Monday, October 26, 2020

Bunga

 

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman melakukan survey sederhana tentang penggunaan bunga untuk menghias altar di paroki-paroki yang tersebar di Keuskupan Agung Jakarta. Dari enam puluhan gereja paroki yang disurvey, hasilnya mencengangkan karena prediksi penggunaan bunga-bunga untuk menghias altar gereja, ternyata menggelontorkan uang yang tidak kalah banyaknya. Survey ini menjadi menarik karena mengurus bunga saja, setiap lingkungan wajib menyetor ke paroki dan uang itu akan digunakan untuk membeli bunga yang dipakai menghias altar pada setiap hari minggu dan hari-hari raya lainnya.  

Memang,  menghias altar merupakan sebuah tujuan yang baik, yakni memperindah rumah Tuhan dan setiap umat yang memandang altar yang tertata dengan bunga bisa terbawa dalam suasana doa. Altar Tuhan, tempat sang imam mempersembahkan Ekaristi, mengenangkan kembali peristiwa malam perjamuan terakhir dan kisah pengorbanan Kristus, mesti ditata dengan indah lewat bunga-bunga yang menarik. Hiasan bunga di seputar altar suci dengan bunga yang harum semerbak, memberikan daya tarik tersendiri agar umat bisa berkonsentrasi pada altar Tuhan, dan mengenang kisah pengorbanan Kristus dengan titik awal pada malam perjamuan bersama murid-murid.

Mengapa bunga altar masih disoroti oleh umat? Umat tidak sekedar menyoroti indahnya rangkaian bunga yang menghiasi altar, tetapi yang disoroti adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk membeli bunga dan nilai rupiah cukup besar jumlahnya. Dari survey yang dilakukan oleh seorang temanku untuk mendukung tulisannya tentang “Bunga Altar,” didapatkan kalkulasi bahwa dalam sebulan, semua  paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta, menghabiskan dana ratusan juta untuk membeli bunga-bunga itu.

Apa yang dilakukan selama ini memang dirasa baik tetapi menjadi lebih baik lagi,  bila ada tindakan penghematan uang untuk tidak lagi membeli bunga-bunga untuk menghias  altar. Memang, pilihan ini serba dilematis. Artinya bahwa apabila kita tidak lagi membeli bunga maka kita menaruh prihatin pada para penjual bunga. Siapa lagi yang membeli kalau bukan kita? Pertanyaan ini menjadi titik pergulatan bagi para pencinta bunga dan sekaligus bersikap peduli pada penjual bunga yang dengan susah payah menjajakan bunga pada emperan toko bunga.

Sudah waktunya Gereja menggerakkan penanaman bunga-bunga hidup yang ditanam di pot untuk kemudian dipakai menghias altar pada setiap hari minggu dan hari-hari raya lainnya. Dengan menanam bunga di area gereja paroki, berarti adanya penghijauan dan sekaligus ada penghematan dana. Bahwa dana yang selama ini digunakan untuk membeli bunga untuk menghias altar, bisa dihentikan dan digunakan untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Misa utama Gereja adalah berpihak pada yang kecil, tapi di sisi lain, kita masih memperlihatkan semangat pemborosan dengan membeli bunga-bunga untuk menghias altar. Eksistensi Gereja menemukan makna terdalam dari kehadirannya di tengah dunia, yakni melalui gerakan keberpihakan pada mereka yang lemah. Gerakan keberpihakan harus memberikan porsi perhatian yang seimbang. Di satu sisi, Gereja harus mencanangkan gerakan penghematan tetapi pada sisi lain,  Gereja masih memperlihatkan sisi pemborosan.

Bagaimana dengan nasib para petani bunga dan para penjual bunga? Kita tidak menghentikan pembelanjaan secara total tetapi sewaktu-waktu (terutama pada hari raya) kita bisa membeli bunga-bunga untuk menghiasi altar sekaligus menghidupi para petani dan penjual bunga.  Di hari-hari minggu, altar yang kudus bisa dihiasi dengan bunga-bunga hidup yang ada di pot bunga. Cara untuk menggunakan bunga-bunga yang ada di pot juga menunjukkan keberpihakan Gereja pada orang kecil yang dengan susah payah mengumpulkan uang  untuk membeli  bunga selama ini. Bunga itu menarik kalau dipandang tetapi kalau dibeli dalam jumlah yang banyak akan berdampak pada pemborosan uang.***(Valery Kopong)

Martabat Manusia

Raden Ajeng Kartini adalah seorang wanita yang mampu membawa perubahan terhadap harkat dan martabat seorang wanita.  Dulu, seorang wanita hanya dipingit, tidak boleh mengenyam dunia pendidikan. Berkat kegigihan perjuangannya, seorang wanita boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya saat ini,  sehingga mengangkat harkat dan martabatnya. Saya yakin bahwa apa yang diperjuangkan RA. Kartini saat itu, pasti ada yang tidak suka, karena dianggap melawan adat-istiadat, budaya dan aturan saat itu. 

Hari ini kita mendengarkan bacaan Injil yang menceritakan tentang Yesus yang menyembuhkan seorang perempuan yang delapan belas tahun dirasuki oleh roh jahat. Perbuatan baik Yesus ini ternyata tidak disukai oleh seorang kepala rumah ibadah karena dia berpikir bahwa Yesus telah melanggar hukum Taurat yang tidak memperbolehkan melakukan pekerjaan pada hari Sabat. Tetapi Yesus berkata, " BUKANKAH DIA HARUS DILEPASKAN DARI IKATANNYA ITU KARENA DIA KETURUNAN ABRAHAM ? " 

Perbuatan baik tidak mengenal batas waktu dan ruang. Dimanapun dan kapanpun kita boleh melakukan perbuatan baik dan saya yakin bahwa hal itu tidak melanggar aturan/hukum tertentu. Perbuatan baik-cinta kasih berada di atas hukum/aturan tertentu. Perbuatan baik-cinta kasih dan buah-buah perubahan terhadap budaya, adat-istiadat ,dan aturan hendaknya membawa derajat dan martabat umat manusia yang lebih baik.


(Lukas 13:10-17, 26 Oktober, Suhardi )

Friday, October 23, 2020

Tanda-Tanda Zaman

Setiap diri kita  hendaknya memiliki beberapa kematangan.Apa itu? Kita hendaknya memiliki kematangan intelektual, kematangan emosional, kematangan kepribadian, kematangan sosial ? Cukupkah hal itu? Saya pikir tidak cukup.Masih ada satu hal yang hendaknya kita miliki. Apa itu? Kematangan spiritual merupakan sesuatu yang penting bagi kita.

Dengan kematangan spiritual kita bisa membaca tanda-tanda zaman dan peka terhadap tanda- tanda zaman itu serta kita bisa memaknai dan  menempatkan segala peristiwa- pengalaman hidup dalam kerangka karya Allah.Dengan kematangan spiritual kita bisa menterjemahkan peristiwa-pengalaman hidup sebagai rencana dan kehendak Tuhan.Dengan kematangan spiritual kita mampu bersikap rendah hati dan lemah lembut serta menjadikan kehidupan damai sebagai spirit kehidupan.Dengan kematangan spiritual kita tidak akan kehilangan identitas diri, iman dan cinta kasih.Dengan kematangan spiritual we can be a man for God and others and we can be a humble and wise man dengan landasan cinta kasih.Dengan kematangan spiritual kita tidak akan pernah bilang "give up" . Iman dapat membuat segala sesuatu menjadi mungkin.Harapan membuat segala hal terjadi.Cinta kasih membuat segalanya indah pada waktunya.  

Kematangan spiritual dapat kita capai dan kembangkan, kalau kita selalu berelasi dengan Yesus dalam Perayaan Ekatisti, berdoa pribadi dan bersama, serta membaca Kitab Suci.
(Inspirasi :Lukas12:54-59, 23 Oktober, Suhardi)

Thursday, October 22, 2020

Ruang Hening

 

Selama saya berkarya di dunia pendidikan sebagai pengajar di beberapa sekolah, tugas utamanya adalah mengajar dan mendidik anak-anak murid. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di sekolah berjalan secara normatif dan pihak sekolah lebih banyak berkonsentrasi pada aspek akademik yang bisa membantu nalar anak-anak untuk berpikir kritis dan cerdas. Apa yang dilakukan ini memang tidak salah karena tuntutan akademik menjadi prioritas utama untuk mengembangkan kemampuan akademik.

Ketika diminta untuk membantu mendampingi anak-anak Katolik di Sekolah Insan Teratai, ada sesuatu yang berbeda dan sekaligus menampilkan keunikan dari sekolah-sekolah lain. Kalau sekolah-sekolah sebelumnya, tempat saya mengabdi lebih banyak menampilkan sisi akademiknya, namun di sekolah Insan Teratai, yang ditekankan adalah keseimbangan hidup akademik dan pengembangan karakter anak-anak didik. Proses pengembangan karakter pada anak-anak lebih didasari pada pengenalan nilai-nilai kemanusiaan dan bagaimana menerapkan nilai-nilai kemanusiaan itu dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam lingkup keluarga dan sekolah. Nilai-nilai umum dan normatif terus-menerus diulang dan diperkenalkan kepada anak-anak didik.  

Salah satu daya dukung dari proses penanaman karakter adalah program rutin “silent sitting” (duduk hening) yang dilaksanakan setiap pagi sebelum dimulainya kegiatan belajar mengajar. Silent sitting tidak sekedar menjadi sebuah rutinitas tetapi lebih dari itu merupakan proses internalisasi (proses pembatinan diri) akan nilai-nilai kemanusiaan yang telah ditanamkan dalam diri setiap anak didik. Dengan duduk hening, anak-anak didik akan memahami daya hening dan melatih konsentrasi dan disiplin diri.   

Keheningan merupakan ruang  dari sebuah pergulatan batin. Dalam bentang keheningan memanjang itu, anak-anak sanggup melihat dan memaknai diri dari aspek kemanusiaan yang utuh dan pada akhirnya membangun relasi dengan Tuhan. Keheningan yang dilakoni menjadi titik temu pada mereka yang berbeda agama dan pada keheningan itu, mereka bisa menyapa teman-teman yang tidak seagama dengannya. Keheningan tidak saja membawa imajinasi  tentang bayang-bayang masa lampau tetapi dengan berada dalam ruang pergulatan hening, nurani terasa dan menjadi bening untuk semesta dan menatap masa depan dengan penuh optimisme. “Keheningan adalah sastra terindah yang dikaruniakan Tuhan, pada saat mencapai titik keheningan kita akan terasa tanpa adanya beban yang harus ditanggung pikiran, ibaratnya kita sedang mengatur ritme untuk kembali menjadi nol, kesadaran ini dibentuk sebagai jalan "kepasrahan aktif.”

Ketika melihat kegiatan rutin yang disebut sebagai “duduk hening”  dalam  terang refleksi biblis, kita melihat bagaimana Yesus selalu mencari waktu sunyi untuk berdoa, mengambil energi baru setelah lelah mewartakan  Kerajaan Allah. Yesus adalah Sahabat Keheningan karena Ia tak pernah  takut untuk bergumul dalam keheningan. Dalam sunyi dan hening Ia mengambil waktu untuk berdoa dan pada akhirnya Ia bertindak untuk menyelamatkan orang-orang yang tengah mengalami kekurangan  anggur   dan memuaskan orang dari rasa lapar. Keheningan juga menjadi jembatan utama bagi-Nya untuk membangun relasi dengan Allah.***(Valery Kopong)

 

Kristus dan Api Cinta Kasih

Sejak kita dibabtis, diteguhkan dalam sakramen krisma dan dikuatkan dalam sakramen ekaristi, kita telah menjadi milik Kristus. Kita telah menjadi pengikut Yesus dan kita telah percaya dan beriman pada Tuhan Yesus. Menjadi milik Kristus berarti kita siap sedia untuk hidup sesuai dengan ajaran dan pewartaan Yesus, yaitu sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kita siap untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah ini di tengan-tengah dunia.Di sinilah akan sering terjadi pertentangan nilai antara nilai-nilai Kerajaan Allah dengan tawaran-tawaran dan tantangan-tantangan duniawai.Sebagai pengikut Yesus, kita mempunyai konsekwensi untuk setia memegang teguh nilai-nilai Kerajaan Allah. Misalnya, budaya korupsi sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa.

Sebagai orang yang beriman dan percaya pada Yesus, kita hendaknya berani tampil beda untuk berani melawan budaya korupsi itu. Tentu saja ada konsekswensinya, kita bisa saja dimusuhi keluarga, saudara dan teman.Tetapi demi identitas diri kita sebagai pengikut Yesus, kita harus berani berkata " NO" terhadap korupsi. Ajaran dan pewartaan Yesus serta Pribadi Yesus telah menyala dalam hati kita. Dan nyala itu hendaknya selalu terpancar dan menyinari orang -orang yang ada disekitar kita.Api cinta kasih Yesus hendaknya berkobar-kobar dalam kehidupan kita, agar kita tidak mengalami krisis identitas diri, iman dan cinta kasih. (Inspirasi:Lukas 12:49-53, 22 Oktober, Suhardi)

Wednesday, October 21, 2020

Racikan Hidup

 

Hampir setiap pagi dan sore, saya melihat postingan di beberapa WA grup dan wall FB, beberapa teman mengupload gelas kopi dan menuliskan caption bahwa hidup itu seperti kopi hitam pekat. Kopi yang dicarik dengan gula dan air menghasilkan kopi yang sedikit pahit. Pada caption itu tertulis dengan baik, bahwa hidup itu tidak selamanya manis tetapi juga pahit. Dua rasa, pahit dan manis ini juga mewarnai kehidupan manusia. Kopi hitam pekat melambangkan kekelaman hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang. Pahit menjadi rasa yang menawarkan sisi lain kehidupan yang lebih bermakna. Pahitnya kopi tidak selamanya melambangkan hal yang tidak baik tetapi memberikan makna terdalam para proses kehidupan. Kepahitan hidup menjadi rasa yang memberi warna tantangan yang mesti dilalui oleh seseorang. Tantangan hidup yang dijumpainya harus dihadapi dan bukannya mengelak bahkan menyerah pada tantangan itu. Tantangan mendewasakan kita untuk terus mengelola hidup dan menjadikan tantangan itu sebagai cambuk untuk terus mendorong kita menatap masa depan yang lebih pasti.

 

Sementara itu manisnya gula menggambarkan sebuah kesuksesan hidup. Kesuksesan itu membawa luapan kegembiraan bagi mereka yang merasakan kegembiraan hidup. Apa tolok ukur  untuk menjadi sukses di dalam hidup ini? Dalam pandangan kaum materialis, melihat kesuksesan selalu diukur dari aspek materi yang dimiliki seseorang. Ketika kita berada di kampung maka kita bisa menilai kesuksesan seseorang dari kepemilikan tanah yang banyak dan juga mempunyai ternak yang banyak pula. Memiliki tanah yang banyak menjadi penentu utama dan memposisikan seseorang di kampung pada kelas atas. Tanah menjadi urat nadi kehidupan karena dari tanah itu, mereka bisa mengolahnya dan memberikan berkah kelimpahan panen.

 

Untuk menilai sukses-tidaknya seseorang pada masyarakat kota, dilihat dari kekayaan yang dimilikinya. Jenis mobil yang dimilikinya menjadi pratanda penting untuk mengklasifikasi orang, apakah orang tersebut menempati posisi kelas atas, menengah atau kelas bawah.  Biasanya orang-orang sekitar yang memberikan stigma tentang orang kaya atau miskin dan hal ini sangat bergantung pada aspek materi yang dimilikinya.

 

Racikan kopi pada penggalan kisah di atas, membersitkan dua warna dan rasa yang berbeda pada kehidupan ini. Kepahitan hidup mengajarkan tentang perjuangan dan mungkin juga berakhir pada kejatuhan manusia akibat tantangan yang dihadapi itu terlalu berat. Tetapi ingat bahwa Tuhan yang memberikan ujian hidup pada manusia tidak melebihi batas kemampuan manusia yang sedang dicobainya. Itu berarti bahwa Tuhan memberikan ujian yang berat sambil mempertimbangkan, seberapa jauh orang yang bersangkutan menanggapi tantangan hidup dalam terang iman. Penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub, mengajarkannya untuk tetap bertahan dalam badai cobaan itu. Apakah di dalam hidup, hanya kebaikan saja yang kita terima, sementara tantangan yang diberikan oleh Allah harus saya tolak dan bahkan berontak terhadap Allah?

 

Ketika berada pada puncak gunung Tabor, tiga murid kesayangan Yesus mengalami kegembiraan bersama-Nya. Sebagai murid yang selalu diajarkan oleh Gurunya untuk setia pada cobaan hidup, mereka tidak bertahan pada puncak kegembiraan Tabor untuk selamanya tetapi mereka (murid) harus belajar esensi terdalam dari makna kemuridan adalah mengalami pengalaman Kalvari sebagai jalan sunyi penuh derita yang dilalui oleh Sang Guru. Via Dolorosa yang dijalani Yesus menjadi bukti kesetiaan-Nya pada Allah dan kecintaan-Nya pada manusia.  

 

Melihat racikan kopi yang ada dalam wadah cangkir membersitkan sebuah racikan hidup yang tidak bisa dielak oleh setiap manusia. Pergulatan hidup manusia tidak akan berakhir selama manusia itu hidup. Karena memang hidup itu adalah sebuah perjuangan yang harus diraih dengan nilai sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi nilai berharga untuk meraih cita-cita. Yesus telah mengajarkan nilai pengorbanan itu untuk menggenapi cita-cita-Nya yakni misi penyelamatan manusia. Mereguk secangkir kopi, tak beda jauh dengan mereguk makna kehidupan yang membersitkan dua rasa.***(Valery Kopong)

Menanti Sang Tuan

 Hidup manusia itu ibarat sebuah jarum jam. Pada mulanya jarum jam berjalan, lalu pada suatu saat jarum jam itu berhenti. Kita tidak tahu persis kapan jarum jam itu berhenti. Itulah perjalanan hidup manusia, kita dilahirkan di dunia ini, dan suatu saat kita akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Kedua peristiwa hidup itu adalah misteri, tiada satu pun manusia yang mampu memilih atas dua peristiwa hidup manusia itu. Kita tinggal pasrah saja sama SANG EMPUNYA KEHIDUPAN, SANG GUSTI. 

Dalam perjalanan dan perjuangan kehidupan di tengah-tengah dunia ini, kita diajak untuk selalu siap-sedia dan berjaga-jaga karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak tersangka-sangka. Sikap dan tindakan siap siaga itu diumpamakan seperti pengurus rumah tangga yang hendaknya setia dan bijaksana menanti sang tuannya datang. Kita yang setia dan bijaksana menanti kedatangan Sang Tuan Agung, Sang Gusti, kita akan digabungkan dalam perjamuan kasih bersamaNya di surga.

Pada akhir jaman kita akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Bapa atas karunia-karunia yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Apakah kita mengembangkan dan memberdayakan karunia-karunia itu ataukah hanya menyimpannya di dalam hati saja ?  Yang diberi banyak karunia, banyak pula tuntutannya. " Barangsiapa diberi banyak, banyak dituntut dari padanya dan barangsiapa diserahi banyak , lebih banyak dituntut lagi."(Inspirasi Lukas 12 : 39-48, 21 Oktober, Suhardi )