Tuesday, June 14, 2011

Rebut, Sekali Lagi Rebut

Oleh Yoseph G Lema (Novelis, warga Kota Kupang)

SAAT kita sedih karena tak memiliki uang untuk membeli beras, sayuran, lombok, garam, bahkan ubi lapuk, patut diduga semua itu akibat ulah koruptor. Ketika kita cemas, gelisah dan takut karena tak mampu membayar rekening listrik, air dan telepon, yakinlah itu pun mungkin saja dampak dari sadisnya sepak terjang koruptor.
Ketika kita menangis karena tak sanggup membayar biaya sekolah anak-anak, membeli seragam dan alat tulis mereka, ini pun bisa jadi akibat brengseknya para koruptor. Dan ketika kita pasrah menunggu ajal akibat tak sanggup membayar biaya rumah sakit, dokter, bidan, dukun atau orang pintar, bukan tak mungkin ini pun akibat kerakusan koruptor.

Media cetak dan elektronik memberitakan sadisnya perampokan bersenjata, pencurian, copet, mencuri dengan cara hipnotis, bobol mesin ATM, perkelahian antargeng memperebutkan wilayah kekuasaan ekonomi jalanan, penodongan, curanmor, penipuan melalui telepon, gizi buruk, busung lapar, narkotika, miras, judi, jual diri, jual martabat, jual nurani, jual jiwa, jual semuanya, ini pun diyakini sebagai dampak dari kerakusan koruptor.
Demikian pula dengan jalan-jalan rusak di bawah umur teknis, bendungan jebol, jembatan layang ambrol, gedung-gedung runtuh, saluran drainase pecah, jatuhnya pesawat udara, gagal tanam, gagal panen, ketiadaan pupuk dan pestisida, ketiadaan air bersih, hutan-hutan gundul, bencana banjir, bencana alam, semuanya disinyalir akibat ganasnya keserakahan koruptor.
Ilustrasi di atas memperlihatkan Indonesia sebagai negerinya para koruptor. Sarang koruptor. Seluruh denyut kehidupan didominasi hembusan nafas koruptor.
Udara yang mengisi langit di atas nusantara dari Sabang sampai Merauke seolah terbentuk dari bau busuk tarikan nafas koruptor. Koruptor bahkan telah menjadi darah, daging, otot, tulang, saraf dan jantung republik ini. Mereka beranak pinak, membibit virus korupsi dalam diri setiap anak bangsa. Kapan saja, di mana saja virus korupsi menjangkiti seantero negeri.
Dengan gampang kita bisa mengenali para koruptor. Penampilannya selalu menarik. Duit banyak, busana mahal, rumah mewah, mobilnya pasti bagus. Nafas dan tubuhnya wangi. Para penjilat memuji kentut si koruptor, katanya wangi, menebar aroma uang.
Di ujung tanduk
Kita salah satu negara terkorup di dunia. Hukum diperjualbelikan. Si miskin dilindas, ditindas. Kecewa dan sakit hati meradang.
Amuk massa di mana-mana. Neraka jahanam di depan mata. Api menyala, membakar nilai-nilai. Kebaikan, kejujuran, ketulusan, kesucian diberangus. Persatuan retak, sebagian pecah, bahkan hancur berkeping-keping. Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika seperti cawan di ujung tanduk. Oleng, terombang-ambing tak karuan. Sekiranya jatuh, pasti hancur, berantakan, berserakan, berdarah-darah dari Sabang sampai Merauke.

Negeri ini di ujung tanduk. Sekarat, menanti ajal. Masing-masing mulai berkemas. Berjaga-jaga, bila hari itu tiba. Hari naas, bermandi darah dan air mata. Namun, pemudanya masih sibuk berdemo. Masih doyan bermain-main di jalan. Bawa spanduk, plakat, poster, karikatur, sambil menghujat, caci maki lewat pengeras suara. Kemudian bakar ban, bakar aspal, bakar mobil, bakar gedung, bakar nilai-nilai, bakar jiwa, bakar diri, bakar semuanya.

Ternyata visi pemuda kita masih seperti zaman doeloe. Seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bisanya cuma jalan bergerombol, berdemo, caci maki, lempar batu dan bakar-bakaran. Malah sebagian berdemo karena dibayar koruptor. Mati-matian membela dan melindungi kepentingan koruptor dan keluarganya. Ironis. Negara sudah bangkrut, pemudanya masih berada di jalan yang salah. Negara di ujung tanduk, pemudanya masih berhamba, menjilat dan menetek pada koruptor.
Rebut
Masih relevankah pemuda turun ke jalan? Masih pantaskah pemuda berdemo, berteriak-teriak, mencaci maki dan bakar-bakaran? Masih pantaskah pemuda saling lempar batu dengan aparat keamanan? Dan terbunuh?
Dalam kondisi negeri serba kacau-balau seperti sekarang sudah saatnya pemuda mengubah haluan perjuangan. Pemuda tidak boleh lagi hanya sekadar menjadi alat. Sebab kondisi republik hari ini menuntut Pemuda tampil sebagai penyelamat dalam artian sebenarnya. Bangsa dan negara ini membutuhkan pemuda sebagai pembuat sejarah baru.

Suka atau tidak suka, pemuda harus mengambil peran sebagai lokomotif perubahan. Hari ini juga, pemuda harus keluar dari jalan raya, sebab disana terbuki tidak memberikan jalan keluar bagi perbaikan nasib bangsa ini.
Berhentilah berbangga karena telah menggulingkan rezim Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno pada tahun 1965 silam, yang nyatanya hanya melahirkan rezim Orde Baru yang sama buruknya. Berhentilah menepuk dada karena telah menggulingkan rezim Orde Baru dibawa kepemimpinan Pak Harto pada tahun 1998 silam yang ternyata hanya melahirkan Orde Reformasi yang kebusukannya melebihi dua orde sebelumnya.
Sekali lagi, berhentilah bermain-main di jalan raya.
Berhentilah menggadaikan nyawamu untuk sesuatu yang sia-sia. Hari ini juga, sekarang juga, rebutlah kekuasaan itu. Sudah lama rakyat menunggu tampilnya pemuda sebagai juru selamat. Selamatkan negeri ini dari cengkraman tangan kuat para koruptor. Mereka ada di mana-mana, tiap saat menghisap darah rakyat. Daging, darah dan belulang jelata dijadikan lauknya.

Karena itu, visi pemuda hari ini: Rebut. Sekali lagi, rebut dan rebut. Nyanyikan itu dengan lantang, teriakkan itu kepada angkasa raya. Katakan kepada langit, awan, bintang, matahari, hujan, guntur, kilat, laut, sungai, gunung-gunung dan bumi tempat berpijak, bahwa hari ini kami bertobat. Tobat. Hari ini kami menanggung dosa orang tua kami, leluhur kami, nenek moyang kami yang telah bersalah pada Ilahi, pada alam semesta, pada jagad raya dan bangsa ini. Bersalah pada nurani yang suci, tulus dan putih. Bersalah pada Ibu Pertiwi.
Walikota atau bupati
Indonesia sudah rusak. Ibarat ikan, busuknya dari kepala sampai ekor. Saat ini ‘ikan busuk itu’ mulai hancur dalam genggaman kolaborasi penguasa dan pengusaha. Dari pusat sampai ke daerah-daerah telah terjadi ‘perkawinan jahat’ antara penguasa dan pengusaha. Karenanya, tidak mungkin kita memperbaiki Indonesia dimulai dari pusat. Kenapa? Karena di pusat bukan masalah saja yang melilit bagai benang kusut, tapi kepentingan pun minta ampun kusutnya.

Itu sebabnya, pemuda tak perlu rebut kursi presiden. Tidak penting. Tak perlu merebut kursi menteri. Lebih tak penting. Tak perlu merebut kursi dirjen atau juru bicara. Itu hanya sekadar gaga-gagahan dan membuang-buang waktu. Tak perlu juga merebut kursi gubernur. Kurang penting. Yang harus direbut hari ini, saat ini juga adalah kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Rebut, rebut, rebut. Hari ini, saat ini juga pemuda harus rebut.

Kenapa? Karena otonomi daerah ada di kabupaten/kota. Pemuda mempunyai peluang untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa ini dengan menggunakan teori ‘bubur panas’. Kita memperbaiki bangsa ini dari pinggiran. Dari kabupaten/kota. Yang pasti luas wilayah kabupaten/kota kecil.
Jumlah penduduk pun sedikit. Bila pemuda di suatu kabupaten/kota bersatu padu, berkomitmen mensejaherakan rakyat di daerahnya, yakinlah seluruh rakyat pasti bangkit, bahkan dengan segala kemampuan yang ada akan mendukung. Melalui jalur independen pasangan pemuda berpeluang memenangkan kursi bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Pemuda harus berani memulai, yakinlah rakyat pasti berdiri tepat di belakang kalian.

Kenapa jalur independen? Karena inilah pintu rakyat. Pintu yang bersih. Pintu yang memancarkan energi positip. Pintu lainnya, maaf, sekali lagi maaf, karena aromanya sungguh tak sedap dan tak memberi sedikit pun harapan bagi perbaikan bangsa ini. Dalam jangka panjang pintu-pintu kotor dan busuk ini pun harus direbut dan dibersihkan dari penyakit kotor warisan koruptor.
Musa
Lantas siapakah pemuda itu? Banyak kriteria bisa diperdebatkan. Namun yakinlah pemuda yang saat ini dibutuhkan adalah pemuda yang memiliki kepekaan plus terhadap rakyat. Seperti kisah Musa pada Perjanjian Lama. Musa yang muda belia begitu gelisah hatinya ketika melihat penderitaan bangsanya.
Penderitaan orangtuanya, sanak keluarganya, kaum kerabatnya. Dengan bimbingan Tuhan akhirnya Musa menerima tanggung jawab membawa bangsanya menuju Tanah Terjanji. Empat puluh tahun lamanya mereka berkelana di padang gurun. Akhirnya sampai ke Tanah Terjanji yang bermandikan madu dan susu.

Pemuda seperti itulah yang kini dibutuhkan bangsa ini. Pemuda pemberani, cerdas, bermoral, jiwanya dipenuhi Roh Kudus. Yaitu pemuda yang sedang berada pada usia emas, lelaki atau perempuan, berusia antara 25 sampai 35 tahun. Karena inilah usia yang luar biasa, usia energik dan sarat idealisme. Pada usia ini ada semangat, gairah dan ambisi luar biasa untuk mencetak sejarah baru. Kita butuh pemuda yang mampu membuat sejarah kebaikan bagi bangsanya, bagi daerahnya, bagi tumpah darahnya tercinta.

Karena itu, bila skenario ini bisa dilaksanakan pada hari ini, maka 40 tahun (empat dasawarsa) berselang, ketika lima puluh persen (50 %) dari kabupaten/kota yang dipimpin pemuda mengalami perbaikan, maka yakinlah Indonesia sudah berubah. Bangsa ini sudah berada pada rel menuju kejayaan.
Wariskan yang benar
Kesalahan apa yang dilakukan Indonesia kemarin dan hari ini? Banyak. Salahnya teramat sangat banyak, sampai-sampai tak bisa dihitung. Kasus Bank Century, rekening gendut Polri, Anggodo, BLBI, ilegal loging, Gayus Tambunan, uang palsu dan masih seabrek kasus lainnya hanya merupakan sedikit contoh. Namun kesalahan paling fatal, ketika para pemimpin bangsa ini dari generasi ke generasi gagal mewariskan yang benar kepada generasi berikutnya.

Para pemimpin kita selalu mewariskan yang salah. Selama puluhan tahun para pemimpin bangsa ini berjalan di atas rel kebohongan. Bohong telah menjadi hal yang biasa bagi pejabat di republik ini. Dan semua orang menerimanya sebagai kewajaran, tak kecuali pemuda. Kebohongan berulang dari generasi ke generasi.
Karena itu, mata rantai pewarisan kebohongan harus diputus.
Tugas pemuda hari ini dan besok adalah memutuskan mata rantai itu. Pemuda harus menjadi cahaya yang mewariskan terang kebenaran. Urusan pemerintahan harus ditata secara benar. Urusan politik pun harus diramu dan dimasak dalam belanga nurani kebenaran. Urusan uang harus dikelolah dengan jujur.
Semua harus berjalan di atas rambu-rambu etika, moral, kejujuran dan kebenaran. Nilai-nilai kebaikan inilah yang harus ditumbuh kembangkan di dalam diri setiap anak bangsa, di dalam setiap rumah tangga negeri ini. *

0 komentar: