MEMBACA beberapa karya sastra
berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatu situasi riil yang sering dialami oleh
manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering
menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari
sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi
masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai
seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini
muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih
jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini?
Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya
menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang
seksualitas?
Ahmad
Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi
dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh
Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur
lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum
dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan
telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara
pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa,
terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam
sayembara bergengsi itu.