Thursday, February 16, 2023

Doa Orang Yang Terluka

 


Doa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk menyembuhkan,  mengubah dan membuat mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa, “ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.

Dalam doa-doa Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita gandrungi? Doa Benediktin, yang pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia.   Tipe doa ini menyentuh semua tipe kepribadian: lectio menyentuh pikiran kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.     

Selain doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih  menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah, terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan alam.

Masih banyak lagi cara-cara berdoa dan bermeditasi yang ditawarkan oleh para mistikus. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana setiap kita memilih cara-cara yang tepat dalam berdoa. Sebelum menerapkan cara-cara berdoa, mestinya si pendoa harus tahu dan mengenal karakter pribadi. Karena dengan mengenal karakter pribadi maka seseorang akan memilih metode atau cara yang tepat dalam berdoa. Semua cara yang ditawarkan hanyalah jalan untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam berdoa, ibarat kita “bermain kartu terbuka dengan lawan main.” Karena sebelum kita menyampaikan sesuatu, Allah lebih dulu tahu tentang maksud dan tujuan kita berdoa.***(Valery Kopong)   

Thursday, January 26, 2023

Membangun Ruang Perjumpaan

 

Membaca teks Injil Luk. 10:1-9 mengingatkan kita akan tugas perutusan yang diberikan oleh Yesus. Tugas perutusan itu tidak hanya untuk orang-orang yang tertahbis ataupun  mereka yang hidup selibat tetapi justeru perutusan yang dilakukan oleh Yesus untuk semua orang yang sudah dibaptis. Kaum awam yang sudah dibaptis dan diteguhkan dengan penerimaan sakramen Krisma, memberikan gambaran perutusan sebagai tanggung jawab orang-orang yang terbaptis. Untuk apa perutusan dalam konteks mewartakan kabar baik menjadi penting? Pertanyaan ini menjadi penting karena Kristus dan ajaran-Nya harus diwartakan kepada seluruh dunia, terutama pada mereka yang belum mengenal Kristus dan Injil.

 


Tugas seorang awam dalam konteks perutusan memiliki makna yang menarik. Dalam sejarah perjalanan Gereja, terutama pada masyarakat perkotaan, keterlibatan kaum awam menjadi penting karena dialog seorang kaum awam Katolik dengan orang-orang lain yang tidak seagama menjadi dinamis. Ada bersama, tidak sekedar untuk hidup tetapi berupaya untuk memperkenalkan nilai-nilai kebaikan pada orang-orang sekitar. Diutus untuk mewartakan kabar baik, tidak berarti harus memperkenalkan atribut kekatolikan pada mereka yang bukan Katolik, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana hidup dan berada bersama mereka dengan menebarkan kebaikan.

 

Ada beberapa aktivis Katolik bergerak bersama untuk menebarkan kebaikan dan membangun relasi dengan orang-orang sekitar. Keterlibatan para aktivis awam Katolik menjadi penting karena justeru para awam yang bisa membaur di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama. Sebagai contoh, ada beberapa aktivis awam Katolik mencoba untuk membangun koperasi yang bermula di area gereja paroki. Dengan membangun dan mengelola koperasi ini ternyata memberikan dampak yang luar biasa terutama bagaimana membangun komunikasi aktif dengan koperasi sebagai titik temu. Orang-orang di luar agama Katolik justeru lebih banyak menjadi anggota koperasi karena mereka percaya bahwa koperasi yang dikelola oleh orang-orang Katolik memiliki nilai jual, terutama kejujuran dan keterbukaan.

 

Perutusan zaman ini memang keras. Yesus sudah mengingatkan kepada kita bahwa “Aku mengutus kamu ke tengah-tengah serigala.” Artinya bahwa  menjadi pewarta kabar baik membawa resiko tersendiri, yakni bisa dikucilkan dan  dihambat. Tetapi tantangan-tantangan itu bukan menjadi halangan, namun justeru menjadi pemicu untuk bergerak keluar menebarkan kebaikan pada orang-orang sekitar. Hanya dengan kasih yang ditebarkan pada mereka, baik yang  menerima pewartaan maupun yang menolak, Yesus semakin dikenal.***(Valery Kopong)  

Wednesday, January 25, 2023

Paradigma Politik

 Pertarungan politik kekuasaan yang  akan berlangsung pada tahun 2024 nanti tengah menjadi sorotan, terutama figur-figur capres mulai dimunculkan. Salah satu figur yang ramai dibicarakan adalah Anies Baswedan. Anies dideklarasikan oleh Nasdem sebagai calon presiden. Terhadap pencalonan ini, memunculkan pertanyaan baru. Mengapa Nasdem tidak mengusung kandidat internalnya untuk menjadi capres? Di sini, perlu dipertanyakan kembali, mengapa tidak banyak calon yang berminat untuk bertarung dalam memperebutkan kursi kekuasaan sebagai capres? Apakah karena persoalan mahar politik yang  terlalu tinggi ataukah partai sendiri gagal dalam meregenerasi anggota-anggotanya sehingga lambat laun partai kehilangan figur potensial?  Keberadaan partai-partai di Indonesia belum menunjukkan peran yang signifikan dalam mengelola sumber daya manusia. Proses perekrutan anggota-anggota partai masih jauh dari harapan karena lebih mementingkan aspek finansial ketimbang  potensi  diri yang dimiliki oleh seseorang yang mau direkrut. Karena itu partai lebih dilihat sebagai kumpulan para “pengusaha oportunis” yang selalu memanfaatkan partai sebagai kendaraan yang memuluskan proyek-proyek yang mengarah pada kepentingan pribadi dan kelompok partai. 

Berkurangnya figur untuk menjadi calon pemimpin di kalangan politisi, mencerminkan menurunnya  kualitas partai yang lebih mementingkan kekuasaan sesaat dan kurang mempersiapkan kualitas sumber daya anggota sebagai jalan untuk berkuasa secara elegan. Memang, persoalan ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak pernah diselesaikan secara baik oleh “rumah partai.” Masyarakat awam menilai bahwa persoalan politik  hanya sebatas persoalan perang ide atau gagasan dari para politisi di ruang parlemen yang berakhir dengan kekerasan. Lebih jauh dari itu, sebuah partai memiliki tanggung jawab lebih, mulai dari sistem perekrutan anggota, pelatihan dan pengembangan potensi diri para anggota hingga menduduki kekuasaan. Di sini, ada tanggung jawab partai dalam  mendesain secara baik peta perpolitikan yang harus dilalui oleh para politisi. Tetapi kenyataannya bahwa para politisi terkadang menikung di jalan dan masuk secara pintas untuk merebut posisi dan kedudukan tanpa mempedulikan esensi dasar dari peran partai itu.  

Berpolitik berarti menata sebuah keseimbangan hidup bersama.  Dan dalam proses penataan hidup bersama, tertemukan banyak ketimpangan yang menuntut para politikus yang berani meluruskan jalan kekuasaan dan  menegakkan keseimbangan dalam pelbagai aspek. Konsep politik bahkan program yang ditawarkan capres menjadi komoditi yang menarik untuk dicermati karena merupakan representan dari figur  politisi  yang bakal ditawarkan kepada publik. 

Membaca sebuah iklan politik salah satu pasangan wakil dan walikota Tangerang Selatan (Provinsi Banten)  pada beberapa tahun yang lalu, membuat saya tergidik diam untuk merenungkan makna terdalam di balik slogan politik. “Mari Menata Tangsel (Tangerang Selatan), Rumah Kita Bersama.” Ajakan ini menarik karena mengedepankan rumah sebagai penopang  utama dalam berpolitik. Rumah menjadi tempat yang nyaman dalam menggumuli visi dan misi politis dan dari rumah yang sama, setiap orang diutus untuk bertarung. Rumah menjadi ruang inspirasi yang bening dan  di dalamnya orang memaknai peta perpolitikan sebelum keluar sebagai navigator yang memberi arah baru dalam perjalanan menuju titik kesejahteraan bagi rakyat.


Rumah politik telah  memproduksi  nilai-nilai politik yang  bersahaja  untuk  dikemas  menjadi  kekuatan yang bermakna. Di sini, saya melihat bahwa dalam berpolitik, “rumah” sebagai tempat untuk menggali inspirasi serta hakekat berpolitik untuk melayani masyarakat dan politik itu sendiri  mencari peran. Dalam situasi hari ini, kita semua tentu bertanya, mengapa tidak banyak figur yang maju menjadi calon presiden? Para politisi harus kembali ke “rumah” (baca: partai) untuk menata kembali tugas dan fungsi partai yang tengah kehilangan fungsi utama , yakni mengabaikan proses kaderisasi sebagai cara sederhana dalam mendidik kader partai yang pada akhirnya bisa tampil sebagai seorang pemimpin yang bisa dipercaya oleh masyarakat karena integritas dan berani berjuang untuk kepentingan masyarakat. Partai adalah “rahim utama” dalam melahirkan para pemimpin  yang berkualitas. ***(Valery Kopong)

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, December 13, 2022

Bola dan Ruang Perjumpaan

 

Ketika musim bola merebut piala dunia, semua orang sepertinya terhipnotis oleh klub kesayangan dan menjadi andalan bagi mereka untuk mempertaruhkan harapan. Musim bola membuat orang lupa untuk istirahat secara teratur karena demi menunggu klub kesayangan di depan layar kaca, mereka bertaruh waktu. Memang, saya sendiri tidak terlalu hoby nonton bola pada piala dunia ini tetapi mendengar cerita teman-teman, rasanya seperti terlibat pada laga permainan yang mengasyikan.

Tentang bola, saya teringat akan apa yang dikatakan oleh Pater Brawn, SVD saat menghuni biara di bukit Ledalero – Maumere. Menurut Pater Brawn, pastor berkebangsaan Jerman itu bahwa orang yang suka main bola hanya mengejar “kulit bodoh” di lapangan. Mereka yang bermain bola, seolah-olah menghabiskan banyak waktu dalam kesia-siaan. Bagi Pater Brown, SVD bahwa bola dan permainannya tidak memberikan manfaat karena hanya mengejar “kulit” yang diisi dengan angin. Pandangan yang skeptis ini memang lahir dari seorang imam dan berlatar belakang ilmu pasti. Semua permainan itu, menurutnya harus riil dan mengarah pada sebuah kepastian hidup.

Pandangan ini sepertinya tidak berlaku pada generasi saat ini yang lebih tertarik dengan bermain dan lebih asyik lagi kalau menonton bola dalam perhelatan piala dunia. Bola menjadi sebuah magnet yang masih menghipnotis setiap mata orang yang menggandrungi bola. Hanya karena bola, orang berani menggadai waktu istirahatnya dan karena bola pula, orang berani bertaruhan uang.

Memang bola itu “kulit bodoh” seperti yang dikatakan oleh Pater Brawn, namun karena kulit yang diisi dengan angin ini maka sebagian besar orang tergila-gila dengan bola. Namun di sisi lain, ada seorang imam SVD yang bekerja di sebuah paroki  Kewa Pante – Maumere, justeru senang dengan bola. Bola dijadikan seorang imam sebagai  sarana pastoral untuk mengumpulkan anak-anak muda. Ketika berkunjung umat di daerah-daerah terpencil, tidak hanya Kitab Suci yang dibawa serta peralatan misa tetapi juga bola. Bola membuka ruang perjumpaan dengan umat, khususnya kaum muda.


Dalam karya pastoral, kita bisa menyandingkan bola dengan Yesus. Kalau di lapangan hijau, para pemain bola mengejar bola yang adalah kulit berisi angin itu. Dalam kehidupan beriman, kita juga mengejar Kristus yang telah memanggil dan setia mendampingi kita.***(Valery Kopong)  

Monday, December 12, 2022

Mengenang Gempa Pada 30 Tahun Silam

 

Hari ini, 12 Desember merupakan hari yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Flores karena pada moment itu, terjadi gempa yang sangat dahsyat waktu itu. Saya sendiri berada di bangku sekolah, kelas XI SMA Seminari Hokeng.  Pada titik ini, saya bisa mengenang kembali tragedi gempa tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya 12 Desember 1992. Peristiwa itu terjadi pada siang hari di mana para penghuni asrama sedang menikmati tidur siang. Tiba-tiba terdengar gemuruh yang membahana dan sekaligus memporak-porandakan bangunan serta menelan begitu banyak korban jiwa.

Setelah peristiwa gempa berkekuatan 6,2 skala richter, keesokan harinya kami semua yang tinggal di asrama diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Mengemas barang-barang dan memikulnya sambil berjalan puluhan kilo meter. Pulang kampung memang menyenangkan tetapi ketika pulang pada peristiwa gempa 12 Desember 1992, kami harus berjalan kaki. Dalam perjalanan, kami mengalami rasa lapar dan haus. Tak ada orang yang jualan makanan di pinggir jalan. Semua pada panik dan berusaha menyelamatkan diri.

Dari mana kami memperoleh makanan dan minuman? Untuk bisa memenuhi kebutuhan lapar dan haus, kami mulai memetik kelapa yang ada di pinggir jalan raya. Dalam kondisi seperti itu, terpaksa memetik buah kelapa dan memakan daging kelapa hanya untuk menahan rasa lapar supaya bisa meneruskan perjalanan. Sambil menikmati buah kelapa, perjalanan terus berlanjut. Menikmati buah kelapa yang dipetik pada kebun orang tanpa meminta ijin, di satu sisi adalah perbuatan yang salah tetapi dalam kondisi yang memaksa maka apa pun yang bisa dimakan, dimakan juga sebagai upaya untuk mempertahankan diri.


Berjalan menempuh puluhan kilo meter, sepertinya tanpa lelah karena kami berjalan bergerombolan. Tak ada satu bus pun yang lewat di jalan raya karena hampir semua jalan trans Flores putus akibat longsor dan ditutupi oleh batu-batu yang besar.  Perjalanan kami hampir mendekat Lewo Laga, sebuah perkampungan di pinggir jalan raya. Di situlah kami bisa menumpang truk milik PU (dinas Pekerjaan Umum) yang sedang memantau kerusakan jalan raya. Ada niat baik dari sang sopir untuk kami menumpang dan seterusnya dibawa ke kota Larantuka. Kami terpencar untuk mencari penginapan masing-masing. Teman-teman yang berasal dari Adonara dan Lembata harus menunggu kapal motor untuk seberang ke pulau masing-masing. Mengingat tragedi itu, sepertinya mengingat murka Allah. Namun Allah masih setia melindungi umat-Nya.***(Valery Kopong)

 

 

Friday, December 9, 2022

Keluarga Kudus Nazareth

 

Ketika diminta sebagai pembicara dalam rekoleksi untuk anak-anak Katolik di SMA Tarsisius Vireta, awalnya saya ragu karena pihak sekolah meminta tetapi tidak menyodorkan tema. Dalam rentang kesulitan mencari tema itu, saya mencoba menggali tokoh penting yang berperan dalam membangun dan merawat keluarga kudus Nazareth. Dalam mempersiapkan materi tentang peranan Santo Yosef, satu hal yang bisa dikagumi adalah berani mengambil keputusan di tengah kegalauan hatinya. Mengapa Yosef menjadi galau dan risau hatinya saat ada bersama dengan Bunda Maria? Yosef tahu akan apa yang terjadi ketika pilihan hidupnya itu berlabuh pada hati seorang Bunda Maria. Bagaimana mungkin seorang yang membangun hidup baru, sementara pasangannya terlebih dahulu hamil? Inilah litani batin yang menggambarkan betapa Yosef hendak mengambil tindakan tanpa harus mencederai Bunda Maria.

Di tengah kegalauan hati, Yosef tetap membuka diri pada penyelenggaraan ilahi. Kegalauan hati seorang manusia akan hilang jika ia membuka diri pada Allah. Apa maunya Allah bagiku? Ini mungkin pertanyaan yang tercetus dalam hati seorang Yosef. Ia diteguhkan oleh malaikat, utusan Allah untuk tetap mengambil Maria sebagai isterinya, dan anak yang sedang dikandung itu berasal dari Roh Kudus. Atas dorongan dan peneguhan yang diberikan oleh malaikat, Yosef berani mengambil sebuah keputusan teguh.

Kitab suci tidak berbicara banyak tentang Yosef. Figur Yosef tidak banyak diceritakan dalam kitab suci, namun bukan berarti ia tidak terlibat dalam membangun keluarga kudus Nazareth. Ia menghidupi keluarganya secara sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang kayu yang selalu berhadapan dengan konsep dan mengeksekusi perabotan sesuai dengan keinginan sendiri dan pelanggan, Yosef berlumuran keringat untuk membangun keluarga yang telah dipercayakan oleh Allah padanya.



Merawat dan membesarkan keluarga Nazareth merupakan sebuah bukti cinta Yosef, tidak hanya untuk keluarganya sendiri tetapi cintanya untuk dunia. Bisa dibayangkan, andaikata Yosef gagal membangun rumah tangganya maka penyelamat pasti tumbuh secara tidak  sempurna. Dalam peristiwa-peristiwa penting, Yosef terlibat dan menunjukkan kesetiaannya, seperti pada kelahiran Yesus, Yesus disunat, Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Peristiwa-peristiwa penting ini membutuhkan Yosef untuk terus ada di samping Bunda Maria dan Yesus Puteranya. Oleh kedekatan bersama dengan Yesus ini maka Yosef dikatakan sebagai orang yang paling bahagia. Mengapa ia bahagia? Karena selama kurang lebih 30 tahun, ia boleh mengalami Allah yang menjelma menjadi manusia. Semoga di masa Adven, kita menyiapkan diri secara baik untuk menyambut sang bayi di kandang hina pada peristiwa Natal.***(Valery Kopong)

 

Tuesday, December 6, 2022

Siapakah Saudaraku?

 

Setelah memberikan materi tentang “siapakah saudaraku” pada anak-anak Persink Gregorius, pikiranku tertuju pada keluarga dan tetangga yang hidup cukup lama di lingkungan RT.  Memahami tema tentang saudara, tidak merujuk pada ikatan keluarga atau ikatan darah. Namun saudara dalam konteks Kristiani menjadi luas, menjangkaui orang lain yang tidak sedarah dan tidak sedaerah. Cara berpikir yang dilontarkan  oleh Yesus melampaui batas-batas primordial. Yesus tidak memandang orang lain dalam lingkungan kerabat  tetapi lebih dari itu, membangun relasi bahkan menyapa orang lain sebagai sahabat-sedarah.

Kisah perumpamaan orang Samaria yang baik hati menjadi rujukan utama dalam memahami esensi dasar sebagai saudara. Memaknai saudara, berarti siap melepaskan ikatan-ikatan primordial yang selama ini dianggap membelenggu kebebasan untuk melihat keluar secara lebih jauh. Orang lain yang berbeda agama dengan kita, tetap kita menjalin relasi dengannya karena esensi nilai agama bermuara pada persentuhan tentang sesama.


Sebelum kita bicara tentang Tuhan dan relasi transendental dengan-Nya, terlebih dahulu kita mengenal dan membangun relasi dengan sesama. Menjumpai dan ada bersama dengan manusia sebagai sesama dan sahabat, menjadikan kita untuk memahami eksistensi Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Barang siapa melakukan sesuatu untuk saudaraku yang paling hina, itu ia lakukan untuk Aku.” Memahami puncak dan keberadaan Allah, mestinya dialami dalam peristiwa hidup harian. Allah tidak bisa diraih dalam singgasana-Nya tetapi bisa dirasakan melalui kehadiran orang-orang terdekat. Tanpa berbuat baik pada orang-orang terdekat maka kita tidak pernah mengenal dan merasakan, siapa itu Allah sesungguhnya.***(Valery Kopong)

Sunday, December 4, 2022

Jabatan Rahmat


 Ketika masa jabatan Ketua Lingkungan di ujung waktu, ada kecemasan menghinggap di hati para anggota lingkungan itu. Mengapa kecemasan massal muncul secara serentak? Kecemasan bercampur rasa takut sebenarnya menyembunyikan sebuah penolakan  untuk tidak dipilih menjadi Ketua Lingkungan.   Tetapi dibalik kecemasan itu, muncul harapan yang sama, moga-moga ketua lingkungan yang lama dikukuhkan lagi. Memang, realita ini tidak bisa dipungkiri bahwa menjadi ketua lingkungan adalah sebuah jabatan yang membebani, apalagi  tidak diimbangi dengan honorarium.  

     Membaca buku “Ketua Lingkungan di Era Sibuk,” penulis mengajak untuk  membangun esensi panggilan setiap orang Katolik. Dibaptis untuk masuk ke dalam Gereja Katolik secara implisit menyiratkan sebuah panggilan luhur  untuk menjadi pewarta dan saksi Kristus. Menjadi Ketua Lingkungan juga merupakan ejawantah dari rahmat baptisan yang telah kita terima. Dalam pengantar buku ini, Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta menekankan “Supaya umat di lingkungan berakar dalam iman, semakin bertumbuh dalam persaudaraan dan semakian berbuah dalam pelayanan kasih dibutuhkan banyak orang yang memiliki niat, kehendak atau kemauan untuk melayani.”

     Menjadi Ketua Lingkungan di era sibuk berarti  berusaha mengorbankan diri demi orang-orang yang dilayani. Memang, jabatan ini kurang “membius” bagi siapa saja untuk merebutnya tetapi jabatan ini merupakan “jabatan rahmat” di mana Allah menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya. Masing-masing kita perlu membangun niat dan motivasi untuk menjadi “pemimpin dan pemimpi,” walau hanya menjadi Ketua Lingkungan.   Dalam buku yang disajikan dalam empat bagian ini merupakan pergumulan pengalaman hidup harian dan buku ini menemukan makna baru  ketika disandingkan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta. Siapa pun akan tergugah membaca buku ini sambil berkata, “kapan saya dipilih menjadi Ketua Lingkungan?”  

     Di tengah kesibukan kerja yang mendera, setiap orang Katolik diharapkan untuk menjadi pemimpin dalam lingkungan. Dalam jejalan waktu dan kepulan asap kota, kita masih melihat rahmat panggilan untuk melayani sesama. Buku ini tidak mengajak pembaca menangisi keengganan untuk menjadi ketua lingkungan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang peristiwa ini dengan cara lain.***(Valery Kopong)

 


Saturday, December 3, 2022

Mafia

 

Ketika berlibur ke kampung halamanku Gelong-Adonara Timur pada Juli 2022 yang lalu, penulis berkesempatan ngobrol dengan orang-orang kampung yang berbicara tentang peluang dari figur-figur yang menjadi capres dan cawapres pada pemilu 2024 nanti. Obrolan kami seputar pentas politik nasional dengan melihat rekam jejak dan kalkulasi peta kekuatan berdasarkan aspek primordial yang melekat pada basis pemili di Indonesia. Diskusi tentang politik ini sempat terhenti ketika salah seorang yang tergabung dalam obrolan itu mendadak bertanya padaku. Apa itu politik? Pertanyaan tentang arti politik menjadi penting terutama untuk warga kampung yang kurang paham tentang arti sesungguhnya dari politik.

Memang, pertanyaan tuyul ini menjadi penting karena setiap orang dan khususnya politisi harus mengerti dan memahami tentang esensi dasar tentang politik. Politik menurut orang-orang kampung yang selama ini dipahami sebagai “seni menipu” masyarakat dan pelakunya adalah para politisi. Apa yang dipahami secara salah tentang politik dalam skala kampung, bertitik tolak dari pengalaman orang-orang kampung yang rajin dikunjungi pada saat menjelang Pilkada maupun Pilpres. Para politisi selalu menjagokan diri dan figur yang mau dicalonkan walaupun pada kenyataannya jauh dari harapan masyarakat. Sikap bombastis yang mengumbar secara berlebihan dan bahkan terjadi proses penipuan secara terbuka untuk mendulang suara pada menjelang Pilkada maupun Pilpres, pada akhirnya mengerucut pada pemahaman yang salah tentang esensi dari politik itu sendiri.

Apa makna sebenarnya dari politik? Secara sederhana, politik adalah seni untuk menata keseimbangan hidup bersama. Ketika melihat makna dasar arti politik yang menata keseimbangan hidup bersama, ada hal yang memiriskan nurani anak bangsa ini karena dalam berpolitik tidak terjadi lagi keseimbangan bahkan situasi masyarakat tercabik-cabik karena perhelatan demokrasi. Situasi menjadi ambigu karena masyarakat terpolarisasi sesaat di musim pilkada maupun pilpres. Ada tarik menarik kepentingan dalam masyarakat dan masyarakat sendiri menjadi korban dari perhelatan itu dan menjadi penonton adalah kaum elite politik. Masyarakat terpolarisasi sesaat karena menjadi bagian dalam mendukung calon tertentu. Banyak pengamat memprediksi bahwa dalam tahun politik ini bisa terjadi konflik horizontal yang mengarah pada perpecahan. Jika terjadi perpecahan karena disebabkan oleh pilihan politik yang berbeda maka esensi dasar politik yang mau menata keseimbangan bersama belum menemukan titik keberhasilan.

Kita bisa saksikan sendiri bahwa sebelum pertarungan politik terjadi di tahun 2024, sudah mulai memanas dengan munculnya pelbagai isu yang menyerang calon tertentu. Anies Baswedan yang telah dideklarasikan menjadi capres sudah mulai melakukan safari politik walaupun itu belum waktunya untuk melakukan kegiatan politik. Komunikasi politik terus dibangun sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat namun tidak banyak juga yang melemparkan cibiran sebagai bentuk ketidaksukaannya.

Kehadiran Anies sebagai kandidat tidak serta merta memperlihatkan sikap publik yang menerimanya. Ada lawan politik yang mulai mencari-cari isu untuk menumbangkan lawan politiknya.  Politik identitas yang terjadi pada masa lampau dibongkar kembali untuk disajikan pada ruang publik dengan satu tujuan utama adalah menumbangkan lawan sebelum dan saat bertarung. Memang, berpolitik a la Indonesia, sudah masuk ke wilayah abu-abu dan sulit ditebak oleh lawan. Atau meminjam bahasa Ben Anderson: musuh bangsa Indonesia adalah “mafia.”

Ben Anderson melihat bahwa seluruh lini kehidupan bangsa ini sudah dirasuki oleh mafia dan dengan demikian kita sulit untuk membangun peradaban politik yang bersih dan lebih elegan. Demi mengejari kursi kekuasaan, ada “mafia” yang bekerja secara investigatif untuk mencari dosa-dosa masa lampau dari lawan politik. “Mafia” menjadi gerakan masif dalam membangun strategi politik yang bisa mematahkan lawan. Mafia sepertinya menjadi agenda terselubung pada politisi yang ingin menghancurkan lawan politik. Di sini kita bisa membaca kegamangan dalam memahami esensi politik sebenarnya.

Isu yang dihembuskan oleh para politisi dengan memanfaatkan orang lain sebagai penyebar isu, menjadikan mafia politik ini semakin menjijikan dan masyarakat semakin muak dengan tingkah laku para politisi. Mestinya para pendukung maupun partai pengusung harus mengedepankan program-program yang berpihak pada rakyat karena hanya dengan program unggul yang ditawarkan kepada masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan pada akhirnya memberikan pilihan yang tepat. Kenyataan berbicara lain, bahwa yang dikedepankan oleh para politisi dan calo pemimpin lebih banyak merancang isu sebagai strategi untuk menjatuhan lawan dan bukannya merancang program yang bisa ditawarkan kepada masyarakat.

sumber gambar: www.silontong.com

Semua figur yang menjadi capres sedang menanti pinangan dari partai koalisi.  Masyarakat diminta untuk menjejali rekam jejak para figur yang akan bertarung. Barisan para capres dan cawapres nanti, mudah-mudahan tidak seperti barisan kafilah padang pasir yang nampak begitu dahaga dan berburu sumber air. Politik praktis dalam skala nasional  masih memperlihatkan hausnya para calon akan kursi kekuasaan yang direbutnya. Publik menanti dengan cemas. Siapa sesungguhnya pemimpin baru untuk Indonesia?*** (Valery Kopong)

Friday, December 2, 2022

Air Mata dan Harapan Mesianik

 

Perhelatan demokrasi pada Pilpres 2024 semakin menarik perhatian. Di satu sisi, ada animo para kandidat untuk menawarkan janji jalan pintas mengentaskan kemiskinan pada masyarakat dan di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi warna utama tentang Indonesia. Pada pesta demokrasi ini nanti, nuansa masyarakat yang fanatik dengan para kandidat yang dijagokan masih terlena dengan tawaran jalan pintas untuk membonsai kemiskinan dan menyulapnya menjadi masyarakat yang makmur. Apakah para politisi dan kandidat yang bertarung sedang hidup di “negeri seribu satu malam” yang lebih sering menawarkan hiburan palsu? Bertitik tolak pada realita tentang kemiskinan Indonesia, maka para kandidat mesti merumuskan secara tepat mengenai program-program unggulan yang realistis dijalani nanti sebagai bentuk jawaban atas permasalahan sosial yang sedang membelenggu masyarakat. Apakah Pilpres  masih relevan, kalau hanya sekedar mencari uang dan kekuasaan? Pertanyaan sederhana ini menjadi titik refleksi yang menyadarkan kita tentang pentingnya memilih pemimpin yang kredibel.

Pemilu tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan memperkaya diri setelah berkuasa tetapi pemilu mestinya dimaknai secara baru, yakni sebagai proses seleksi calon pemimpin untuk menghasilkan pemimpin yang kredibel dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat. Proses seleksi pada Pilpres  yang bermartabat adalah membiarkan hati nurani rakyat untuk menilai dan menentukan pilihan tanpa tersandera oleh tekanan dan iming-iming uang.

Seorang pemimpin harus menerjemahkan kata-kata yang terungkap pada janji-janji politis ke dalam program praktis yang dapat memenuhi kebutuhan publik. Dalam tataran politik nasional, publik masih menaruh harapan pada apa yang akan dilakukan oleh pemimpinnya. Dalam ruang demokrasi yang sumpek ini masyarakat  masih menarik nafas untuk membangun harapan baru di tengah janji-janji yang akan ditawakan para  kandidat yang sedang menjejali pola pikir publik. Dalam konteks Kristiani, masyarakat diibaratkan sebagai bani Israel pra-Mesias yang merindukan seorang penyelamat (Mesias) yang dijanjikan oleh Allah pada mereka sebagai bangsa pilihan. Allah mengutus Mesias kepada yang merindukan kehadiran-Nya, namun masyarakat Israel menolak Mesias karena tidak sesuai dengan kriteria manusiawi. Bahwa Mesias yang dirindukan dan dinantikan adalah Dia yang perkasa dan akan menumpas para musuh, namun Allah mengirim penyelamat yang datang dalam kelembutan seorang bayi Yesus.

Dalam konteks demokrasi Indonesia yang akan mengadakan Pilpres di tahun 2024 tentunya para konstituen memiliki kriteria-kriteria khusus yang menjadi karakter utama dan ciri khas yang bisa membedakan antara satu kandidat dengan kandidat lain. Untuk mengetahui ciri khas dari para kandidat maka perlu terlebih dahulu untuk mengetahui rekam jejak agar para pemilih tidak terjebak pada bilik suara saat menjatuhkan pilihannya. Untuk memberi informasi kepada publik tentang rekam jejak para kandidat, media massa dan media online secara netral memberikan keunggulan dan kelemahan yang ada dalam diri para capres dan wacapres agar para pemilih terbantu sebelum menentukan pilihan secara tepat.

Tanah Air mata dan Harapan Mesianik

Memandang Indonesia  dan membandingkan dengan negara-negara lain, terkesan masih jauh dari harapan. Keterbelakangan dalam dunia pendidikan, ekonomi dan kelayakan hidup, masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Masih banyak ratapan tentang kemiskinan menggema di bumi ini.  Penulis memandang Indoensia  dari celah puisi Sutardji Calzoum Bachri, penyair kontemporer. Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami. Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.

Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah dihadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain? Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis.

Mereka (anakbangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari para pejabat. Tanah air mata merupakan judul puisi tetapi sekaligus sebagai judul kehidupan di permukaan negeri  ini. Kekayaan baru bagi mereka yang miskin adalah air mata. Penyair kontemporer ini secara jeli memantau dan mencoba untuk menceburkan diri bersama kaum papa ke dalam telaga puisi. Penggalan puisi keberpihakkan di atas memungkinkan seorang penyair untuk selalu mengada dalam ruang dan waktu pergulatan hidup masyarakat yang terpinggirkan. Di sini, puisi dapat dilihat sebagai tameng yang sanggup melindungi dan menghibur bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk dihibur. Kekuatan puisi yang terkesan mempermainkan kosa-kata ini jauh lebih manjur dari sepenggal doa yang didaraskan oleh kaum berpunya.

Tanah air mata adalah simbol tumpuan kerinduan sebagian masyarakat Indonesia untuk segera bangkit dari keterpurukan hidup. Air mata yang terus mengalir membasahi keriputnya wajah-wajah tak berdaya menjadi praisyarat bahwa perjuangan mereka untuk diperhatikan tak akan menemukan titik kulminasi. Air mata menjadi kekuatan hipnotis bagi mereka yang peduli dengan kehidupan mereka yang jauh dari sentuhan kemewahan. Tetapi apakah kerinduan yang mengalir bersama air mata yang nyaris mengering dapat meminta perhatian dari pejabat?


Para kandidat Capres yang akan bertarung perlu mengolah rasa untuk lebih mengenal masyarakat pinggiran. Bila perlu belajar seperti seorang penyair yang peka terhadap situasi yang dihadapi dan selalu membangun rasa gelisah ketika berhadapan dengan realitas. Mungkinkah calon pemimpin Indonesia kelak menjadi penyelamat  dari kemiskinan dan terus membangun harapan politik-mesianik? Hanya para kandidat yang tahu.***(Valery Kopong)