MEMBACA beberapa karya sastra
berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatu situasi riil yang sering dialami oleh
manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering
menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari
sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi
masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai
seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini
muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih
jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini?
Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya
menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang
seksualitas?
Ahmad
Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi
dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh
Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur
lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum
dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan
telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara
pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa,
terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam
sayembara bergengsi itu.
Seksualitas
dalam catatan seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan
menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat aib ini
sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan yang mesti
dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra seakan menggiring
kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara detail tentang makna acara
ritual pengukuhan seorang peronggeng baru yang dilihat sebagai suatu keharusan
yang mendakwa.
Perempuan
dalam kaca mata Ahmad Tohari adalah sosok yang gampang tergiring untuk menerima
situasi yang menimpah dirinya. Perempuan yang sama merupakan pribadi yang dapat
membangun suatu ikatan yang kokoh antara roh Ki Sekamenggala sebagai peronggeng
ulung yang telah meninggal sekian tahun yang lalu dengan peronggeng baru. Malam
sayembara dapat saya pahami sebagai penghadir kembali roh peronggeng masa lalu
yang mungkin terjelma dalam diri pemuda yang memenuhi kriteria untuk membukakan
keperawanan seorang Srintil.
Pemecahan
keperawanan seorang Srintil sebagai bentuk peleburan dan tanda kehadiran abadi.
Perempuan rela membuka rahim untuk ditumbuhi benih baru, suatu regenerasi yang
dilakukan untuk memperpanjang kisah peronggengan. Rahim seorang Srintil tidak
lain adalah “rahim khatulistiwa”, rahim semesta yang senantiasa memproduk
manusia baru untuk tampil menafasi sebuah kisah yang menjadi milik berharga
sebuah komunitas. Ronggeng adalah tarian yang dilakonkan oleh orang tertentu
dan karena eksklusivitas ini memberi identitas pada komunitas Dukuh Paruk.
Penghuni
kolong langit Dukuh Paruk merasa bahwa ada pengembalian reputasi dengan
hadirnya Srintil yang memperpanjang kisah ketenaran kampung mereka. Mereka
merelakan seorang bocah untuk dinodai demi kebersamaan. Apakah peminat
masyarakat lain juga merelakan seorang perempuan untuk dinodai atas nama
publik? Tapi mungkin, dalam kerelasediaan itu, secara manusiawi Srintil pun
pasti membangun perlawanan terhadap tuntutan situasi itu. Terhadap
pemberontakan, secara diam-diam, aku teringat akan perempuan-perempuan dalam
novel “Saman” milik Ayu Utami, yang mengadakan pemberontakan dan protes dengan
menggaruk kemaluan dengan garpu. Seksualitas pada satu sisi merupakan suatu
keindahan tetapi dalam wajah Ronggeng Dukuh Paruk, seksualitas itu tidak lebih
sebagai sebuah keindahan yang tercemar.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment