Beberapa tahun yang lalu, seorang teman melakukan survey sederhana tentang penggunaan bunga untuk menghias altar di paroki-paroki yang tersebar di Keuskupan Agung Jakarta. Dari enam puluhan gereja paroki yang disurvey, hasilnya mencengangkan karena prediksi penggunaan bunga-bunga untuk menghias altar gereja, ternyata menggelontorkan uang yang tidak kalah banyaknya. Survey ini menjadi menarik karena mengurus bunga saja, setiap lingkungan wajib menyetor ke paroki dan uang itu akan digunakan untuk membeli bunga yang dipakai menghias altar pada setiap hari minggu dan hari-hari raya lainnya.
Memang, menghias altar merupakan sebuah tujuan yang baik, yakni memperindah rumah Tuhan dan setiap umat yang memandang altar yang tertata dengan bunga bisa terbawa dalam suasana doa. Altar Tuhan, tempat sang imam mempersembahkan Ekaristi, mengenangkan kembali peristiwa malam perjamuan terakhir dan kisah pengorbanan Kristus, mesti ditata dengan indah lewat bunga-bunga yang menarik. Hiasan bunga di seputar altar suci dengan bunga yang harum semerbak, memberikan daya tarik tersendiri agar umat bisa berkonsentrasi pada altar Tuhan, dan mengenang kisah pengorbanan Kristus dengan titik awal pada malam perjamuan bersama murid-murid.
Mengapa bunga altar masih disoroti oleh umat? Umat tidak sekedar menyoroti indahnya rangkaian bunga yang menghiasi altar, tetapi yang disoroti adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk membeli bunga dan nilai rupiah cukup besar jumlahnya. Dari survey yang dilakukan oleh seorang temanku untuk mendukung tulisannya tentang “Bunga Altar,” didapatkan kalkulasi bahwa dalam sebulan, semua paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta, menghabiskan dana ratusan juta untuk membeli bunga-bunga itu.
Apa yang dilakukan selama ini memang dirasa baik tetapi menjadi lebih baik lagi, bila ada tindakan penghematan uang untuk tidak lagi membeli bunga-bunga untuk menghias altar. Memang, pilihan ini serba dilematis. Artinya bahwa apabila kita tidak lagi membeli bunga maka kita menaruh prihatin pada para penjual bunga. Siapa lagi yang membeli kalau bukan kita? Pertanyaan ini menjadi titik pergulatan bagi para pencinta bunga dan sekaligus bersikap peduli pada penjual bunga yang dengan susah payah menjajakan bunga pada emperan toko bunga.
Sudah waktunya Gereja menggerakkan penanaman bunga-bunga hidup yang ditanam di pot untuk kemudian dipakai menghias altar pada setiap hari minggu dan hari-hari raya lainnya. Dengan menanam bunga di area gereja paroki, berarti adanya penghijauan dan sekaligus ada penghematan dana. Bahwa dana yang selama ini digunakan untuk membeli bunga untuk menghias altar, bisa dihentikan dan digunakan untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Misa utama Gereja adalah berpihak pada yang kecil, tapi di sisi lain, kita masih memperlihatkan semangat pemborosan dengan membeli bunga-bunga untuk menghias altar. Eksistensi Gereja menemukan makna terdalam dari kehadirannya di tengah dunia, yakni melalui gerakan keberpihakan pada mereka yang lemah. Gerakan keberpihakan harus memberikan porsi perhatian yang seimbang. Di satu sisi, Gereja harus mencanangkan gerakan penghematan tetapi pada sisi lain, Gereja masih memperlihatkan sisi pemborosan.
Bagaimana dengan nasib para petani bunga dan para penjual bunga? Kita tidak menghentikan pembelanjaan secara total tetapi sewaktu-waktu (terutama pada hari raya) kita bisa membeli bunga-bunga untuk menghiasi altar sekaligus menghidupi para petani dan penjual bunga. Di hari-hari minggu, altar yang kudus bisa dihiasi dengan bunga-bunga hidup yang ada di pot bunga. Cara untuk menggunakan bunga-bunga yang ada di pot juga menunjukkan keberpihakan Gereja pada orang kecil yang dengan susah payah mengumpulkan uang untuk membeli bunga selama ini. Bunga itu menarik kalau dipandang tetapi kalau dibeli dalam jumlah yang banyak akan berdampak pada pemborosan uang.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment