(Sebuah
catatan untuk dunia pendidikan)
Oleh: Valery Kopong*
Ketika merayakan acara pelepasan
dan perpisahan kelas VI SD di salah satu sekolah Katolik, adakah yang
bertanya, sudah berapa orang anak didik
yang sudah menyelesaikan pendidikan?
Berapa jumlah orang-orang sukses yang lahir dari tangan dingin seorang
guru? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting ketika berhadapan dengan acara
perpisahan ini. Tetapi di sini, pada
moment bersejarah ini merupakan ‘titik
henti sementara’ untuk berefleksi
tentang perjuangan, dan proses
pendidikan itu berlangsung serta bagaimana berusaha untuk mengembangkan
persekolahan Katolik itu.
Sudah berapa lama persekolahan Katolik itu menanamkan kebaikan dan kebenaran dalam diri
anak-anak didik? Satu generasi yang
lulus dan harus meninggalkan sekolah itu, generasi yang baru pun datang dan
menimbah ilmu. Yang jelas bahwa proses penanaman ilmu dan nilai kebaikan
serta kebenaran terus berjalan seiring
dengan tuntutan zaman. Ketika gempuran
teknologi semakin menggemuru dan mengerubuti anak-anak didik, pola penanaman
nilai tidak bisa digantikan dengan kehadiran alat-alat canggih karena penanaman
nilai dan kebaikan membutuhkan peran serta dan melibatkan sentuhan hati dalam
proses melayani.
Sekolah yang terbuka
Melihat sekolah keberadaan sebuah
sekolah Katolik itu, selain posisinya
yang strategis, keunggulan sekolah ini adalah membuka diri terhadap semua anak
didik, tanpa mempersoalkan latar belakang
suku dan terutama agama yang
dianut oleh anak-anak didik. Dengan
keterbukaan ini merupakan pintu masuk dalam proses penanaman nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran serta membiarkan anak-anak didik mengolah aspek kognitif
untuk menyerap ilmu pengetahuan. Di sini
bisa dikatakan bahwa berbicara tentang pendidikan berarti berbicara tentang
proses dan proses pendidikan itu bisa
berhasil, mengandaikan adanya
keterbukaan, baik dari anak didik
sendiri maupun dari para guru yang mendidik dan mengajar.
Kalau melihat ruang lingkup
persekolahan Katolik yang terpadu dan
ditunjang dengan jenjang pendidikan berkelanjutan maka ada kemudahan dalam
proses belajar. Kepribadian seorang anak didik mencapai kematangan dan kedewasaan
bila melalui proses serta aturan main yang tertata secara baik. Ada aturan yang
mengikat, baik itu berlaku untuk siswa maupun untuk para guru. Dengan aturan
yang mengikat, setiap pribadi berusaha untuk bertindak sesuai dengan aturan
main yang berlaku. Tetapi dibalik aturan
yang mengikat, sebenarnya ada peran yang berharga dalam membentuk kepribadian
anak guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Menatap masa depan yang
cerah, tidak hanya berbekal “segudang
mimpi” tetapi setiap orang berhak untuk mengeksplorasi diri dan kemampuan
sebagai persiapan dalam meraih masa depan itu.
Peran pewartaan dalam dunia
pendidikan bisa terlihat jelas dalam upaya mendidik anak-anak dengan latar
belakang agama yang berbeda. Kebaikan
dan kebenaran seperti yang diwartakan oleh Kristus terus menyebar ke anak-anak
didik yang tidak lain adalah pemilik generasi yang sedang terlibat. Gema
kebaikan menjadi warta utama dan menjadi milik bersama bagi setiap angkatan
yang terlibat dalam pergumulan dengan ilmu pengetahuan dan belajar tentang
kebaikan serta kebenaran.
Dalam proses mendidik anak, upaya
yang dilakukan adalah berusaha agar pendidikan itu memerdekakan mereka dari
ketidaktahuan dan berusaha untuk berpikir mandiri. Lebih jauh, makna
kemerdekaan pendidikan ialah “membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri,
be him-self, sebagai essential self yang membedakannya dari makhluk-makhluk
lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, aktualitas sebagai
makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka”
Proses pendidikan, apa pun
bentuknya, bila hasil penanaman nilai berhasil baik, harus didasari dengan
cinta kasih. Cinta kasih menjadi landasan utama dalam mendidik dan barangkali kata-kata Dorothy menjadi kata
kunci proses pendampingan anak-anak didik.
Jika anak
dibesarkan dengan celaan,Ia belajar memaki
Jika anak
dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi
Jika anak
dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri
Jika anak
dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri
Jika anak
dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri
Jika anak
dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai
Jika anak
dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar keadilan
Jika anak
dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak
dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak
dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,Ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan
- Dorothy Law Notle –
Kata-kata bijak Dorothy ini mengingatkan para pelaku
dunia pendidikan bahwa belajar bukan semata-mata menyerap ilmu pengetahuan
tetapi dalam konteks yang lebih luas, pendidikan berupaya untuk memanusiakan
manusia. Seorang anak tumbuh secara baik kalau dalam proses belajar, telah
ditanamkan nilai-nilai kebaikan. Di sini, persekolahan yang berada di lingkungan
plural telah memperlihatkan jalan
panjang proses penanaman nilai dan membukakan mata para anak-anak didik untuk
berani menatap masa depan dengan penuh kepastian. Dunia pendidikan, terutama
sekolah Katolik selalu memperlihatkan diri sebagai gembala yang terus mengkawal kebenaran dan nabi untuk masa depan bagi
anak-anak didik. ***
catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Umum Flores Pos
0 komentar:
Post a Comment