Tuesday, March 27, 2018

Pendidikan Itu Memerdekakan


(Sebuah catatan untuk dunia pendidikan)

Oleh: Valery Kopong*

Ketika merayakan acara pelepasan dan perpisahan kelas VI SD di salah satu sekolah Katolik, adakah yang bertanya,  sudah berapa orang anak didik yang sudah menyelesaikan pendidikan?  Berapa jumlah orang-orang sukses yang lahir dari tangan dingin seorang guru? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting ketika berhadapan dengan acara perpisahan ini.  Tetapi di sini, pada moment bersejarah ini  merupakan ‘titik henti sementara’ untuk berefleksi  tentang perjuangan,  dan proses pendidikan itu berlangsung serta bagaimana berusaha untuk mengembangkan persekolahan Katolik itu. 
Keberadaan sekolah memainkan peranan penting dalam proses pendidikan dan pembentukan karakter anak didik dan menanamkan nilai-nilai umum. Nilai-nilai umum seperti kebaikan dan kebenaran tetap diajarkan dan ditanam dalam kehidupan anak didik, serta tidak mengabaikan ilmu pengetahuan.  Dalam aliran filsafat pendidikan yang disebut perenialisme berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar pendidikan itu bersifat abadi dan tetap dan tidak berubah sepanjang zaman. Prinsip dasar yang dimaksudkan adalah prinsip kebaikan dan kebenaran yang berlaku secara tetap dan abadi. Sekolah sebagai tempat untuk menanamkan benih-benih kebaikan dan kebenaran, tanpa henti berusaha untuk mewartakan kebaikan dan kebenaran itu.  Aliran filsafat ini mendapatkan dukungan baik dari kaum realis maupun kaum idealis  yang mempertahankan pentingnya prinsip-prinsip dasar pendidikan yang berlaku mutlak yang mengatasi batas-batas ruang dan waktu.
 Sudah berapa lama persekolahan Katolik itu  menanamkan kebaikan dan kebenaran dalam diri anak-anak didik?  Satu generasi yang lulus dan harus meninggalkan sekolah itu, generasi yang baru pun datang dan menimbah ilmu. Yang jelas bahwa proses penanaman ilmu dan nilai kebaikan serta  kebenaran terus berjalan seiring dengan tuntutan zaman.  Ketika gempuran teknologi semakin menggemuru dan mengerubuti anak-anak didik, pola penanaman nilai tidak bisa digantikan dengan kehadiran alat-alat canggih karena penanaman nilai dan kebaikan membutuhkan peran serta dan melibatkan sentuhan hati dalam proses melayani.

Sekolah yang terbuka
Melihat sekolah keberadaan sebuah sekolah Katolik itu,  selain posisinya yang strategis, keunggulan sekolah ini adalah membuka diri terhadap semua anak didik, tanpa mempersoalkan latar belakang  suku  dan terutama agama yang dianut oleh anak-anak didik.  Dengan keterbukaan ini merupakan pintu masuk dalam proses penanaman nilai-nilai kebaikan dan kebenaran serta membiarkan anak-anak didik mengolah aspek kognitif untuk menyerap ilmu pengetahuan.  Di sini bisa dikatakan bahwa berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang proses  dan proses pendidikan itu bisa berhasil, mengandaikan adanya  keterbukaan,  baik dari anak didik sendiri maupun dari para guru yang mendidik dan mengajar.
Kalau melihat ruang lingkup persekolahan Katolik  yang terpadu dan ditunjang dengan jenjang pendidikan berkelanjutan maka ada kemudahan dalam proses belajar. Kepribadian seorang anak didik mencapai kematangan dan kedewasaan bila melalui proses serta aturan main yang tertata secara baik. Ada aturan yang mengikat, baik itu berlaku untuk siswa maupun untuk para guru. Dengan aturan yang mengikat, setiap pribadi berusaha untuk bertindak sesuai dengan aturan main yang berlaku.  Tetapi dibalik aturan yang mengikat, sebenarnya ada peran yang berharga dalam membentuk kepribadian anak guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Menatap masa depan yang cerah, tidak hanya berbekal     “segudang mimpi” tetapi setiap orang berhak untuk mengeksplorasi diri dan kemampuan sebagai persiapan dalam meraih masa depan itu.
Peran pewartaan dalam dunia pendidikan bisa terlihat jelas dalam upaya mendidik anak-anak dengan latar belakang agama yang berbeda.  Kebaikan dan kebenaran seperti yang diwartakan oleh Kristus terus menyebar ke anak-anak didik yang tidak lain adalah pemilik generasi yang sedang terlibat. Gema kebaikan menjadi warta utama dan menjadi milik bersama bagi setiap angkatan yang terlibat dalam pergumulan dengan ilmu pengetahuan dan belajar tentang kebaikan serta kebenaran.
Dalam proses mendidik anak, upaya yang dilakukan adalah berusaha agar pendidikan itu memerdekakan mereka dari ketidaktahuan dan berusaha untuk berpikir mandiri. Lebih jauh, makna kemerdekaan pendidikan ialah “membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential self yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, aktualitas sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka”
Proses pendidikan, apa pun bentuknya, bila hasil penanaman nilai berhasil baik, harus didasari dengan cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan utama dalam mendidik dan  barangkali kata-kata Dorothy menjadi kata kunci proses pendampingan anak-anak didik. 

Jika anak dibesarkan dengan celaan,Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
- Dorothy Law Notle –

                Kata-kata  bijak Dorothy ini mengingatkan para pelaku dunia pendidikan bahwa belajar bukan semata-mata menyerap ilmu pengetahuan tetapi dalam konteks yang lebih luas, pendidikan berupaya untuk memanusiakan manusia. Seorang anak tumbuh secara baik kalau dalam proses belajar, telah ditanamkan nilai-nilai kebaikan. Di sini, persekolahan yang berada di lingkungan plural  telah memperlihatkan jalan panjang proses penanaman nilai dan membukakan mata para anak-anak didik untuk berani menatap masa depan dengan penuh kepastian. Dunia pendidikan, terutama sekolah Katolik  selalu   memperlihatkan diri sebagai  gembala yang terus mengkawal  kebenaran dan nabi untuk masa depan bagi anak-anak didik. ***

catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Umum Flores Pos

0 komentar: