menekankan pembersihan diri. Sebelum masuk ke ruang pesta, setiap undangan harus membasuh diri terlebih dahulu. Perjamuan malam terakhir, memperlihatkan Yesus sebagai tuan pesta. Dia berani membasuh kaki para murid untuk mengatakan pada kita bahwa setiap manusia adalah terhormat, karena itu perlu dilayani. Yesus memberi contoh atau teladan sekaligus mengingatkan kita bahwa dalam peristiwa pembasuhan juga Yesus menceritakan tentang asal dan tujuan hidup manusia yaitu dari Allah sendiri. Apa yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang berharga dan karena itu tidak disepelehkan.
Drama Penyaliban, Membuka Ingatan Kolektif
Suasana sepi. Dunia berkabung atas wafatnya Yesus Kristus di atas kayu salib. Sebuah kematian yang sangat tragis tetapi harus juga dijalani demi umat manusia. Kisah kematian ini tetap dipilin menjadi sebuah “ingatan kolektif” karena di balik peristiwa ini, ada harapan baru yang menyelamatkan dan memberdayakan iman umat manusia.
Jumat Agung, sebuah hari yang menawarkan suasana sepi dari hari-hari lain. Tapi di pucuk sore itu, di bawah rimbunan pohon-pohon masih terdengar suara para dramawan yang mendramatisasikan kisah ini dengan hikmat. Umat dihantar untuk memasuki gerbang keheningan untuk pada akhirnya memahami bahwa kisah ini hanyalah pengulangan masa silam yang dialami oleh Yesus sendiri. Ia mengalami pergulatan hebat di taman Getzemani, hingga mengeluarkan peluh berdarah.
Penderitaan tidak selamanya membawa kemalangan. Apa yang dialami oleh Yesus merupakan sebuah cara yang ditawarkan Allah untuk menebus dosa manusia. Apakah Yesus gentar ketika berhadapan dengan penderitaan? Sebagai manusia, tentunya di dalam diri Yesus muncul rasa takut namun Allah yang mengutus-Nya senantiasa membimbing Dia untuk sampai pada kesudahannya. Penderitaan, menurut Romo Swasono dalam khotbahnya, tidak pernah menggetarkan iman kita akan Dia. Namun derita, sengsara dan kebangkitan-Nya memperkuat iman kita akan Yesus dan berani mengakui sebagai Allah yang hidup dan menyelamatkan.
Kisah Kebangkitan
Yesus sebagai penyelamat, tentunya diharapkan oleh banyak orang. Peristiwa sengsara dan kematian-Nya seakan membawa keputus-asaan bagi mereka yang setia menemani-Nya. Dalam kotbah di malam Paskah, Romo Yosef Situmorang mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang menjadi saksi atas kekosongan kubur adalah pengikut Yesus selama Ia masih hidup dan berkarya. Mereka tahu bahwa Yesus adalah Mesias dan karena itu menaruh harapan yang besar pada-Nya.
Perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus adalah orang-orang yang sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka menaruh harapan penuh pada “pundak Yesus” akan hidup itu sendiri. Peristiwa kematian menjadi moment yang dapat mengguncang iman mereka pada-Nya. Dia yang diharapkan menjadi penyelamat ternyata mati di kayu salib, mirip manusia pesakitan. Kekecewaan yang dialami oleh perempuan-perempuan tidak berlarut-larut. Kekosongan kubur Yesus menjadi sebuah bukti kebangkitan Yesus dan berita utama untuk perempuan-perempuan dalam mewartakan cerita (balada) kebangkitan-Nya. Yesus telah bangkit, mari kita pergi mewartakan kabar itu ke penjuru dunia seperti yang diwartakan oleh perempuan-perempuan terdahulu.***

0 komentar: