Friday, June 4, 2010

A P I
Oleh: Valery Kopong*
Prometheus, nama yang bisa didapatkan dalam mitologi Yunani. Ia sempat mencuri api di dunia khayangan, dunia para dewa dan dewi. Karena perbuatannya ini maka Prometheus menjadi santer namanya di masyarakat bahkan menjadi buah tutur penghuni kampung itu. Ada jalan baru, ada terobosan baru mengenai perombakan pola hidup manusia yang didesain dengan bertitik tolak dari api yang merupakan hasil curian. Suasana sebelum adanya api begitu suram, sepertinya hidup di ruang tak berpenghuni. Prometheus telah mengubah situasi. Ia telah membakar semangat orang-orangnya dan mengubah pola hidup baru dalam masyarakatnya.
Prometheus dianggap sebagai sang pembaharu, seorang reformis yang telah menata kehidupan manusia melalui “api kesadaran.” Api telah menjadi milik manusia dan digunakan untuk membantu seluruh aktivitasnya. Sebagian besar hidup manusia bergantung pada api. Api menjadi daya dorong untuk memunculkan energi baru. Ia (api) selalu menularkan “nyala” sebagai penyuluh hidup manusia dan “membagi bara” untuk membakar kesadaran manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberadaan api, selain memberi semangat hidup bagi orang sezamannya tetapi juga dapat menggapai cita-cita mengubah dunia yang tak pernah berkesudahan. Perjuangan Prometheus tak mengenal lelah. Usahanya adalah memberi bentuk dan warna kehidupan manusia lewat visi yang futuristik. Perjuangan untuk menggapai api dan memilikinya ibarat menggapai sebuah mimpi. Mimpi untuk mengubah hidup dan menggerakkan roda kehidupan manusia.
Api menjadi simbol dan motor primum, penggerak utama yang memobilisasi manusia untuk menata hidupnya. Melihat api, berarti melihat perubahan baru karena ketika api membakar di tempat-tempat tertentu, di sanalah ada perubahan yang muncul. Perubahan yang muncul bisa membawa nilai positip ataupun nilai negatip terhadap manusia.
Semangat manusia tak lebih dari api. Kalau api selalu membawa perubahan baru bagi manusia, maka dalam diri manusia sendiri selalu ada gerakan perubahan, mobilitas yang mengarah pada pembaruan hidup. Dalam diri manusia selalu ada “semangat,” ada gairah yang membawa manusia menuju ke situasi yang lain. Di dalam “bara api semangat manusia” tersembul daya dorong yang sanggup mengilhami pemikiran untuk membuka sekat-sekat pemisah yang menjadi kendala untuk berubah. Perubahan itu ada dalam diri setiap manusia, tetapi sejauh mana manusia merasakan getaran perubahan dalam dirinya?
Ketika manusia merasakan daya dorong dalam dirinya untuk mau berubah, maka pada saat yang sama, ia (manusia) mau membuka diri dan membiarkan getaran dorongan itu menguasai dirinya. Bertitik tolak pada daya dorong, memungkinkan seseorang untuk mau tampil secara berbeda di setiap generasi yang berbeda pula. Di titian generasi yang berbeda, setiap manusia menampilkan “elan vita,” daya hidup yang sanggup menghidupkan manusia sendiri.
Musa, seperti yang diceritakan dalam kitab suci, telah melihat api yang menyala di semak-semak duri. Api yang menyala ramah merupakan bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Nyala api di semak duri adalah simbol peringatan Tuhan bahwa di tempat di mana ia pijak adalah suci, karena itu ia harus menanggalkan sandal. Peringatan Tuhan lewat nyala api mengubah pola kepatuhan Musa. Ia, Musa, tanpa kompromi menanggalkan kedosaan (baca: sandal / alas kaki) untuk masuk ke dalam suasana baru, suasana suci. Api (nyala api) seakan telah mempurifikasi dirinya untuk layak masuk ke dalam ruang yang lain, ruang suci. Nyala api di semak duri membuka kesadaran Musa untuk melihat kembali relasinya dengan Allah. Lewat nyala api, ia diingatkan, dengan siapa ia sedang berkomunikasi?
Berkomunikasi dengan Allah menampilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, melalui nyala api, Allah mau menunjukkan kepada manusia (melalui Musa) tentang kemahakuasaan dan kedasyatan dalam menguasai semesta alam. Dan di sisi lain, Ia juga menyadarkan manusia tentang pembersihan diri, purifikasi . Allah memberi kesempatan dan menggugah kesadaran agar manusia sendiri menyadari dosa-dosa sebelum membangun relasi dengan Allah. Pertobatan dan pembersihan diri merupakan jembatan ampuh yang dapat menghubungkan manusia dan Allah.
Ketika para rasul berada dalam ruang yang sunyi setelah Yesus terangkat ke sorga, turunlah Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api. Kehadiran Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api membawa perubahan bagi para murid. Mereka disanggupkan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Seluruh kehidupan para rasul dirasuki oleh Roh Kudus yang memberi semangat untuk mewartakan kabar gembira ke penjuru dunia. Roh Kudus yang sama yang turun dalam bentuk lidah-lidah api menyulut umat-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada siapa saja. Api Roh Kudus selalu membara dan mengembangkan “sayap lidah-lidahnya” ke penjuru dunia. Ia (Roh Kudus) menjiwai dunia dengan “nyala api kesadaran” dan membangunkan umat-Nya (baca: Gereja) untuk terus mewartakan Injil ke penjuru dunia.
Api menjadi simbol daya hidup karena di dalamnya ada semangat beralih (passing over spirituality). Setiap manusia terdorong untuk beralih, sekaligus membuka diri bagi yang lain. Cita-cita untuk beralih merupakan kerinduan dasar manusia. Dalam kerinduan untuk menggapai sesuatu yang lain, kita terbentur pada pertanyaan nakal, untuk apa dan mengapa?***

No comments: