“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya
tidak tahu apa-apa.”
Sedari
dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi
siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi
ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut
“penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada
siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru
yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan
tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di
mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu.
Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada
dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan
disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi
untuk masa depan siswa.
Visi
dan misi seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang
“menyejarah.” Misi seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan
masa depan siswa sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu,
“bersentuhan” secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup
membuka mata siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang
ditawarkannya. Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan
sebuah langkah awal dalam pencerahan masa depan.
Sebagai
agen perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih
mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di
bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh
mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan
zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti
pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan
keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil
sebagai pelaku sejarah yang pasif.
Antara
ilmu dengan siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi
proses pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak
saja menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya,
guru disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang
terbaik bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru
tetap memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.
Sapaan
‘guru’ mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai
pengajar dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri
seorang guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan
pengajar. Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para
guru. Di satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu
dari “gudang pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu
tersalur. Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik
dalam memberikan teladan.
Dari
sisi edukatif, ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru
sebagai pengajar dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya
dalam membidangi sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua
hal ini mestinya melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar
dan mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi
kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan
berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri
pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya
dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu
pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik
Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak
pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu
pengetahuannya.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment