Wednesday, October 21, 2020

Racikan Hidup

 

Hampir setiap pagi dan sore, saya melihat postingan di beberapa WA grup dan wall FB, beberapa teman mengupload gelas kopi dan menuliskan caption bahwa hidup itu seperti kopi hitam pekat. Kopi yang dicarik dengan gula dan air menghasilkan kopi yang sedikit pahit. Pada caption itu tertulis dengan baik, bahwa hidup itu tidak selamanya manis tetapi juga pahit. Dua rasa, pahit dan manis ini juga mewarnai kehidupan manusia. Kopi hitam pekat melambangkan kekelaman hidup yang pasti dilalui oleh setiap orang. Pahit menjadi rasa yang menawarkan sisi lain kehidupan yang lebih bermakna. Pahitnya kopi tidak selamanya melambangkan hal yang tidak baik tetapi memberikan makna terdalam para proses kehidupan. Kepahitan hidup menjadi rasa yang memberi warna tantangan yang mesti dilalui oleh seseorang. Tantangan hidup yang dijumpainya harus dihadapi dan bukannya mengelak bahkan menyerah pada tantangan itu. Tantangan mendewasakan kita untuk terus mengelola hidup dan menjadikan tantangan itu sebagai cambuk untuk terus mendorong kita menatap masa depan yang lebih pasti.

 

Sementara itu manisnya gula menggambarkan sebuah kesuksesan hidup. Kesuksesan itu membawa luapan kegembiraan bagi mereka yang merasakan kegembiraan hidup. Apa tolok ukur  untuk menjadi sukses di dalam hidup ini? Dalam pandangan kaum materialis, melihat kesuksesan selalu diukur dari aspek materi yang dimiliki seseorang. Ketika kita berada di kampung maka kita bisa menilai kesuksesan seseorang dari kepemilikan tanah yang banyak dan juga mempunyai ternak yang banyak pula. Memiliki tanah yang banyak menjadi penentu utama dan memposisikan seseorang di kampung pada kelas atas. Tanah menjadi urat nadi kehidupan karena dari tanah itu, mereka bisa mengolahnya dan memberikan berkah kelimpahan panen.

 

Untuk menilai sukses-tidaknya seseorang pada masyarakat kota, dilihat dari kekayaan yang dimilikinya. Jenis mobil yang dimilikinya menjadi pratanda penting untuk mengklasifikasi orang, apakah orang tersebut menempati posisi kelas atas, menengah atau kelas bawah.  Biasanya orang-orang sekitar yang memberikan stigma tentang orang kaya atau miskin dan hal ini sangat bergantung pada aspek materi yang dimilikinya.

 

Racikan kopi pada penggalan kisah di atas, membersitkan dua warna dan rasa yang berbeda pada kehidupan ini. Kepahitan hidup mengajarkan tentang perjuangan dan mungkin juga berakhir pada kejatuhan manusia akibat tantangan yang dihadapi itu terlalu berat. Tetapi ingat bahwa Tuhan yang memberikan ujian hidup pada manusia tidak melebihi batas kemampuan manusia yang sedang dicobainya. Itu berarti bahwa Tuhan memberikan ujian yang berat sambil mempertimbangkan, seberapa jauh orang yang bersangkutan menanggapi tantangan hidup dalam terang iman. Penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub, mengajarkannya untuk tetap bertahan dalam badai cobaan itu. Apakah di dalam hidup, hanya kebaikan saja yang kita terima, sementara tantangan yang diberikan oleh Allah harus saya tolak dan bahkan berontak terhadap Allah?

 

Ketika berada pada puncak gunung Tabor, tiga murid kesayangan Yesus mengalami kegembiraan bersama-Nya. Sebagai murid yang selalu diajarkan oleh Gurunya untuk setia pada cobaan hidup, mereka tidak bertahan pada puncak kegembiraan Tabor untuk selamanya tetapi mereka (murid) harus belajar esensi terdalam dari makna kemuridan adalah mengalami pengalaman Kalvari sebagai jalan sunyi penuh derita yang dilalui oleh Sang Guru. Via Dolorosa yang dijalani Yesus menjadi bukti kesetiaan-Nya pada Allah dan kecintaan-Nya pada manusia.  

 

Melihat racikan kopi yang ada dalam wadah cangkir membersitkan sebuah racikan hidup yang tidak bisa dielak oleh setiap manusia. Pergulatan hidup manusia tidak akan berakhir selama manusia itu hidup. Karena memang hidup itu adalah sebuah perjuangan yang harus diraih dengan nilai sebuah pengorbanan. Pengorbanan menjadi nilai berharga untuk meraih cita-cita. Yesus telah mengajarkan nilai pengorbanan itu untuk menggenapi cita-cita-Nya yakni misi penyelamatan manusia. Mereguk secangkir kopi, tak beda jauh dengan mereguk makna kehidupan yang membersitkan dua rasa.***(Valery Kopong)

0 komentar: