( Sebuah Analisis Sosio-kultural)
Oleh: Valery Kopong*
Adonara yang pernah dijuluki sebagai “The killer island,” terproyeksi lewat tarian yang mengungkapkan kebuasan, sekaligus mempertontonkan sebuah kebiadaban. Di sini, di atas panggung pentas, tempat para penari berlaga adalah cerminan “medan laga” di mana sebagian warga Adonara berunjuk kebenaran di mata parang dan tombak. Kisah perang saudara yang seringkali terjadi, kini terakumulasi lewat sentakan kaki dan ayunan tombak serta parang para penari. Pada pentasan kisah masa lalu yang sempat terekam oleh mataku sendiri, membuka memori kesadaranku untuk mengingat cerita masa lalu akan sosok kakekku sendiri yang menjadi korban saat terjadi perang.
Tarian lalu menjadi semacam ‘siluet
tipis’, pemberi informasi masa lampau yang penuh dengan kekerasan. Memang, bumi
Adonara memendam kekerasan, baik alamnya yang ganas maupun karakter orangnya.
“Seseorang pernah bertanya pada saya saat berlibur di kampung halamanku, di
masa macam apa kita ini hidup? Aku menjawab,” di masa ketika adanya
koma….,koma…., seribu koma membentang pada perjalanan hidup ini.” Jawaban
seribu koma dan koma lagi menunjukkan sesuatu yang tak pernah selesai.
Kekerasan yang sudah sekian tahun hidup di bumi Adonara tak pernah mencapai
titik akhir penyelesaian. Pembunuhan yang terjadi turun temurun, juga tak
pernah berhenti dibalik limbahan darah dan gelimangnya nyawa manusia. Kekerasan
dan pembunuhan seakan menjadi budaya dan bahasa terakhir di mana seluruh jalan
penyelesaian masalah menemukan jalan buntu.
Seperti tersirat dalam kisah perang
Paji dan Demon, mimpi tetua adat memang
menyiapkan petunjuk dalam aktivitas berperang. Berangsur-angsur para tetua
adat, dengan memamah halia sembari menuangkan tuak ke tanah, mengajak “Rera
Wulan Tana Ekan”, (Wujud Tertinggi) sebagai yang suci untuk memihaki dia saat
berlaga. Ia menghimpun yang suci dan mengajaknya untuk berpihak padanya saat
berperang melawan musuh. Di sini, “Yang Sakral” telah dinodai oleh para
pembujuk untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kehendak yang
suci itu. Mungkinkah dalam peperangan, Sang Rera Wulan Tana Ekan merestui
tangan-tangan para pembunuh untuk mengayun tombak dan parang? Melalui dosa dan
keterbatasan, ia menghimpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa jauh. Konflik
batin pun berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Pembunuhan pun tak
terelakkan.
Proses itu memang jarang diakui
sekarang. Tetapi pada dasarnya sejarah sosial manusia di mana pun terpaksa mencampuradukkan yang
sakral dan yang bukan dengan cacat dan kelebihannya. Tetapi mungkin, dengan
jiwa yang haus akan darah dan meminta korban, para pembunuh mencari legitimasi
pada yang suci. Keberpihakan dari yang suci (baca: Rera Wulan Tana Ekan),
menurut konsep para pembunuh, dapat terlihat setelah terjadi peperangan. Pihak
yang mengalami korban adalah bukti bahwa mereka berada pada posisi yang salah
dan secara tidak langsung keterlibatan dari yang suci pun tidak ada. Demikian
sebaliknya, pihak yang menang dalam peperangan merasa bahwa Rera Wulan Tana Ekan
sebagai Wujud yang suci berada pada pihak mereka.
Tarian “hedung” dalam arti tertentu
membawa misi ke arah penggugahan hati manusia Adonara yang kerap membatu. Ia
(tarian hedung) hadir di atas pentas untuk memberikan kritik sosial kepada
masyarakat tentang teori konflik yang telah dirancang dan dibangun dalam sekian
abad. Tarian membawa pesan peradaban dan sepertinya memberikan kritik terhadap
pola interaksi kekerasan antarmanusia. Dengan melihat kondisi masyarakat yang
militan ini, perlu adanya pengembangan pemikiran ke arah baru tentang harmoni
dan konflik dalam masyarakat sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
Menyoroti masalah harmoni dan
konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi
antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada
tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik
sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat.
Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau
teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan
unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan
tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga tarian membawa sebuah
isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk
menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit
dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu
mahalkah damai di bumi kampungku?***
0 komentar:
Post a Comment