Suasana pagi dengan kabut yang mengelabui wilayah Tangerang, sepertinya
menggiring kesadaranku untuk menulis sesuatu sebagai bentuk sumbangan pemikiran
dan refleksiku terutama tentang
demokrasi yang terus diuji lewat pesta demokrasi. Demokrasi yang saat ini hidup
setelah melewati masa pemerintahan yang otoriter selamat tigapuluh dua tahun. Tetapi
apakah demokrasi yang sedang kita bangun itu memperlihatkan wajah demokrasi
yang sebenarnya? Pertanyaan tuyul ini
menggelitik ketika melihat geliat pesta pilkada sebagai realisasi demokrasi
yang didambakan publik.
Memang, banyak wilayah di negeri ini mengadakan perhelatan akbar dalam
pilkada untuk mencari pemimpin yang diharapkan warga. Tetapi dari sekian banyak
pilkada, sepertinya pilkada DKI Jakarta menjadi magnet bagi seluruh warga
Indonesia. Mengapa di tahun-tahun sebelumnya, pemilihan gubernur DKI Jakarta
tidak seheboh saat ini? Menurut penulis, hebohnya pilkada DKI Jakarta saat ini
karena calon gubernur yang diusung adalah Ahok yang beragama Kristen dan
keturunan Thionghoa. Persoalan agama yang merupakan aspek primordial yang
melekat dalam diri seseorang ternyata berpengaruh besar dalam perhelatan
politis bahkan terus dipersoalkan.
Max Weber, seorang sosiolog pernah berujar bahwa agama merupakan “jaring
laba-laba yang memberi makna.” Secara makro bisa ditafsir bahwa setiap orang
memaknai nilai-nilai agama dan memperlihatkannya pada realitas sosial dan mestinya seorang
agamawan yang baik adalah dia yang memperlihatkan perilaku yang baik sebagai
bentuk kristalisasi nilai-nilai agama yang dipelajarinya. Apa yang dikatakan
oleh Weber, masih jauh dari jangkauan refleksi seorang politisi yang menamakan
diri beragama.
Ahok tidak membawa agamanya masuk ke pusaran politis tetapi yang dibawa
adalah nilai-nilai keagamaan. Hal ini nampak dari rekam jejak pelayanannya
selama menjabat sebagai wakil gubernur dan gubernur DKI Jakarta. Ahok melihat
kekuasaan yang diterimanya sebagai kekuasaan untuk melayani dan bukannya untuk
memperkaya diri. Ahok telah memperlihatkan perubahan besar kota Jakarta yang
selama ini terkesan kumuh, tetapi lawan-lawan mereka sepertinya dibutakan
matanya untuk tidak melihat keunggulan Ahok. Ia terus didera dengan pelbagai
hal, mulai dari penistaan agama, suku dan bahkan mempersoalkan agama yang
dianutnya, karena bagi agama tertentu, pemimpin bukan berasal dari agama
Kristen.
Dalam refleksi dan dari kaca mata iman kristiani, saya memahami bahwa
Ahok sedang berada dalam pergulatan panjang. Jakarta, dalam kaca mata iman,
merupakan Getzemani bagi Ahok untuk terus bergulat batin dalam menghadapi
ancaman dari luar diri dan para penantangnya. Jalan politis Ahok, tidak lain
adalah jalan salib yang tidak pernah selesai. Karena menjadi pengikut Kristus
berarti berusaha berhadapan dengan zona iman yang tidak aman. Namun justeru
dalam tantangan itu, Ahok dan para pengikut Kristus, menemukan makna
sesungguhnya menjadi pengikut Kristus.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment