Tuesday, June 14, 2011

Rebut, Sekali Lagi Rebut

Oleh Yoseph G Lema (Novelis, warga Kota Kupang)

SAAT kita sedih karena tak memiliki uang untuk membeli beras, sayuran, lombok, garam, bahkan ubi lapuk, patut diduga semua itu akibat ulah koruptor. Ketika kita cemas, gelisah dan takut karena tak mampu membayar rekening listrik, air dan telepon, yakinlah itu pun mungkin saja dampak dari sadisnya sepak terjang koruptor.
Ketika kita menangis karena tak sanggup membayar biaya sekolah anak-anak, membeli seragam dan alat tulis mereka, ini pun bisa jadi akibat brengseknya para koruptor. Dan ketika kita pasrah menunggu ajal akibat tak sanggup membayar biaya rumah sakit, dokter, bidan, dukun atau orang pintar, bukan tak mungkin ini pun akibat kerakusan koruptor.

Media cetak dan elektronik memberitakan sadisnya perampokan bersenjata, pencurian, copet, mencuri dengan cara hipnotis, bobol mesin ATM, perkelahian antargeng memperebutkan wilayah kekuasaan ekonomi jalanan, penodongan, curanmor, penipuan melalui telepon, gizi buruk, busung lapar, narkotika, miras, judi, jual diri, jual martabat, jual nurani, jual jiwa, jual semuanya, ini pun diyakini sebagai dampak dari kerakusan koruptor.
Demikian pula dengan jalan-jalan rusak di bawah umur teknis, bendungan jebol, jembatan layang ambrol, gedung-gedung runtuh, saluran drainase pecah, jatuhnya pesawat udara, gagal tanam, gagal panen, ketiadaan pupuk dan pestisida, ketiadaan air bersih, hutan-hutan gundul, bencana banjir, bencana alam, semuanya disinyalir akibat ganasnya keserakahan koruptor.
Ilustrasi di atas memperlihatkan Indonesia sebagai negerinya para koruptor. Sarang koruptor. Seluruh denyut kehidupan didominasi hembusan nafas koruptor.
Udara yang mengisi langit di atas nusantara dari Sabang sampai Merauke seolah terbentuk dari bau busuk tarikan nafas koruptor. Koruptor bahkan telah menjadi darah, daging, otot, tulang, saraf dan jantung republik ini. Mereka beranak pinak, membibit virus korupsi dalam diri setiap anak bangsa. Kapan saja, di mana saja virus korupsi menjangkiti seantero negeri.
Dengan gampang kita bisa mengenali para koruptor. Penampilannya selalu menarik. Duit banyak, busana mahal, rumah mewah, mobilnya pasti bagus. Nafas dan tubuhnya wangi. Para penjilat memuji kentut si koruptor, katanya wangi, menebar aroma uang.
Di ujung tanduk
Kita salah satu negara terkorup di dunia. Hukum diperjualbelikan. Si miskin dilindas, ditindas. Kecewa dan sakit hati meradang.
Amuk massa di mana-mana. Neraka jahanam di depan mata. Api menyala, membakar nilai-nilai. Kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesucian diberangus. Persatuan retak, sebagian pecah, bahkan hancur berkeping-keping. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika seperti cawan di ujung tanduk. Oleng, terombang-ambing tak karuan. Sekiranya jatuh, pasti hancur, berantakan, berserakan, berdarah-darah dari Sabang sampai Merauke.

Negeri ini di ujung tanduk. Sekarat, menanti ajal. Masing-masing mulai berkemas. Berjaga-jaga, bila hari itu tiba. Hari naas, bermandi darah dan air mata. Namun, pemudanya masih sibuk berdemo. Masih doyan bermain-main di jalan. Bawa spanduk, plakat, poster, karikatur, sambil menghujat, caci maki lewat pengeras suara. Kemudian bakar ban, bakar aspal, bakar mobil, bakar gedung, bakar nilai-nilai, bakar jiwa, bakar diri, bakar semuanya.

Ternyata visi pemuda kita masih seperti zaman doeloe. Seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bisanya cuma jalan bergerombol, berdemo, caci maki, lempar batu dan bakar-bakaran. Malah sebagian berdemo karena dibayar koruptor. Mati-matian membela dan melindungi kepentingan koruptor dan keluarganya. Ironis. Negara sudah bangkrut, pemudanya masih berada di jalan yang salah. Negara di ujung tanduk, pemudanya masih berhamba, menjilat dan menetek pada koruptor.
Rebut
Masih relevankah pemuda turun ke jalan? Masih pantaskah pemuda berdemo, berteriak-teriak, mencaci maki dan bakar-bakaran? Masih pantaskah pemuda saling lempar batu dengan aparat keamanan? Dan terbunuh?
Dalam kondisi negeri serba kacau-balau seperti sekarang sudah saatnya pemuda mengubah haluan perjuangan. Pemuda tidak boleh lagi hanya sekadar menjadi alat. Sebab kondisi republik hari ini menuntut Pemuda tampil sebagai penyelamat dalam artian sebenarnya. Bangsa dan negara ini membutuhkan pemuda sebagai pembuat sejarah baru.

Suka atau tidak suka, pemuda harus mengambil peran sebagai lokomotif perubahan. Hari ini juga, pemuda harus keluar dari jalan raya, sebab disana terbuki tidak memberikan jalan keluar bagi perbaikan nasib bangsa ini.
Berhentilah berbangga karena telah menggulingkan rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno pada tahun 1965 silam, yang nyatanya hanya melahirkan rezim Orde Baru yang sama buruknya. Berhentilah menepuk dada karena telah menggulingkan rezim Orde Baru dibawa kepemimpinan Pak Harto pada tahun 1998 silam yang ternyata hanya melahirkan Orde Reformasi yang kebusukannya melebihi dua orde sebelumnya.
Sekali lagi, berhentilah bermain-main di jalan raya.
Berhentilah menggadaikan nyawamu untuk sesuatu yang sia-sia. Hari ini juga, sekarang juga, rebutlah kekuasaan itu. Sudah lama rakyat menunggu tampilnya pemuda sebagai juru selamat. Selamatkan negeri ini dari cengkraman tangan kuat para koruptor. Mereka ada di mana-mana, tiap saat menghisap darah rakyat. Daging, darah dan belulang jelata dijadikan lauknya.

Karena itu, visi pemuda hari ini: Rebut. Sekali lagi, rebut dan rebut. Nyanyikan itu dengan lantang, teriakkan itu kepada angkasa raya. Katakan kepada langit, awan, bintang, matahari, hujan, guntur, kilat, laut, sungai, gunung-gunung dan bumi tempat berpijak, bahwa hari ini kami bertobat. Tobat. Hari ini kami menanggung dosa orang tua kami, leluhur kami, nenek moyang kami yang telah bersalah pada Ilahi, pada alam semesta, pada jagad raya dan bangsa ini. Bersalah pada nurani yang suci, tulus dan putih. Bersalah pada Ibu Pertiwi.
Walikota atau bupati
Indonesia sudah rusak. Ibarat ikan, busuknya dari kepala sampai ekor. Saat ini ‘ikan busuk itu’ mulai hancur dalam genggaman kolaborasi penguasa dan pengusaha. Dari pusat sampai ke daerah-daerah telah terjadi ‘perkawinan jahat’ antara penguasa dan pengusaha. Karenanya, tidak mungkin kita memperbaiki Indonesia dimulai dari pusat. Kenapa? Karena di pusat bukan masalah saja yang melilit bagai benang kusut, tapi kepentingan pun minta ampun kusutnya.

Itu sebabnya, pemuda tak perlu rebut kursi presiden. Tidak penting. Tak perlu merebut kursi menteri. Lebih tak penting. Tak perlu merebut kursi dirjen atau juru bicara. Itu hanya sekadar gaga-gagahan dan membuang-buang waktu. Tak perlu juga merebut kursi gubernur. Kurang penting. Yang harus direbut hari ini, saat ini juga adalah kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Rebut, rebut, rebut. Hari ini, saat ini juga pemuda harus rebut.

Kenapa? Karena otonomi daerah ada di kabupaten/kota. Pemuda mempunyai peluang untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa ini dengan menggunakan teori ‘bubur panas’. Kita memperbaiki bangsa ini dari pinggiran. Dari kabupaten/kota. Yang pasti luas wilayah kabupaten/kota kecil.
Jumlah penduduk pun sedikit. Bila pemuda di suatu kabupaten/kota bersatu padu, berkomitmen mensejaherakan rakyat di daerahnya, yakinlah seluruh rakyat pasti bangkit, bahkan dengan segala kemampuan yang ada akan mendukung. Melalui jalur independen pasangan pemuda berpeluang memenangkan kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Pemuda harus berani memulai, yakinlah rakyat pasti berdiri tepat di belakang kalian.

Kenapa jalur independen? Karena inilah pintu rakyat. Pintu yang bersih. Pintu yang memancarkan energi positip. Pintu lainnya, maaf, sekali lagi maaf, karena aromanya sungguh tak sedap dan tak memberi sedikit pun harapan bagi perbaikan bangsa ini. Dalam jangka panjang pintu-pintu kotor dan busuk ini pun harus direbut dan dibersihkan dari penyakit kotor warisan koruptor.
Musa
Lantas siapakah pemuda itu? Banyak kriteria bisa diperdebatkan. Namun yakinlah pemuda yang saat ini dibutuhkan adalah pemuda yang memiliki kepekaan plus terhadap rakyat. Seperti kisah Musa pada Perjanjian Lama. Musa yang muda belia begitu gelisah hatinya ketika melihat penderitaan bangsanya.
Penderitaan orangtuanya, sanak keluarganya, kaum kerabatnya. Dengan bimbingan Tuhan akhirnya Musa menerima tanggung jawab membawa bangsanya menuju Tanah Terjanji. Empat puluh tahun lamanya mereka berkelana di padang gurun. Akhirnya sampai ke Tanah Terjanji yang bermandikan madu dan susu.

Pemuda seperti itulah yang kini dibutuhkan bangsa ini. Pemuda pemberani, cerdas, bermoral, jiwanya dipenuhi Roh Kudus. Yaitu pemuda yang sedang berada pada usia emas, lelaki atau perempuan, berusia antara 25 sampai 35 tahun. Karena inilah usia yang luar biasa, usia energik dan sarat idealisme. Pada usia ini ada semangat, gairah dan ambisi luar biasa untuk mencetak sejarah baru. Kita butuh pemuda yang mampu membuat sejarah kebaikan bagi bangsanya, bagi daerahnya, bagi tumpah darahnya tercinta.

Karena itu, bila skenario ini bisa dilaksanakan pada hari ini, maka 40 tahun (empat dasawarsa) berselang, ketika lima puluh persen (50 %) dari kabupaten/kota yang dipimpin pemuda mengalami perbaikan, maka yakinlah Indonesia sudah berubah. Bangsa ini sudah berada pada rel menuju kejayaan.
Wariskan yang benar
Kesalahan apa yang dilakukan Indonesia kemarin dan hari ini? Banyak. Salahnya teramat sangat banyak, sampai-sampai tak bisa dihitung. Kasus Bank Century, rekening gendut Polri, Anggodo, BLBI, ilegal loging, Gayus Tambunan, uang palsu dan masih seabrek kasus lainnya hanya merupakan sedikit contoh. Namun kesalahan paling fatal, ketika para pemimpin bangsa ini dari generasi ke generasi gagal mewariskan yang benar kepada generasi berikutnya.

Para pemimpin kita selalu mewariskan yang salah. Selama puluhan tahun para pemimpin bangsa ini berjalan di atas rel kebohongan. Bohong telah menjadi hal yang biasa bagi pejabat di republik ini. Dan semua orang menerimanya sebagai kewajaran, tak kecuali pemuda. Kebohongan berulang dari generasi ke generasi.
Karena itu, mata rantai pewarisan kebohongan harus diputus.
Tugas pemuda hari ini dan besok adalah memutuskan mata rantai itu. Pemuda harus menjadi cahaya yang mewariskan terang kebenaran. Urusan pemerintahan harus ditata secara benar. Urusan politik pun harus diramu dan dimasak dalam belanga nurani kebenaran. Urusan uang harus dikelolah dengan jujur.
Semua harus berjalan di atas rambu-rambu etika, moral, kejujuran dan kebenaran. Nilai-nilai kebaikan inilah yang harus ditumbuh kembangkan di dalam diri setiap anak bangsa, di dalam setiap rumah tangga negeri ini. *

Wednesday, June 8, 2011

Ekologi Savana versus Pertambangan (Apresiasi Jelang Terbitnya Buku ‘Ekologi Savana Kepulauan’)

Oleh Steph Tupeng Witin (Jurnalis, sedang meriset media di NTT (Pos Kupang dan Flores Pos))

PADA Sabtu (4/6/2011) lalu, penulis menghadiri diskusi draft buku ‘Ekologi Savana Kepulauan di Zona Tropika Semi Arid, Indonesia (Tipikal, Pemanfaatan dan Pengelolaan)’ di ruang rapat redaksi Pos Kupang.
Buku yang ditulis Dr. Ludji Michael Riwu Kaho ini menuntun peserta, khususnya penulis untuk menjelajahi lekak lekuk bentangan savana yang menyarungi kurang lebih 33,5 juta hektar wilayah NTT. Data ini menunjukkan bahwa savana (campuran hutan dan akar rumput) mendominasi wilayah NTT dan terus mengalami peningkatan sebanyak 126 juta hektar. Provinsi NTT berada pada urutan pertama proses penggurunan. Sebanyak 80% lahan berada pada tahap kritis dengan total hutan NTT hanya 12%.

Savana merupakan sumber daya dan potensi terluas di NTT yang bisa dimanfaatkan secara bijaksana untuk pengembangan pertanian, peternakan dan kehutanan.
Selain sebagai sumber daya untuk sektor kemakmuran, savana juga merupakan basis keanekaragaman hayati yang bisa menyimpan keanekaragaman hayati yang membentuk jejaring dan rantai kehidupan. Hal ini mesti dipahami secara benar sehingga kebijakan pembangunan tidak berlangsung secara serampangan atas nama proyek yang lebih mementingkan angka laporan di atas kertas sebagai medium pertanggungjawaban pragmatis minim realisasi tetapi pada saat yang memutus jejaring relasi hayati yang akan berdampak pada hancurnya ekosistem savana kita.

Pemahaman yang mendalam peri-hal realitas savana NTT sesungguhnya akan membentuk paradigma berpikir di kalangan elite politik birokrasi di NTT untuk merancang dan mengga-gas pembangunan yang khas ‘savana’ NTT.
Artinya, NTT tidak hanya seka-dar lahan untuk uji coba berbagai pro-yek mulia atas nama kelestarian ling-kungan tanpa memperhatikan konteks savana NTT. Proyek-proyek itu umumnya dilaksanakan hanya untuk mengamankan dana yang dikucurkan dari pusat (sebelum masuk kantong elite) untuk pertanggungjawaban birokratis yang berakhir dengan kegagalan yang beruntun.

Di berbagai belahan NTT ini kita akan mendengar kisah memalukan serupa: bagaimana proyek-proyek dinas kehutanan dan perkebunan lebih banyak gagal karena memaksakan menanam sebuah jenis pohon di atas tanah yang tidak cocok dengan tanaman proyek hasil kongkalikong dengan pengusaha sponsor dari luar NTT itu.
Buku yang akan terbit ini, merupakan sebuah karya gemilang dari putera NTT yang memiliki kepedulian tulus untuk keberlanjutan eksistensi tanah dan kehidupan rakyat. Sebagai karya ilmiah, buku ini membuka relung kesadaran segenap komponen NTT untuk lebih berempati dengan konteks tanah NTT sebagai investasi masa depan yang bernilai kekal. Buku ini merupakan kampanye ilmiah yang terbuka sebagai perlawanan kreatif terhadap kebijakan salah urus tanah NTT ini yang lebih berorientasi proyek, bermental pragmatis ala politisi murahan dan kehilangan kenegarawanannya untuk berpikir lebih subtil dan prospektif.

Buku ini adalah kampanye terbuka untuk melawan mental kapitalis yang membungkus dam membusuki banyak kebijakan pembangunan di NTT yang lebih pro investor ketimbang mengapresiasi berbagai potensi savana yang bisa dikembangkan secara arif selaras dengan falsafah lokalitas NTT.
Lebih tegasnya, buku ini mengeritik ‘kemurahan hati’ para pejabat (gubernur dan para bupati se-NTT) yang atas nama otonomi daerah dan peningkatan PAD yang tidak pernah meningkat-meningkat itu membiarkan tangan-tangan investor tambang mencabik dan merobek-robek ibu bumi NTT yang sudah kering dan tandus serta telanjur digeneralisir sebagai provinsi gagal panen dan busung lapar tiap tahun.
Dampak dari ‘kemurahan hati’ itu adalah hancurnya bentangan savana di beberapa bagian tubuh Pulau Flores, Timor dan Sumba dengan lobang-lobang besar yang menganga. Kita tidak bisa membayangkan lagi nasib NTT ini 10 tahun ke depan ketika tangan-tangan investor semakin serampangan mengeruk tubuh savana lalu pergi meninggalkan kehancuran.
Maka, buku ‘Ekologi Savana Kepulauan’ adalah gugatan intelektual anak NTT yang gelisah menyaksikan para korban tambang mangan di Timor yang hingga detik ini menurut catatan Pos Kupang telah merenggut 32 orang yang meninggal di lubang tambang. Inilah prestasi pemerintah Provinsi NTT sebagai implementasi konkret dari ‘kemurahan hati’ untuk memberikan izin kuasa pertambangan.

Buku ini mengajak rakyat NTT khususnya para elite birokrasi untuk lebih membumikan kepedulian dan solidaritas empatiknya terhadap realitas tanah NTT ini demi keberlanjutan generasi masa depan. Buku ini adalah ajakan profetis bagi kita semua untuk menjaga dan merawat tanah ‘savana’ NTT ini dari bencana kehancuran yang akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati akibat keserakahan ekonomis tak terkendali yang merasuki segelintir warga NTT yang kebetulan punya kuasa intelektual, politik dan uang.
Aksiologi
Buku adalah bank yang menerbitkan idealisme dan gagasan demi menata kehidupan. Tetapi buku tidak berhenti pada gagasan. Ia membutuhkan ruang impelementasi dan aksi konkret. Dia hadir tepat waktu ketika bumi NTT sedang dieksploitasi beramai-ramai oleh investor yang bersembunyi di balik ‘keluguan’ pemilik tanah dan ‘kemurahan hati’ para gubernur dan bupati yang tidak pada tempatnya.
Hal penting dari buku ini adalah inspirasi bernilai untuk lebih cepat bertindak demi mencegah bencana kehancuran yang lebih dahsyat lagi di masa depan. Ketika kita diam, kita sedang menyetujui proses penghancuran alam lingkungan sekaligus membuka gerbang kiamat ekologis yang lebih dahsyat. Gerbang kiamat ekologis adalah bencana bagi generasi masa depan yang akan lahir dari rahim keluarga-keluarga kita.

Komponen-komponen kritis NTT: pers/media, LSM, agama dan kaum intelektual ‘berhati populis’ dituntut untuk keluar dari menara status quo yang terasing dari dunia nyata tempat ilmu mereka mesti membumi.
Universitas-universitas kita, terutama fakultas-fakultas pertanian dan peternakan mesti lebih agresif merespon kenyataan savana NTT lalu berpikir mengembangkan pertanian dan peternakan untuk menjadikan NTT ini lumbung pangan lokal dan ternak. Kita harapkan agar universitas-universitas kita menghasilkan ahli pertanian dan peternakan ketimbang menghasilkan konsultan pertambangan.

And the last but not least! Ajakan kepada Gubernur NTT dan para elitenya (bupati) agar selaras antara kata/pidato dan tindakan. Gubernur NTT mengajak rakyat untuk mengem-bangkan pangan lokal (jagung), ternak dan cendana.
Tapi persis pada saat yang sama mereka menganjurkan pertambangan dan terus saja mener-bitkan izin kuasa pertambangan. Kontradiktif! Mungkinkah jagung, cendana dan ternak bisa hidup di dalam lubang bekas tambang? Jika izin kuasa pertambangan terus digelontorkan, di mana Angur Merah bisa didapat? Yang jelas : anggur tidak pernah tumbuh di lubang bekas tambang mangan.
Jika ini yang terjadi maka pidato gubernur dan para bupati persis baliho reklame di Jalan El Tari Kupang yang mengajak rakyat NTT untuk mencintai pangan lokal khas NTT: dia cuma pepesan kosong hanya untuk menggelikan nurani rakyat yang sudah muak dengan ketidakselarasan antara pidato dan implementasi konkret. *

Putaran Kedua Pemilu Kada Lembata

Oleh Antonius Prakum Keraf, Rohaniwan Katolik, bekerja di Larantuka


PEMILU Kada Lembata 19/5/2011 berbuntut 'putaran kedua' 4/7/2011. Apakah masyarakat cukup siap untuk pemilu kada putaran kedua? Saat ini mereka letih, jenuh, bahkan marah mendengar evaluasi Kementerian Otonomi Daerah tentang tata kelola pemerintahan di pulau itu yang diberi nilai merah!
Artinya tata kelola pemerintahan belum maksimal.

Tiga tahun ke depan bupati terpilih diberi tugas berat, membenahi sistem pembangunan saat ini sebelum dinyatakan 'tidak mampu' dan harus bergabung ke kabupaten induk Flores
Timur. Sekaranglah saat yang tepat masyarakat Lembata memaknai pemilu kada putaran dua untuk menemukan paket penyelamat Lembata yang sesungguhnya!!

Jilid dua
Ribuan peserta pemilih lebih suka golput pada pemilu putaran satu! Sebagiannya ikut memilih tetapi hanya mau merusak surat suara mereka dengan mencoblos hampir dua atau tiga paket! Perilaku reaktif itu bagian integral dari suatu proses politik yang tidak fokus pada keprihatinan hidup masyarakat! Di kabupaten baru itu para politisi memainkan jurus-jurus politik 'hiruk-pikuk' memburu nafsu dan kepentingan! Masyarakat kecewa, marah! Kebutuhan mereka secara sosial, ekonomi dan politis tidak terjawab secara semestinya. Jeritan penderitaan mereka tenggelam di lautan gesekan kepentingan para politisi lapar uang.

Tidak heran jika amarah, kebencian yang mengkristal itu meluap dalam perilaku reaktif pada pemilu kada putaran satu. Terbukti, satu dusun di salah satu desa di Leragere-Lembata, sepakat tidak menggunakan hak suara mereka dalam pemilu kada putaran satu! Di Kedang dan beberapa tempat lainnya, ribuan peserta pemilih lebih suka memilih golput. Tampaknya ada sesuatu yang cukup kuat mengganjal partisipasi mereka dalam proses berdemokrasi. Kita tidak perlu mencari alasan itu di luar proses politik yang ada sekarang ini di pulau itu.

Pemilu kada sebagai satu proses pendidikan politik perlahan-lahan mulai membuat masyarakat peka melihat gelagat para politisi kita. Motivasi tulus pengabdian mereka bagi pembangunan di daerah seharusnya sudah terbaca pada proses mempersiapkan pemilu kada. Program pembangunan harus bisa terekam dengan jelas dalam tulisan-tulisan atau kaset video yang dapat dicerna oleh masyarakat kecil. Masyarakat sudah harus tahu situasi riil kehidupan mereka manakah yang sungguh terjaring masuk dalam prioritas perhatian para calon lima tahun ke depan agar realisasinya dapat mereka pantau.

Pada putaran dua pemilu kada ini, paket-paket yang memiliki kesamaan dalam visi-misi mesti bersatu dalam perjuangan bersama. Inti perjuangan mereka adalah membangkitkan kesadaran masyarakat akan situasinya untuk selanjutnya dapat memberikan hak suara mereka pada paket penyelamat Lembata. Masyarakat harus mulai meninggalkan mentalitas robot yang tidak memiliki jiwa dan membiarkan dirinya dikendalikan oleh mesin politik kepentingan kelompok atau golongan.

Itu sebabnya paket penyelamat yang akan tampil tidak boleh lupa bahwa ia lahir dari lewotanah Lembata, dari keluarga miskin dan sederhana. Karena itu, ia perlu menyadari tugas panggilannya untuk mempersatukan seluruh masyarakat dari keterpurukan hidup sosial-ekonomi dan politik saat ini! Tugas panggilannya adalah membebaskan masyarakat dari penjajahan baru dalam bentuk penguasaan ekonomi dan politik oleh segelintir orang yang berkuasa. Masyarakat pada pemilu kada putaran dua harus berani mengatakan tidak terhadap mesin politik uang atau teror apa pun agar dapat tampil sebagai anak tanah sejati yang punya hati membebaskan lewotanah dari penjajahan jilid dua.

Kritisi dan bongkar
Apa kata mereka tentang program pertambangan? Para pihak yang berwewenang perlu menyelidiki dua paket yang akan maju, paket Titen dan Lembata Baru, mana rekam jejak keterlibatan mereka terkait problem pertambangan? Statemen apa yang pernah mereka ucapkan? Menolak atau menutup pertambangan? Paket mana yang pernah menyatakan dengan tegas menolak dan mana yang pernah menyatakan menutup?

Dua pernyataan itu jelas beda. Menolak artinya tidak akan memberi peluang, sedangkan menutup berarti ada peluang untuk membuka kembali program pertambangan.

Rekam jejak keterlibatan mereka dengan investor terkait problem tambang harus benar-benar dibongkar sebelum 4 Juli 2011. Masyarakat harus tegas menyatakan sikap dan pilihan mereka terhadap paket yang akan tampil sebagai penyelamat kabupaten dan pulau itu dari kerusakan lingkungan hidup karena program pertambangan di masa depan. Rekam jejak itu mesti juga melihat politisi mana dalam jaringan tim sukses itu pernah benar-benar terlibat dan kini ikut menjadi tim sukses atau tokoh di balik layar dari pemenangan pemilu kada putaran dua.

Agenda atau kepentingan tersembunyi manakah yang mau mereka perjuangkan dengan ikut mengusung paket calon mereka pada putaran dua?

Tugas pengabdian sebagai penyelamat tidak terlepas pisahkan dari kehidupan iman dan moralitas seorang calon bupati! Kita mesti sejak awal mengatakan dengan jujur bahwa orang nomor satu harus menjadi nomor satu dalam kehidupan iman dan moralitasnya secara sosial dan politik. Apakah masyarakat perlu ada tim yang benar-benar independen sejati yang mengaudit kehidupan iman dan moral dari dua paket itu? Apakah mereka benar-benar orang beriman sesuai agama yang mereka anut? Atau agama tempelan dan hiasan untuk mengelabui masyarakat pemilihnya?

Masyarakat pemilih perlu mengkritisi hal yang sangat penting ini agar tidak salah pilih paket penyelamat yang agama, iman dan moralitasnya abu-abu. Inilah dasar dan energi yang akan terpancar dalam mengendalikan roda pemerintahan di kabupaten pulau itu! Hati-hati memilih paket yang tampilannya malekat tetapi mentalitasnya titipan roh jahat yang akan mengendalikan kabupaten pulau itu ke jurang ke hancuran jilid berikutnya!

Ada hal lain lagi yang juga harus dikritisi untuk memaknai pemilu kada putaran dua, yaitu gambaran buruk masyarakat pemilih tentang partai tertentu. Memang kita perlu mengakui, bahwa semangat partai perlu ditegakkan dalam tugas pelayanan publik. Namun, pribadi yang bernaung di dalam partai itu justru sering tidak konsisten. Karena itu, bukan persoalan partai yang harus divonis melainkan pribadi manusia. Dalam hal ini yang bertobat bukan partainya melainkan manusianya.
Karena itu, masyarakat pemilih harus lebih obyektif untuk mengatakan bahwa tidak semua manusia yang bernaung dalam partai politik itu sama karena Tuhan tidak pernah menggunakan satu format cetakan yang sama untuk semua manusia. Setiap manusia itu unik, berbeda satu dari yang lainnya. Karena itu, calon bupati penyelamat yang menggunakan partai apa pun harus lebih dilihat adalah kualitas manusianya, iman dan moralitasnya untuk satu pengabdian yang tulus.

Sekarang saatnya seluruh masyarakat mesti menyadari keberadaannya untuk kembali menentukan pilihan. Paket penyelamat itu lahir miskin dari lewotanah ini agar dari kemiskinannya ia boleh mengangkat semua orang. Paket penyelamat itu ada di depan mata kita. Ia tampil sederhana. Cuma apakah pandangan mata kita tidak silau oleh kekayaan apa pun, atau janji politik apapun untuk melihat dan menemukannya? Bertobat dan menemukan paket penyelamat Lembata pada pemilu kada putaran dua berarti kita telah mulai dengan sungguh-sungguh memaknai pemilu kada putaran dua ini untuk Lembata yang lebih baik dalam restu Tuhan dan Lewotanah. *

Thursday, May 26, 2011

Menyulut Dian di Bukit Tandus (1)

Oleh Charles Beraf
Langit belum kunjung benderang. Sejak awal Maret 2011, seminggu yang lewat, hujan tak berhenti mengguyur. Di bilangan pesisir utara Maumere, dari Wolomarang hingga Magepanda, genangan air bercampur lumpur masih tampak menyolok serupa kubangan. Tak cuma di halaman rumah. Juga di lubang - lubang jalan raya Pantura (Pantai Utara), yang belum sempat tersulami aspal.
Jalur Pantura, di hari itu, Sabtu 12 Maret, memang tak seramai biasanya. Cuaca yang kurang bersahabat sepertinya mengenggankan banyak pengendara untuk keluar rumah. Bisa terhitung jari, kendaraan yang melintas hari itu di jalur Pantura. Berkendaraan di musim hujan seperti itu, apalagi di jalur jalan yang banyak menanjak dan berlubang seperti Pantura, memang tak selalu luput dari resiko, atau.....atau..... Atau mandi lumpur atau tertahan lumpur, atau masuk lubang atau tergelincir dari badan jalan.
Tapi di jalan dan di tengah cuaca sesulit itu pun, pick up Panther-nya Om Fendy bernopol EB 2172 B meluncur dengan entengnya. Meski cuma dengan gigi persneling yang lebih sering berkisar dua - tiga, Om Fendy (42), warga Wolomarang yang sudah malang melintang dalam dunia otomotif itu, bisa mengatur lajunya Panther.
“Kita sudah tiba”, kata Om Fendy sesaat setelah melewati batas kampung, memasuki Reroroja.
Reroroja, desa di ujung utara Kabupaten Sikka itu, sepintas barangkali tak cukup menarik di mata banyak orang. Selain terapiti oleh bukit yang kering dan tandus, letaknya yang relatif jauh, kira-kira 40 kilometer dari pusat kota, Maumere, membuat Reroroja sepertinya jauh dari lirikan. “Jarang kami dikunjungi pejabat dari kabupaten”, kata Nong Sil (26), warga Dusun Koro, Desa Reroroja.
Desa berpenduduk 3652 jiwa itu pun hanya menyandarkan hidupnya cuma dari hamparan ladang dan laut. Dari 788 kepala keluarga (KK), 30 % penduduk bekerja menjadi nelayan atau pun sebagai penampung ikan hasil tangkapan untuk dijual kembali, dan 70 % lainnya bertaruh dengan jengkalan-jengkalan tanah di bawah kaki bukit berbatu. “Itu pun tak tentu hasilnya. Kadang hanya cukup untuk makan”, ungkap Amina (36), dari perkampungan Bajo, Reroroja.
Dengan nada sedikit memelas, Kepala Desa (Kades) Reroroja, Cyrilinus Badjo mengamini itu. Dia mengaku, petani jagung di daerahnya hanya mampu menghasilkan 2,4 ton/hektare. Kalau pun terjual, sekilo cuma seharga Rp.1500. Belum lagi dikurangi pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.
Tentu bisa dibayangkan, untuk petani jagung saja, berapa pendapatan bisa dikantongi dalam setahun? Sebulan? Seminggu? Atau bahkan sehari? Kalau itu “cukup untuk makan”, bagaimana dengan pena dan buku tulis anak-anak sekolah? Bagaimana dengan investasi jangka panjang?
Urusan ‘kampung tengah’ saja sudah repot. Apalagi yang lain. Kondisi infrastruktur yang memprihatinkan, sanitasi yang jauh dari harapan dan pendidikan yang tak selalu menjanjikan seakan-akan mengusir mimpi akan kecerahan di Reroroja. Mungkin bagi banyak orang, memilih tinggal di sana seolah-olah, seperti kata Filosof Heidegger, memilih untuk pelan-pelan mati di hamparan ladang yang berbatu dan kering .
Tapi rupanya itu tidak bagi warga Reroroja dan Kades Cyrilinus yang terkenal militan itu. Cyrilinus berkisah, selain bertaruh dengan hamparan laut dan ladang yang ada, beternak dan ekstensifikasi lahan pertanian menjadi pilihan yang tidak main-main.
Menurut Cyrilinus, selama bertahun-tahun, pada September hingga Oktober warga Reroroja secara intensif membersihkan dan menyiapkan lahan – lahan tidur. “Ini pun tak susah urusnya. Cuma dengan tebas dan bakar, lahan sudah siap dipakai di musim hujan. Cara semacam ini tak butuh banyak tenaga. Dengan membakar, rumput baru kesukaan ternak bisa tumbuh saat datang hujan”, katanya.
Tapi apakah dari lahan-lahan tidur dan dengan pola tebas – bakar tahunan ini sudah cukup bagi warga Reroroja untuk bisa keluar dari belitan “cukup untuk makan”?
Kegelisahan malah tak kunjung berujung. Pola tebas – bakar justru berbuah petaka: bukit kian gundul, curah hujan semakin menurun, debit air pun ikutan turun. Di Kabupatan Sikka yang bercurah hujan rata-rata hanya 173 mm di puncak musim penghujan dengan intensitas rata-rata 20an hari, pola tebas - bakar ala Reroroja ini tentu tak bisa mengubah keadaan. Malah makin memperparah. Makin menggelisahkan warga Reroroja.
Kegelisahan itulah sempat tercuat saat Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat Kecamatan Magepanda pada 2007 lalu. Dan tak satu pun bisa menyangka, bahwa api kesadaran warga pun cepat tersulut saat Musrenbang itu.
“Saat itu masyarakat mulai sadar. Menggunduli hutan bisa datangkan masalah baru. Tebas-bakar bukanlah jalan terbaik. Sebaliknya, langkah yang mesti diambil warga adalah menghijaukan”, kisah Cyrilinus.
Tapi dengan apakah daerah perbukitan seluas 150 hektare itu dihijaukan? Lalu, apakah hanya cukup dengan menghijaukan, perkara “cukup untuk makan” bisa menguap pergi dari tanah Reroroja?
Bak ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Selepas Musrenbang, akhir September 2008 Asian People’s Exchange (APEX), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jepang bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa pun melancarkan proyek “Environmentally Friendly Development by Multiple Use of Jatropha curcas in Indonesia“ (Pengembangan Ramah Lingkungan dengan aneka pemanfaatan Jarak Pagar (Damar) di Indonesia) di Reroroja.
Ujung-ujungnya? Tak cuma hijaunya bukit Reroroja, tapi juga keluarnya warga Reroroja dari belitan kemiskinan. “Proyek yang didukung kementrian luar negeri Jepang ini bertujuan menciptakan model pengembangan ramah lingkungan dengan aneka pemanfaatan jarak pagar”, kata Petrus S. Swarnam, Pimpinan Yayasan Dian Desa Perwakilan NTT.
Awalnya, kisah Petrus, warga ragu-ragu. Menghijaukan areal seluas 150 hektare itu tentu tak jauh berbeda dengan proyek lamtoronisasi untuk pengembangan usaha pertanian tanah kering. Proyek yang gencar di tahun 1980-an itu memang berbuah hasil. Selain erosi teratasi, Lamtoro pun bisa meningkatkan kesuburan tanah. Tapi perkara Lamtoro mengeluarkan warga dari belitan kemiskinan, rupanya perlu diskusi panjang lagi. “Awalnya kami ragu. Jangan-jangan proyek Jarak Pagar ini pun senasib Lamtoro. Ini mimpi siang bolong”, kisah Cyrilinus.
Tapi siapa bisa menyangka, mimpi di siang bolong itu bisa mewujud di Reroroja? Dalam sosialisasi, APEX dan Yayasan Dian Desa selalu meyakinkan warga akan nilai ekonomis Jarak Pagar. Tak cuma untuk menghijaukan lahan kritis, tapi juga warga bisa memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Ini luar biasa. Petrus menjelaskan, selain menghijaukan, potensi Jarak Pagar pun bisa difungsikan sebagai bahan bakar bio-diesel. Biji Jarak, yang terdiri dari 60 % berat kernel (daging biji) dan 40 % berat kulit, mengandung minyak yang tidak main-main. Melalui proses rendering (teknik pengepresan secara mekanis, bisa didapatkan rendemen minyak 25 %-35 %. Selanjutnya melalui proses pemurnian (purifikasi), bisa didapatkan minyak dengan kualitas terbaik. Proses purifikasi ini terdiri dari deguming ( pemisahan getah yang masih terkandung dalam minyak jarak), netralisasi (pemisahan asam lemak bebas), pencucian yang diikuti dengan bleaching dan deodorisasi (pemurnian minyak untuk menghasilkan zat-zat warna pada minyak dan menghilangkan bau pada minyak).
Minyak yang telah diolah dengan proses pemurnian bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau bisa juga diolah dengan proses trans-esterifikasi untuk memproduksi bio-diesel. “Inilah nilai tambah Jarak Pagar. Tak hanya untuk penghijauan. Tapi juga untuk bahan bakar, pengganti Solar 100 persen ”, tegas Petrus.
Di tengah merosotnya produksi minyak dalam negeri, ditambah naiknya harga minyak dunia, bukan tak mungkin minyak Jarak Pagar jadi alternatif. Kalau tidak ada alternatif semacam ini, krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa berefek fatal. Harga bahan pokok meningkat. Sejumlah usaha kecil dan menengah (UKM) bisa gulung tikar. Listrik tak bisa nyala maksimal. Pengendara, serupa Om Fendy dengan Panther-nya, pun “ciut” untuk keluar rumah. Dan, pengangguran pun bakal merajalela.
Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), akibat krisis BBM 2008, dalam rentang dua bulan saja, di Indonesia bertambah angka pengangguran sebanyak 7.000 orang dan orang miskin baru bertambah 110.000 jiwa. Bisa dibayangkan, betapa stganan-nya perekonomian Indonesia kalau krisis terus menyeruak.
Lalu? Apa Jarak Pagar terus dipandang sebelah mata? Di tengah krisis BBM seperti sekarang ini, usaha serupa punya warga Reroroja bukanlah hal remeh – temeh. Mereka perlu didukung. Mereka tidak bisa sendiri (disendirikan). Tak bisa juga hanya bergantung pada APEX dan Yayasan Dian Desa.
“Kalau pemerintah Jepang bisa bantu masyarakat, kenapa pemerintah sendiri tidak bisa bantu”, tukas Cyrilinus. Pemerintah mesti juga punya tanggungan. Sekurang-kurangnya bisa mendanai proyek Jarak Pagar ini.
Dengan pemerintah, hingga kini memang masyarakat Reroroja masih tetap berharap-harap cemas. Kalau – kalau di hadapan pemerintahnya sendiri, mereka tak senasib dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi). Aprobi, yang mulai berkibar di tahun 2007 bernasib apes, gara-gara kurang didukung pemerintah. Meski sudah lima dari 22 anggota Aprobi memiliki pabrik pengolahan biofuel berkapasitas 1,1 juta ton per tahun, cuma 15% kapasitas dari itu yang terpakai, karena permintaan dan bahan baku dalam negeri terbatas. Pemerintah toh masih tetap memilih diam dengan usaha Aprobi.
Lalu, apakah ini juga nanti terjadi dengan masyarakat Reroroja yang sudah mulai bertaruh dengan Jarak Pagar di bukit tandus itu? ###

Menyulut Dian di Bukit Tandus (2/habis)
“Ini namanya Desa Jarak Pagar”, kata Om Fendy dengan sedikit berguyon saat Panther-nya mulai merangkak pelan-pelan di jalan tengah Desa Reroroja. “Kalau Gubernur Lebu Raya bisa juluki NTT Provinsi Jagung, Provinsi Ternak dan macam-macam, Reroroja pun punya julukan sendiri”, tambahnya.
Tapi di Reroroja bukan sekedar perkara nama atau julukan. Nama, ya, selalu mesti jadi tanda, Nomen Est Omen. Dan, masyarakat Reroroja sudah membuktikan itu. Sudah sejak tiga tahun yang lalu, 2008, bersama APEX dan Yayasan Dian Desa, mereka mengendus nasib, mengusir ketandusan hamparan bukit dan kemiskinan yang sekian lama membelit. “Ternyata dari Jarak Pagar kami bisa hidup. Dari seember buah Jarak Pagar saja, sudah lumayan hasilnya. 2.500 rupiah per ember”, kata Kades Cyrilinus.
Dari hasil Riset dan Analisa Komersial Industri Minyak Jarak yang dipublikasikan oleh Majalah Damar dari PUSPHA (Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) (Vol 1 tahun 2009), ditunjukkan bahwa tanaman Jarak Pagar di NTT menghasilkan persentase minyak yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditanam di daerah lain. “Tanaman ini prospeknya luar biasa. Ini hal yang amat menjanjikan bagi peningkatan pendapatan petani di NTT”, kata Alexander F Rego, Project Manager Lokal PUSPHA.
Selain itu, pada 3-5 tahun awal, setiap tanaman Jarak Pagar menghasilkan 4 kilogram biji per tahunnya. Di setiap hektare-nya, dengan jarak tanam 2 x 2 meter, dapat ditanam 2500 pohon. Dengan kandungan minyak pada tiap kilogram Jarak sebesar 35 % maka akan dihasilkan 3500 kg atau 3850 liter crude oil per hektarenya. Bila satu liter crude oil dihargai Rp.2500, maka omzet per hektare dari tanaman Jarak Pagar bisa mencapai Rp. 9,625 juta. Jumlah ini akan terus meningkat sejajar dengan peningkatan areal tanam Jarak Pagar.
Sungguh luar biasa! Bisa dibayangkan, betapa banyaknya untung yang diraup di Reroroja dengan 150 hektare areal tanam Jarak Pagar itu. Betapa terangnya kehidupan masyarakat Reroroja dari bukit yang tak lagi tandus itu. “Kalau ini dari dulu, warga Reroroja bukan seperti sekarang”, imbuh Cyrilinus.
Tapi akhirnya ‘masa gelap’ itu pelan-pelan terusir dengan Jarak Pagar. “Hampir tiap hari warga di sini, termasuk anak-anak selalu cari buah Jarak untuk dijual. Buah Jarak kan masak setelah 5-6 bulan, jadi cepat panen”, imbuh Cyrilinus.
Apalagi, kata Cyrilinus, di Reroroja sudah ada Gathering Center (Pusat Pengumpulan Biji dari Pusat Teknologi Tepat Guna Jatropha) yang diresmikan pada tanggal 10 April 2010. Gedung Gathering Center, yang terletak di kaki bukit Reroroja ini digunakan sebagai pos pengumpulan biji atau buah Jarak Pagar. Tidak hanya dari Desa Reroroja, tetapi juga dari desa-desa lain yang ikut mengumpulkan biji, seperti dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende dan sekitarnya.
Tak hanya itu. Pada tanggal 26 Agustus 2010 lalu, di Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Sikka, oleh Gubernur Lebu Raya diresmikan Jatropha Center yang berfungsi sebagai pusat pengolahan biji dan pemasaran produk minyak Jarak Pagar. Jatropha ini terdiri dari Gudang Biji seluas 288 meter persegi, Gudang Produksi dengan fasilitas ekstraksi dan pemurnian minyak seluas 128 meter persegi, tempat penyimpanan minyak seluas 192 meter persegi, tempat pengolahan limbah seluas 96 meter persegi dan laboratorium seluas 57 meter persegi.

Itu berarti petani Jarak Pagar di Reroroja tidak susah-susah cari pasar. Tinggal saja petik, kumpul dan jual ke Gathering Center. Semudah menimbang Kemiri dan Kopra kepada para pengusaha lokal, menimbang buah Jarak Pagar pun bak perkara membalik tangan. “Tapi menyadarkan warga soal ini memang butuh waktu. Mereka sudah lama terbiasa dengan komoditi lain. Jadi ketika di daerah lain kami menawarkan untuk budidaya Jarak Pagar, warga masih susah terima”, kata Alex F Rego.
Menyadarkan warga soal serupa budidaya Jarak Pagar ini memang gampang-gampang susah. Mentalitas “liat dulu hasilnya, baru buat” sudah lama mengidapi warga. Padahal, menurut Petrus S. Swarnam, budidaya Jarak tidak susah. “Memang Yayasan Dian Desa dan APEX memperkenalkan upaya perbanyak bibit melalui cara Kloning Ex Vitro, klon dari pohon unggul dan propagasi akar. Tapi dengan menanam biji dan stek pun hasilnya lumayan. Tapi itulah, orang-orang kita selalu mau liat bukti dulu”, kata Petrus
Karena itu, menurut Petrus, selain Proyek Jarak Pagar di Reroroja dengan teknik biji dan Kloning Ex Vitro, Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. PLN Wilayah NTT dan PUSPHA (APEX dan Yayasan Dian Desa) bisa jadi pemicu kesadaran warga. MoU yang ditandatangani pada 25 Agustus 2010 ini didasarkan atas hasil ujicoba pemakaian minyak Jarak Pagar di subranting PLN di Kecamatan Magepanda pada bulan Juli 2010. Karena hasil uji coba itu terbukti memadai, maka dalam MoU tersebut telah ditetapkan bahwa PLN bersedia membeli minyak Jarak Pagar dari PUSPHA. “Ini yang harus warga sadari. Terbukti, PLN sudah mau pakai minyak Jarak Pagar, kenapa warga belum mau gencar dengan budidaya Jarak Pagar”, kata Petrus.
Menurut Petrus, 20 tahun kemudian krisis BBM akan berpuncak. Pasokan minyak dari hasil endapan fosil akan habis. “Kita membutuhkan sumber minyak alternatif. Jarak Pagar salah satunya”, katanya.
Dan di Reroroja, yang alternatif itu sudah dimulai warga, APEX dan Yayasan Dian Desa. Mereka telah menyulap bukit tandus menjadi bukit Jarak Pagar. Dengan upaya luar biasa itu, mereka tidak hanya menyulut api kesadaran kita, tetapi juga menyulut dian kehidupan. @@@

Wednesday, May 25, 2011

Timor Leste Anggota ASEAN Kado HUT Kemerdekaan yang Tertunda

Oleh Florencio Mario Vieira, Pemerhati Timor Leste, Alumnus John Heinz III - School of Public Policy and Management, Carnegie Mellon University (CMU), Pittsburgh, Pennsylvania, USA, tinggal di Kupang.

TIMOR Leste merayakan HUT kesembilan, tanggal 20 Mei 2011 setelah melepaskan diri dari Indonesia tahun 1999 melalui jajak pendapat. Selanjutnya restorasi kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002, difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada harapan besar dari pemerintah bahwa pada HUT ke-9 kali ini, Timor Leste mendapat 'kado' istimewa, yakni menjadi anggota ke-11 pada 18th ASEAN Summit di Jakarta, 7-8 Mei 2011.

Sehubungan dengan itu Indonesia sangat getol memperjuangkan proposal dari Pemerintah Timor Leste. Proposal yang diajukan oleh Zakarya Albano da Costa (Menteri Luar Negeri Timor Leste), disirkulasi oleh counter part-nya, Marty Natalagawa (Menteri Luar Negeri Indonesia) sebagai urgent attention, akhirnya gagal diterima oleh anggota ASEAN lainnya.

Banyak alasan yang menyebabkan negara baru tersebut belum dapat bergabung dengan ASEAN. Alasan utamanya adalah kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar sehingga negara baru tersebut sulit berkontribusi terhadap pembangunan komunitas ASEAN, sekaligus dapat menghambat visi Integrasi ASEAN 2015.

Kepentingan Cina-Indonesia-Australia
Indonesia mempunyai alasan strategis sehingga sangat getol memperjuangkan Timor Leste agar segera bergabung dengan ASEAN. Pertama, Indonesia yang mempunyai sejarah politik kurang baik berupaya untuk memenangkan hati rakyat Timor Leste. Kedua, dari aspek sosial budaya, masyarakat Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia, tidak dapat dipisahkan.

Ketiga, ketergantungan Timor Leste secara ekonomi terhadap Indonesia tidak dapat dipungkiri. Barang dan jasa non-migas 90% diimport dari Indonesia. Keempat, aspek strategi geo-politik, Timor Leste yang secara geografis berada di dalam kawasan negara kepulauan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya keras agar Timor Leste tidak didominasi oleh kepentingan negara lain, terutama persaingan Cina dan Australia menjadikan Timor Leste sebagai 'satelit' untuk kepentingan ekonomi dan politik. Pada masa perang dingin, Partai Fretilin sangat dekat dengan Partai Komunis Cina (PKC).

Fretilin juga menjadi pemenang pemilu dua kali berturut-turut sejak kemerdekaan Timor Leste.

Bagi Cina, nostalgia ideologi komunis saat perang dingin, berpeluang dilanjutkan kemesraan tersebut dalam ekspansi kepentingan ekonomi. Saat ini Cina merupakan donor terbesar bagi Timor Leste. Pembangunan istana negara Presiden Timor Leste dan infrastruktur, sebagian besar bantuan hibah Cina. Di lain pihak, pasca pemisahan dari Indonesia, Australialah yang berperan secara dominan di Timor Leste, antara lain pengiriman pasukan Interfet pasca kerusuhan 1999. Kepentingan Australia adalah menjadikan Timor Leste sebagai buffer zone (wilayah penyangga) bila ada ancaman dari Indonesia. Antisipasi adanya ancaman dari Indonesia, bilamana suatu saat - negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia - dikuasai oleh Islam fundamental, misalnya isu perjuangan Negara Islam Indonesia (NII). Australia juga menginginkan Timor Leste menjadi penyangga imigran gelap dari Timur Tengah.


Kesenjangan dengan ASEAN
Sejak restorasi kemerdekaannya pada tahun 2002, Pemerintah Timor Leste adalah negara yang hanya bergantung pada minyak, 95% dari keutungan minyak dipakai untuk belanja pemerintah. Keuntungan dari minyak dan gas adalah empat kali lipat dari seluruh sumber ekonomi bukan migas. Setiap orang di Timor Leste hidup dari keuntungan minyak dan gas, dapat menopang ekonomi sampai empat puluh tahun ke depan.

Salah satu proyek internasional, Bayu Undan yang dioperasikan oleh Conoco Philips di Timor Sea, hasil royalti sebagai hak bagi Timor Leste sebesar US$ 5 miliar saat ini disimpan di Amerika Serikat. Namun, jumlah keseluruhan kekayaan yang bersumber dari non-migas tidak cukup untuk menunjang kualitas hidup rakyat Timor Leste, bilamana empat puluh tahun ke depan persediaan minyak habis.

Ironi dari keuntungan yang didapati dari minyak, Timor Leste masih tercatat sebagai negara miskin. Dengan Gross Domestic Product (GDP) US$ 558 juta, jauh dari Laos yang GDP-nya US $ 5,9 miliar pada tahun yang sama. Ditambah lagi dengan penduduk Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan dan pengangguran 20%.

Menurut laporan UNDP 2011 yang di diumumkan langsung oleh Presiden Timor Lesre, Ramos Horta, disimpulkan bahwa memang ada pengurangan tingkat kemiskinan secara substansial sejak tahun 2007, namun 41 persen dari masyarakat di pedesaan masih terus hidup di bawah garis kemiskinan. Nilai Human Development Index (HDI) tahun 2010 adalah 0.502, terletak pada Medium Human Development Category, Timor Leste berada pada ranking 120 dari 169 negara-negara berdasarkan laporan Global Human Development.

Menurut Charles Scheiner, La'o Hamutuk Institute, dalam artikel Timor Leste Must Win Independence from Petroleum, Remarks at launch of the UNDP 2011 Timor-Leste Human Development Report bahwa "Hanya enam negara yang mempunyai Gross National Index (GNI) 20% lebih besar dari GDP, tidak ada yang lebih dari 80%. Bagi Timor Leste, GNI-nya unik - enam kali lebih besar - 548% lebih tinggi dari GDP. Hal ini menunjukkan konsekuensi ekstrim dari ketergantungan ekspor sumber-sumber non-migas. Sejak Timor Leste mengembangkan dana yang bersumber dari minyak untuk kesejahteraan rakyat, GNI tidak merefeksi kehidupan setiap warga negara pada hari ini'. Hal ini dapat dikuatkan oleh Human Developement Report (HDR), bahwa sekitar 15.000 pemuda pencari kerja setiap tahun, namun hanya ratusan pekerjaan yang dapat disediakan.


Dalam kunjungan penulis ke Timor Leste akhir tahun 2010 sampai awal tahun 2011 untuk merayakan Natal dan Tahun baru, hiruk-pikuk urbanisasi di Kota Dili menunjukkan perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, namun sangat kontradiktif dengan kehidupan di distrik dan pedesaan. Kehidupan ekonomi (misal: pasar, transportasi antardesa, pertokoan) terasa 'mati'. Survai Kesehatan dan Demografi menunjukkan bahwa di Dili, 20% dari golongan terkaya dapat mengakses 71% dari sumber-sumber ekonomi, sedangkan 20% dari masyarakat miskin hanya dapat mengakses 4% dari sumber-sumber ekonomi.

Indikator-indikator tentang Timor Leste mencerminkan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar berpengaruh signifikan terhadap pembangunan komunitas ASEAN dan bahkan dapat menghambat visi integrasi komunitas ASEAN. Pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah mengambil peran penting dalam isu geo-politik dan geo-ekonomi, karena letaknya Timor Leste yang strategis di enclave kepulawan Indonesia. Timor Leste akhirnya berharap lagi pada Indonesia, tentu bukan sebagai bagian integrasi dengan NKRI tapi dalam kerangka integrasi ASEAN 2015. *

Pilatus Cuci Tangan (Mencermati kasus Bansos di Sikka)

Oleh Hendrik Nong, belajar teologi pada STFK Ledalero, tinggal di Pastoran St. Thomas Morus Maumere

Kisah Pilatus cuci tangan
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, khususnya keempat Injil, Pilatus dikisahkan sebagai seorang penting di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu. Pilatus bukanlah seorang yang berasal dari kalangan Yahudi. Namun, padanya ada kuasa atas kehidupan orang-orang Yahudi yang berada di wilayah kekuasaannya. Ia berkuasa untuk menentukan nasib hidup kebanyakan orang. Dari mulutnya keluarlah perintah-perintah yang harus ditaati. Bila Pilatus berbicara, semua rakyat yang berada di bawah kuasanya harus turut. Bila ia memberi perintah supaya seseorang dihukum, maka seseorang itu harus dihukum.

Sebaliknya, bila ia menghendaki agar seseorang dibebaskan, maka seseorang itu harus dibebaskan. Pilatus juga berkuasa untuk memerintahkan orang-orang atau kalangan tertentu untuk bertindak atas dirinya. Tentu saja, perintahnya tidak harus tertulis.

Orang-orang Yahudi tahu akan kapasitas seorang Pilatus sebagai penguasa. Karena itu, mereka mengadukan Yesus kepada Pilatus untuk dihukum. Orang-orang Yahudi; para ahli taurat dan imam-imam kepala (dan rakyat jelata yang mereka hasut) menuntut Pilatus untuk menggunakan kekuasaannya atas diri Yesus. Pilatus sendiri pun tahu dan sadar akan kekuasaan yang dimilikinya. Maka, ketika pengaduan itu datang kepadanya, ia tidak menyia-nyiakannya. Dia menunjukkan kepada semua orang bahwa memang dialah orang yang berkuasa. Dengan berkata kepada orang banyak, "Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja Orang Yahudi bagimu?" (Yoh 18:39b), dan kepada Yesus, "Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" (Yoh 19:10b), Pilatus hendak mengatakan dirinya sebagai seorang penguasa.

Satu hal yang menonjol dalam adegan penyaliban Yesus ialah 'permainan' yang dilakukan oleh Pilatus dan orang-orang Yahudi. Pilatus sebagai pihak yang memegang kekuasaan melakukan 'tawar-menawar' dengan orang-orang Yahudi yang memiliki tuntutan. Kepentingan masing-masing pihak dipertaruhkan! Bila Pilatus tidak menggunakan kekuasaan untuk memenuhi tuntutan orang-orang Yahudi, maka kekuasaannya terancam dicopot, karena "Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar." Dan, pada pihak imam-imam kepala orang-orang Yahudi, bila Pilatus menolak tuntutan mereka, maka eksistensi mereka di hadapan orang-orang Yahudi sendiri terancam hilang. Bukankah sejak Yesus tampil di hadapan umum dengan mengajar dan melakukan banyak mujizat, para ahli taurat dan imam-imam kepala kehilangan simpatisan?

Adegan itu diakhiri dengan keputusan Pilatus menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk dihukum dan disalibkan menurut aturan hukum Yahudi sendiri. Di sini mulai tampak dengan jelas kelicikan seorang Pilatus. Di satu pihak, kekuasaan Pilatus tidak akan diganggu. Dengan menyerahkan Yesus untuk dihukum dan disalibkan, Pilatus tetap diakui sebagai sahabat Kaisar. Dan itu menjadi jaminan untuk kelanggengan kepemilikannya atas kekuasaan. Di lain pihak, Pilatus membebaskan dirinya dari perasaan bersalah. Dengan cara membasuh tangan dan berkata, "Aku tidak bersalah atas darah orang ini!" (Mat 27:24), Pilatus merasa benar atas keputusannya. Demikianlah, Pilatus hidup dalam kekuasaannya yang tidak diganggu dan terhindar dari perasaan bersalah, tetapi orang-orang Yahudi yang menyalibkan Yesus mewarisi kesalahan terbesar, menyalibkan seorang yang tidak bersalah!

Kasus Bansos di Sikka
Dari kisah tentang Pilatus yang licik, saya mengajak kita untuk mencermati kasus Bansos yang terjadi di Kabupaten Sikka. Kasus ini terkuak setelah BPK RI Perwakilan NTT menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban oleh pihak yang mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat itu.

Pansus DPRD menemukan bahwa ada sejumlah pejabat legislatif dan eksekutif yang terlibat dalam kasus hilangnya dana miliaran rupiah ini. Para pejabat yang berkuasa untuk mengelola keuangan untuk kesejahteraan rakyat umum diduga menyalahgunakan Bansos. Orang-orang sederhana, rakyat jelata yang tidak berkuasa untuk mengelolanya dana Bansos tidak mungkin melakukan tindakan amoral itu. Jadi, dugaan ini bukanlah hal yang luar biasa.

Persoalannya adalah siapa yang berinisiatif untuk melakukan penyelewengan itu? Substansi kebenaran mesti diungkap secara tuntas! Kalau dikatakan bahwa para pejabat dalam lingkup legislatif dan eksekutif terlibat di dalamnya, maka pertanyaan menyusul adalah sejauh mana keterlibatan mereka? Apakah mereka semua adalah orang-orang yang berinisiatif untuk melakukan penyimpangan itu? Bisa jadi demikian; ada kesepakatan bersama untuk mengucurkan dana untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Atau, apakah keterlibatan banyak pejabat merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan orang tertentu, sehingga itu hanya merupakan satu taktik untuk melindungi diri? Melindungi diri dengan cara melibatkan banyak pejabat dan pejabat-pejabat itu memanfaatkan kesalahan pejabat tertentu untuk memperkaya diri?

Beberapa pernyataan sudah terungkap dari beberapa pejabat penting di daerah ini. Bukan hanya pernyataan, melainkan juga reaksi psikis dalam menanggapi dugaan-dugaan yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, berbagai pernyataan itu bukan untuk mengakui diri bersalah, melainkan keinginan untuk menghindar dari tuntutan pertanggungjawaban. Dalam upaya ini juga tindakan bunuh diri coba dilakukan (Flores Pos, Rabu 11 Mei 2011). Pernyataan terakhir, hingga tulisan ini dibuat, diberikan oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang (Flores Star, Kamis 19 Mei 2011). Meskin demikian, satu kebenaran yang tidak disangkal oleh pejabat-pejabat itu ialah adanya penyelewengan dan Bansos! Tidak ada (belum ada?) satu pun dari antara mereka yang menolak temuan BPK RI Perwakilan NTT atas penyelewengan dana Bansos sebesar 10,7 miliar itu.
Rp 10,7 miliar! Angka yang teramat besar. Siapa yang berani menggunakan uang sebesar itu untuk sesuatu yang salah?


Siapa yang berani mengeluarkan uang sebesar itu kalau tidak didukung dengan kekuasaan yang sepadan? Menurut akal sehat, uang sebesar itu, bila penggunaannya dilakukan dengan pengetahuan bahwa akan dituntut pengembaliannya (ganti rugi), maka itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang melebihi angka itu. Pertanyaannya, siapakah dari antara mereka yang memilikinya? Berapakah gaji para pejabat di daerah ini yang bisa melebih 10,7 miliar? Bupati saja mungkin tidak mampu mengembalikan uang sebesar itu bila hanya menggunakan gaji atau kekayaan yang dimilikinya.

Kalau demikian, kita perlu menduga bahwa itu lebih pasti dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa tidak hanya memerintah untuk menggunakan uang itu, tetapi juga berkuasa untuk mengadakan dana baru yang sepadan untuk menutupi penyalahgunaan atas dana terdahulu.

Pilatus dan kasus Bansos
Pilatus berhasil mengamankan kekuasaannya dari pemecatan yang bisa saja terjadi bila ia menolak tuntutan Ahli-ahli Taurat dan Imam-imam Kepala, karena ia dipandang bukan sebagai sahabat kaisar. Pilatus juga membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dengan cara menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus. Tampak di sini, Pilatus menampilkan diri sebagai seorang yang haus akan kekuasaan dan sebagai seorang penguasa yang ingin dipandang baik oleh semua orang lain. Ia adalah seorang yang lihai dalam menggunakan kekuasaan. Dengan berkata-kata saja ia bisa mengamankan diri. Seperti inikah pelaku (pejabat) dalam kasus Bansos di Sikka akan bermain? Apakah dengan kata-kata yang mengandung kuasa mereka akan mengamankan diri, meski korban tentu saja tidak akan terelakkan? Seperti Pilatus, mereka kehilangan kualitas moral dalam dirinya!

Merujuk pada temuan BPK RI Perwakilan NTT, maka adanya penyimpangan dalam penggunaan dana Bansos tidak dapat diragukan. Kebenaran ini menuntut terungkapnya pelaku penyimpangan. Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan dicela sebagai orang yang tidak bermoral di dalam penerapan kekuasaannya. Di dalam kasus Bansos, pejabat yang telah meraup keuntungan tidak akan menunjukkan dirinya bersalah karena hal itu akan mengancam kenyamanan kekuasaannya. Tidak hanya kekuasaan yang dijaganya, tetapi juga berusaha untuk menunjukkan diri sebagai orang yang (seolah-olah) bermoral. Dengan melimpahkan kewenangan kepada orang-orang Yahudi untuk menghukum dan menyalibkan Yesus, Pilatus berhasil! Apakah dengan menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang tertentu untuk mengucurkan dana itu, seorang pejabat juga berhasil? Bukan tidak mungkin bila hal itu dilakukan dengan perintah lisan yang tidak dapat dipegang namun mengandung kuasa.

Kebenaran temuan BPK RI Perwakilan NTT harus ditunjang dan diteguhkan dengan pengungkapan secara meyakinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dari pejabat. Bila kita mengatakan bahwa tidak ada pelaku di dalam penyimpangan itu, maka kita mementahkan kebenaran dari temuan BPK. Karena suatu penyimpangan dalam skala demikian tidak akan terjadi bila tidak dilakukan oleh orang yang berwenang di dalamnya. Sampai di sini, kita boleh bertanya, apa yang bisa diharapkan untuk mengungkapkan secara tuntas kebenaran itu? Sekali lagi, Pilatus tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kekuasaan dan harga diri di hadapan rakyat. Satu-satunya jalan adalah hukum. Jalur hukum mesti ditempuh. Untuk maksud ini, kredibilitas moral para penegak hukum akan sangat menentukan. Janganlah hukum dan penegak hukum menjadi sarana uang dan kekuasaan! *

Jalan Terjal Capres Independen

Oleh Bill Nope ( Dosen FH Undana, Mahasiswa Hukum Kenegaraan UGM )

DEWAN Perwakilan Daerah telah menyerahkan penyusunan draft atau rancangan perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 kepada DPR pada akhir maret lalu. Terdapat beberapa isu penting dalam draft perubahan UUD 1945 ini, antara lain : calon presiden independen, memperkuat sistem presidensil, memperkuat lembaga perwakilan, memperkuat otonomi daerah termasuk memperkuat kewenangan DPD.

Wacana yang paling mengemuka di kalangan para ahli maupun masyarakat atas usulan ini adalah tentang hadirnya calon presiden independen yang usulannya terdapat dalam Pasal 6 A UUD 1945 berubah menjadi “Pasangan calon presiden dan wakil presiden berasal dari usulan partai politik peserta pemilihan umum atau perseorangan”. Dalam Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Usulan perubahan konstitusi oleh DPD ini masih membutuhkan perjuangan berat. Mengapa? DPD hanya terdiri dari 132 anggota, ini tentunya belum memenuhi syarat sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, usulan perubahan konstitusi kita yang disokong DPD ini masih berada di jalan terjal semisal lobi-lobi DPD kepada fraksi-fraksi di DPR agar ikut mendukung usulan ini sehingga dapat memenuhi syarat minimal 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Catatan penulis, kehadiran DPD selama ini masih dianggap saingan oleh DPR kita.
Kita lihat beberapa contoh tentang kewenangan DPD yang selama ini yang hanya bisa memberi pertimbangan, nasihat dan pengawasan kepada DPR (Pasal 22D UUD 1945). Penulis menganggap salah satu isi usulan tentang calon presiden independen yang diusulkan DPD ini terlampau berlebihan - dapat dikatakan usulan capres independen ini hanya sebagai ‘tameng’ DPD agar mendapatkan perhatian dan dukungan dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat bahkan tokoh masyarakat.

Usulan tentang hadirnya capres independen sebaiknya bukan alasan utama pentingnya amandemen konstitusi kelima. Khusus tentang calon presiden independen, resistensi dari partai politik yang ada di DPR akan sangat kuat di tengah berbagai alasan tentang turunnya tingkat kepercayaan masyarakat akan partai politik, pemantapan sistem presidensil dan kedaulatan di tangan rakyat.

Penguatan Sistem Bikameral

Bagi penulis, jalan terjal DPD dalam usulan amandemen konstitusi ini sebaiknya lebih dititikberatkan pada penguatan kewenangan DPD dalam konstitusi kita yang selama ini masih ‘tumpul’. Sebagai catatan, kita lihat selama ini DPD hanya diperlakukan sebagai lembaga legislatif ‘kelas dua’ — tanpa ‘kekuatan legislasi’ yang memadai. Fungsi legislasi DPD yang selama ini tumpul berada pada sembilan persoalan yakni: otda, hubungan pusat daerah, pembentukan-pemekaran serta pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat daerah, APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama (Pasal 22D UUD 1945).

Beberapa poin usulan DPD tentang Amandemen UUD 1945 yang mesti ditekan misalnya dalam Pasal 30, “DPR dan DPD memegang kekuasaan legislatif”. Pasal 35 ayat (1) “DPR dan DPD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, fungsi pengisian jabatan publik, dan fungsi keterwakilan.” Pasal 44 ayat (1) “Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dan DPD mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.” Kemudian usulan yang terakhir pada Pasal 72 ayat (1) “Hubungan antara pusat dan daerah propinsi serta daerah kabupaten dan kota diatur dalam undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.

Usulan amandemen kelima konstitusi yang dititikberatkan pada penguatan fungsi legislasi DPD diharapkan dapat mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral). Jimly Asshiddiqie menyebut dengan struktur parlemen dua kamar, diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan dengan mekanisme double-check yang memungkinkan DPD sebagai representasi teritorial atau regional (regional representation) dan DPR sebagai representasi politik (political representation).

Pentingnya sistem dua kamar ini juga didasarkan pada kebutuhan menciptakan sistem checks and balances antarkamar legislatif. Dengan sistem ini kamar perwakilan yang satu mengawasi kamar perwakilan yang lain sehingga dapat mencegah kecendrungan kesewenang-wenangan dari lembaga legislatif. *

Bangsa Pelupa dan Pendek Ingatan

Oleh John Haba (Penulis adalah Profesor Riset LIPI-Jakarta)

TERUS menumpuknya masalah-masalah nasional membawa masyarakat bertanya, masihkah pemerintah dan semua pemangku kepentingan serius menanganinya? Ataukah, pemerintah dan aparatnya dengan terencana sudah melupakan dan membiarkan berbagai masalah melilit bangsa Indonesia? Publik disentakkan dengan pernyataan para pemimpin agama bahwa “pemerintahan SBY telah berbohong”. Serta merta sikap para pemimpin agama itu lebih menyadarkan masyarakat bahwa ada masalah-masalah serius yang belum tuntas dikerjakan.
Lalu, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi tunggakan masalah dalam negeri ini, sehingga masalah datang dan pergi, seakan negeri ini akrab dengan persoalan kronis? Banyak asumsi dikembangkan, seperti pemerintah barangkali tersangkut dengan berbagai mega kasus, lemahnya kepemimpinan Presiden SBY, dan tidak berfungsi maksimal sejumlah menteri kabinet. Salah satu dugaan yang bisa disebut adalah kita sudah menjadi bangsa pelupa, bangsa berpikiran pendek lagi sempit, dan beria-ria membiarkan berbagai permasalahan agar sirna ditelan waktu.

Melupakan dan membiarkan

Mencampuradukkan antara kosep ‘melupakan’ dan ‘membiarkan’ dalam konteks kekinian Indonesia semakin menjadi penting, sebab dua pemahaman ini justru terus menyesatkan. Melupakan tidak selalu membawa makna destruktif, dan sebaliknya membiarkan dapat menemukan makna konstruktif. Memposikan pemahaman melupakan dan membiarkan akan lebih menarik, kalau sejumlah mega kasus di negeri ini dipilah lebih dalam lagi. Tindakan melupakan dan membiarkan bertolak dari kesadaran diri (self-awareness) akan sesuatu peristiwa dalam sejarah diri atau sejarah bangsa. Untuk berdiri tegak dalam gejolak sosial politik, ada masa silam sejarah, yang kendatipun pedih dan merugikan mesti ikhlas dilupakan, agar perjalanan sejarah pribadi dan bangsa tidak terikat hanya kepada masa silam yang kelam.

Dalam sejarah, misalnya, keteladanan Nelson Mandela, bapak bangsa sekaligus pemersatu Afrika Selatan patut diacungi jempol, kendatipun di bawah pemerintahan Apartheid ia dipenjarakan selama 27 tahun. Hak untuk menuntut balas terbuka di depan dirinya, tetapi watak seorang negarawan dan tabiat luhur Mandela yang mengutamakan keutuhan negara Afrika Selatan yang tercabik akibat politik Apartheid, ikut menguburkan segala peluang yuridis untuk mengembalikan martabat diri dan keluarganya.

Lain Nelson Mandela, lain juga pemimpn di negeri ini. Dendam dan tabiat tidak bersahabat selaku ‘negarawan’ sering membingungkan publik, kesanggupan melupakan disparitas idiologi justru terus ditabur ke ranah privat.
Akibatnya, musuh bersama bangsa (the common enemy) seperti kemiskinan dan keterbelakangan tidak diterima sebagai tanggung jawab bersama, tetapi telah dialihkan menjadi tanggung jawab pemerintahan tertentu. Keterpecahan pemikiran sebagai pemimpin, dan lemahnya kapasitas untuk memrioritaskan kepentingan bersama, berdampak pada kebiasaan melupakan tanggung jawab, sehingga kemudian menjadi pemimpin atau mantan pemimpin pelupa lagi berakal pendek.
Tabiat pelupa saat naik kelas menjadi kebiasaan membiarkan, apa pun yang hendak terjadi, berbagai kasus besar yang merugikan publik kemudian disepelekan.
Tidak mengherankan kalau cara pemerintah mengatasi masalah dengan tendensi menciptakan masalah, karena tindakan terhadap kasus-kasus besar di Indonesia yang tidak pernah tuntas secara hukum, sebaliknya menjadi konsumsi politis. Kasus Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan dan isu suap Wisma Atlet SEA Games Palembang, termasuk kasus-kasus besar yang entah kapan akan berakhir. Jatuh ke dalam perilaku tidak mau tahu kian menjadi marak dan merebak menjadi fenomena nasional. Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang menjunjung kebersamaan telah menjelma menjadi bangsa individualistik, mengedepankan kepentingan kelompok dan berpikir parsial, sebab menjalarnya elit-elit faksional, yang asal muasal mereka berkiprah untuk kemaslahatan publik layak dipertanyakan.

Pelupa dan pendek ingatan

Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. Fenomena lain dari bangsa pendek ingatan terlacak juga pada pola mengalihkan perhatian dari satu kasus ke kasus lainnya. Ketika sebuah kasus hangat diperdebatkan, multipihak ikut meramaikan diskursus itu seolah-olah mereka lebih berkompetensi dan memiliki otoritas tunggal.
Tetapi kalau tidak ada hasil konkrit yang diperoleh, atau sudah tidak berdaya memecahkan masalah yang mungkin mereka sendiri timbulkan, maka dengan cepat kasus-kasus itu dipetieskan dan beralih lagi ke kasus-kasus lain. Lonjatan pemikiran atau inkonsistensi serupa semakin marak dan terus digandrungi oleh masyarakat, terutama oleh pemerintah dan para wakil rakyat. Seandainya fenomena sosial ini benar, maka bisa diabsahkan bahwa segala peristiwa dan bencana sosial patut juga ditelusuri dalam pola berpikir manusia Indonesia saat ini.

Simpang siurnya isu dan kasus di negeri ini berdampak pada tidak fokus dan selesainya persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yang membingungkan masyarakat Indonesia adalah sejumlah kasus yang disinyalir berkaitan dengan kepemimpinan dan figur Presiden SBY. Selaku tokoh nasional SBY berada pada pusaran dan titik perhatian masyarakat, sehingga selentingan apa pun yang datangnya dari pusat kekuasaan pasti akan menjadi berita.
Para penasihat beliau sering muncul dengan berbagai pemikiran yang ‘mewah’ dan tidak mudah dicerna publik. Kasus blue energy dua tahun silam yang menghebohkan yang bertalian dengan rekayasa teknik yang hasilnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip sains, dan belum teruji tingkat kebenarannya. Belum puas dengan pernyataan bersifat sensasional itu, mendadak datang pemikiran staf khusus SBY mengenai potensi ancaman gempa bersala 8,6 skala Richter yang berpotensi meluluhlantakkan Jakarta dan sekitarnya. Isu gempa berskala masif mencuat ke permukaan pemberitaan media massa dan media cetak manakala Partai Demokrat lagi diterpa isu miring akan anggota-anggotanya yang ditengarai terlibat kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Segala isu yang mencakupi korupsi, lingkungan, NKRI dan suap belum lagi selesai ditangani, dan semakin menggiring negeri kita ke dalam kategori bangsa gagal, maka masyarakat dihebohkan dengan berita sensasional ‘Presiden SBY Menjalani Diet’. Aneh tapi nyata, dan inilah sejatinya wajah kita sekarang ini. Benturan antara prioritas nasional, tokoh, peristiwa serba tunggang menunggang satu dengan lainnya, sehingga rumit untuk memilah di antara kasus-kasus tersebut. Mencermati jalan berita di negeri ini yang cepat melengkung dan berpindah arah tanpa sinyal awal, sudah meyakinkan dan menjustifikasi asumsi publik bahwa ‘pengalihan isu menjadi senjata termudah dan tercepat untuk meminimalisasi tanggung jawab parapihak’.
Potensi kebenaran dapat juga tertoreh pada adagium ini, bahwa skala prioritas sebuah berita yang substansial telah ditekan oleh popularitas dan intervensi kekuasaan dan modal yang secara tidak langsung melemahkan peran utama pers. Atau saling memanfaatkan antara penguasa, pemilik modal dan parapihak, untuk mencapai agenda-agenda terselubung secara politis, namum dikemas dalam bentuk yang tidak mencurigakan. Apa urusan ratusan juta rakyat Indonesia dengan ‘diet SBY’ bila dibandingkan dengan akumulasi ketidakadilan, pengangguran, korupsi, suap, malapetaka lingkungan dan perilaku menyimpang para penentu kebijakan di negeri ini?

Kalau mau dicermati, mungkin setiap kali timbul tenggelam kasus-kasus besar di negeri ini, dan bersamaan waktu dengannya, lahir juga berita-berita aneh dan lucu yang tidak relevan, yang tidak sanggup diadopsi sebagai pijakan untuk mengoreksi kegelisahan-kegelisahan sosial itu. Tanda-tanda kemandegan berpikir simetris terjerembab dalam pola penalaran yang siklis (berputar) adalah indikator manusia yang terjebak dalam kegalauan diri sendiri, kemudian bermimpi menarik orang lain agar terperangkap dalam keterpurukannya. Kalau ini indikasinya, maka kondisi dan kualitasnya tidak lagi berada pada tahapan ‘bangsa pelupa’ tetapi ‘bangsa lemah dan pendek ingatan’. Barangsiapa terperangkap dalam kategori ini mesti diawasi karena berpotensi merongrong aturan sosial yang mapan, dan ia berpikir sementara membangunan tatanan masyarakat yang lebih baik. Realitas masyarakat kita akhir-akhir ini ada dalam suasana yang persis seperti orang yang rusak ingatan, tetapi berbangga bahwa kita adalah tokoh idola dari masyarakatnya. Sebab itu jangan pernah berharap banyak terhadap para pemimpin yang bermimpi bahwa mereka adalah figur-figur panutan, kalau gagasannya hanya untuk perutnya hari ini, namun garang menghunus pedang dan mengumbar janji sebagai sumber jawaban atas segala bencana sosial.

Dalam peradaban manusia, sejarah tidak pernah dikonstruksikan oleh pemikir yang kerdil, pengecut dan individualistik; apalagi oleh kelompok manusia beringatan pendek, yang bakatnya adalah meloncat dari satu gagasan ke gagasan lainnya. Ingatan kolektif (collective memory), dalam sejarah pemikiran bernalar dan memiliki daya tarik positif, mengatasi kenangan masa silam yang kelam kemudian bermuara pada medan perubahan yang menjanjikan. Nuansa bersama sebagai bangsa akhir-akhir ini sementara mengantisipasi perhelatan politik menyongsong tahun 2014, distorsi nilai, krisis identitas, pergulatan ekonomi dan sejumlah kasus yang mengakibatkan kita tersesat dan saling menyalahkan.
Terperangkap dalam pusaran realitas serupa ini akan mendesak manusia mencari selamat dan jalannya sendiri, dengan melahirkan pengkhianat-pengkhianat baru yang sejatinya berpikir mereka tidak pernah keliru. Pengkhianatan terhadap komitmen awal dari perjuangan bersama memberantas ketidakadilan adalah salah satu indikator dari manusia yang berlogika sempit, egois dan takut mengangkat tanggung jawab. Ingatan kolektif nantinya berujung pada keretakan kesadaran berbangsa, dari pada mereunifikasi kemampuan nasional untuk tidak jatuh dalam kesalahan sejarah masa silam. *

Ujian Partai Demokrat

Oleh: Ansel Deri ( Kader Partai Demokrat dan Tenaga Ahli (A-558) DPR RI)

PARTAI Demokrat kembali memasuki ujian. Dua kader dan petinggi partai masuk dalam pusaran arus dugaan skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia. Isunya bermula dari dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Nilai kerugian negara mencapai Rp 200 miliar.
Selain melibatkan orang dalam Kemenpora, tersiar pula nama Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo, Rosalina Manulang, dan Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris, yang masuk dalam skandal itu.
Isu itu kian panas tatkala dua petinggi Partai Demokrat terseret dalam pusaran arus dugaan skandal suap. Pertama adalah Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhamad Nazaruddin (Nazar). Kedua, Wakil Sekretaris Jenderal, Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angie). Keduanya saat ini juga tercatat sebagai anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI.

Ujian

Jauh sebelum itu, Partai Demokrat, Dewan Pembina, dan kader-kadernya juga mendapat ujian black campaign. Melalui buku “Membongkar Gurita Cikeas” karya George Junus Aditjondro yang terbit pada 2010, George, doktor lulusan Cornell University, Ithaca, New York, menuding Partai Demokrat menang fantastis karena suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan dari sekitar tujuh menjadi sekitar dua puluh persen.
Penggalangan dana yang luar biasa serta besarnya pembelian suara (vote buying) oleh para kadernya memainkan peranan yang besar melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya. Dengan kata lain, kemenangan SBY bukan hanya karena kehebatan kharismanya, yang dikemas oleh Fox Indonesia dalam iklan-iklan bernilai jutaan rupiah di media cetak dan elektronik dibarengi klaim-klaim kesuksesan periode kepresidenan yang pertama.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR mengungkapkan skandal Bank Century menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi partai itu menutupi hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Tak hanya itu. George juga membeberkan adanya sorotan masyarakat terhadap deposan terbesar Bank Century, khususnya Siti Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna. Hartati, kader Partai Demokrat dan pemilik Pekan Raya Jakarta (PRJ) bersama Boedi, melalui kelompok bisnisnya disebut-sebut menggelontorkan dana untuk kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.

Soal Korupsi

Upaya memberantas korupsi di Indonesia sudah menjadi komitmen SBY dan Partai Demokrat. Sejak terpilih pada periode pertama dan dilanjutkan pada periode kedua, korupsi menjadi agenda penting lain yang dikerjakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat. Selama menjadi presiden, banyak pejabat dan kader Partai Demokrat yang terbukti melakukan korupsi dijebloskan di tahanan. Komitmen ini terus menyata selama mengemban mandat rakyat.
Dalam kasus yang diduga melibatkan dua kader Partai Demokrat: Nazar dan Angie, misalnya, SBY juga mempersilahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga penegak hukum untuk mengungkapkan kasus itu secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian masyarakat juga mengikuti tentang kebenaran dari apa yang diduga. Presiden meminta agar publik menunggu hasil penyelidikan KPK terlebih dulu. Ini penting karena komentar-komentar publik sering tidak bisa dibedakan mana yang fakta dan mana yang analisis.
Kasus dugaan keterlibatan Nazar dan Angie disebut-sebut merupakan bumerang bagi SBY. Mengapa? Dua kader itu adalah tokoh publik dan kasus dugaan suap itu terjadi di kementerian yang dipimpin kader Partai Demokrat.

Agenda Rakyat

Salah satu agenda penting pemerintahan SBY adalah masalah korupsi. Korupsi sudah pasti jadi musuh bersama. Itu yang juga pernah ditegaskan SBY saat menyampaikan pidato menyambut Hari Antikorupsi se-Dunia di Istana Negara Jakarta pada 8 Desember 2009. Memberantas korupsi tidak saja untuk menyelamatkan setiap rupiah uang rakyat, namun juga untuk membangun sebuah kesadaran baru bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Korupsi adalah perbuatan tercela secara moral, etika, dan agama. Korupsi adalah sebuah kejahatan yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Korupsi adalah tindakan asosial dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Korupsi adalah sebuah keonaran yang menghancurkan nilai-nilai dan solidaritas kemanusiaan. Karena itu, ia (korupsi) menjadi musuh bersama (Pos Kupang, 29/1 2010).
Selain masalah korupsi yang juga menjadi konsern SBY, ada banyak agenda rakyat yang butuh kerja keras mengatasinya. Agenda ini juga pernah tertuang dalam buku SBY-Boediono: Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan. Sekurangnya ada lima agenda, yaitu
(i) peningkatan kesejahteraan rakyat, (ii) perbaikan tata kelola pemerintahan, (iii) penegakan pilar demokrasi, (iv) penegakan hukum, dan (v), pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Namun, di tengah upaya pemerintah dan rakyat mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, praktik korupsi sepertinya tumbuh subur. Tak hanya melibatkan pejabat pemerintahan, tetapi juga elit partai politik.

Bagi kader Partai Demokrat, pesan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sangat tepat. Dalam situs pribadinya, www.bunganas.com, 17 Oktober 2010, Anas meminta agar politik cerdas dan santun mesti dijadikan merk dagang Partai Demokrat.

Partai harus membangun budaya organisasi. Basisnya adalah etika dasar berpolitik yang cerdas, bersih, dan santun. Jika semua itu menjiwai hati dan sanubari kader, ujian-ujian berat seperti kasus yang diduga membelit para kader dapat diminimalisir. *

Thursday, May 19, 2011

PASKAH: PAS KAH?

Di Gerbang Yerusalem, umat bagai lautan menyambut kedatangan Yesus. Dengan mengendarai keledai, simbol kendaraan orang-orang miskin, Yesus memasuki kota tua itu. Orang-orang yang hadir waktu itu melambaikan daun-daun palma bahkan menghamparkan pakaian di jalan. Suasana gembira ini hanya dirasakan oleh mereka yang hadir tetapi bagi Yesus, hal ini merupakan permulaan untuk memasuki gerbang derita. Ia tahu bahwa dibalik kegembiraan dan sorak gempita, tersembul sebuah niat untuk menghukum Sang Raja yang dieluk-elukannya.
Situasi ini juga masih terasa getaran kegembiraan di saat merayakan minggu palma. Umat yang membanjiri gereja Gregorius terus melambaikan daun-daun palma yang ada di tangannya untuk mengingat kembali peristiwa lampau yang penuh makna. Perayaan misa yang dihadiri oleh ribuan umat ini semakin memarakkan suasana bahkan menghadirkan masa lampau (mengkinikan masa lampau) untuk mengantar umat mendalami kisah-kisah sengsara yang dijalani oleh Yesus.
Setelah merayakan minggu palma, umat semakin merasakan detik-detik terakhir ketika Yesus melewati malam dengan penuh peluh. Tetapi sebelum menjalani sengsara-Nya, Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya. Hari Kamis Putih diperingati secara meriah oleh umat Gregorius. Dalam khotbahnya di hari Kamis Putih itu, Romo Edy menekankan kasih yang tulus yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Untuk mengantar umat memahami kasih, Romo Edy mengajak umat untuk memahami kasih seorang ibu. Kasih ibu luar biasa dan tak terhingga. Ibu selalu membasuh, membersihkan anak-anaknya. Kasih seorang ibu adalah kasih yang tidak mengenal batas. Di sela-sela khotbahnya, Romo Edy mengajak seluruh umat untuk menyanyikan lagu “kasih ibu kepada beta.” Dalam lagu itu, setiap umat sepertinya digiring untuk mengenang masa lampau terutama ketika berada dalam pelukan sang bunda.
“Kasih dari seorang bapak-ibu adalah tulus,” apalagi kasih yang kita terima dari Allah, jauh lebih tulus. Melalui Yesus Putera-Nya ia membagikan kasih kepada kita. Allah rela memberikan Putera-Nya yang tunggal sebagai tebusan atas dosa-dosa umat manusia. Semua ini dilakukan karena kasih. Dalam kasih sayang itu terdapat rasa untuk mencintai dan mencintai berarti setiap orang harus keluar dari dirinya. Yesus telah memperlihatkan kepada kita, bagaimana mencintai orang lain dalam situasi apa pun. Mencintai manusia yang dilakukan oleh Yesus dijalani secara berbeda, yaitu dengan menjalani sengsara, wafat dan bangkit bagi kita. Dengan kasih ekaristis, orang diberi kekuatan untuk memiliki kasih. Mengasihi membuat Dia mampu untuk menahan derita. Yesus mengasihi kita sampai pada kesudahannya. Seperti air yang terus mengalir dan mengairi tempat-tempat yang gersang, demikian juga kasih. Kasih yang telah diperlihatkan Yesus adalah kasih yang terus mengalir dari mata air pengharapan.
Dalam perayaan ekaristi untuk mengenang malam perjamuan terakhir, diadakan juga upacara pembasuhan kaki bagi para murid. Peristiwa pembasuhan kaki ini menjadi tanda kerendahan hati dalam melayani. Yesus telah memperlihatkan kasih dan pelayanan melalui cara-cara sederhana agar mudah diingat dan diaplikasikan dalam kehidupan setiap hari. Seusai perayaan ekaristi, umat juga masih mengikuti perarakan sakramen maha kudus untuk ditaktahkan pada tabernakel sementara. Untuk selanjutnya diadakan doa bergilir (malam tuguran), berjaga sambil berdoa bersama Yesus yang sedang menghadapi bahaya maut yang akan mengancam-Nya.
Keesokan harinya,tepatnya pukul 10.00, umat melaksanakan jalan salib yang mengambil lokasi seputar gereja. Puluhan umat yang umumnya mengenakan pakaian berwarna hitam, terlihat khusuk mengikuti jalan salib. Di tengah terik yang menyengat, tidak menyurutkan niat umat yang dengan setia mengikutinya dari satu perhentian ke perhentian lain. Di sinilah, umat diajak untuk merenungkan pelbagai peristiwa yang direkam zaman tentang proses hukuman hingga penyaliban dan penguburan Yesus. Sore harinya, pada pukul 15.00, ribuan umat membanjiri gereja untuk mengikuti kisah sengsara dalam ibadat Jumat Agung. Dalam rangkaian ibadat itu, setiap umat diberi kesempatan untuk mencium salib. Satu persatu datang menghampiri salib dan mencium dengan penuh khidmat. Khotbah Romo Kesar lebih menekankan pada nilai pengorbanan yang telah ditunjukkan oleh Yesus kepada manusia. Dengan kematian Yesus, menunjukkan kepada kita, mengapa Anak Allah menderita? Hal ini menjadi perayaan iman dan apa yang dilakukan-Nya sebagai silih dosa sekaligus memberi teladan akan sebuah pengorbanan. Teladan yang telah diperlihatkan oleh Yesus perlu disyukuri dan dihargai.
Pengalaman menderita sengsara seperti yang dialami oleh Yesus telah mengantar kita pada suatu hidup baru, harapan baru melalui Paskah, sebuah inisiatif Allah membangkitkan Yesus Putera-Nya. Di malam Paskah nan syahdu, Romo Herman mengantar umat untuk memahami arti Paskah Yahudi dan Paskah Yesus yang dikenang saat ini. Paskah, Allah Yahwe lewat untuk melawati umat-Nya. Itu berarti Allah bertindak. Dalam arti tertentu, Paskah juga merupakan saat di mana Allah berpihak dan bertindak. Dimulai dari kisah kejadian. Dalam kisah penciptaan, Allah bertindak maka terjadilah sesuatu. Kitab keluaran juga melukiskan di mana Allah bertindak terutama kepada umat Israel yang berhasil keluar dari genggaman dan penindasan Mesir. Nabi Yehezkiel secara terbuka mengisahkan tentang umat Israel yang tetap dicintai oleh Allah. “Kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku menjadi Allah-Mu.”
Allah bertindak berarti Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada manusia yang berdosa. Bukan karena kamu, Aku bertindak tetapi Akulah yang Kudus yang telah kamu najiskan di antara bangsa-bangsa. Allah bertindak, menyucikan kembali manusia dari dosa. Dalam Perjanjian Baru, Paulus menegaskan bahwa kamu telah mati bagi dosa tetapi hidup karena Kristus. Yesus dibangkitkah oleh Allah, itulah iman kita. Allah menerima persembahan diri Yesus secara total di kayu salib. Seperti Yesus yang telah mempersembahkan diri-Nya secara total kepada kita maka pastaslah apabila kita mempersembahkan diri dan segala kekurangan pada Allah maka Allah mau menyelamatkan kita. Sebagai orang yang telah dibaptis, harus menjadi saksi di tengah masyarakat. Kesaksian yang diperlihatkan adalah mau berkorban demi orang lain. Paskah, sudah pas kah buat kita untuk mengalami Putera Allah yang menderita dan bangkit? ***(Valery Kopong)