Ketika terjadi pergantian
jabatan di dalam pemerintahan, sepertinya tidak sulit dicari figur-figur yang
pas untuk menempati posisi jabatan yang lowong itu. Memang diakui
jabatan-jabatan strategis dalam dunia pemerintahan selalu menjanjikan, tidak
hanya jabatan itu sendiri tetapi juga soal gaji yang diperoleh berkaitan dengan
posisi yang ditempati itu. Situasi ini
menjadi bertolak belakang ketika kita mencari figur-figur untuk menjadi
pemimpin di dalam lingkup gereja, seperti wakil ketua dewan paroki ataupun
menjadi ketua lingkungan. Berhadapan
dengan sulitnya untuk meminta orang-orang Katolik untuk terlibat dalam
pelayanan dengan menempati posisi strategis itu, memunculkan pertanyaan bagi
kita. Mengapa orang-orang Katolik yang ketika dimintai kesediaannya untuk
melayani sebagai pemimpin, selalu menolak tawaran itu?
Pertanyaan di atas
menjadi penting karena siapa lagi yang bisa melayani umat dalam karya-karya
pelayanan? Ketika masa jabatan Ketua
Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota
lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan
bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan untuk
tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan. Tetapi di balik kecemasan itu,
muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi.
Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah
sebuah jabatan yang membebani, apalagi tidak diimbangi dengan honorarium.
Menolak untuk tidak
menerima jabatan memperlihatkan sebuah keprihatinan. Banyak dari kita ingin
hidup sebagai umat biasa dan tidak membebani diri dengan jabatan-jabatan yang
ada dalam lingkup gereja paroki. Ketika
membaca buku tentang tantangan bagi ketua lingkungan di era sibuk, membuka
wawasan kita tentang esensi dasar dari panggilan hidup menggereja. Menjadi
orang Katolik tidak sekedar ke gereja dan mengikuti ritual keagamaan tetapi
dibutuhkan peran serta dalam menghidupkan iman umat melalui pelayanan nyata.
Membaca buku “Ketua
Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk membangun esensi
panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik
secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur untuk menjadi pewarta
dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari
rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius
Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan
berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakin berbuah
dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau
kemauan untuk melayani.”
Menjadi Ketua Lingkungan
di era sibuk berarti berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang
dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya
tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih
dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk
menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.
Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan
pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru ketika
disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan
tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua
Lingkungan?”
Di tengah kesibukan kerja
yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam
lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat
rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca
menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita
untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.***(Valery Kopong)