Monday, March 12, 2018

TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA



( Sebuah Analisis Sosio-kultural) 
Oleh: Valery Kopong*
                                    


KETIKA menonton tarian “hedung”, sebuah tarian perang dari Adonara-Flores Timur, seorang sahabat yang bukan berasal dari Adonara sempat berdecak kagum melihat sentakan kaki dan ayunan parang serta tombak para penari menuruti irama gong-gendang. Sebuah kekaguman apresiatif yang lahir dari kedalaman rasa seni seorang manusia. Aku yang menyaksikan pentasan tarian dan memahami latar belakang munculnya tarian itu, sempat tergidik diam dan merenungkan kisah perjalanan penuh kebuasan hingga melahirkan tarian itu. Tarian hedung, kini dijadikan sebagai tarian yang mencirikan karakter orang Adonara, menyisahkan garis luka batin yang mendalam buat orang Adonara sendiri. Betapa tidak!
           
Adonara yang pernah dijuluki sebagai “The killer island,” terproyeksi lewat tarian yang mengungkapkan kebuasan, sekaligus mempertontonkan sebuah kebiadaban. Di sini, di atas panggung pentas, tempat para penari berlaga adalah cerminan “medan laga” di mana sebagian warga Adonara berunjuk kebenaran di mata parang dan tombak. Kisah perang saudara yang seringkali terjadi, kini terakumulasi lewat sentakan kaki dan ayunan tombak serta parang para penari. Pada pentasan kisah masa lalu yang sempat terekam oleh mataku sendiri, membuka memori kesadaranku untuk mengingat cerita masa lalu akan sosok kakekku sendiri yang menjadi korban saat terjadi perang.
            Tarian lalu menjadi semacam ‘siluet tipis’, pemberi informasi masa lampau yang penuh dengan kekerasan. Memang, bumi Adonara memendam kekerasan, baik alamnya yang ganas maupun karakter orangnya. “Seseorang pernah bertanya pada saya saat berlibur di kampung halamanku, di masa macam apa kita ini hidup? Aku menjawab,” di masa ketika adanya koma….,koma…., seribu koma membentang pada perjalanan hidup ini.” Jawaban seribu koma dan koma lagi menunjukkan sesuatu yang tak pernah selesai. Kekerasan yang sudah sekian tahun hidup di bumi Adonara tak pernah mencapai titik akhir penyelesaian. Pembunuhan yang terjadi turun temurun, juga tak pernah berhenti dibalik limbahan darah dan gelimangnya nyawa manusia. Kekerasan dan pembunuhan seakan menjadi budaya dan bahasa terakhir di mana seluruh jalan penyelesaian masalah menemukan jalan buntu.
            Seperti tersirat dalam kisah perang Paji dan Demon, mimpi  tetua adat memang menyiapkan petunjuk dalam aktivitas berperang. Berangsur-angsur para tetua adat, dengan memamah halia sembari menuangkan tuak ke tanah, mengajak “Rera Wulan Tana Ekan”, (Wujud Tertinggi) sebagai yang suci untuk memihaki dia saat berlaga. Ia menghimpun yang suci dan mengajaknya untuk berpihak padanya saat berperang melawan musuh. Di sini, “Yang Sakral” telah dinodai oleh para pembujuk untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kehendak yang suci itu. Mungkinkah dalam peperangan, Sang Rera Wulan Tana Ekan merestui tangan-tangan para pembunuh untuk mengayun tombak dan parang? Melalui dosa dan keterbatasan, ia menghimpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa jauh. Konflik batin pun berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Pembunuhan pun tak terelakkan.
            Proses itu memang jarang diakui sekarang. Tetapi pada dasarnya sejarah sosial manusia  di mana pun terpaksa mencampuradukkan yang sakral dan yang bukan dengan cacat dan kelebihannya. Tetapi mungkin, dengan jiwa yang haus akan darah dan meminta korban, para pembunuh mencari legitimasi pada yang suci. Keberpihakan dari yang suci (baca: Rera Wulan Tana Ekan), menurut konsep para pembunuh, dapat terlihat setelah terjadi peperangan. Pihak yang mengalami korban adalah bukti bahwa mereka berada pada posisi yang salah dan secara tidak langsung keterlibatan dari yang suci pun tidak ada. Demikian sebaliknya, pihak yang menang dalam peperangan merasa bahwa Rera Wulan Tana Ekan sebagai Wujud yang suci berada pada pihak mereka.
            Tarian “hedung” dalam arti tertentu membawa misi ke arah penggugahan hati manusia Adonara yang kerap membatu. Ia (tarian hedung) hadir di atas pentas untuk memberikan kritik sosial kepada masyarakat tentang teori konflik yang telah dirancang dan dibangun dalam sekian abad. Tarian membawa pesan peradaban dan sepertinya memberikan kritik terhadap pola interaksi kekerasan antarmanusia. Dengan melihat kondisi masyarakat yang militan ini, perlu adanya pengembangan pemikiran ke arah baru tentang harmoni dan konflik dalam masyarakat sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
            Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga tarian membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***



No comments: