Wednesday, October 14, 2020

Jabatan Rahmat

 

Ketika terjadi pergantian jabatan di dalam pemerintahan, sepertinya tidak sulit dicari figur-figur yang pas untuk menempati posisi jabatan yang lowong itu. Memang diakui jabatan-jabatan strategis dalam dunia pemerintahan selalu menjanjikan, tidak hanya jabatan itu sendiri tetapi juga soal gaji yang diperoleh berkaitan dengan posisi yang ditempati  itu. Situasi ini menjadi bertolak belakang ketika kita mencari figur-figur untuk menjadi pemimpin di dalam lingkup gereja, seperti wakil ketua dewan paroki ataupun menjadi ketua lingkungan.  Berhadapan dengan sulitnya untuk meminta orang-orang Katolik untuk terlibat dalam pelayanan dengan menempati posisi strategis itu, memunculkan pertanyaan bagi kita. Mengapa orang-orang Katolik yang ketika dimintai kesediaannya untuk melayani sebagai pemimpin, selalu menolak tawaran itu?

 

Pertanyaan di atas menjadi penting karena siapa lagi yang bisa melayani umat dalam karya-karya pelayanan?  Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi di balik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.

 

Menolak untuk tidak menerima jabatan memperlihatkan sebuah keprihatinan. Banyak dari kita ingin hidup sebagai umat biasa dan tidak membebani diri dengan jabatan-jabatan yang ada dalam lingkup gereja paroki.  Ketika membaca buku tentang tantangan bagi ketua lingkungan di era sibuk, membuka wawasan kita tentang esensi dasar dari panggilan hidup menggereja. Menjadi orang Katolik tidak sekedar ke gereja dan mengikuti ritual keagamaan tetapi dibutuhkan peran serta dalam menghidupkan iman umat melalui pelayanan nyata.

 

Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakin berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”

 

Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  

 

Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.***(Valery Kopong)

 

 

0 komentar: