Perhelatan demokrasi pada Pilkada DKI Jakarta
pada putaran kedua, semakin memperlihatkan cara-cara yang memuakkan dari
pendukung Paslon tertentu. Cara-cara kampanye yang tidak demokratis ini
dilansir oleh salah satu stasiun televisi swasta dan mengemas dalam acara
talkshow dengan judul: “Cara Keji Kampanye Pada Pilkada DKI Jakarta.” Mengapa
publik melihat bahwa cara kampanye saat ini merupakan cara keji? Beberapa
kasus terutama dalam pemasangan spanduk
yang bernada provokatif menimbulkan keresahan di masyarakat. Agama seakan
menjadi isu murahan karena agama itu sendiri dipolitisasi demi mencapai target
politik, yakni kemenangan. Kampanye “keji” ini memperlihatkan bahwa strategi
kampanye yang dipakai oleh salah satu Paslon dirasa tidak mempan untuk
mendongkrak popularitas Paslon tersebut.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para
pendukung Anies-Sandi pada hari-hari terakhir ini memperlihatkan kemunduran
dalam berdemokrasi. Berdemokrasi itu sendiri memperlihatkan upaya yang sehat
dalam meyakinkan Paslon yang diusung dan membiarkan masyarakat secara bebas untuk menentukan pilihan pada
saat pemungutan suara nanti. Tetapi kenyataan dalam berkampanye, isu mengenai
program yang mestinya digadang sebagai “komoditi politik” dalam meyakinkan
publik, ternyata kurang diperhatikan atau bahkan program yang ditawarkan
menjadi bahan tertawaan karena dirasa kurang logis. Misalnya menyangkut program
perumahan, masyarakat diberi kemudahan untuk mengkredit rumah dengan DP 0
%. Program ini dinilai tidak wajar dan pada beberapa waktu lalu,
Gubernur Bank Indonesia angkat bicara soal DP 0 % yang secara prosedural menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. Ada
beberapa program lain yang ditawarkan oleh Anies-Sandi, yakni menolak
reklamasi. Tentang reklamasi, pada beberapa minggu lalu, ada dua pulau
dihentikan setelah adanya putusan dari PTUN. Itu berarti bahwa program
penolakan reklamasi yang selama ini didegungkan menjadi sesuatu yang absurd.