Tuesday, June 8, 2010

ANAK DOMBA

Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak domba, kesan pertama yang muncul adalah sifat keluguan dan kepolosan serta pasrah pada siapa dan apa pun yang menganiayanya. Model kepasrahan yang ditampilkan anak domba dan jika disejajarkan dengan julukan Yesus sebagai Anak Domba Allah, barangkali ada miripnya. Kemiripan sifat di sini, dimengerti sebagai bentuk kepasrahan Yesus yang rela membiarkan diri-Nya untuk taat menderita, sengsara bahkan wafat di kayu salib. Tetapi kepasrahan Yesus memiliki arah yang jelas yaitu penyelamatan umat manusia.
Dalam Paskah Yahudi, hewan yang menjadi kurban istimewa adalah anak domba. Peristiwa pengorbanan anak domba ini mengingatkan bangsa Israel yang diselamatkan dari darah anak domba yang dioleskan pada masing-masing jenang pintu rumah bani Israel yang saat itu masih dibawah penjajahan bangsa Mesir. Paskah Yahudi adalah mengenangkan kembali peristiwa pembebasan, di mana Allah datang melawat umat pilihan-Nya. Dengan pembunuhan anak sulung bangsa Mesir ini memungkinkan mereka untuk keluar dan memulai pengembaraan hidup menuju tanah terjanji.
Dalam dunia Perjanjian Baru, kehadiran Yesus memberi arti baru dalam hidup manusia. Yesus menamakan diri sebagai Anak Domba karena Dialah yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Salib baginya adalah sebuah pilihan yang sangat pahit untuk dijalaninya. Yesus telah meminta kayu salib untuk membebaskan kita. Apa yang harus kita minta untuk menawarkan jalan yang benar bagi orang lain.***(Valery Kopong)
MALAM

Malam selalu diidentikkan dengan kegelapan dan mendatangkan suasana ketakutan. Situasi ini terasa menyeramkan apabila seseorang tidak mau berdamai dengan keadaan (malam) yang selalu datang dalam sebuah kepastian. Karena itu tidak perlu ditakuti tentang malam yang tiba tetapi cobalah selalu untuk membiarkan diri untuk mengakrabi situasi yang tenang, aman dan selalu menjanjikan inspirasi.
Memang, bagi orang yang suka merenung, kehadiran malam merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bagi sang perenung, kehadiran malam dapat membangkitkan memori dan nuansa inspiratif menyertainya untuk melewati malam yang sepi. Malam yang sepi adalah saat berahmat yang dapat mendatangkan berkah bagi sang inspirator. Lihat saja karya-karya para seniman, umumnya dikerjakan pada saat-saat hening dan hal ini selalu terjadi pada malam hari.
Mengapa mereka (para seniman) selalu mengerjakan pada malam yang sunyi? Alasan sederhana muncul yaitu bahwa mereka tidak mau diganggu oleh apa dan siapa karena pada saat-saat seperti itu orang-orang pada lelap tertidur. Dalam kesendirian, mereka mulai bergelut dan bergumul dengan ide yang dituangkan dalam karya-karya nyata.
Yesus barangkali seorang pencinta malam atau paling kurang suasana sepi dan sunyi. Ketika Dia mau menjalin relasi dengan Bapa-Nya di Sorga, Ia selalu menyisihkan waktu untuk mencari suasana sunyi dan sepi untuk memulai berdoa. Pada saat malam sebelum menjalani sengsara dan kematian-Nya, Yesus berdoa seorang diri di malam sunyi pada taman Getzemani. Dia tidak hanya memanfaatkan waktu untuk berdoa tetapi juga “menjinakkan” niat-Nya untuk tetap pada keputusan Bapa dalam menjalani kehidupan baru, yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.***(Valery Kopong)
BURUNG-BURUNG

Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang dibuat oleh Yesus, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung, Salomo, yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan. Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasih-Nya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya.
Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Sampai akhirnya ia mendirikan tiga biara besar (SVD, SSpS, SSpS Adorasi Abadi) yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.*** (Valery Kopong)
PADI


Ketika menjalani masa live in di Yogyakarta, hampir setiap hari aku dan Bapak Wagimin pergi ke sawah. Saat matahari menyapa sang petani dengan tebaran sinarnya, Bapak Wagimin seakan terus didukung untuk membenamkan langkahnya di pematang sawah. Sebagian besar hamparan padi yang sedang menguning dikunjunginya. Padi pun terus bergoyang diterpa angin dan ia (padi) terus bergoyang dalam ketertundukkan. Goyangan padi yang menguning mengisyaratkan sebuah pepatah yang tak lekang oleh panas dan tak akan lapuk jika terkena hujan.
“Semakin berisi semakin merunduk.” Inilah sebuah baris pepatah yang menghantui setiap perjalanan anak manusia. Melihat padi berisi dengan posisi merunduk, sepertinya melihat para intelektual yang walaupun kemampuan berpikir mereka sudah matang dan perlu terwujudkan nilai kesederhanaan di tengah dunia yang semakin pongah.
Kepribadian Yesus sendiri adalah pribadi yang rendah hati. Ia selalu merunduk, selain sebagai bentuk ketaatan-Nya pada Bapa namun juga berani bersolider dengan manusia. Kelahiran-Nya di Betlehem, sebuah kandang yang hina, dapat dilihat sebagai bentuk kesederhanaan Allah yang terjelma dalam diri Yesus. Bahkan ketika Dia meninggal, Ia dikuburkan pada kubur batu yang juga merupakan sebuah pinjaman. Apakah keberadaan-Nya ini merupakan sebuah takdir yang terencana sebagai bentuk keberpihakan Allah akan manusia?
Seperti padi yang selalu merunduk, tanda kesederhanaan dan memberikan dirinya sebagai santapan manusia, demikian juga Yesus. Ia memperlihatkan jalan kesederhanaan dan berani mendengarkan orang-orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai kaum buangan. Kehadiran-Nya membawa nuansa baru bahkan membawa kehidupan baru bagi mereka yang lemah ditengah ketakberdayaan.***(Valery Kopong)
MATA AIR

Di hutan yang masih perawan itu, terdapat mata air yang mengalirkan sungai dan memberikan kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Mata air sebagai sumber air yang menawarkan kesuburan dan kesegaran senantiasa bertahan di tengah terpaan musim. Pergantian musim, dari musim penghujan ke musim kemarau, seakan tidak berpengaruh pada debit air yang selalu siap memberi kesegaran dan menawarkan dahaga bagi yang haus.
Kehadiran Yesus di tengah dunia ibarat mata air sejati. Ia selalu menawarkan kesegaran iman bagi mereka yang telah kehilangan harapan. Karenanya, percaya pada Yesus berarti membiarkan iman kita tersirami dengan air kasih-Nya. Tetapi apakah mungkin iman setiap orang tersirami secara sempurna oleh Yesus? Beriman berarti sebuah bentuk penyerahan diri secara total kepada-Nya dan dalam proses penyerahan diri, seseorang selalu membuka diri bagi-Nya dan membiarkan Yesus hidup di dalam dirinya sendiri.
Santo Paulus yang dikenal sebagai rasul terbesar dalam Gereja katolik, dimatangkan imannya oleh pengalaman dalam Dia. Para pengikut Yesus, yang dahulunya disiksa dan dianiaya olehnya tetapi kemudian setelah peristiwa Damsyik (Peristiwa jatuhnya Saulus dari kudanya) menjadi pengalaman yang berharga dalam membangun kondisi hidupnya. Hatinya yang keras dan selalu mau mematahkan hidup bagi yang percaya pada Yesus, justeru dicairkan oleh Yesus. Imannya yang dulunya gersang dan tandus, jauh dari sentuhan-Nya, kini tersirami kembali berkat daya kekuatan Roh Kudus.
Betapa besar kasih Yesus. Kasih-Nya seluas samudera dan cinta-Nya sedalam lautan telah diperlihatkan kepada siapa saja yang percaya pada-Nya. Di sini, dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk dibenah hidupnya dan disegarkan imannya. Saulus yang dulunya dikenal sebagai penjahat telah diperkenalkan secara baru bagi kita, yakni Paulus. Ia mendapat tugas istimewa untuk mewartakan sabda Allah, tidak hanya dalam lingkungan Yahudi melainkan di luar lingkungan Yahudi. Ia (Paulus) menjadi pewarta karena daya Roh Kudus. Pengalaman Damsyik tidak hanya menjadi pengalaman Paulus semata tetapi juga menjadi pengalaman kita semua yang senantiasa membuka diri bagi Tuhan dan rela dituntun ke jalan yang benar.*** (Valery Kopong)

Friday, June 4, 2010

DIBAPTIS UNTUK MENJADI ANAK ALLAH

Pembaptisan merupakan peristiwa penting dalam Gereja Katolik. Melalui pembaptisan, seseorang diterima secara resmi untuk masuk menjadi anggota Gereja. “Anda telah dibaptis dan resmi menjadi anggota Gereja dan Anak Allah,” demikian Pastor Charles Javlean, Pr. Hal ini disampaikan dalam khotbahnya ketika mempermandikan 84 orang dewasa. Pembaptisan dewasa yang berlangsung pada Minggu, 14 Maret 2010 di Gereja Stasi Santo Gregorius ini merupakan kelompok baptis yang dipersiapkan untuk Paskah tahun ini. Karena terlalu banyak orang yang dibaptis dan dalam pembaptisan itu masih ada lagi sakramen yang diterimakan maka dengan alasan ini pembaptisan didahulukan sebelum pelaksanaan Paskah. Walaupun pembaptisan tidak terlaksana persis pada malam Paskah tetapi suasana pembaptisan berjalan dengan khidmat. Ada rasa haru dan sedih yang terlihat pada wajah calon baptis. Beberapa pasangan yang dibaptis dan menerima sakramen krisma dan perkawinan merasa haru karena mereka sudah mendambakan pembaptisan serta perkawinan secara katolik selama belasan tahun.
Sebelum dibaptis, mereka semua dibimbing dan dipersiapkan untuk mengenal Kristus secara lebih mendalam. Menurut Fredy, salah seorang pembimbing para katekumen ketika ditemui, menuturkan bahwa hampir 6 bulan mereka dibimbing dan dalam proses bimbingan itu selalu dipantau soal komitmen dan keseriusan para calon.
Mereka yang dibaptis untuk menjadi katolik umumnya dikarenakan perkawinan yang beda agama. Dalam peristiwa ini, tidak hanya sakramen pembaptisan yang diterima tetapi juga sakramen krisma dan bahkan bagi pasangan yang sudah berkeluarga,langsung menerimakan sakramen perkawinan. Upacara pembaptisan ini dimeriahkan oleh koor inti Stasi Gregorius kota Bumi – Tangerang, di bawah pimpinan bapak Yulius Totok. ***(Valery Kopong)
AIR MATA KEBERPIHAKKAN
(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?
Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia ini.
Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negara ini. Kekayaan negara kita bukan lagi kandungan bumi atau hasil-hasil hutan tetapi kekayaan baru yang terhimpun adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.
Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan anak negeri ini untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat negeri ini?
Beberapa penggalan puisi Tanah Air Mata berikut ini dapat menginformasikan sebuah kepolosan tentang gejolak batin dan sekaligus gejolak kehidupan negeri ini. Kami coba simpan nestapa // Kami coba kuburkan duka lara // Tapi perih tak bisa sembunyi // Ia merebak ke mana-mana // Bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu // Namun kalian tak bisa menyingkir // Ke mana pun melangkah // Kalian pijak air mata kami // Ke mana pun terbang // Kalian kan hinggap di air mata kami // Ke mana pun berlayar // Kalian arungi air mata kami // Kalian sudah terkepung // Takkan bisa mengelak // Takkan bisa ke mana pergi // Menyerahlah pada kedalaman air mata
Derita, nestapa seperti yang diproklamirkan dalam puisi tak akan tersingkir dari kehidupan ini. Mereka telah berusaha untuk menguburkannya tetapi derita yang sama masih tetap berdenyut. Semakin dalam derita itu terkubur, semakin cepat pula denyutannya. Kehidupan dan penderitaan tak terpisahkan dari ruang lingkup masyarakat kecil, ia diibaratkan sebagai dua jantung yang berada dalam satu denyutan.
Kekuatan sebuah puisi bukan semata-mata terletak pada siapa penulisnya, dalam hal ini seorang penyair tetapi lebih dari itu terletak pada kata-kata yang dipakainya. Kata-kata menjadi “anak panah” dan mulut seorang penyair adalah “busurnya” yang sanggup menikam lawan (pembaca) dengan ketajaman kata-kata. Beberapa penyair yang terkenal keberpihakkannya terhadap masyarakat kecil, lebih memilih permainan kata-kata untuk mengeritik penguasa dan menggilas pemikiran mereka yang terkesan angkuh. W.S. Rendra misalnya, selalu tampil dengan puisinya untuk merobek tirai keangkuhan para pejabat dan berani menyatakan keberpihakkan pada mereka yang dianggap sebagai limbah politik kekuasaan. Penguasa dan kekuasaan, bagi Rendra, bukanlah sesuatu yang mutlak tetapi merupakan peluang yang perlu dikritik.
Sutardji pernah menulis bahwa “puisi adalah alibi kata-kata.” Dengan mengatakan demikian maka kata-kata yang mengisi sebuah bangunan puisi diberi kesempatan untuk menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut. Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai

kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu. Seorang penyair menangkap realitas dan disublimasi dalam kata-kata dan kata-kata tersebut memberi makna pada sebuah puisi. Tetapi untuk memaknai secara mendalam sangat bergantung pada siapa pembaca puisi tersebut yang sanggup membedah makna dengan pisau pemikiran yang tajam dan jernih.****
DARI GEREJA ‘LESEHAN’ MENUJU GEREJA ‘WARTEG’

Ketika menelusuri sejarah perjalanan Stasi St.Gregorius yang sedang berproses untuk beralih status menjadi sebuah paroki mandiri, tentunya ada banyak kisah yang ternokta pada ‘peta’ perjalanan penuh makna. Memaknai kisah perjalanan ini adalah sebuah momentum bersejarah dan setiap umat punya alasan untuk menilik kilas balik arah perjalanan Gereja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari realitas sosial. Pengalaman perjumpaan dengan realitas sosial turut serta membentuk karakter Gereja ini, apakah menjadi Gereja yang inklusif atau menjadi Gereja yang eksklusif? Dua ciri Gereja yang dibangun ini merupakan cerminan masa lampau dalam pola pembentukan, baik oleh umat sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Keberadaan Gereja Stasi St. Gregorius pada masa awal, hanyalah merupakan kumpulan kelompok kecil umat yang semuanya adalah masyarakat perantau. Sebagai masyarakat perantau, biasanya membentuk paguyuban ataupun komunitas doa sebagai jalan untuk mengenal satu terhadap yang lain dengan mencontohi Kristus sebagai landasan dasar dalam beriman. Kristus telah datang dan mempersatukan orang-orang yang mengikuti-Nya. Dengan membentuk kelompok kecil antarsesama katolik maka lama kelamaan menjadikannya sebagai sebuah lingkungan dan bisa berkembang menjadi sebuah wilayah, stasi dan bahkan sebuah paroki. Perkembangan umat ini selalu mengikuti alur pembukaan perumahan baru.
Merunut kisah Stasi ini, hanya bermula dari umat yang terhimpun pada lingkungan Bernadus. Lingkungan ini terdiri dari 70 KK, dan pada tahun 1990 bertambah menjadi 150 KK. Walaupun ada perkembangan penambahan umat tetapi mereka masih bernaung di bawah lingkungan Bernadus. Tahun 1993 berkembang menjadi 2 lingkungan dan semuanya berada di wilayah Kota Bumi.
Keberadaan lingkungan ini tidak terlepas dari Paroki Santa Maria Tangerang. Jumlah umat yang minim ini tidak lalu diabaikan oleh pihak paroki terutama perhatian pastor paroki. Romo Bin yang saat itu menjabat sebagai pastor paroki, memberikan respons positif terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh lingkungan yang tergolong masih sepi ini. Sebulan sekali pastor paroki mempersembahkan ekaristi bagi umat di lingkungan Bernadus. Sebenarnya misa bulanan ini dilakukan sebagai usaha untuk meredam pengeluaran biaya transportasi bagi umat yang rata-rata berasal dari ekonomi lemah karena sebelumnya, umat di lingkungan Bernadus harus mengeluarkan biaya transportasi apabila mau ke Gereja Santa Maria. Dengan misa bulanan ini maka terjadi penghematan secara ekonomis namun menambah kekayaan dari sisi rohani.
Misa bulanan ini dilakukan di aula milik developer yang waktu itu dijadikan sebagai tempat belajar dan bermain bagi TK Maria Mediatrix. Karena perkembangan umat semakin hari semakin bertambah maka tahun 1993, pelayanan ekaristi dilaksanakan di sekolah Maria Mediatrix dengan menempati beberapa ruangan.

Gereja “Lesehan”
Bapak Bonefasius Dalyo, ketua Dewan stasi pertama selalu memberi spirit bagi tumbuh-kembangnya iman dan kebersamaan umat. Kehadiran dan pola kepemimpinannya yang humanis, memungkinkan terjadinya komunikasi yang komunikatif hingga terjalinnya sebuah persaudaraan sejati antarumat. Kepemimpinannya telah membawa kisah perjalanan umat dari Maria Mediatrix ke GSG yang pada tahun 1994 mulai dibangun dan pada tahun 1995 sudah mulai diadakan misa. Menurut penuturan Bapak Dalyo ketika dikonfirmasi, misa yang berlangsung di GSG pada saat-saat awal cukup memprihatinkan. Gedung sudah dibangun tetapi belum adanya bangku di gedung tersebut karena itu diharapkan masing-masing umat yang hadir dalam perayaan ekaristi untuk membawa “tikar” pribadi untuk berlesehan bersama umat lain sambil menikmati siraman rohani dari sang pastor.
Keadaan yang serba kekurangan, baik tempat duduk yang belum ada maupun jalanan yang becek menuju GSG tetapi itu tidak menyurutkan semangat umat untuk mau datang dan bersama umat lain terlibat dalam perayaan ekaristi. Ekaristi dalam nuansa seperti saat awal yang dirasakan oleh umat Gregorius tidak lebih sebagai pesta rakyat, tempat di mana masyarakat menuai kegembiraan. Tetapi apakah kondisi seperti ini terus bertahan dalam deraan zaman?
Sejak pelayanan pastoral dipusatkan di GSG, perkembangan umat semakin membludak, tidak hanya umat yang berdomisili di Kota Bumi saja tetapi sudah merambah ke wilayah lain seperti Sangiang, Regency bahkan berujung pada Rajeg. Wilayah-wilayah ini menjadi basis utama umat katolik dan menjadi harapan bagi keberlangsungan Gereja ini.
Membangun Gereja Warteg
Sebagian besar umat yang terhimpun pada Gereja Stasi St.Gregorius umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, guru dan sedikit sekali dijumpai para pengusaha. Dengan populasi umat yang ragam, terutama dari mata pencaharian maka Gereja ini diharapkan membuka diri dan merangkul semua pihak yang memiliki obsesi demi pengembangan Gereja ini. Eksistensi Gereja ini tidak lebih sebagai sebuah ‘Gereja Warteg’ yang berani menghimpun dan memberikan perhatian pada umat yang secara ekonomis masih tergolong kelas menengah ke bawah. Menjadi Gereja Warteg, berarti Gereja berani bersedia mendengar jeritan umat dan bahkan Gereja sendiri harus membela orang-orang yang tertindas.
Keberadaan Gereja di tengah masyarakat, memungkinkan terbangunnya sebuah relasi yang intens terutama mereka yang non katolik agar darinya terpancar kasih dan persaudaraan yang telah kita terima dari Yesus Sang Guru Agung. Memberi perhatian kepada sesama adalah bukti bahwa dalam diri umat masih ada cinta dan kasih yang membara.*** (Valery)
“ABDI PARA ABDI ALLAH”

Servus Servorum Dei, abdi para abdi Allah. Begitulah Paus Gregorius menyebut dirinya. Sebutan ini juga menjadi sebuah julukan bagi jabatan Paus di Roma. Mengabdi pada umat, apalagi berani menjadi pelayan merupakan sebuah pekerjaan yang sulit dilakoni. Namun orang-orang tertentu yang menyadari spiritualitas pelayanan kristiani, menjadi seorang pelayan ketika menjadi pejabat adalah sesuatu yang lumrah. Spiritualitas pelayanan kristiani adalah spiritualitas gerak turun, mengikuti peristiwa inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia. Itu berarti setiap orang harus rendah diri dan mengambil pola pelayanan pada komunitas kelas bawah.
Cita-cita untuk melayani dan menjadi abdi umat selalu menggaung dalam diri Gregorius. Ia dilahirkan di kalangan bangsawan (Aristokrat). Gregorius lahir di Roma pada tahun 540. Ibunya Silvia dan dua orang tantenya, Tarsilla dan Aemeliana, dihormati pula oleh Gereja sebagai orang kudus. Ayahnya Geordianus, tergolong kaya raya; memiliki banyak tanah di Sicilia dan sebuah rumah indah di lembah bukit Ceolian, Roma. Selama masa kanak – kanaknya, Gregorius mengalami suasana pendudukan suku bangsa Goth, Jerman atas kota Roma; mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun demikian, Gregorius menerima suatu pendidikan yang memadai. Ia pandai sekali dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialetika.
Kehidupan dalam lingkup keluarga bangsawan tidak membuat ia berbesar kepala terhadap orang di luar kelompok Aristokrat. Cita-cita awal menjadi pemimpin dan pelayan, memungkinkan ia untuk belajar berendah hati dan mau bersolider dengan siapa saja. Pada usia 33 tahun ia menjadi Prefek kota Roma, suatu kedudukan tinggi dan terhormat dalam dunia politik Roma saat itu. Kedudukan duniawi diperoleh karena didukung oleh keluarga berdarah biru itu. Tetapi apakah jabatan politik yang diemban membuat ia lupa akan yang lain dan terus mempertahankannya?
Jabatan politis itu tidak selamanya abadi. Melalui jabatan tersebut belum membuka “ruang” baginya untuk membaktikan diri secara penuh bagi Allah. Ia pada akhirnya memilih jalan Tuhan. Tuhan memanggil dan menghendaki Gregorius untuk berkarya di ladang anggur-Nya. Gregorius meletakkan jabatan politiknya dan mengumumkan niatnya untuk menjalani kehidupan membiara. Ia menjual sebagian besar kekayaannya dan uang yang diperolehnya dimanfaatkan untuk mendirikan biara – biara. Ada enam biara yang didirikan di Sicilia dan satu di Roma. Di dalam biara – biara itu, ia menjalani kehidupannya sebagai seorang rahib. Namun ia tidak saja hidup di dalam biara untuk berdoa dan bersemadi, ia juga giat di luar; membantu orang – orang miskin dan tertindas, menjadi diakon di Roma, menjadi Duta Besar di istana Konstantinopel. Pada tahun 586 ia dipilih menjadi Abbas di biara Santo Andreas di Roma. Di sana ia berjuang membebaskan para budak belian yang dijual di pasar – pasar kota Roma.
Pada tahun 590, dia diangkat menjadi Paus. Dengan ini dia dapat dengan penuh wibawa melaksanakan cita – citanya membebaskan kaum miskin dan lemah, terutama budak – budak dari Inggris. Ia mengutus Santo Agustinus ke Inggris bersama 40 biarawan lain untuk mewartakan Injil di sana. Gregorius adalah Paus pertama yang secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia. Ia memimpin Gereja selama 14 tahun dan dikenal sebagai seorang Paus yang masyur, negarawan dan administrator ulung pada awal abad pertengahan serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Karena tulisan – tulisannya yang berbobot, dia digelari sebagai Pujangga Gereja Latin. (Valery, dari berbagai sumber*)
A P I
Oleh: Valery Kopong*
Prometheus, nama yang bisa didapatkan dalam mitologi Yunani. Ia sempat mencuri api di dunia khayangan, dunia para dewa dan dewi. Karena perbuatannya ini maka Prometheus menjadi santer namanya di masyarakat bahkan menjadi buah tutur penghuni kampung itu. Ada jalan baru, ada terobosan baru mengenai perombakan pola hidup manusia yang didesain dengan bertitik tolak dari api yang merupakan hasil curian. Suasana sebelum adanya api begitu suram, sepertinya hidup di ruang tak berpenghuni. Prometheus telah mengubah situasi. Ia telah membakar semangat orang-orangnya dan mengubah pola hidup baru dalam masyarakatnya.
Prometheus dianggap sebagai sang pembaharu, seorang reformis yang telah menata kehidupan manusia melalui “api kesadaran.” Api telah menjadi milik manusia dan digunakan untuk membantu seluruh aktivitasnya. Sebagian besar hidup manusia bergantung pada api. Api menjadi daya dorong untuk memunculkan energi baru. Ia (api) selalu menularkan “nyala” sebagai penyuluh hidup manusia dan “membagi bara” untuk membakar kesadaran manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keberadaan api, selain memberi semangat hidup bagi orang sezamannya tetapi juga dapat menggapai cita-cita mengubah dunia yang tak pernah berkesudahan. Perjuangan Prometheus tak mengenal lelah. Usahanya adalah memberi bentuk dan warna kehidupan manusia lewat visi yang futuristik. Perjuangan untuk menggapai api dan memilikinya ibarat menggapai sebuah mimpi. Mimpi untuk mengubah hidup dan menggerakkan roda kehidupan manusia.
Api menjadi simbol dan motor primum, penggerak utama yang memobilisasi manusia untuk menata hidupnya. Melihat api, berarti melihat perubahan baru karena ketika api membakar di tempat-tempat tertentu, di sanalah ada perubahan yang muncul. Perubahan yang muncul bisa membawa nilai positip ataupun nilai negatip terhadap manusia.
Semangat manusia tak lebih dari api. Kalau api selalu membawa perubahan baru bagi manusia, maka dalam diri manusia sendiri selalu ada gerakan perubahan, mobilitas yang mengarah pada pembaruan hidup. Dalam diri manusia selalu ada “semangat,” ada gairah yang membawa manusia menuju ke situasi yang lain. Di dalam “bara api semangat manusia” tersembul daya dorong yang sanggup mengilhami pemikiran untuk membuka sekat-sekat pemisah yang menjadi kendala untuk berubah. Perubahan itu ada dalam diri setiap manusia, tetapi sejauh mana manusia merasakan getaran perubahan dalam dirinya?
Ketika manusia merasakan daya dorong dalam dirinya untuk mau berubah, maka pada saat yang sama, ia (manusia) mau membuka diri dan membiarkan getaran dorongan itu menguasai dirinya. Bertitik tolak pada daya dorong, memungkinkan seseorang untuk mau tampil secara berbeda di setiap generasi yang berbeda pula. Di titian generasi yang berbeda, setiap manusia menampilkan “elan vita,” daya hidup yang sanggup menghidupkan manusia sendiri.
Musa, seperti yang diceritakan dalam kitab suci, telah melihat api yang menyala di semak-semak duri. Api yang menyala ramah merupakan bentuk peringatan Tuhan akan dirinya. Nyala api di semak duri adalah simbol peringatan Tuhan bahwa di tempat di mana ia pijak adalah suci, karena itu ia harus menanggalkan sandal. Peringatan Tuhan lewat nyala api mengubah pola kepatuhan Musa. Ia, Musa, tanpa kompromi menanggalkan kedosaan (baca: sandal / alas kaki) untuk masuk ke dalam suasana baru, suasana suci. Api (nyala api) seakan telah mempurifikasi dirinya untuk layak masuk ke dalam ruang yang lain, ruang suci. Nyala api di semak duri membuka kesadaran Musa untuk melihat kembali relasinya dengan Allah. Lewat nyala api, ia diingatkan, dengan siapa ia sedang berkomunikasi?
Berkomunikasi dengan Allah menampilkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, melalui nyala api, Allah mau menunjukkan kepada manusia (melalui Musa) tentang kemahakuasaan dan kedasyatan dalam menguasai semesta alam. Dan di sisi lain, Ia juga menyadarkan manusia tentang pembersihan diri, purifikasi . Allah memberi kesempatan dan menggugah kesadaran agar manusia sendiri menyadari dosa-dosa sebelum membangun relasi dengan Allah. Pertobatan dan pembersihan diri merupakan jembatan ampuh yang dapat menghubungkan manusia dan Allah.
Ketika para rasul berada dalam ruang yang sunyi setelah Yesus terangkat ke sorga, turunlah Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api. Kehadiran Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api membawa perubahan bagi para murid. Mereka disanggupkan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Seluruh kehidupan para rasul dirasuki oleh Roh Kudus yang memberi semangat untuk mewartakan kabar gembira ke penjuru dunia. Roh Kudus yang sama yang turun dalam bentuk lidah-lidah api menyulut umat-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada siapa saja. Api Roh Kudus selalu membara dan mengembangkan “sayap lidah-lidahnya” ke penjuru dunia. Ia (Roh Kudus) menjiwai dunia dengan “nyala api kesadaran” dan membangunkan umat-Nya (baca: Gereja) untuk terus mewartakan Injil ke penjuru dunia.
Api menjadi simbol daya hidup karena di dalamnya ada semangat beralih (passing over spirituality). Setiap manusia terdorong untuk beralih, sekaligus membuka diri bagi yang lain. Cita-cita untuk beralih merupakan kerinduan dasar manusia. Dalam kerinduan untuk menggapai sesuatu yang lain, kita terbentur pada pertanyaan nakal, untuk apa dan mengapa?***